"Minggu depan kamu Papa kirim ke kampung Kakek. Jangan banyak bertingkah atau semua fasilitas yang sudah Papa kasih akan Papa cabut lagi!"
"Apa!!! Papa, gak bisa gitu dong main ambil keputusan sendiri." protes seorang gadis dengan ekspresi terkejut. Apa-apaan ini? Baru juga pulang sekolah sudah disuguhkan drama seperti ini.
"Apa? Mau protes. Silahkan aja. Tapi, jangan salahkan Papa kalau besok kamu sudah menjadi gembel." balas si Papa dengan santai seolah-olah ucapannya mainan saja.
Dena, gadis yang baru saja menikmati masa mudanya kini harus dikekang oleh keposesifan sang Papa. Tidak mudah baginya menghadapi keposesifan itu. Semua segala aktivitas yang ia lakukan pasti akan diketahui oleh sang Papa terkecuali saat berada di kamar mandi.
"Papa!!" Dena menghentakkan kakinya dengan wajahnya yang masam.
"Persiapkan diri kamu untuk minggu depan. Sekarang cepat ganti baju, Papa akan mengajak kamu berbelanja untuk keperluan minggu depan."
Wira, sang Papa berlalu begitu saja sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celananya. Meninggalkan sang anak yang kini terlihat kesal bin sebel.
Dengan wajah kesalnya Dena langsung memasuki kamarnya. Menutup pintu itu dengan kasar. Wira yang masih berada di bawah melihat tingkah anaknya itu hanya menggelengkan kepalanya.
"Dia benar-benar anak kamu, Na. Persis seperti sifatmu saat sedang merajuk." gumam Wira menatap bingkai foto berukuran besar yang terpajang di dinding samping anak tangga.
Wira ditinggalkan oleh mendiang istrinya untuk selama-lamanya. Menitipkan anak perempuan mereka satu-satunya. Sejak saat itu Wira memulai segala keposesifannya. Tidak tanggung-tanggung, Wira bahkan menyewa beberapa bodyguard untuk menjaga keamanan sang anak. Tapi, bodyguard yang ia sewa bahkan sudah gugur sebelum memasuki medan perang.
"Papa jahat! Arghhhhh..." teriak Dena yang langsung melemparkan barang-barang di meja riasnya. Bunyi barang-barang yang dilempar tersebut langsung terdengar di telinga Wira. Pria itu membiarkan. Nanti juga tenang sendiri.
"Kenapa sih? Kenapa... kenapa!!!"
Sehabis puas menyalurkan segala emosinya, Dena langsung berjongkok di sisi kasurnya. Gadis itu menangis sesegukan sambil mengomel tidak jelas.
Hanya karena ketahuan berpacaran dengan Kakak kelasnya, ia sudah diperlakukan seperti ini. Bukan sesekali, tapi, sering kali. Dena harus mengakhiri hubungan asmaranya dengan para lelaki. Mereka yang menjalin hubungan dengan Dena pasti akan langsung mundur begitu melihat siapa pawangnya.
Tok tok tok
"Sayang, marahnya udahan belum?" terdengar suara sang Papa sambil terus mengetuk pintu kamarnya.
"Papa capek nih. Kepala Papa pusing rasanya mau pingsan."
Hening
"Sayang beneran kamu gak perduli sama Papa? Ya udah, Papa kabur aja ke planet mars biar kamu gak marah lagi sama Papa."
Dena langsung mengangkat wajahnya yang sembab begitu mendengar kalimat itu, gadis itu langsung berlari mendekati pintu dan membukanya.
Ceklek
"Say---"
Grepp
Dena langsung memeluk erat tubuh sang Papa. Menghirup dalam-dalam aroma yang selalu membuat pikirkan tenang. Selalu membuatnya merindukan pelukan itu. Pelukan yang selalu memberikannya ketenangan, kehangatan, sandaran. Semuanya ada di situ, dipelukan sang Papa. Cinta pertamanya, lelaki yang selalu ada di hatinya.
"Dena gak marah lagi." gumam Dena seraya menggelengkan kepalanya.
"Bener gak marah lagi sama Papa?" tanya Wira yang langsung membalas pelukan sang anak. Mengelus kepala gadis itu dengan sayang.
Pembantu yang bekerja di sana tersenyum tiap kali meihat adegan menggemaskan dari Ayah dan anak tersebut. Hidup mereka terasa berwarna dengan segala tingkah anak majikannya itu. Walau mereka sering dibuat pusing kalau anak majikannya itu sudah meminta sesuatu hal.
Dena hanya mengangguk tanpa bersuara. Ia masih betah memeluk tubuh sang Papa yang selalu menjadi rumah saat ia merasa letih. Selalu menjadi payung saat turunnya hujan, menjadi tiang untuk ia berdiri kokoh.
Wira melepaskan pelukannya. Menangkup kedua pipi Dena, mengusap sisa-sisa air mata di pipinya. Lalu beralih mencium kening sang anak. Pria itu sangat menyayangi permata hatinya. Dena adalah titipan dari Tuhan yang membuatnya selalu bangkit di saat segala keluhan. Selain itu, Dena adalah buah hatinya yang dititipkan oleh mendiang istrinya dulu. Ia begitu menyayangi gadis kecilnya. Tidak membiarkan ada lalat atau pun semut yang menghampiri gadis itu.
"Bajunya kok belum diganti, hem? Kan Papa mau ngajakin belanja."
Dena kembali manyun. "Papa udah bikin aku kesel." ujar gadis itu cemberut.
"Papa harus gimana nih biar putri kecil Papa bahagia?"
Seulas senyum Dena terbit begitu mendengar tawaran yang ia anggap sebagai sogokan saat ia merajuk. Wira yang melihat itu hanya tersenyum mengerti.
"Yaudah. Mandi sana, ganti bajunya. Papa tunggu di bawah. Jangan lama-lama ya?"
"Siap, Papaku tersayang... cupp..." Dena sumringah lalu memberikan satu kecupan manis di pipi sang Papa. Kembali masuk ke kamarnya membiarkan barang-barangnya bergeletakan di lantai kamar.
Wira hanya geleng-geleng kepala dibuatnya. Semakin hari putri kecilnya itu malah semakin bertambah manja. Tidak apa. Wira tidak menyesal karena telah memanjakan anaknya. Pria itu berpikir nanti kedepannya pasti putri kecilnya itu akan berpindah tangan ke laki-laki yang akan menjadi suaminya nanti. Makanya sebisa mungkin Wira memberikan segala perhatiannya, memberikan segala fasilitas yang ia punya. Mungkin orang di luaran sana akan berpikir itu berlebihan, tapi, bagi Wira itu adalah sebuah kebahagiaan tersendiri baginya.
Hidupnya hanya ada putri kecilnya itu. Lambat laun putri kecilnya pasti akan meninggalkan dirinya, membangun rumah tangganya sendiri di kemudian hari.
Tidak ada niatan sedikit pun bagi Wira untuk menikah sekali lagi, memberikan Ibu sambung untuk anaknya itu. Tapi, ia tidak tahu kedepannya akan bagaimana. Kalau sudah diberi jalannya, pria itu akan menerima. Kalau sudah ditakdirkan hanya untuk mencintai seorang wanita, yaitu mendiang istrinya, maka pria itu juga akan terima.
Tidak jarang, malahan sering, bagitu banyak wanita yang datang kepadanya. Mencoba merebut perhatiannya melalui putri kecilnya. Akan tetapi, mereka semua mundur begitu berhadapan dengan Dena. Sebisa mungkin Dena selalu menghalau wanita-wanita yang datang kepada Papanya itu.
Wira malahan senang kalau putri kecilnya itu sudah bertindak. Keputusan gadis itu adalah mutlak baginya. Hal itu termasuk ke golongan benar. Kalau salah? Jangan harap gadis itu bisa bersantai.
Selesai mandi dan berganti pakaian, Dena segera keluar dari kamarnya menemui sang Papa.
"Papa, beneran udah gak marah sama aku?" tanya Dena sambil mendongakkan kepalanya karena tinggi badan sang Papa jauh darinya.
"Iya, Sayang. Kenapa?"
"Jadi gini... Papa kan udah gak marah lagi... boleh dong ya itunya dibatalin aja." bujuk Dena sambil kedua jari telunjuknya disatukannya.
"Apanya yang mau dibatalin, hm?" tanya Wira sedikit curiga dengan perkataan putrinya.
"Anu, Pa..."
"Apa, Sayang. Papa bukan peramal yang bisa meramal pikiran pikiran kamu lho."
"Itu... Papa bilang Papa mau kirimim aku ke kampung halaman Kakek. Batalin ya, Pa? Ya ya ya ya..." gadis itu mengeluarkan jurusnya.
"Huummm... gimana yah? Papa juga gak tau nih." balas Wira tak tahan ingin tertawa melihat ekspresi anaknya.
"Lahh! Kok nggak tau? Papa gimana sih! Dia yang ngomong eh malah bingung sendiri." ujar Dena cemberut dengan tangan ia silangkan ke da da.
"Sumpah, Papa nggak bohong. Emngnya kapan Papa bilang gitu?" tanya Wira sengaja memancing kemarahan Dena.
"Ish! Papa!" teriak Dena kesal langsung berlalu meninggalkan Wira.
Wira lekas mengejar anaknya yang kini sudah masuk ke dalam mobil. Pria itu juga masuk ke jok belakang, duduk di samping Dena. Sementara supir yang akan mengemudi.
"Jalan, Pak!" titah Wira langsung mendapat anggukan dari sang supir.
"Anak Papa kenapa nih cemberut gini? Nanti cantiknya hilang loh." goda Wira, tapi, gadis itu malah menyueki Papanya.
"Beneran nih ini ceritanya lagi ngambek sama Papa. Beneran nih?" ledek Wira.
Sontak Dena langsung menatap Papanya lalu memeluknya. Tangannya melingkar erat di perut sang Papa.
"Papa, batalin ya?" bujuk Dena lagi.
"Gak bisa, Sayang. Papa udah terlanjur bilang sama Kakek di sana." balas Wira.
"Ih! Kok gitu sih, Pa. Aku masih sekolah loh. Gimana konsepnya mau berangkat ke sana?"
"Kamu gak ingat? Minggu depan kan udah libur. Libur semester pertama?"
Dena langsung kicep. Si Papa bener-bener tau segala jadwalnya.
"Tapi, Pa. Nanti aku gak ada temen di sana. Lagian di kampung Kakek itu sempit, Pa." adu Dena mengingat hari terakhir ia berkunjung ke rumah Kakeknya.
"Nah! Nah. Apa Papa bilang sebelumnya?" peringat Wira.
"Iya, Pa, maaf. Gak boleh sombong."
"Pinter! Papa ngedidik kamu bukan untuk menyombongkan diri. Hargai dan hormati. Paham?" tanya Wira. Pria itu selalu mendidik anaknya lembut namun tegas.
"Tapi, Pa... aku belum terbiasa di sana." ucap Dena.
"Nggak pa-pa. Perlahan-lahan. Ingat! Jangan sampai menghina seseorang. Papa dulu berasal dari sana dan berjuang hingga saat ini dan lihat... apa yang Papa dapatkan. Papa sukses, Sayang. Itu berkat kerja keras Papa. jadi, kamu jangan mau kalas sama Papa. Belajar yang rajin, jangan malas. Ya?"
Dena mengangguk mendengar petuah sang Papa. Tidak heran ia kalau melihat sang Papa yang berpindah profesi. Tapi, Dena tidak pernah membantah. Apa yang dibilang Papanya memang benar.
"Sudah sampai, Tuan." sahut supir yang mengemudi.
"Baik, Pak. Terima kasih. Bapak istirahat dulu aja atau mau cari makan, minum gitu, Pak?"
"Baik, Tuan." jawab supir.
"Ayo, Sayang! Kita keluar, banyak yang harus kita beli untuk persiapan kamu nanti ke sana."
Tepat hari ini keberangkatan Dena akhirnya tiba. Sepanjang perjalanan menuju bandara gadis itu tampak murung. Ia tidak rela berpisah dengan Papanya.
"Sayangnya Papa, jangan sedih gitu. Kan cuma sebentar abis itu pulang lagi ke sini." ucap Wira.
"Papa gak takut Dena tinggal?" tanya Dena yang kini sudah pasrah ia mau dikirimkan ke kampung halaman Kakeknya.
"Kenapa harus takut? Di sini banyak yang jagain Papa. Tuh! Ada pak supir dan beberapa bodyguard dan pengawal Papa." jawab Wira menyombongkan diri.
"Tuh! Papa sendiri sombong. Gak boleh gitu, Papa."
"Iya, Sayang, iya. Papa becanda doang kok." balas Wira.
"Papa ulang ya? Kenapa Papa harus takut kalau Dena ninggalin Papa?" tanya Wira ulang.
"Papa gak takut nanti ditempelin lintah bulu?"
"Haa? Lintah bulu? Apa itu, Sayang?" tanya Wira terkaget.
"Iya, itu si cewek-cewek yang deketin Papa. Mereka kan lintah bulu."
"Kenapa harus lintah bulu? Papa kira ulat bulu yang gatal-gatal itu."
"Iya, Pa. Ini tuh udah aku kombinasikan. Lintah kan suka nempel, kalau udah nempel tuh susah lepas. Nah kalau ulat bulu yang gatal itu kan bulu-bulunya. Jadi lintah bulu. Yang suka nempel sama kegatelan. Bener kan, Papa?"
Wira hanya tersenyuk kikuk sambil menggaruk kepalanya tidak gatal. "Gitu ya? Papa kok baru tau sih ada hewan semacam itu."
"Papa sih kerjaannya kerja terus. Jadinya kan kurang update." ejek Dena.
"Papa kerja kan buat kamu. Tuh! Liat. Jajan kamu aja udah kayak beli sepatu."
"Eh! Enggak ya, Pa. Nggak gitu konsepnya. Uang Papa tuh uang aku juga. Ngerti gak, Pa?"
Wira tersenyum kikuk. Yang ia tahu hanya kata-kata "uang suami uang istri juga"
Sang supir yang mengemudi hanya menahan tawa karena mendengar obrolan majikannya itu.
Setelah moment drama tadi, sini mereka dilanda moment mengharukan. Dena memeluk erat tubuh sang Papa. Rasanya tidak rela berpisah dengan Papanya. Beda dengan Wira. Pria yang masih berusia 38 itu juga berat melepaskan kepergian anak satu-satunya. Meski hanya sementara tapi rasanya begitu kentara.
"Jaga diri kamu baik-baik di sana ya? Nanti kalau ada apa-apa cepat kabari Papa." ujar Wira mendaratkan ciuman bertubi-tubi di kening dan pipinya.
"Papa juga jaga diri. Jangan lupa nanti telfon aku ya, Pa."
"Iya, pasti Papa telfon kamu kok."
"Gih! Pesawatnya udah mau lepas landas." ujar Wira.
"Bye, Papaku sayang."
"Dahhh, Sayangnya Papa." keduanya saling berdadah tangan.
Pesawat yang Dena tumpangi kini sudah lepas landas. Jarak antara kota Jakarta menuju pulau Kalimantan hanya memerlukan waktu sekitar 1 jam 40 menit. Lalu dari bandara menuju rumah Kakeknya harus menaiki taksi memakan waktu kurang lebih sekitar 5 jam.
Kini Dena telah sampai, ia berdiri tepat di depan rumah sederhana yang sangat ia kenali. Belum juga mengetuk pintu rumah, tiba-tiba pintu itu langsung terbuka. Dena tersenyum melihat pria paruh baya yaitu Kakeknya membukakan pintu untuknya.
"Cucu Kakek..." Dena melepaskan pegangannya dari kopernya lalu mendekati sang Kakek, memeluknya erat.
"Kakek apa kabar, Kek?" tanya Dena yang kini masih berada di dalam dekapan Kakeknya.
"Kabar Kakek baik, Cu. Kamu gimana? Sudah gede ya, cantik pula." puji Kakek membuat Dena tersenyum.
"Kakek juga tidak kalah tampan."
"Masa sih, Cu? Perasaan Kakek makin tua aja. Nih liat! Gigi Kakek aja terisa berapa biji."
"Hahahaa... mana ada gigi berbiji, Kek. Kakek nih ada-ada aja." celetuk Dena sambil tertawa.
"Eh! Eh. Masuk dulu. Sini! Kakek bawakan kopernya." ujar Kakek menyambar koper Dena.
"Gak usah, Kek. Biar Dena aja. Kakek udah tua takut nanti pinggangnya encok." canda Dena langsung mendapat timpukan di bokongnya.
"Aduhh! Kakek, cucu baru datang masa udah ditimpuk sih." rengek Dena.
"Kamu itu ya! Tidak berubah sama sekali. Dan Kakek menyukai itu... hahahaa..."
"Ayo, sini! Kakek antar kamu ke kamar kosong. Kemarin sudah Kakek bersihkan mengingat kamu mau datang."
"Kakek sering olahraga ya? Perasaan tubuh Kakek makin bugar deh. Kalah nih akunya yang masih muda."
"Makanya sering olahraga, Cu. Mentang-mentang orang kota tapi malas olahraga." ledek Kakek.
"Lahh... aslinya juga orang kampung, Kek." balas Dena tertawa. Benar juga. Papanya berasal dari kampung sedangkan Mamanya dulu juga berasal dari kampung sebelah cuman beda kecamatan saja. Lalu Papa dan Mamanya menikah, merantau ke luar kota dan berakhir dengan sukses.
"Istirahat dulu ya, Cu. Kamu pasti capek naik pesawat."
"Naik pesawat mah nggak capek, Kek. Yang capek itu naik taksi. Pinggangku pegel nih." adu Dena.
"Masih muda tapi pinggangnya udah encok. Nanti deh Kakek panggilin tukang pijit biar badan kamu enakan. Istirahat dulu ya? Kakek mau ke warung sebentar."
"Iya, Kek."
Dena tertidur. Gadis itu bangun tepat pada pukul lima sore. Lalu mengemaskan barang-barangnya, meletakkannya ke dalam lemari kayu.
"Cucu Kakek. Udah bangun belum nih?" tanya Kakek dari luar sana.
"Udah, Kek. Nih aku mau mandi." jawab Dena kemudian mengambil handuk di dalam kopernya lalu membawa baju ganti sekalian, keluar kamar menuju kamar mandi yang terletak di dekat dapur.
Tidak lama kemudian Dena keluar, gadis itu sudah memakai pakaian lengkapnya. Kepala masih terbungkus dengan handuk karena tadi ia keramas.
"Kamu lapar nggak? Kan habis pejalanan jauh. Mau Kakek masakin apa?" tanya Kakek yang saat itu baru masuk dari pintu belakang sambil membawa keranjang rotan berukuran kecil.
"Kakek abis dari mana? Bawa apa tuh?" tanya Dena kepo lalu mendekati sang Kakek.
"Kakek abis dari kebun. Nih, bawa sayur." Kakek menunjukkan isi keranjangnya.
"Wuih! Ini apa, Kek. Wortel ya? Tapi, kok warnanya putih. Perasaan Dena wortel itu warnanya jingga deh." celetuk Dena yang begitu penasaran langsung mengambil sayur itu. Membolak-balikkannya saking penasarannya.
"Ini namanya lobak. Eh! Eh, jangan dimakan, Cu!" Kakek langsung merebut lobak di tangan Dena karena gadis itu hampir memakannya.
"Ish! Kenapa, Kek? Dena tuh penasaran gimana rasanya."
"Jangan dimakan, Cu. Ini gak enak kalau dimakan mentah, beda lagi dengan wortel yang dimakan mentah tuh enak." jelas Kakek.
"Yahh... Dena kira, Kek." balas Dena murung.
"Mending kamu bantuin Kakek masak yuk! Sekalian belajar nanti jadi istri yang baik buat suaminya."
"Kakek! Jangan bahas istri-istrian, Dena gak suka." ujar Dena merengut.
Kakek hanya terkikik pelan. Hobi tersendiri baginya kalau sudah membuat cucu satu-satunya itu kesal.
"Nih! Bantu Kakek motongin bawangnya." Kakek meletakkan bawang merah dan bawang putih di atas talenan yang terbuat dari kayu, meletakkan pisau juga di sampingnya.
"Bawang, Kek?" Dena meringis. Gadis itu memang kurang ahli dalam urusan masak-memasak.
"Iya, bawang. Jangan bilang kalau cucu Kakek ini gak tau cara motong bawang?"
Dena hanya tersenyum menyengir. Menatap sang Kakek dengan raut wajah polosnya.
"Ampun, Cu, Cu. Umur kamu udah 16 tahun gitu masa gak tau sih. Kalah nih sama Kakek yang udah tua." ledek Kakek.
"Ya, mau gimana lagi, Kek. Namanya juga gak tau ya mau digimanain lagi?"
"Nih ya! Kakek ajarin kamu. Besok-besok udah harus pandai ya." Kakek dengan telaten mengajari Dena caranya memotong bawang dengan benar. Rupanya Dena begitu cepat tanggap. Walau hasil potongannya tidak teratur tapi tidak apa lah.
"Nah! Gitu caranya. Sekarang bantu Kakek motongin lobaknya trus ini kentangnya juga sekalian."
"Kulitnya dikupas dulu. Tipis-tipis aja ngupasnya."
"Gini ya, Kek?" ujar Dena memperagakan.
Kakek hanya mengangguk sambil memperhatikan sang cucu yang berkutat di dapur.
Malam pun menyapa, Dena dan sang Kakek sudah selesai makan hasil dari memasaknya tadi. Sekarang Dena dan Kakek sedang duduk di teras luar.
Angin malam yang menyapa membuat Dena mengeratkan selimut di tubuhnya. Memang menggelikan melihat Dena yang memakai selimut di teras luar.
"Besok Kakek ajak keliling desa mau?" tawar Kakek.
"Terserah Kakek aja. Dena ngikut." jawab Dena.
"Yaudah, masuk gih! Udah malam waktunya istirahat. Besok bangun pagi-pagi jangan lupa." titah Kakek.
"Dena masuk dulu ya, Kek? Kakek juga masuk, tidur. Jangan kelamaan di luar, dingin, Kek." ujar Dena lalu bangkit dari duduknya, masuk ke dalam.
Tepat pada pukul 05.50 Dena dibangunkan oleh sang Kakek. Segala macam cara sang Kakek membangunkan.
Dena berjalan malas menuju kamar mandi. Tidak terbayangkan oleh Dena kalau mandi di jam segini. Airnya dingin ditambah suasana yang dingin membuatnya mengeratkan gigi-giginya menggigil saat keluar dari kamar mandi.
Kakek yang melihat itu malah menertawakan sang cucu yang kedinginan.
Selesai sarapan, Kakek langsung mengajak Dena keluar berkeliling desa. Berkeliling di jam segini memang sangat cocok. Suasana adem, embun pagi pun masih terlihat di dedaunan. Matahari masih belum muncul namum sudah menampakkan fajar yang muncul di ufuk timur.
"Kamu masih ingat, Cu? Tempat ini yang selalu menjadi tempat kamu bermain dulu." ujar Kakek sambil menunjukkan tempat di pohon rindang, terdapat bebatuan besar di sana.
"Hehe, enggak, Kek." jawab Dena menyengir.
Mereka berkeliling sesekali menyapa penduduk desa di sana. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah delapan.
"Cu, Kakek mau ke sawah dulu. Kamu mau ikut?" tanya Kakek.
"Enggak deh, Kek. Nanti sore aja Dena ikut Kakek ke sawah. Dena mau keliling dulu di sini kayaknya seru." tolak Dena.
"Bener mau keliling sendirian? Memangnya nggak takut nanti tersesat?"
"Enggak lah, Kek. Dena gak pergi jauh-jauh kok. Di sekitaran sini aja. Palingan Dena mentok nanti di ujung perkebunan teh." jawab Dena.
"Yaudah. Kakek tinggal nih ya? Kalau nanti mau pulang trus lupa jalan pulang, kamu tanya aja penduduk sini. Bilang di mana rumah Kakek Hari, mereka pasti tau."
"Iya deh, Kek. Yang terkenal sekampung mah iya." jawab Dena malas memutar bola matanya sempurna.
Kakek hanya tertawa melihat sang cucu kesal. Benar kalau Kakek Hari itu sudah terkenal di desanya. Selain mempunyai perkebunan, Kakek Hari juga mempunyai lahan sawah yang sudah beberapa ia sewakan untuk petani-petani di desanya. Wajar kalau Kakek Hari cukup terkenal di desa itu. Kakek Hari juga terkenal akan kebaikan hatinya, ramah, tidak sombong.
Sekarang tinggal Dena berkeliling sendirian. Sesekali ia menyapa penduduk desa di sana. Penduduk desa yang sangat ramah, mereka bertanya tentang Dena dari mana asalnya. Dena dengan antusias menceritakan bahwa dirinya adalah cucu dari Kakek Hari.
Dalam waktu singkat Dena sudah banyak disukai oleh penduduk desa karena kehumorisannya yang begitu melekat. Belum lagi sikap-sikapnya yang sulit ditebak.
"Hai, Neng. Mau ke mana nih pagi-pagi sendirian." sapa seorang bapak-bapak.
"Lagi jalan-jalan pagi, Kang... biasa." jawab Dena ramah.
"Oalah. Okelah kalau begitu lanjut atuh, Neng."
"Iya, Kang."
Karena letih, Dena berhenti di bawah pohon mangga yang berbuah lebat itu. Kebetulan ada kursi kayu panjang di sana membuat Dena langsung terlena akan nikmatnya pemandangan desa. Suara-suara burung berkicauan bersahutan dengan suara kokokan ayam.
Duk
"Awwwsshh..." Dena meringis saat satu buah mangga berhasil mendarat di kepalanya. Gadis itu menggosok kepalanya tepat dibagian mangga tadi mendarat.
Gadis itu menunduk mengambil buah mangga yang jatuh mengenai kepalanya tadi.
"Sue banget ah! Pagi-pagi bukannya ketiban uang eh malah ketiban mangga. Nasib, nasib!" gerutu gadis itu kesal.
"Tapi, mayan lah buat di makan. Kayaknya enak nih. Eh! Eh. Tapi, ada gak ya orangnya?" Dena menoleh ke belakang yang ia yakini adalah rumah pemilik pohon mangga itu.
"Kayaknya nggak ada deh. Tuh, pintunya aja ketutup. Gak pa-pa deh nimpuk di kepala." ujarnya tersenyum dengan buah mangga di tangannya.
Srakk srakkk
Dena mengernyitkan dahinya bingung. Dia melirik ke atas, tapi, tidak ada orangnya. Sekali lagi suara itu terdengar ke telinganya bedanya itu seperti suara dahan yang mau patah. Apakah mungkin?
Dena langsung menyingkirkan. Namun, baru beberapa langkah ia bergerak, benda itu langsung menimpanya.
Gadis itu memejamkan matanya erat. Bukan sakit yang ia dapat malahan seperti empuk. Lama kelamaan karena penasaran akhirnya gadis itu membuka matanya. Seketika bola matanya langsung melebar saat melihat benda yang menimpa tubuhnya itu.
"Yakkkkk...!!! Apa-apaan!!!" teriak Dena langsung mendorong pemuda itu. Ia langsung berdiri mengibas-ngibaskan bajunya yang kotor.
Yang didorong otomatis terjungkal ke belakang. Tubuhnya mendarat empuk di pohon mangga. Ia langsung meringis pelan.
"Siapa lo, hah!!!?" teriak Dena sambil berkacak pinggang. Menatap horor ke arah pemuda yang baru saja menimpanya tadi.
"Lo yang siapa main dorong-dorong orang sembarangan." balasnya lalu berdiri.
"Idih! Lo tuh yang udah nimpa badan gue. Eh, malah nyolot lagi lo!"
"Ya, sorry. Dahan pohon mangganya licin jadi gue kepleset." ujarnya meminta maaf.
"Lo... Lo nyolong mangga ya?!" selidik Dena menatap intens pemuda itu.
Tampak pemuda itu gelagapan. "A-apa? Gue cuma minta aja." kilahnya.
"Bohong! Beneran lo udah ijin sama yang punya mangga?"
Pemuda itu menggeleng. Kemudian ia tersentak kaget saat Dena tiba-tiba menepuk keras tangannya.
"Nah! Lo maling mangga kan. Hayo lho, ngaku gak lo!" ujar Dena menunjuk pemuda itu. Jari telunjuknya langsung ditangkap.
"Syutt... bisa diem gak sih? Jangan keras-keras ntar ketauan."
"Gue tuh orangnya gak bisa bohong. Jadi, gimana dong?" pancing Dena.
"Ya, gak usah bohong lah. Intinya lo jangan ngasih tau ke siapa-siapa. Nih! Balasannya gue bagi deh mangga yang tadi barusan gue petik. Kita bagi rata, gimana?" tawarnya.
Dena menggeleng sambil bersedekap da da. Saat mereka tengah berdiskusi tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang sana.
"Hey! Maling mangga gue, sini lo pada!"
Dena dan pemuda itu saling pandang.
"Gue gak maling ya. Lo tuh yang maling." Dena menunjuk ke arah pemuda itu yang membawa mangga, menyimpannya di ujung baju kaosnya.
Pemuda itu langsung mengambil beberapa mangga yang ia simpan di bajunya lalu memberikan paksa ke tengan Dena membuat gadis itu melotot seketika.
"Pak, nih! Dia juga maling mangga Bapak!" teriaknya pada bapak-bapak yang berjalan ke arah mereka.
"Wah! Wah... Lo tuh... curang banget. Intinya gue gak maling mangga ya." balas Dena yang mulai kesal.
"Mana mau maling ngaku. Tuh! Buktinya dia pegang mangga bapak." tubuhnya lagi.
"Kamu lagi kamu lagi. Sudah saya bilang berapa kali, jangan suka maling mangga saya. Lihat! Sekarang kamu bawa partner cewek."
"Ya, maaf, Pak. Soalnya mangga bapak tuh enak, manis lagi makanya saya suka nyolong." balasnya terlalu jujur.
"What!! Jadi... Lo udah sering maling mangga di sini?" Dena dengan setengah berbisik.
"Iya. Kenapa?" tanya balik pemuda itu.
"Saya sudah capek menghukum kamu beberapa kali. Sekarang hukumannya saya beratkan."
"Waduh! Pak, Pak. Saya gak salah loh, Pak. Dia yang maling mangga bapak, bukan saya. Saya cuman difitnah, Pak. Yakali cewek secakep ini maling mangga orang." gadis itu kalang kabut dibuatnya. Belum juga seharian ia berada di kampung Kakeknya, eh sudah ada kejadian seperti ini.
"Saya tidak mau tau. Sekarang istri saya lagi mengidam." ujar bapak itu yang melenceng sedikit dari topik pembicaraan.
"Lahh... hubungannya maling mangga sama istri bapak ngidam itu apa, Pak?" protes pemuda itu heran.
"Ya, ada hubungannya. Istri saya sekarang ingin makan belut sawah. Jadi, hukumannya sekarang adalah, kalian carikan belut sawah untuk istri saya."
"What!!" teriak Dena frustasi.
"Kalian mau saya hukum seperti itu atau mau saya laporin ke pak rt, bisa jadi saya tuntut kalian karena telah mencuri." balas si bapak enteng.
"Wah! Wah. Ini gak adil namanya, Pak. Saya di sini juga difitnah, saya tuh nggak maling mangga bapak loh."
"Itu buktinya. Pokoknya saya tidak mau tau. Sekarang juga kalian carikan belut sawah untuk istri saya." si bapak berlalu begitu saja meninggalkan dua manusia yang tengah memikirkan nasib mereka.
"Lo sih! Jadi gini kan. Gue yang gak tau apa-apa eh malah ikut keseret. Apes bener dah!" gerutu Dena mendengus.
"Nasi udah jadi bubur. Mending kita cari belutnya sekarang juga. Keburu panas nih hari."
"Oh, ya. Nama lo siapa? Nama gue Fairel, panggil aja Arel." lanjutnya lagi sambil mengulurkan tangannya.
"Dena." jawab gadis itu menjabat tangannya.
.
.
.
mmmmhhh 😂
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!