NovelToon NovelToon

Menemukan Hatiku Yang Hilang

Bab 1 Pertemuan Aditia dan Inayah

Assalamu'alaikum, 🙂🙂 jangan lupa tinggalkan komentarnya, ya, kak. Terimakasih.🙏🙏🙏

...****************...

"Aku mencintaimu, Inayah. Kau telah menjadi sumber kekuatan dan dukungan bagiku. Aku bahagia bila kau bersedia menjadi bagian tulang rusukku."

"Tidak mungkin. Kita tidak mungkin bisa bersama," kata Inayah.

"Apa maksudmu, Inayah?" tanya Aditia dan Inayah menatapnya.

"Maafkan aku. Aku tidak bisa menjelaskannya."

...****************...

Aditya yang sedang menatap birunya laut yang terbentang luas di hadapannya tidak sengaja seseorang menabraknya yang membuat Aditia terkejut.

"Nona, kau tidak apa-apa?" Kata Aditia yang mengulurkan tangannya pada gadis berkerudung warna pink itu untuk membantunya berdiri.

Melihat tangan pria itu terulur, inayah segera mengabaikan, lalu berdiri sendiri.

"Iya, Aku baik saja. Dan maaf sudah menabrak anda," kata Inayah dengan suara yang terdengar begitu lembut ditelinga Aditia.

Suara lembut itu seakan mengingatkan Aditia pada seseorang akan tetapi siapa? Siapa wanita itu? Ketika akan kembali menyapa, gadis berkerudung itu sudah menghilang di depannya.

"Kemana dia?" gumam Aditia melihat sekitarnya dan tidak melihat siapa-siapa.

"Apa aku berhalusinasi?" Pikirnya. "Tapi, mana mungkin?" Pikir Aditia lagi. "Tidak mungkin."

Aditia melihat bekas jatuh Inayah dan menemukan bros milik Inayah di atas pasir, lalu memungutnya. Cukup lama Aditia menatap bros hijab warna silver itu.

"Pasti ini milik gadis tadi." Aditia tersenyum menggenggam bros milik Inayah.

Lalu, Aditia melangkah meninggalkan tempat tersebut menuju hotel tempatnya menginap.

Ketika Aditia melangkahkan kakinya beberapa langkah dari tempat sebelumnya, Aditia kembali melihat gadis berkerudung pink sebelumnya. Aditia mengejarnya Sampai merasa engap.

Inayah melihat sosok lelaki sebelumnya yang ditabrak olehnya cukup bingung. Mengapa lelaki itu mengejarnya?

"Hei!" sapa Aditia sambil mengatur napasnya. Aditia menatap Inayah.

"Hei, juga," kata Inayah yang cukup bingung. "Tuan, aku ... sudah ... minta maaf seb ...." kata Inayah terpotong dengan tangan Aditia yang terangkat.

Aditia melihat tangannya yang terangkat, lalu menurunkannya, kemudian tersenyum.

"Kenalkan. Aku Aditia," ucapnya sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

Aditia menatap tangannya yang tidak dibalas oleh gadis tersebut.

Malah gadis itu tersenyum ramah padanya sambil tangannya ia katup di depan dada dan berkata, "Aku, Inayah Sita Renata Abdullah Panggil saja Inayah," kata Inayah dengan ramah.

"Mengapa kau tidak ingin berjabat tangan denganku?"

"Maaf. Bukan aku tidak sopan. Akan tetapi, kita bukan mahram," papar inayah dengan berhati-hati.

"Tetapi, ada banyak gadis sepertimu berjabat tangan dengan pria di luar sana, " ucap Aditia terlihat santai mengeluarkan pendapatnya.

Inayah tersenyum ramah. "Anda benar. Tetapi, aku bukan mereka. Aku punya prinsip tersendiri."

"Benar juga." kekeh Aditia. "Boleh kamu jelaskan padaku, apa itu mahram?"

"Apa aku harus menjelaskan,

ya?" tanya balik inayah cukup merasa jenaka.

"Iya ... kalau kamu tidak keberatan," kata Aditia terlihat lugu.

Sebenarnya, Inayah cukup bingung dengan pria di depannya. Inayah merasa lucu saja. Hingga pada akhirnya, Inayah pun memilih tempat yang cukup nyaman dan tentu ramai pengunjung agar tidak terjadi fitnah di antara mereka. Bukan Inayah sok alim. Akan tetapi, Inayah hanya mengikuti adab yang diajarkan oleh kedua orang tuanya.

Inayah pun mulai menjelaskan dan berkata, "Mahram yaitu semua orang yang haram untuk dinikahi karena sebab keturunan, persusuan, dan pernikahan," jelas Inayah secara singkat. "Maka dari itu, kita tidak boleh bersentuhan dan aku bisa bersentuhan dengan mahram-ku."

"Lantas, kapan Aku bisa berjabat tangan denganmu?" tanya Aditia begitu serius.

Inayah menutup wajahnya dan tertawa. Namun, suara tawanya tidak sampai terdengar oleh Aditia. Jujur dalam hati, Inayah tidak tahu mengapa ia tampak seperti seorang guru menjelaskan pada muridnya.

"Ketika kamu sudah menikah dengan gadis itu, maka kamu bisa menyentuhnya. karena dia sudah termasuk mahram-mu," Jawab Inayah dengan sabar. Berharap pria di depannya sudah paham.

'Menikah' Kata itu seperti Aditia pernah mendengarnya. Namun, kembali Aditia bingung dari siapa bahasa itu di dengar olehnya?

"Jadi, aku bisa menikah denganmu?"

"Iya, kalau kita jodoh," papar Inayah merasa lucu sendiri bertemu seorang pria seperti Aditia.

"Iya. Benar juga." Senyum Aditia yang menatap Inayah. "Lantas kapan kita akan berjodoh?"

Inayah kembali merasa lucu. juga merasa bingung. Namun, dengan sabar kembali Inayah menjelaskan.

"Jodoh tidak ada yang pernah tahu. Namun menurut yang aku pernah baca dalam ajaran agamaku bahwa seseorang merupakan jodohmu jika tiba-tiba pintu rezekimu terbuka ketika bertemu dengan dia. Allah SWT memberikan rezeki yang lebar agar keduanya dapat membangun keluarga. Hal ini menandai bahwa jika berjodoh segala urusan akan dimudahkan oleh Allah SWT. Itu tertulis dalam firman Allah QS An-Nahl ayat 72.

Aditia mengangguk dan kembali mematung seperti sebelumnya. Ketika hendak kembali menyahut, Malah gadis itu sudah menghilang di dekatnya.

"Kemana dia? Kok hilang lagi?" Aditia kembali mencari sosok gadis yang membuat seperti telah menemukan hatinya yang hilang.

Aditia beranjak dari tempat duduknya mencari keberadaan gadis berkerudung warna pink sebelumnya. Tidak sengaja, mata Aditia melihat gadis yang dicari olehnya telah masuk ke dalam mobil. Aditia mendekat, lalu mengetuk pintu mobil Inayah.

spontan, Inayah begitu terkejut. Inayah tidak percaya pria tersebut mengikutinya. Inayah pun menurunkan kaca mobilnya.

"Apa pernah kita bertemu sebelumnya?" Tanya Aditia lagi untuk menuntaskan rasa penasarannya sambil menatap Inayah tanpa berkedip sedikit pun.

Inayah kembali bingung dibuat oleh pria berkaos putih tersebut dengan pertanyaan baru dari pria tak dikenalnya. Lalu, Inayah menjawab, "Ham ..., Sepertinya tidak."

"Tapi, kenapa aku seperti pernah mendengar suaramu? Cara bicaramu pun seperti pernah aku dengar. Bahkan penjelasan tadi, aku seperti pernah mendengarnya."

"Ham ... tetapi, aku tidak mengenal anda. Bahkan aku belum pernah melihat anda sama sekali. Dan ini pertama kali kita bertemu," jawab Inayah berdoa dalam hati agar pria tersebut membiarkannya berlalu.

"Atau mungkin kau gadis yang pernah ada dalam bayanganku?" lanjut Aditia masih posisi yang sama.

"Apa?!" pekik Inayah merasa lucu. "Maaf, sungguh kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Saya juga baru beberapa hari di kota ini. Maaf sekali lagi, saya harus pergi. Permisi."

"Tunggu!" Cegah Aditia. "Maukah kau jadi temanku?"

Kembali Inayah merasa lucu. Tiba-tiba seorang pria aneh yang mengajaknya berteman. Bahkan pria tersebut mengira pernah bertemu dengannya.

'lucu bukan? Mimpi apa Aku semalam? Ya Allah, Astagfirullah.'

"Halo ... kau mau jadi temanku?" tanya Aditia lagi mengulang perkataannya.

Belum sempat Inayah menjawab, seorang pria berjas rapi menghampiri mereka.

"Tuan muda, Anda disini? Kami mencari tuan muda di pantai. Tenyata Tuan Muda disini," kata lelaki tersebut. "Sebaiknya kita kembali, Tuan. Tuan perlu banyak istirahat," ucapnya dengan menundukkan sedikit kepalanya di hadapan Aditia.

"Teo, aku sedang berbicara dengan gadis ini. Apa aku pernah melihat dia sebelumnya?"

Teo berbalik melihat Inayah yang sedang duduk di dalam mobilnya. Lalu, tersenyum.

"Maaf nona, Tuan saya amnesia. Dari segi pakaian memang anda terlihat mirip dengan seseorang," ucap Teo dengan ramah.

Inayah mengangguk-angguk dan berkata, "Tidak apa-apa," ucap Inayah mengerti situasi. Kini Inayah baru paham dengan pria di depannya yang sedari tadi memegang pintu mobilnya.

"Teo, Apa kau dengar suaranya? Sepertinya, aku mengenalnya," kata Aditia tersenyum melihat Inayah.

"Nona, sekali lagi saya mewakili, Kami minta maaf. Senyum tuan muda baru terlihat semenjak dia kehilangan memorinya setelah bertemu dengan anda. Sekali lagi, maafkan tuanku."

"Tidak apa-apa. Aku memakluminya," kata Inayah lagi.

"Teo, Apa kau sadar? Kau sudah lancang berbicara dengannya," kata Aditia seperti kembali sifat arogannya.

"Tuan, Maafkan saya," kata Teo.

Inayah tersenyum merasa lucu menyaksikan antara majikan dan bawahannya.

"Maaf. Sekali lagi, saya harus pergi." Inayah pamit.

"Inayah, kita bisa jadi teman?" Kata Aditia lagi yang melihat Inayah mulai menyalakan mesin mobilnya.

Inayah tersenyum dan mengangguk. "Kalau begitu aku pamit. Mohon jangan menghentikan Aku," ujar Inayah.

"Aku berharap suatu hari nanti, kita bertemu kembali dan bisa menjadi teman."

Sebelum mereka berpisah, Inayah berkata, "Kedua orang tuamu bisa kamu jadikan teman. Kamu pasti setuju jika orang tua adalah anugerah terbesar yang dimiliki oleh setiap anak di dunia. Mereka yang memberikan kita kasih sayang dan cinta yang tulus, mereka juga dengan sabar menuntun kita dari mulai belajar merangkak, berjalan, hingga dapat berlari dengan kencang. Orang tua pun rela bangun tengah malam bahkan tidak tidur sama sekali demi menenangkan kita yang menangis sepanjang malam." Jelas Inayah panjang lebar.

"Cintai dan sayangi kedua orang tuamu," Imbuh Inayah.

Aditia pun mengangguk dan melepaskan kepergian Inayah. Wajah itu tersenyum melihat kepergian Inayah.

Setelah Inayah sudah tidak terlihat olehnya, Aditia pun menuju hotel.

Aditia terus mencoba mengingat masa lalunya. Akan tetapi, tiap dirinya mencoba mengingatnya hanya merasa kesakitan di bagian kepala.

"Tuan, sebaiknya anda istirahat sebelum kita melanjutkan perjalanan. Tuan besar dan nyonya sudah menunggu sejak tadi kedatangan tuan muda."

"Teo, katakan padaku, apa yang kau tahu tentang diriku?"

"Maaf tuan. Saya orang baru bekerja dengan tuan. Jadi, saya tidak tahu apa-apa tentang tuan sebelumnya."

"Apa benar yang kau katakan? Kau tidak menyembunyikan sesuatu dariku?" Tanya Aditia memastikan.

"Benar tuan," Kata Teo. Lalu, memberikan obat yang selama ini Aditia konsumsi.

Aditia merasa ada kebahagiaan dalam dirinya setelah pertemuannya dengan Inayah. Entah mengapa ia merindukan pertemuan itu kembali.

***

Sepanjang perjalanan, Inayah tersenyum sendiri mengingat pertemuannya dengan Aditia. Ia juga seperti pernah mendengar nama itu.

"Amnesia?" gumam Inayah. "Apa maksudnya suaraku mirip dengan seseorang? "

Inayah yakin, jika suara yang mirip dengannya adalah gadis spesial bagi Aditia. Inayah cukup penasaran dengan Aditia. Mengapa seorang Aditia bisa kehilangan memorinya?

"Kasihan. Sangat disayangkan." gumam Inayah. Astaghfirullah. Inayah sadar. jika dirinya memuji dalam hati ketampanan pria sebelumnya.

Inayah pun mendapat telepon. Ia berhenti sejenak di pinggir jalan, lalu menjawab telepon dari ibunya.

"Wa'alaikum salam, ibu." Jawab Inayah. "Iya, ibu. Inayah sudah dijalan. Sedikit lagi Inayah akan sampai. Ini Inayah dijalan ibu, Inayah tutup ya ... teleponnya. Assalamu'alaikum," ucap Inayah mengakhiri teleponnya.

Inayah kembali melajukan mobilnya berharap sampai dirumahnya sebelum magrib.

Setiba di rumah, Inayah memberi salam dan tampak tergambar wajahnya begitu ceria.

"Orang dari jalan sore lagi ceria, nih? Masya Allah. Tambah cantik kalau ceria seperti ini." Goda kakaknya yang bernama Raka.

"Ah, kakak! Gak bisa lihat orang senang, ya? Bahagia dong! Alhamdulillah, akhirnya aku bisa kembali menikmati tanah kelahiran-ku setelah beberapa tahun menuntut ilmu di negri orang," imbuh Inayah penuh kegembiraan.

Inayah pamit masuk dalam kamarnya dan kembali teringat dengan pria yang tidak sengaja bertemu dengannya. Inayah cukup penasaran dengan pria yang ditemuinya dan dinyatakan amnesia.

"Mengapa ia bisa kehilangan memorinya?" pikir Inayah.

Bab 2 Kembali kerumah

Kedatangan Aditia disambut hangat oleh keluarga. Sepuluh bulan setelah kejadian itu, Aditia kembali ke kota asalnya dengan keadaan yang berbeda.

"Kak Adit!" Pekik Alina melihat kakaknya di depan mata dalam keadaan baik secara fisik. "Aku Alina, adik kakak, kakak ingat aku, 'kan?"

Aditia hanya mematung. Ia hanya mengangguk walau sebenarnya ia tidak ingat. Ada rasa kecewa dalam dirinya, karena tidak bisa mengingat seperti apa keluarganya.

"Nak, sebaiknya kamu istirahat dulu. Jangan dipaksakan untuk mengingat." Kata Ibu Hanum pada putranya dengan lembut.

"Ibu, apa sebelumya aku pernah bersama seorang gadis?" tanya Aditia pada ibunya.

Ibu Hanum tercengang mendengar pertanyaan putranya.

"Ibu, tadi aku bertemu seorang gadis berkerudung dengan suara yang begitu lembut. Ketika aku bertanya, dia menjawab dengan sabar setiap pertanyaan yang aku lontarkan padanya. Entah mengapa suaranya, serta gaya bahasanya, seperti mirip dengan seseorang," papar Aditia yang mengingat kembali pertemuannya dengan Inayah.

"Nak, suatu hari nanti kau akan tahu," ucap Ibu Hanum, lalu menoleh ke arah Teo. "Teo antar Aditia ke kamarnya."

Aditia pun menurut. Selepas kepergian Aditia, Ibu Hanum langsung mendudukkan tubuhnya di sofa.

Ibu Hanum ingat bagaimana dulu Aditia begitu arogan, pembangkang. Bahkan putranya dulu keluar masuk di klabing semenjak Aditia gagal menikah dengan Marina. Berbalikan dengan sekarang, Aditia tampak begitu sangat lugu.Hingga tidak tampak seperti Aditia yang dulu.

Sebagai seorang ibu ingin selalu dekat dengan putranya yang selalu mendengar nasehatnya. Dan itu sekarang sudah terjadi. Aditia mendengarkannya. Namun, Tentu Ibu Hanum tidak ingin melihat putranya terpuruk seperti sekarang.

Alina memegang bahu ibunya. Kemudian menyapa wanita paruh baya tersebut. "Ibu?"

"Ibu tidak sanggup melihat kakakmu seperti itu. Bukan hanya daya ingatannya yang hilang. Mental kakakmu pun ikut terganggu," tangis ibu Hanum dalam pelukan putrinya, Alina.

"Saat semua orang menghinanya atau merendahkannya bahkan menjauhinya, karena keadaannya yang sekarang, tapi aku sebagai ibumu tidak pernah menjauh atau pun malu untuk tetap bersamamu, nak." lirih ibu Hanum.

Ibu Hanum menoleh pada suaminya yang sedari tadi diam.

"Mengapa ayah diam? Ini semua karena dirimu. Andai dulu kau merestui Amira dan Aditia, ini semua tidak akan terjadi!" Tunjuk ibu Hanum pada suaminya. "Tidak Marina kau tolak, Amira pun dulu kau tolak."

"Amira itu memang tidak pantas untuk Aditia. Seorang janda miskin hanya mencoreng nama baik kita," jelasnya. "Apa lagi Marina yang jelas-jelas hamil tanpa sepengetahuan Aditia."

"Dari dulu kau seperti itu! Egomu begitu tinggi! Kau selalu menentang hubungan anakmu dengan gadis pilihannya. Lihatlah anakmu seperti ini!"

"Aku menentang mereka karena aku punya alasan," geram Tuan Subari pada istrinya.

Ada rasa sesal dalam dirinya. Namun, terlalu gengsi untuk mengakui kesalahannya. Tuan Subari ingat bagaimana dulu Aditia, putranya.

***

Esok harinya Aditia meminta Teo membawanya untuk jalan pagi di sebuah taman yang cukup populer oleh warga setempat di kota tersebut.

Namun, tak disangka olehnya Aditia kembali bertemu dengan Inayah.

"Inayah?" Sapa Aditia dengan wajahnya yang berseri melihat Inayah berdiri di belakangnya.

Inayah melihat sekitarnya. Inayah mencari Teo yang sering bersama Aditia. "Kak Adit ngapain di sini?"

"Aku selalu mengingatmu. Hatiku tersiksa tidak bertemu denganmu. Aku seperti terpanggil untuk kemari."

"Kak Adit duduk ya? Kita ngobrol di sana." Inara mengajak Aditia duduk di sebuah kursi panjang. tentu ramai pengunjung.

Berlalu lalang orang-orang di sana menikmati minggu pagi yang cerah. Aditia tidak lepas menatap Inayah.

"Apa kau tahu, Inayah. Aku benar-benar seperti menemukan hatiku yang hilang. Aku merasa nyaman bersamamu. Aku ingin banyak belajar hal darimu." Aditia tersenyum menatap Inayah yang pandangannya lurus ke depan.

"Kak Adit, ibumu adalah sosok yang selalu menjadi contoh bagi anak-anaknya, entah itu anak laki-laki ataupun perempuan. Sebenarnya anak adalah cerminan dari orang tua, lantas sosok ibu adalah tempat madrasah pertama untuk seorang anak. Dia yang mengajarkan kita banyak hal, mendidik kita dengan sabar hingga kita tumbuh menjadi manusia berakhlak," papar Inayah.

"Jangan biarkan ibumu bersedih. Cintai dan hormati dia. Dan ayahmu adalah merupakan kepala madrasah. Ia yang mencari nafkah untuk keluarganya," lanjut Inayah. "Tak ada orang tua yang membenci anaknya. Jika pun mereka marah, itu hanya sebatas sampai di mulutnya."

Langit tiba-tiba mulai gelap membuat Inayah sedikit cemas, sementara Aditia terlihat girang. Tak lama kemudian hujan mulai rintik. Namun, Aditia memilih diam di sana.

"Ayo kak! kita harus mencari tempat berteduh. Kakak akan sakit, jika main hujan."

"Apa kau tahu, Inayah. Aku sangat suka hujan. Hujan ini mengingatkan aku dimasa kecil. Ibu memarahiku sama sepertimu. DIa takut jikalau aku sampai sakit." terang Aditia.

Aditia pun akhirnya mengikuti Inayah untuk mencari tempat berteduh. Ia membuka jaketnya untuk dijadikan payung bersama Inayah hingga mereka menemukan tempat yang pas untuk dijadikan tempat berteduh. Tak hanya mereka berdua di sana. Ada banyak pengunjung lain berteduh di tempat yang sama.

Aditia melihat Inayah kedinginan segera ia memberikan jaketnya. Namun, sebelumnya jaket itu ia keringkan dengan sarung tangan miliknya.

"Kak Adit aja yang pakai. Aku tidak kedinginan," tolak Inayah.

"Apa benar kamu tidak kedinginan? Lalu, kenapa kamu terlihat menggigil."

Inayah pun tersenyum mendengar perkataan Aditia. Mereka saling menertawakan membuat Aditia merasakan ada kebahagiaan tersendiri dalam dirinya.

Karena mendapat panggilan Inayah pun berbalik pada Aditia. "Apa Teo ada bersamamu?"

"Iya. Dia di parkiran." jelas Aditia.

"Kalau begitu aku mengantarkan-mu ke sana."

"Benarkah?" tanya Aditia.

"Iya. Ayo!" kata Inayah.

sebenarnya inayah sadar. ini adalah salah. Mengingat Aditia pria yang terganggu mentalnya, Inayah tidak mungkin membiarkan anak orang akan kehujanan.

"Hanya Kau yang tahu niat hamba." batin Inayah.

Karena hujan sudah redah Inayah dan Aditia pun berjalan menuju parkiran. Karena daya ingatan Aditia melambat akibat kecelakaan beberapa bulan lalu, membuat Aditia lupa mobilnya.

"Mana mobilmu?" Tanya inayah.

"Aku tidak tahu," jawab Aditia bingung.

"Lalu, apa kau punya ponsel?"

"Ponsel?" kata Aditia.

"Ia. Ponsel untuk menelpon. Aku akan menghubungi Teo." Inayah melihat Aditia seperti kebingungan.

"Kau ingin menghubungi Teo untuk apa?" tanya Aditia lagi.

"Dengan menghubungi Teo. Kita akan tahu posisi mobilmu terparkir. Jadi, dimana ponselmu? Biar aku yang menghubunginya." Inayah menatap Aditia.

"Ambillah di saku celanaku." Kata Aditia tanpa pikir panjang.

"Kak Adit punya tangan, kan? Jadi minuman dan makanan ini biar aku pegang dulu. Dan kak Adit ambil ponselnya," pinta Inayah.

"Kenapa bukan kamu saja yang ambilkan?" tanya Aditia lagi.

"Astaghfirullah, kak Adit! Tahu gak. Kalau aku yang ambil itu tidak sopan. Apa lagi aku dan kak Adit bukan siapa-siapa. Dan apa kata orang nanti. Masa cewek merogoh kantong Cowok."

"Karena bukan mahram, ya....? Kalau begitu jadikan aku mahram-mu saja. Kita menikah saja biar bisa terus jalan berdua. Beres, kan?" kata Aditia mengira pernikahan begitu mudah.

"Astagfirullah, kak Adit. Pernikahan itu tidak semudah yang kak Adit bayangkan. Pernikahan itu merupakan  ibadah yang mulia dan suci. Untuk itu, menikah tidak boleh dilakukan secara sembarangan karena ini merupakan bentuk  ibadah terpanjang dan selayaknya dapat dijaga hingga maut memisahkan. Pernikahan sejatinya bukan hanya menyatukan dua insan untuk membangun biduk rumah tangga saja. Akan tetapi bagaimana kedua keluarga belah pihak juga bisa saling menyatu.

"Kalau begitu aku akan memberi tahu kedua orang tuaku untuk menyatukan kita."

Inayah hanya tertawa mendengar papar Aditia. Menganggap perkataan Aditia itu hanya bagian lelucon.

Hingga akhirnya Inayah memutuskan untuk mengantar Aditia pulang. Menunggu Aditia mengambil ponselnya itu terlalu lama. Yang ada Aditia akan semakin panjang lebar ngawur-nya.

Untungnya Aditia ingat jalan pulang menuju rumahnya. Hingga memudahkan Inayah menemukan tempat tinggal Aditia.

Bab 3 Mengantar Aditia

Teo pulang tanpa tuan mudanya membuat ibu Hanum, ibu Aditia sedikit cemas. Bagaimana bisa Teo pulang tanpa putranya.

Teo hanya terdiam mendengar ibu bosnya memarahinya. "Bagaimana bisa kamu pulang tanpa membawa Aditia, Teo. Bagaimana?"

"Maafkan saya nyonya. Saya akui, saya salah. Tapi, saya sudah mencari semua tempat. Kupikir tuan muda sudah pulang."

Ibu Hanum melihat Teo dan berkata, "Apa kamu lupa, Teo? Tuan muda-mu itu amnesia. Dan kau juga tahu, bukan? Jika, mental tuan muda-mu juga terganggu. Tahu, kan?"

Teo tertunduk. "Iya, nyonya."

"Oh, Tuhan. Kemana anakku?" Ibu Hanum kembali cemas. Ia hanya bisa meratap.

Alina yang baru pulang dari kampus menemukan ibunya menangis. "Kak, Teo. Ada apa ini?"

"Pagi tadi tuan muda memintaku membawanya ke taman kota. Namun, aku tidak menemukan tuan muda di sana. Jadi, ku-putuskan untuk pulang. Aku tidak tahu, jika ternyata tuan muda belum sampai di rumah. Maafkan saya, nona muda."

Alina ikut kaget mendengar penuturan Sekretaris pribadi kakaknya. Lalu, ia duduk di samping ibunya dan memeluknya. "Ibu, Alina yakin. Kakak akan pulang dan baik-baik saja. Ok."

"Bagaimana kamu yakin, nak? Kamu tahu kakakmu yang sekarang. Keadaannya tidak seperti yang dulu. Bagaimana jika terjadi sesuatu. Ibu tidak akan pernah bisa bayangkan," ucap ibu Hanum dalam tangisnya.

"Ibu menyesal tidak ikut dengannya tadi pagi. Harusnya ibu tidak membiarkannya pergi hanya berdua dengan Teo." Sesal Ibu Hanum.

Alina semakin mengusap punggung ibunya. "Ibu, ibu tidak salah. Aku Yakin, kakak akan baik-baik saja."

Dibalik ucapannya. Alina sangat cemas. Ia juga berfikir sama dengan ibunya. Namun, ia mencoba tenang untuk tidak membuat ibunya tambah khawatir.

"Kak, pulanglah. Kau dimana?" Batin Alina.

Sementara, Aditia terus bercerita seputar masa kecilnya pada Inayah yang sedang mengantarnya.

"Kak Adit sudah sampai," kata Inayah.

Aditia melihat rumahnya. "Apa kamu tidak ikut masuk bertemu calon ibu mertuamu?"

"Lain kali ya, kak. Aku singgah. Ibu pasti mencemaskan aku."

"Inayah, terimakasih kau sudah membuat hari-hariku terasa hidup," tutur Aditia.

Inayah tersenyum, "ambilah ini kak. Dan pelajari itu. Semoga buku itu membawa ketenangan hati untukmu setelah mengamalkannya dan semoga kau menemukan kembali ingatanmu," Kata Inayah memberikan buku panduan shalat buat Aditia.

Sementara, ibu Hanum dan lainnya mendengar ada suara mobil di depan rumahnya. Segera mereka keluar melihat siapa yang datang.

Ibu Hanum begitu bahagia, ketika melihat Aditia turun dari mobil bersama seorang gadis berkerudung. Ibu Hanum pun menghampiri mereka dan langsung memeluk putranya.

"Nak, kau baik-baik saja, 'kan?" ibu Hanum memeriksa seluruh tubuh putranya.

"Ibu, aku baik. Lihatlah siapa gadis di depanmu! Dia gadis yang aku ceritakan padamu. Cantik, bukan?"

Ibu Hanum menatap Inayah yang terlihat sedikit malu dan juga terlihat sungkan. "Kamu Inayah?"

Inayah tersenyum. "Betul tante. Saya Inayah. Maaf saya sudah membuat Anda khawatir. Tadi kupikir saya mengantar dia pulang, karena saat di tempat parkir ia tidak mengenali mobilnya."

"Terimakasih. Maafkan Aditia telah merepotkan dirimu. Mentalnya serta daya ingatnya memang terganggu dan ...."

"Aku tahu. Dan aku mengerti kondisinya," ucap Inayah.

"Hai, kenalkan aku Alina. Aku adik kak Aditia. Terimakasih, Inayah. Kau sudah menghibur kakakku," kata Alina memperkenalkan dirinya.

"Sama-sama. Kebetulan saja aku bertemu dengannya di taman kota," jelas Inayah.

Ibu Hanum terus menatap inayah yang begitu lembut dan sopan. "Pantas saja Aditia mengatakan Inayah mirip dengan seseorang. Memang ia mirip. Apa yang di katakan Aditia benar. Hanya wajah yang berbeda," batin Ibu Hanum.

"Maaf, saya harus pulang." pamit Inayah.

Melihat orang berkumpul di depan rumahnya. Tuan Subari pun mendekat dan melihat Inayah. Ibu Hanum sedikit cemas melihat kedatangan suaminya. Ia tahu betul bagaimana sifat suaminya. Ia tidak mudah menerima setiap gadis yang dekat dengan putranya. Ada saja kekurangan menurutnya.

"Turunkan ego-mu, ayah. Biarkan Aditia memilih dan menentukan hidupnya. Cukup penderitaan putraku selama ini," bisik ibu Hanum pada suaminya.

Inayah melihat tatapan ayah Aditia. ia sedikit ragu untuk pamit dengannya.

"Inayah tunggu!" Aditia menghampiri Inayah yang sudah membuka pintu mobilnya.

"Bisakah aku meminta no ponselmu? Jangan menolak-ku, Inayah."

"Sini ponselnya." kata Inayah melebarkan telapak tangannya.

Aditia pun meletakkan ponselnya di atas telapak tangan Inayah sambil terus menatap Inayah yang sedang mengetik nomornya di sana.

"Sudah." Inayah membuyarkan Aditia.

"Terimakasih, Inayah. Aku akan menghubungimu."

"Boleh. tapi, jangan menghubungiku diwaktu shalat."

"Tenang saja. Aku akan menunggu dan menelpon di waktu senggang. Aku akan hafal waktumu yang kosong.

Inayah terkekeh mendengar perkataan Aditia yang menurutnya lucu.

"Inayah, bolehkah aku mengatakan sesuatu?"

"Kak, nanti ya ... Kita ngobrol lagi. Saya harus pergi. Jadi, perkataan kak, Adit simpan saja dulu disini," kata Inayah menunjuk bibir dan dadanya sendiri.

"Inayah, tapi ini penting.

Inayah pun kembali memberi kode pada Aditia untuk mengancing bibirnya. Lalu, Inayah pun masuk dalam mobilnya. Sebelum pergi, Inayah meninggalkan senyum tulus buat Aditia sebagai tanda ia pamit yang membuat Aditia menatap terus mobil Inayah sampai tak terlihat lagi dari pandangannya.

Ibu Hanum pun memegang bahu putranya. Ia melihat sebuah buku ditangan putranya "Apa yang kamu pegang?"

Aditia buyar dalam diamnya dan berbalik melihat ibunya. Ia teringat kembali perkataan Inayah saat di taman Kota. 'Jangan biarkan ibumu bersedih. Cintai dan hormati dia. Dan ayahmu adalah merupakan kepala madrasah. Ia yang mencari nafkah untuk keluarganya. Tidak ada orang tua yang membenci anaknya sendiri, jika pun ada itu bukan membenci tapi Khilaf. Jika pun mereka marah, itu hanya sebatas sampai di mulutnya'.

"Ibu maafkan aku, Jika di masa laluku sering membuatmu sedih dan cemas." tutur Aditia.

Ibu Hanum memeluk putranya dan berkata, "ibu memaafkanmu. Kamu tidak ada salah, nak. Kami yang salah," Kata ibu Hanum, lalu kembali melihat putranya dan mengulang pertanyaannya. "Buku apa ini?"

"Ini diberikan Inayah. Katanya aku harus mempelajarinya. Buku ini bisa membuat hati tenang dan damai jika diamalkan."

Ibu Hanum pun membaca sampul buku tersebut 'Panduan Shalat'." Oh Tuhan apakah ini petunjuk? Apakah ujian yang yang kau berikan pada putraku merupakan sebuah hidayah untuk menjadikan kami manusia yang lebih baik? Sudah berapa lama aku tidak bersujud Pada-Mu."

Ibu Hanum membatin. Lalu, mereka pun masuk dalam rumah. tuan Subari tampak terlihat wajahnya penuh kesedihan dan penyesalan.

Di dalam kamarnya Aditia terus menatap buku yang diberikan oleh Inayah. Lalu, buku itu ia peluk dan di ciumnya. "Aku mencintaimu, Inayah."

Lalu, ia mengambil ponselnya dan hendak mengetik sesuatu. Namun sebelum mengetik ia melihat jam. "Baru jam 11.00."

Aditia pun mengetik di sana 'Inayah, apa kamu sudah sampai di rumah? Kamu tahu aku selalu memikirkan-mu' SEND. pesan pun ia kirim setelah usai ia ketik. Lalu, ia beranjak dari tempatnya masuk kamar mandi untuk membersihkan badannya yang berkeringat di cuaca yang cukup sejuk.

***

Inayah yang baru usai membersihkan diri duduk di depan meja riasnya. Ia sibuk dengan segala peralatannya di sana. Lalu, membuka handuk yang membungkus kepalanya, kemudian meraih hair drayer.

Ketika akan mengambil hair drayer, ia melihat ponselnya menyala. Inayah pun berdiri dan melihat pesan dari nomor baru. 'Inayah, apa kamu sudah sampai di rumah? Kamu tahu aku selalu memikirkan-mu'.

Inayah menebak, jika pesan itu pasti dari Aditia. Inayah pun menyimpan nomor Aditia dengan menulis nama kontak Aditia 'Kak Adit'

Lalu, ia membalas pesan Aditia 'Ia. Alhamdulillah Aku sudah sampai'.

Cukup itu ia tulis tidak panjang lebar. Ia sadar bahwa Aditia bukanlah siapa-siapa. Sebagai manusia biasa walau ia tahu bahwa Aditia bukan mahramnya dan harus membatasi diri bergaul, namun hati dan perasaan tidak bisa ia bohongi jika makhluk tuhannya itu sudah mencuri hatinya sedikit demi sedikit.

"Ya ... Rabbi. Ampuni aku yang mencintai sebelum ada ikatan pernikahan. Aku sudah melampaui batas. Namun, hatiku tak bisa ku-bohongi jika dia telah mencuri hatiku. Jika, dia jodohku, jadikan ia imam yang baik kelak nanti.

Inayah meletakkan ponselnya. Begitu ia akan berdiri kembali pesan dari Aditia masuk. Inayah kembali membuka pesan dan membacanya. 'Aku akan belajar menjadi imam yang baik untukmu. Setelah aku cukup mampu, aku akan datang berhadapan dengan kedua orang tuamu'.

Inayah tersenyum dan merasa terhibur dengan Kata-kata Aditia. Dan kembali berfikir maksud isi pesan Aditia. Inayah seakan terjebak dalam cinta pria amnesia.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!