Hari ini, aku jatuh cinta.
Lebih cinta dari kemarin-kemarin.
Iya, kuakui, sukmaku sakit keras akibat perlakuan sosok yang satu itu.
Pagi ini,
Mataku terjebak di kelokan tubuh sintal memikat.
Balutan rok berbahan mengilat ketat membentuk pinggul dan paha.
Blus yang wanita itu kenakan terlihat mahal dan eksklusif.
Dan parfumnya, mungkin itulah wangi surga.
Setidaknya aku tidak sendirian.
Kulihat dari sudut mata ini kaum adam di sekitarku juga terpana melihat makhluk Tuhan berbaju hitam itu.
Kaki jenjangnya melenggang ringan dengan telapak runcing membentur lantai granit.
Bunyi Tak, Tok, Tak, Tok berkali-kali.
Sampai pening rasanya kepala ini mendengarnya.
Ujung stilettonya yang mengundang gairah.
Pikiran kami tidak bisa dikendalikan.
Mesum, vulgar, birahi, feromon, apalah namanya.
Kami berharap ujung sepatunya di atas dada kami, menekan dan mengintimidasi.
Khas Wanita dominan yang memimpin di atas...
“Danar,”
Panggilan itu langsung membuyarkanku. Pikiranku langsung kosong, tapi tubuhku tegang.
Herannya, mulutku bicara sendiri. “Ya Non?” begitu bunyinya.
“Kamu sudah pasang lampu kristal yang kemarin datang kan?” tanyanya dengan nada suara tak sabar.
Lalu aku pun semakin tegang, kali ini jantungku berdetak cepat.
Sebentar lagi alunan melodi yang sejak tadi kurindukan akan menyerangku
.
“Hem, sudah Non. Tapi...” aku tidak melanjutkan penjelasanku.
Rasanya tenggorokanku langsung kering.
“Tapi apa?”
Tuhan, suara itu lembut sedikit serak.
Kenapa Kau ciptakan bunyi yang seindah itu?
Kenapa aku senantiasa terhipnotis?
Aku mungkin bisa saja dengan kepatuhan yang tak masuk akal masuk ke jurang kalau suara itu merayuku untuk menurut!
Bagaimana caranya agar sosok ini mengeluarkan alunan dayu sesering mungkin?
Aku ingin dengar lagi nadanya.
“Maaf Non, saya mematahkan satu...”
“Kamu patahkan?!" Ia memotong kalimatku. Tapi, Sumpah! Aku tidak keberatan.
"Danar!! Saya nggak salah dengar kan?! Itu harganya ratusan juta!! Mau saya potong THP kamu juga nggak bakalan cukup!!”
Ah...
Ini dia!
Berterima kasihlah para laki-laki durjana di ruangan ini, kepadaku.
Kupersembahkan irama indah bersahut-sahutan, memaki diriku dengan hina seakan aku keset di depan pintu yang becek basah oleh hujan dan menciprat paha mulusnya.
Aku mau senyum pun harus aku tahan mati-matian karena sedang dibentak.
Tak pantas rasanya, salah-salah aku disangka orang gila kalau menarik kedua sudut bibirku.
Padahal, rasanya aku memang tak waras.
Kuperhatikan beberapa di depanku, alias di belakang Bidadari ini, para pria menyeringai menikmati pemandangan aku diomeli.
Di sampingku juga banyak penonton yang menyunggingkan senyum memperhatikan Sang dewi marah padaku.
Aku yakin di belakangku juga banyak hadirin yang mengamati cara Sri Ratu menyumpah serapah padaku.
Nasib jadi bawahan.
Aku tidak sakit hati, tidak.
Entah sejak kapan fetish ini muncul, aku senang mendengar Boss ku berteriak padaku.
Di lain waktu, aku pun mulai merasakan getaran aneh menjalari tubuhku.
Aku tahu rasa ini,
Candu dunia, nikmat dunia, neraka dunia, rasa dunia, dosa dunia, racun dunia, apalah namanya.
Aku hanya kenal satu kata.
Cinta.
Dan... bukan hanya dunia yang terlibat di dalamnya.
“Jangan galak-galak dong, Non. Saya kan tidak sengaja...”
Itu yang kuucapkan secara reflek.
Agak kasar dan terkesan cuek.
Ya, topengku yang sengaja kubuat khusus untuknya.
Jutek, tidak peduli, acuh dan acuh, tapi selalu ada di setiap kesempatan.
Tanpa ia tahu kalau otakku bermasalah saat berada di dekatnya.
Ya kuharap, ia tidak tahu...
“Tidak sengaja bagaimana?! Gampang banget kamu ngomong itu! Saya sudah bilang berapa kali untuk hati-hati! Itu setiap satu buahnya impor dari Africa!!” ia mulai berteriak.
Wah wah...
Nyanyian putri duyung saat di dalam air mungkin tidak seindah ini.
Simfoni piano mungkin tidak berdentang sememikat ini, Alunan hujan mungkin berderai tidak semenarik ini.
Sebentar lagi aku tak bisa memegang kendali atas tubuhku.
Pikiranku mulai berkelana.
Jadi, untuk saat ini, mohon maaf aku akan sudahi pertunjukan.
Karena semakin harmonis rasa ini, semakin rindu tercuat ke permukaan.
“Non, meetingnya 10 menit lagi. Nona harus blow rambut kan?” aku mengingatkannya.
“Haish!! Beneran kamu ini bikin saya repot! Perbaiki bagaimanapun caranya! Selesai meeting semua harus beres!!” teriaknya emosi sambil berjalan membawa tubuhnya ke arah lfit.
Aku menatapnya dalam sendu. Kedua tanganku bertengger di pinggangku.
Sang Maharani pun masuk ke dalam Lift bersama stiletto si provokator.
Benda hitam itu seakan mengejekku bagai berujar : pasti kamu membayangkan jadi diriku, diinjak-injak namun disayang.
Gila!
Mulutku mendesis sebal.
Perkenalkan, Namaku Danar Sanjaya, aku supir pribadi sekaligus Asisten si Penoreh Panah Cinta di hatiku.
Nona Dias Hardiyata.
Nona bukan julukan, bukan jabatan, bukan posisi hierarki, bukan panggilan. Nona adalah benar-benar namanya yang tertera di akte kelahiran.
Hari ini aku ditugaskan olehnya mengambil paket super duper penting berlogo barang pecah belah impor dari Afrika, kata Nona.
Paket itu sampai di Jakarta pagi hari, sehingga, sayang sekali, aku tidak mengantarnya berangkat bekerja.
Setelah tiba di Jakarta, paket itu segera kami pasang di langit-langit ruangan kantornya.
Lampu kristal yang beratnya 10kg.
Tampak berkilau indah, saat terkena pancaran sinar mentari semburat pelanginya menghantam dinding menjadikan siluetnya terpercik mempesona.
Tapi tidak secantik binar mata Nona.
Semahal apa pun kristal yang datang, wanita bermulut sepedas ular berbisa itu tetap terlihat lebih berkilau.
Ah! Hina sekali aku!
Kurang ajar!
Masa aku menyamakan Sang Aphrodite dengan seonggok kristal?! Murah sekali...
Bahkan berlian saja tidak bisa diumpamakan!
Tidak ada yang sebanding...
Kecuali...
Tidak! Tidak ada yang sebanding.
Ciptaan Tuhan yang satu ini paling sempurna untukku.
Kita kembali ke kejadian pasang lampu,
Saat lampu itu terpasang di atas, kami baru menyadari kalau ada pecahan di dasar kotaknya.
Aku bagian menyekrup plafon, jadi sebenarnya bukan salahku.
Tapi, aku begitu merindukannya.
Kami tidak bertemu pagi ini, aku disibukkan oleh masalah lampu kristal.
Si Cantik ke kantor bersama kakaknya.
Dan selesai memasang lampu, aku menyambutnya di lobi.
Saking rindunya aku mengaku kalau aku yang memecahkan lampu kristal.
Agar apa?
Agar urusanku dengannya semakin banyak.
Kalau perlu urusanku dengannya menumpuk setinggi Gunung Everest. Dengan begitu dia akan mengingatku selalu.
Dan lampu itu tergantung di ruangan kantornya, sesuatu yang harus ia datangi setiap hari. Dengan begitu, saat menatap lampu itu, ia akan ingat padaku.
Gila?
Begitulah...
“Danar!! Kamu mau naik tangga ke lantai 35 atau bagaimana, Hah!?” terdengar teriakannya di ujung ruangan, tepatnya di dalam lift.
Nah, kan! Aku malah lupa kalau harus mengikutinya masuk ruangan untuk memperbaiki lampu.
“Ya, Non,” sahutku sambil mempercepat langkahku dan masuk ke lift.
“Berlutut,”
“Eh?”
“Saya bilang, berlutut,”
“Berlutut, Non?”
“Nggak dengar? Saya harus teriak?”
“Nggak usah teriak Non,”
Duhai Gusti, Tuhan semesta alam,
Apa yang terjadi? Kenapa aku di posisi terdesak seperti ini?
Walaupun aku sering membayangkan agar mimpiku di malam hari kunjung menjadi kenyataan,
agar siksaan halusinasiku menghilang laksana debu karena dunia realitas lebih menyenangkan,
agar bayangan abadiku dikala senggang bisa kuanggap sungguhan,
tapi rasanya kejadian yang saat ini terjadi tidak nyata!
Karena,
Dominasi dari Nona Dias kenapa sangat sesuai dengan keinginanku?!
Tahu kan maksudku?
Dalam fana, kita tidak selalu mendapatkan yang kita inginkan. Tuhan akan memberikan yang kita butuhkan, tapi manusia senantiasa gelap mata akan nafsu dan akhirnya malah menghujat Tuhan yang bermaksud sangat baik bagi ciptaanNya.
Namun,
Nona bertingkah sesuai yang kuinginkan. Tidak bisa kupercaya tapi tak bisa juga kuindahkan. Terlalu sayang untukku tak acuh.
Aku pun memenuhi perintahnya. Aku membenturkan lututku ke lantai batu.
Tidak terasa sakit, tapi dingin langsung menyerang kakiku.
Aku tidak protes, kukatakan di awal, kalau ia minta aku masuk jurang aku akan lakukan, ia menyuruhku membakar diri, akan kulakukan. Malah akan kusiramkan bensin ke tubuhku sendiri.
Di mataku, terasa kabur, sosoknya berjalan mendekat.
Dengan pakaian yang belum pernah kulihat, seksi dan liar. Bahan spandex dan kulit mengilat, jelita dan sempurna untuk menyiksaku.
Kurasakan jemarinya menelusuri daguku, lalu mengangkat kepalaku sedikit.
Dan suara indahnya yang sedikit parau berbisik padaku,
“Kamu tahu tidak, salah kamu apa?”
Aku tak bisa menjawab. Rasanya sih semua yang aku lakukan selama ini salah semua. “Banyak ya Non?” tanyaku.
“Ya jelas, lah!” serunya sambil menepis wajahku dengan kasar. “Kamu harus dihukum,”
“Eh? Dihukum Non?!”
Serius ini?
Sang Maha Pencipta, apakah aku tak salah dengar?!
Aku dapat hukuman apa? Aku sudah bersih-bersih, mobil sudah kucuci, bantex sudah kuletakkan di ruangannya, baju sudah ku laundry. Apa ada yang ketinggalan? Rasanya tak ada lagi yang tertinggal.
Kalau memang aku pantas dihukum akan kulakukan dengan ikhlas asal jangan sesuatu yang menyiksaku seperti dirimu menghilang seharian, atau kamu pergi tiba-tiba, atau kamu tak ada di sampingku lebih dari sehari. Semua sama saja ya. Intinya aku tidak bisa kalau jauh dari kamu.
Lalu di depan mataku, Si anggun perlahan membungkuk, lalu menurunkan kain segitiga tipis dari balik rok mininya.
Astaga!
Kali ini aku membeku. Rasanya pikiranku tidak pada tempatnya.
“N-N-Non?” aku ragu ini kenyataan.
Bahkan kalau mimpi aku akan sangat bersyukur atas anugerahMu, Tuhan.
Kau memberiku visual tak ternilai yang mudah-mudahan saat aku bangun aku tidak Kau berikan lupa.
Nona melempar kain tipis itu ke samping sembarangan dan mendekat ke arahku, jarak kami hanya sejengkal saat ini..
Lalu menjambak rambutku dengan kencang, kepalaku langsung mendongak ke arahnya.
Aku Pasrah.
Sekaligus senang.
Kuharap ia memakiku dengan kata-kata kotor, atau menyiletku sekalian kalau kesalahanku dianggapnya sudah keterlaluan.
“Puaskan aku,” begitu katanya.
Heh? Aku tak salah dengar kan?!
“Non?” gumamku ragu.
Sosok indah ini perlahan mengangkat roknya.
Dan ...
“Danar?”
Dan...
“Danar Woyy!!!”
Aku pun membuka mataku.
Dug! Dug! Dug!
Suara bergema di sebelah telinga kiriku.
“Danar!! Buka pintunya! Hujan nih! Ah elah gimana sih!!” suara itu menjerit, asalnya dari luar mobil.
“Eh?” Aku menoleh ke samping. Kulihat Nona ada di luar sana, basah kuyub dengan tetesan air hujan membasahi rambut dan pakaiannya.
Ya ampun aku ketiduran! Mana mobil diparkir di halaman depan pula.
Aku pun memencet tombol kunci dan Nona masuk terburu-buru.
“Kamu ngapain aja sih?! Saya miskol berkali-kali!! Akhirnya saya cari mobil ke sekeliling parkiran dan hujan turun! Ketiduran udah kayak mati!!” seru si Kirana Hatiku marah-marah sambil memukul-mukul lenganku dengan kesal.
“Sori Non,” gumamku
Lalu tiba-tiba aku merasakan keanehan di pakaianku, sesuatu yang risih dan lembab.
Mataku reflek menunduk ke bawah, dan kusadari kalau...
Astaga Ya Tuhanku... Aku baru saja mimpi basah.
"Saya hampir saja telepon taksi online kalau kamu nggak ketemu! Saya carcall juga nggak dijawab! Kenapa nggak parkir di basement, Hah?! Kalau kamu masuk kan petugas parkir gampang lacaknya!!” serunya kesal. Bergema di telingaku suara indahnya, memakiku sesuka hatinya.
Nada yang mendayu berirama bagaikan simfoni khayangan. Menggelitik gendangku bagai syair tak berdawai.
Nikmat rasanya kudengar, kalau saja aku tidak repot mencari bantal untuk menutupi noda kekhilafanku yang terpatri di depan celana chino coklatku!
Ah! Itu dia bantal laknat itu, kucari-cari ternyata di jok belakang.
Jadi secepat kilat kusambar benda empuk itu dan kuletakkan di pangkuanku. Sementara Nonaku masih ngomel-ngomel kalau ia ada janji meeting lagi dengan klien berikutnya, dan dia tak bisa pergi dalam keadaan basah kuyub seperti ini.
Ruangan mobil yang sempit jadi berasa sesak akibat teriakan-teriakan frustasi si biduan surgawi.
Hari ini, ia memakai setelan berwarna putih dan coklat, blus panjang dari sutra dengan ikat pinggang Hermes, dan paduan rok ketat berbahan mengkilat warna coklat muda. Karena itu aku juga memakai kemeja putih dan celana coklat agar senada dengannya.
“Jadi gimana tanggung jawab kamu, baju saya basah semua begini?!”
“Pulang dulu ya Non ganti baju, reschedule dulu meetingnya?” usulku sambil reflek pandangan mataku beralih ke arah pakaiannya yang basah.
Lalu kusadari, hal itu fatal.
Bra merahnya terceplak jelas di balik kemeja putih sutranya.
Alkisah si Pengejar Cinta
Berharap sayang dari penghuni Nirwana
Namun terburu melangkah ia tercela
Bidadari bukannya merindu malah menghina
Hei, Danar Sanjaya
Kebodohanmu makin merajalela
Kondisikan matamu ke Nona
Terpana terpikat boleh saja
Asal jangan sampai mulutmu ternganga
Misimu memikat si Nona jelita
Bukannya malah bikin malu keluarga!
"Matamu kemana!” seru Nona sambil menemplok wajahku dengan tangannya dan menepiskannya ke samping.
Duh, pedasnya tamparanmu, Cinta...
Fix, hari ini aku tak cuci muka sampai besok.
“Reflek, Non,” gumamku sambil menyalakan mesin mobil.
Susah payah kukondisikan raut wajah ini supaya tak menyeringai memperlihatkan gigi.
Kalau aku senyum-senyum karena ditampar bisa-bisa dia malah kabur karena ketakutan.
"Kita pulang! Ngebut! Meeting di tempat berikutnya jam 1, 30 menit dari sekarang! Awas telat! Bukan cuma gaji kamu yang saya potong, tapi kamu harus lembur jadi ART seminggu beresin rumah saya nggak digaji! Jelas?!" Serunya kesal.
Maafkan aku yang hina ini, tapi bibirku senyum sendiri tanpa sempat dapat kukendalikan.
Hei, penoreh hati
Ucapanmu barusan memancing jiwa binalku.
Kemarin kau minta aku carikan ART karena si mbak yang lama harus pulang kampung karena menikah.
Dan kini kamu minta aku yang jadi ARTmu selama seminggu tanpa digaji?
Kau pikir siapa aku?
Laki-laki rendahan yang harga dirinya bisa kau injak seenak dengkul?!
IYA, kau benar.
Ya sudah pasti itulah aku.
Sudah pasti juga aku MAU lah!
Jadi dengan senang hati, kutekan pedal gas dan kuarahkan mobil ini ke arah rute jalanan yang terkenal kerap macet panjang.
Agar kau telat sekalian ke meetingmu dan pakaianmu kering sendiri terkena AC mobil.
Terbayang makian apa yang akan kau kerahkan untukku.
Tapi aku tidak takabur, karena aku tahu, perjuanganku, seorang Danar Sanjaya, masih panjang.
***
Aku benci bangun pagi.
Aku benci melihat orang terburu-buru di jalanan, sarapan secepat kilat sambil menunggu angkutan umum, peluh di atas baju mereka yang rapi, tatapan kuatir dan marah jadi satu, bau keringat bersatu dengan wangi parfum.
Melihat itu semua, hatiku yang tadinya adem malah jadi panas.
Dan tertularkan sikap mereka yang grasa-grusu.
Namun pepatah mengatakan, bangunlah pagi-pagi agar rezekimu tidak dipatok ayam.
Pepatah ini juga berasal dari pepatah lain yang menyebut :
Janganlah kau kalah bijak dari ayam jantan. Ia berkokok di waktu subuh, kau jam segini malah masih tidur.
Kupikir pepatah itu hanya berlaku untuk pedagang. Semakin pagi ia buka toko, semakin banyak ia dapat pembeli.
Namun, apakah berlaku juga untuk para pekerja yang gajinya diterima perbulan?
Bukankah yang penting adalah tercapai target, bukan bangun pagi? Mungkin ini masalah penilaian disiplin.
Jaman sekarang, bahkan seringkali freelance yang tidur dini hari dan bangun siang, masih lebih kaya dari pegawai yang tak pernah telat bangun pagi.
Kesampingkan urusan agama, kalau beribadah sih waktunya sudah baku tak bisa diganggu gugat harus dilaksanakan sebelum kena azab. Walaupun setelah itu tidur lagi.
Namun,
Sejak bekerja untuk Nona, aku bangun pagi.
Karena apa?
Apa lagi alasannya kalau bukan untuk mengabdi pada pelita hatiku.
Nona Dias.
Nona biasa ke kantor jam 10 pagi. Itu terhitung 'sudah siang' untuk pekerja kantoran.
Tapi dia bekerja dari subuh, dengan media dawainya.
Nonaku terbiasa bangun pagi. Alasannya, konglomerat rata-rata bangun pagi. Dan kliennya sebagian besar konglomerat.
Jadi Direktur Marketing di perusahaan perbankan memang harus 'service excellen' setiap saat. Seringkali, subuh-subuh sudah dikirimi pesan singkat : berapa rate hari ini?
Apa jadinya kalau Nona tak bangun pagi dan langsung membalas pesan dalam hitungan detik? Si konglomerat beralih ke bankers lain untuk menginvestasikan uangnya.
Tak ambil pusing mereka sibuk menghubungi Nona lagi.
Rejeki pun kabur dipatok ayam.
Nona bekerja dengan target. Dalam sebulan ia harus mencari orang yang mau menyimpan dananya di bank, dengan target 150 miliar.
Karena itu, setiap gerakan jarum jam bagaikan uang untuknya.
Wajar kalau telat ia emosi, apalagi kalau itu gara-gara diriku. Bawahan tak berguna yang tak tahu diri.
Sore ini, sambil menunggu Nona bekerja, aku menunggu di parkiran mobil. Aku mengganti celanaku yang terkena noda biadab.
Ya ampun, bahkan sambil tidur pun aku bisa bertindak asusila.
Celana coklat itu kulipat dan kuletakkan di jok belakang, kutumpuk dengan bantal yang juga terkena tetesan 'bakal calon anak' milikku.
Nanti saja kumasukan ke mesin cuci di rumah Nona.
Lalu kutatap semburat lembayung langit Jakarta yang berawan. Mendung sudah hilang, digantikan mentari yang berwarna kemerahan.
Kuraih kantong kemejaku, kusundut sebatang rokok.
Kunikmati sore ini, kurasakan sepoi angin dengan aroma hujan yang masih tersisa.
Dinginnya membuat tubuhku nyaman.
Sekitar satu jam kemudian, Nona masuk ke dalam mobil sambil merengut.
Bibir merahnya membentuk bulan sabit terbalik.
Manisnya kamu, Sayang ...
Kapan kau akan torehkan bibir itu di leherku?
"Ini yang terakhir kamu bertingkah, saya hampir kehilangan 20 miliar gara-gara kamu ketiduran," suaranya rendah dan penuh nada penyesalan.
Aku lebih takut kalau ia berbicara dengan suara rendah seperti ini, dibanding memakiku dengan suara menggelegar.
Tapi tampaknya, bekerja adalah hidupnya. Hal ini penting baginya.
Semua orang dalam keluarganya giat bekerja untuk membuat Sang Ayah mengakui mereka.
Aku menelan ludahku dengan gugup.
Bidadariku sedang marah, dan ini serius.
Tapi aku tahu, dia tidak akan kehilangan kesempatan itu.
Karena Nona adalah wanita yang pintar.
Dan aku tak ada artinya bagi hidupnya, hanya satu butir kerikil kecil yang kalau diinjak sakit sedikit namun tidak berpengaruh bagi metabolisme tubuh.
"Kamu tahu kalau jalanan tadi sering macet, kenapa kamu malah lewat sana?" Nona masih berbicara dengan suara rendah.
"Lupa, Non," jawabku.
"Bohong," balas Nona.
Astaga, dia tahu.
"Entah apa alasan kamu, besok saya tidak akan tolerir tindakan kamu yang menghambat pekerjaan saya. Ngerti, Danar?"
Aku mengangguk sekali, namun tatapanku tetap ke depan. Tak berani aku menatap wajah Nona.
Tanganku meremas badan setir.
Aku kini kuatir.
Bukan kuatir masalah diomeli, tapi aku lebih kuatir masalah dipecat.
Itu berarti aku tidak akan bertemu lagi dengan Nona.
Sabar, Nona.
Aku tidak akan membuat ulah lagi.
Setelah ini aku janji bersikap kalem.
Tak tega aku melihatmu kelelahan.
Sebuah pesan singkat dikirim ke ponselku, dawai itu bergetar dari dalam kantong celanaku.
Aku melirik Nona, dia sibuk dengan ponselnya. Maka aku curi waktu untuk mengintip sedikit ke layar ponselku.
Tertulis di layarku,
20 miliar ya Bos, done.
Aku pun membalas.
Deposito tambahan, 50 miliar. Rate Bank, roll over. Saya ingin target bulanannya lebih cepat tercapai.
Kuketik secepat mungkin jemariku bisa bergerak.
Pasti di seberang sana lawan bicaraku sedang mengernyit. Bosnya sedang kumat.
Rate Bank bunganya rendah, rollover pula, itu berarti mengikuti ketentuan bank dan tidak di-special-kan. Kalau saham mereka lagi bagus ya tinggi, saham mereka biasa saja ya rendah. Untuk apa investasi dengan keuntungan minim seperti itu?!
Tapi siapa yang berani protes padaku?!
Lalu aku menyelipkan kembali ponselku ke kantong celana. Dan kutekan pedal gas, keluar dari area perkantoran dengan kecepatan sedang.
Nonaku masih sibuk dengan dawainya, dan bibir cemberutnya.
Biarlah, sebentar lagi dia akan tersenyum. Kabar baik segera datang.
Walaupun aku suka rautnya saat mengomel, tapi aku lebih suka senyumnya.
"Kamu gantikan Bik Isma selama seminggu, sampai saya dapat ART baru," gumamnya kemudian.
Bibirku pun menyunggingkan senyum puas.
Keberuntungan sedang berpihak padaku.
Tuhan sedang sayang padaku.
Uangku ludes pun aku tak peduli.
Penyamaran dengan target Nona jadi istriku pun, akan tetap berlanjut.
Kenapa aku susah-susah menyamar?
Ada alasan tertentu dibaliknya, kujelaskan nanti saja, aku sibuk menyetir sekarang.
Rezeki, nikmat dari Tuhan untuk penyembahNya.
Ataukah ujian dari Tuhan untuk calon penghuni surgaNya?
Rezeki membuatmu senang, sedih, kuatir, pusing, terlonjak bahagia.
Bentuknya beragam, dari mulai uang, oksigen, kesehatan, sampai rasa cinta.
Dijemput belum tentu dapat
Didiamkan belum tentu tersendat
Hak Tuhan untuk kebutuhan Umat
Wajib kita untuk jadikannya manfaat
Rezekiku adalah Nona
Kupikir tadinya tak dapat bertemu lagi
Rezekiku adalah bisa hidup lebih lama
Termasuk bertemu dengannya dipagi hari
Rezekiku kuterima dengan penuh rasa syukur
Tak peduli orang berkicau nyinyir
Walaupun aku dapat tanah berjamur
dan tetangga dapat bunga anyelir
Iri hati sikap dengki tak sudah-sudah berakhir
Rezekiku bukan rezeki orang lain
Tak tertukar tak terbeli tak bertepi
"Capek, saya ..." keluh Nonaku sambil menengadahkan kepalanya dan menghela napas.
Aku diam saja. Mau minta maaf tapi nanti dia malah semakin emosi.
Kutunggu saja sampai dia tenang sedikit.
"Bantal mana ya?" katanya, lalu dia menoleh ke belakang, "Oh di sana," dan meraih ...
Oh, Tidak!
Aku tak sempat mencegahnya. Hanya bisa menatapnya sambil tegang karena sedang mengemudi.
Kulihat dalam efek slow motion,
Si Manis meraih bantal dengan satu tangan,
membawanya ke dadanya,
kedua tangannya memeluk si dacron laknat,
kepalanya direbahkannya ke permukaannya,
si noda tepat tertekan pipinya,
lalu ia pejamkan matanya.
Dan matanya pun terbuka lagi sambil mengernyit.
"Kok apek ya baunya? Kamu sudah cuci bantalnya belum, sih?"
Maafkan aku, Nona ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!