"Kamu gimana sih? Berhati-hati sedikit bisa tidak? Kenapa selalu saja ceroboh begitu?" Seorang lelaki yang saat ini berdiri sedikit kesal pada wanita muda yang berjongkok memunguti pecahan kaca yang tidak sengaja ia jatuhkan.
"Maaf, Mas. Aku tidak sengaja," ujar wanita itu sedikit gugup.
"Sudahlah, Mas. Untuk apa marah-marah begitu? Lagian Fitri kan sudah bilang kalau dia tidak sengaja." Seorang wanita yang tengah berbaring di atas tempat tidur dengan wajah lemah dan pucat berusaha untuk membela.
Fitri Maharani, wanita muda berumur 22 tahun yang terjebak perjodohan bersama lelaki dewasa yang sudah memasuki kepala tiga, Hendri Fransisko. Tidak hanya itu, lelaki yang kerap dipanggil dengan nama Hendri itu pun bahkan sudah menikah dan masih memiliki seorang istri, istrinya tidak lain adalah wanita yang kini terbaring lemah karena kanker rahim yang ia derita. Perjodohan itu pun dilakukan oleh istrinya, Dinda Yunita bersama dengan ibu kandung Fitri sendiri.
"Sayang, bukan begitu. Jika aku tidak Sedikit tegas padanya, dia akan terus mengulangi kesalahannya, bagaimana jika suatu saat lebih parah dari ini dan sampai melukaimu?" Hendri masih mengerutkan alis tak terima akan kecerobohan istri keduanya itu. Terlebih dia sendiri pun tak menyukai Fitri, jika bukan karena permintaan istrinya, dia juga tidak ingin menikahi wanita yang usianya terbilang begitu muda.
"Tidak apa, Mbak. Mas Hendri benar, aku yang terlalu ceroboh, maaf sekali lagi." Fitri tampak berdiri dengan menunduk, tidak berani menatap suaminya yang kini sedang menatap marah padanya.
"Fitri, maafkan Mas Hendri ya," ujar Dinda dengan suara khasnya yang lemah dan juga lembut.
"Tidak apa-apa. Mbak tidak perlu meminta maaf, kalau begitu aku keluar dulu, maaf sudah mengganggu istirahat Mbak Dinda." Usai mengatakan hal itu, Fitri buru-buru meninggalkan kamar tersebut dengan langkahnya yang secepat kilat.
Usai berlalunya Fitri, Hendri menghela napas panjang dan kembali duduk di samping istrinya.
"Mas, kamu tidak seharusnya bersikap seperti itu pada Fitri, walau bagaimana pun dia juga istrimu yang harus kau jaga perasaannya." Dinda kembali menasehati suaminya.
"Maaf, aku kelepasan lagi. Aku hanya tidak ingin kau sampai terluka karena kecerobohannya." Bisa dilihat dari sorot mata Hendri bahwa ia sangat mencintai Dinda hingga lupa akan tugasnya sebagai seorang suami yang adil.
"Pergilah, minta maaf padanya. Aku tidak ingin Fitri terluka terlalu lama karena sikapmu barusan." Dinda selalu berusaha untuk memersatukan suaminya pada wanita yang ia pilihkan, ia hanya berharap, kelak jika ia sudah tidak lagi mampu memberikan apa yang Hendri butuhkan, setidaknya masih ada Fitri yang mampu memenuhinya.
Dengan lemah Fitri berjalan masuk ke dapur untuk membuangi pecahan kaca yang ia bersihkan tadi, ia menatap rumah besar itu dan mengamatinya.
"Rumah sebesar ini, sebenarnya untuk apa aku tinggal di sini? Setiap hari hanya bisa melakukan kesalahan dan membuat tuan rumah murka, aku benar-benar merasa hidupku tidak berguna untuk orang lain." Fitri menjatuhkan kepalanya di atas meja, merasa begitu lemah dan tak berdaya.
Tak lama kemudian, tampak Hendri dari kejauhan menyusul Fitri yang duduk di meja makan, ia pun duduk tepat di hadapan istri keduanya itu.
Fitri seketika merasa sedikit canggung dengan keberadaan Hendri di hadapannya, sedikit lama mereka tenggelam pada kebisuan hingga pada akhirnya Hendri berkata, "Maaf."
"Hah?" Ia tak mengerti kenapa lelaki itu tiba-tiba meminta maaf.
"Aku minta maaf karena sikapku barusan, seharusnya tidak menyalahkanmu." Hendri kembali melanjutkan.
Fitri pun tersenyum kecut. "Tidak apa, tidak perlu meminta maaf, itu memang kesalahanku."
"Apa kau masih marah?"
"Hah? Tidak." Fitri segera menggeleng.
"Untuk apa aku marah? Lagian aku mengerti kenapa Mas bersikap seperti itu, aku baik-baik saja, tidak perlu merasa bersalah."
Tentu saja Fitri mengerti kenapa Hendri tiba-tiba datang meminta maaf, itu pasti atas permintaan Dinda, Hendri tidak pernah bisa menolak apapun yang diinginkan oleh istri pertamanya itu.
Prank!!
Tiba-tiba saja terdengar suara pecahan dari arah kamar Dinda, Hendri segera berdiri dan berlari memanggil nama istrinya dengan wajah panik, membuat Fitri sedikit iri akan kepedulian semacam itu yang tak Pernah ia dapatkan.
"Kapan sejak terakhir kali aku mendapatkan kepedulian dan perhatian seperti itu dari orang tuaku?" celetuknya dalam keadaan melamun memandangi punggung Hendri yang berlari kencang.
"Ck, bahkan sepertinya tidak pernah," lanjutnya lagi.
"Fitri!"
Terdengar namanya dipanggil oleh Hendri dengan nada yang tak biasa, itu nada yang menandakan bahwa suaminya benar-benar sedang panik. Langsung saja ia berlari menyusul untuk melihat apa yang terjadi.
Setelah tiba di depan kamar, ia melihat Hendri sedang memangku Dinda dengan wajah yang tak mampu ia gambarkan, lelaki itu seakan benar-benar ketakutan akan kehilangan.
"Mbak Dinda kenapa, Mas?" Fitri langsung bertanya.
"Kamu jaga Dinda di sini, aku akan kembali setelah menyiapkan mobil." Hendri melepaskan pangkuannya perlahan dan meninggalkan dua wanita itu di kamar.
Lima menit kemudian, Hendri kembali datang dan berlari menggendong Dinda keluar, sudah dipastikan pria itu ingin membawa istrinya ke rumah sakit.
"Kankernya semakin mengganas, kami tidak bisa berbuat banyak, ikhlaskan kepergiannya ya, Pak," ujar dokter dengan nada prihatin.
"Maksudnya apa, Dokter? Bisa tidak jangan bicara setengah-setengah." Bahkan dokter pun sanggup ia bentak ketika berhadapan dengan keselamatan istrinya.
"Istri Anda sudah tidak ada, Pak," kata dokter memperjelas.
Seakan dunia akan runtuh seketika mendengar hal itu, Hendri tak mampu lagi menopang tubuhnya hingga berdiri sempoyongan, Fitri yang berusaha untuk membantu, malah ikut terjatuh karena berat badan Hendri yang tak mampu ditopang oleh tubuh kecil Fitri.
"Innalillahi Wa inna Ilaihi Roji'un," gumam Fitri bersamaan dengan detak jantungnya yang berpacu dengan cepat.
Terlihat tatapan mata Hendri yang begitu hampa, ia bahkan tak mampu mendengar apa pun lagi.
"Ikhlaskan kepergian Mbak Dinda, Mas. Sudah takdir Tuhan seperti ini, kita tidak bisa mengelak." Fitri berusaha mengelus pundak suaminya untuk menenangkan.
Tak lama pundak Hendri dirasa bergetar oleh Fitri. Ya, lelaki yang tampak begitu kokoh ini pun akhirnya melepaskan rasa sakitnya dengan tangisan yang begitu pilu, itu kali pertama bagi Fitri melihat seorang lelaki menangis tepat di hadapannya. Betapa ia sangat mencintai istrinya itu.
"*Mereka adalah pasangan yang saling melengkapi, kenapa kau pisahkan mereka secepat ini, Tuhan*?" Ada rasa iba di hati Fitri melihat kepedihan Hendri saat ini, ia menyaksikan sendiri bagaimana Hendri memperlakukan Dinda dengan sangat hati-hati tanpa ada kesalahan, ia rawat dan ia jaga segenap jiwa raganya, tak kenal lelah sepulang dari bekerja, ia selalu menghampiri istrinya demi menanyakan apa yang Dinda inginkan, sungguh seorang wanita akan sangat beruntung jika jatuh di tangan lelaki yang tepat, ia akan menjadi ratu satu-satunya yang paling bahagia.
Dinda dikebumikan hari itu juga, banyak kerabat, teman, dan tetangga yang ikut melayat ke rumah mengucapkan bela sungkawa pada Hendri, sementara Hendri hanya bisa terdiam seribu bahasa tak menanggapi, hanya Fitri yang terus meladeni orang-orang yang datang.
Sehari sejak kepergian Dinda, Hendri masih saja meratap sepi di kamarnya, berbicara pun sangat jarang.
"Mas, waktunya makan siang, aku letakkan di sini atau mau kusuapi?" ujar Fitri sambil membawa satu nampan berisi sepiring nasi dan segelas air.
"Letakkan saja di sana," jawab Hendri dengan malas.
"Tidak, aku akan menyuapimu langsung." Fitri duduk di samping dan bersiap dengan sendok di tangannya.
"Letakkan saja di sana, aku tidak ingin makan."
Seketika Fitri menghela napas dengan kasar dan menatap lekat ke arah Hendri. "Mau sampai kapan? Sampai kapan kamu ingin seperti ini, Mas? Sampai kumis tipismu itu memutih baru kamu akan sadar, Mas? Mbak Dinda udah tenang, kamu jangan menyiksanya lagi dengan bersikap seperti ini, dengan mogok makan apa kamu pikir Mbak Dinda akan kembali? Sadar, Mas. Kita semua hanya manusia biasa yang sewaktu-waktu juga akan mengalami kematian, kamu pikir dengan kamu seperti ini akan mati dan akan menyusul Mbak Dinda di sana? Itupun juga harus melihat amalmu dulu, bagaimana jika Mbak Dinda di surga dan kamu di neraka, bukankah sama saja? Berharap bisa bertemu malah disiksa oleh malaikat, buka mata lebar-lebar sebelum memutuskan sesuatu." Akhirnya Fitri sampai pada puncak kekesalannya, semua ia lontarkan tanpa rasa takut sedikit pun.
Hendri terus menatapnya tanpa berkedip, mendengar celotehannya dan tiba-tiba mengerutkan alis. "Kamu sedang membicarakan apa?"
"Terserah, jika mau jadi orang gila, jangan ngajak-ngajak aku." Fitri meletakkan piring di atas meja lalu pergi begitu saja.
Hendri mengangkat alisnya menatap bingung ke arah perginya Fitri, ia pun meraih piring itu dan menyuap dirinya sendiri tanpa mengalihkan pandangan ke arah pintu, seakan menjadi dungu setelah mendapat celotehan dari Fitri, baru kali ini ia seakan diomeli oleh orang tua, padahal usianya terpaut jauh lebih diatas Fitri.
"Aku diajari oleh bocah?" gumamnya, lalu tersenyum kecut menghabiskan makanan yang diberikan oleh Fitri tadi.
Tak lama setelah menghabiskan makanannya, Hendri keluar dan berpapasan dengan Fitri di depan pintu.
"Mas Hen, mau ke mana?" tanyanya.
"Cari angin," jawabnya singkat tanpa menoleh, terus saja berjalan menuju ke mobilnya.
"Makanannya sudah habis belum?" Fitri kembali berteriak, tapi tidak digubris oleh Hendri, membuat wanita kecil itu berlari menyusulnya.
"Kenapa kau masuk?" Hendri mengerutkan alisnya ketika Fitri tiba-tiba saja masuk ke mobil.
"Mau ikut," jawab Fitri dengan polosnya.
Kerutan kening Hendri tampak semakin dalam karena tak habis pikir melihat tingkah wanita yang dianggapnya bocah itu. Tanpa pikir panjang ia menancap gas membelah jalan dengan kecepatan tinggi, berharap wanita di sebelahnya itu akan ketakutan, tapi usahanya nihil, tidak ada reaksi apapun dari Fitri, bahkan wanita itu tampaknya begitu senang.
"Ck." Hendri mencebikkan bibirnya merasa dipertemukan dengan wanita aneh.
"Bundaa ... Engkaulah muara kasih dan sayang!"
"Apa pun pasti kau lakukan!"
"Untuk anakmu yang kau sayang!" Fitri terus bersenandung dengan teriakan yang keras menyanyikan lagu dari penyanyi Erie Suzan, membuat kuping Hendri seakan ingin pecah mendengarnya, buru-buru ia memasang earphone di telinga agar terhindar dari suara nyaring yang tak jelas dari Fitri.
Melihat Hendri merasa terganggu, Fitri tertawa cekikikan, setidaknya dengan ia melakukan hal itu, sedikit bisa menutupi rasa sedih dari pria yang baru ditinggal mati oleh istri tercintanya. Masa bodoh dengan penilaian Hendri terhadapnya, asal bisa berguna sedikit untuk orang lain, ia sama sekali tak memikirkan pencitraan dirinya sendiri.
Mobil Hendri akhirnya berhenti di sebuah restoran, yang tak lain adalah restoran miliknya.
"Kamu mau bekerja? Bukankah tadi bilang cuma mau cari angin?" Fitri tampak kebingungan. Hendri sama sekali tak menjawab pertanyaannya, membuat Fitri sendiri mau tak mau mengikuti langkah kaki pria itu.
"Selamat siang Pak Hendri." Semua karyawannya menyapa dengan kalimat yang sama, tapi tidak ada satu pun dari mereka mendapat balasan sapa dari Hendri. Sementara Fitri seperti orang dungu yang terus menunduk mengikuti ke mana perginya pria itu.
Setelah berjalan cukup jauh, mereka akhirnya tiba di atap gedung.
"Hah ... lelahnya. Kenapa jauh sekali?" Fitri menyeka keringat di dahinya.
Hendri tak menghiraukannya, terus saja berjalan dan memanjat ke atas menikmati pemandangan kota.
Fitri pun tak tinggal diam, tidak ada yang tak bisa ia lakukan, bahkan memanjat adalah hal gampang baginya.
"Cukup bringas, benar-benar tidak takut apapun." Hendri hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah Fitri.
"Wah, ternyata sangat indah." Fitri tampak tertawa lepas dengan semilir angin yang menerpa tubuhnya.
"Tuhan! Beri aku bahagia!" teriaknya sekeras mungkin, lagi-lagi membuat alis Hendri tertaut mendengar teriakannya.
"Dasar bocah," gumamnya sembari melepaskan pandangan ke daratan lepas yang penuh akan bangunan tersebut.
setelah puas berteriak, Fitri pun mendekati Hendri, duduk bersebelahan tanpa rasa canggung. "Kenapa Mas Hen diam saja?" tanyanya.
"Aku datang memang dari awal tidak berniat untuk berteriak."
"Kenapa? Apa salahnya jika berteriak? Percayalah, itu akan membuatmu jauh lebih baik."
"Tidak, terimakasih," jawab Hendri datar.
Fitri pun manggut-manggut mengerti, walau bagaimanapun, tidak mungkin lelaki dingin seperti Hendri bisa satu selera dengannya.
Beberapa menit dalam diam, akhirnya Hendri bersuara dan berkata, "Apa yang membuatmu menerima perjodohan ini?"
Deg!
Seketika jantung Fitri berdetak kencang mendengar pertanyaan itu. Benar juga, apa yang membuatnya bisa menerima perjodohan itu?
"Kalau kamu sendiri, Mas. Kenapa terima begitu saja dan mau menikahiku?" Fitri balik bertanya.
"Itu permintaan istriku, bagaimana caraku menolaknya?"
"Sesederhana itu?"
"Jika tidak? Apa kamu pikir aku akan menikahi bocah bau kencur yang tak sesuai denganku?"
"Bocah bau kencur? Jadi seperti itu aku di matanya?" batin Fitri sembari dengan cepat mengalihkan wajah, perkataan Hendri cukup membuat matanya berembun.
"Tiba-tiba saja tak enak badan, aku pulang duluan ya." Tanpa ingin menatap suaminya, ia berlalu begitu saja dengan menahan rasa sesak di dada, setelah melewati satu tangga, di sanalah tangisnya benar-benar pecah tak tertahankan, kenapa lagi-lagi ia tetap saja tak berguna di mata orang lain?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!