Disuatu senja yang sedikit mendung, terlihat segerombolan anak muda berambut cepak tengah duduk-duduk bersantai menikmati kopi yang terlihat masih mengepul dan pisang goreng hangat di warung bu Win yang berada di sebelah markas kebesaran mereka. Sore ini bisa sedikit bersantai untuk mereka yang setiap hari harus dibebani dengan latihan kemiliteran yang sangat menguras tenaga. Terlihat salah satu dari mereka hanya bengong dengan pandang kosong sementara yang lainnya tengah asyik berbincang-bincang.
"Woyy! Bengong saja, ntar kesambet lho...!" Johan yang tiba-tiba menepuk pundak Galih membuat lelaki tampan itu tersadar dari lamunannya. Namun ia tetap diam tidak menanggapi kawannya itu.
"Ada apa lagi sih Lih? Masih memikirkan dia?" Tanya Johan. "Sudahlah... Janganlah kau larut dalam kesedihan." Lanjut Johan.
"Aku merindukannya." Akhirnya Galih membuka mulutnya.
"Aku tahu kau sangat merindukannya dan aku tahu apa yang kau rasakan itu adalah..." Ucapan Johan terhenti ketika Galih menyambar kalimatnya.
"Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan Jo!! Sakit ini, perih ini selalu menghatui." Terlihat tangannya bergetar, otot-ototnya yang kuat itu seakan lemas begitu saja. Macan kumbang yang gagah itu benar-benar sangat hancur hatinya.
Dari kejauhan Jarno yang sedari tadi mengamati pembicaraan kedua kawannya itu akhirnya menghampiri Galih.
"Semua orang pernah jatuh dan semua orang pernah mengalami kesedihan, namun mereka musti sadar kalau mereka tidak boleh berdiam diri meratapi kesedihannya dan harus berbuat sesuatu, begitu pula kau Galih." Ujar Jarno dengan nasehatnya.
"Berbuat sesuatu? Aku harus berbuat apa? Sinar telah redup, dia telah pergi untuk selamanya meninggalkanku dalam kegelapan ini. Apa yang harus aku perbuat? Apakah aku harus menghidupkannya kembali? Aku bukan Tuhan..." Butiran bening itu tiba-tiba jatuh dari matanya yang sayu.
"Maafkan aku kawan... Bukan maksudku membuka lagi kesedihanmu tapi kamu harus berubah kembali menjadi Galih yang dulu, yang ceria, yang bersemangat. Tentu Sinar sangatlah sedih melihatmu seperti ini, dia pasti ingin kau bercahaya meski tanpa dirinya." Jarno berusaha menenangkan hati Galih yang sedang labil seperti ABG yang beranjak dewasa.
"Tapi dia pergi karena aku!! Karena aku yang... ohh..." Galih tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya, air matanya kembali jatuh. Jari-jari tangannya mengepal kuat hingga buku-buku tangannya terlihat memutih dan sesekali dia memukul-mukul tembok yang ada di sampingnya. Begitu Galih merasa sangat bersalah atas kematian Sinar setahun yang lalu. Ya, setahun sudah berlalu setelah kepergian Sinar, namun kesedihan dan rasa bersalah Galih masih terasa sampai saat ini. Galih dan Sinar berteman sejak kecil, setelah mereka dewasa persahabatan mereka berubah menjadi benih-benih cinta.
.
.
.
Flash Back....
Galih adalah lelaki yang sangat gagah, tinggi dan sangat tampan. Dari dulu impiannya ingin menjadi seorang prajurit yang membela dan menjaga tanah airnya. Maka dari itu setelah lulus dari SMA, Galih memutuskan untuk bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Satu tahun tidak lama setelah ia menjadi prajurit, Galih pun dikirim ke Papua untuk menjalankan tugasnya dan terpaksa harus meninggalkan Sinar untuk waktu beberapa lama.
Sebelum Galih pergi menjalankan tugasnya, dia pergi menemui Sinar dan menyematkan sebuah cincin di jari manis kekasihnya itu.
"Sinar... Maukah kamu menungguku hingga kembali? Aku berjanji akan segera meminangmu setelah aku kembali nanti, bersediakan kamu menungguku sayang?" Janji Galih pada Sinar.
"Iya Galih, aku bersedia. Aku akan menunggumu hingga kamu kembali." Jawab Sinar seraya melempar senyuman pada lelaki yang dicintainya itu. Bahkan senyuman terakhir Sinar yang dilihatnya itu tidak pernah hilang dari ingatan Galih.
Dua tahun telah berlalu setelah keberangkatan Galih ke Papua, akhirnya Galih pun pulang ke Semarang, kota kelahirannya dan juga Sinar. Betapa semangatnya dia untuk segera sampai ke rumah, sepanjang perjalanan tak henti-hentinya ia melempar senyum kebahagiaan. Bahagia akan kembali ke rumah dan bahagia akan bertemu lagi dengan Sinar sang pujaan hati. Dua minggu cutinya aka ia pergunakan sebaik-baiknya untuk keluarganya dan juga Sinar. Apalagi sekarang ia tengah bersiap menepati janjinya pada sang kekasih untuk segera melamarnya.
Sesampainya di Semarang ternyata Galih tidak langsung pulang ke rumahnya, namun dia langsung menuju rumah Sinar. Dia berharap ini akan menjadi kejutan bagi kekasih tercintanya itu. Di depan pintu rumah Sinar, Galih terdiam sejenak untuk menenangkan degup jantungnya, setelah menghela napas panjang ia mulai mengetuk pintu rumah keluarga Sinar.
Tok..tok..tok...
Tidak ada sahutan dan Galih pun mencoba mengetuk lagi namun tetap tidak ada sahutan dari dalam sana. Tidak biasanya rumah Sinar terlihat sepi, biasanya Sinar beserta kedua orang tuanya dan juga Wita adiknya selalu mengobrol sambil bersantai di teras rumah disaat sore seperti ini.
Tok..tok..tok...
"Assalamu'alaikum... Kulonuwun..." Galih mencoba mengetuk kembali rumah itu dan kali ini pintu itu terbuka perlahan, nampak seorang wanita paruh baya keluar dari dalam sana.
"Wa'alaikumsalam..." Sahut wanita itu yang tak lain adalah Rukmini ibu Sinar, namun sungguh terkejutnya beliau saat melihat Galih yang tengah berdiri di depan pintu rumahnya.
"Astaghfirullah... Tidak mungkin, ini tidak mungkin!! Kamu..." Kata-kata bu Rukmini seakan menguap begitu saja di udara karena keterkejutannya.
"Iya ini saya bu... Galih." Jawab Galih setengah kebingungan terhadap reaksi calon mertuanya itu ketika melihatnya.
"Tidak mungkin!! Ahh...mungkin mata saya yang sudah rabun." Bu Rukmini mengucek-ucek matanya, berharap apa yang ia lihat itu salah. Tapi lelaki yang sudah menjadi kekasih putrinya itu masih tetap berdiri di hadapannya.
"Ibu... Ini benar-benar saya Galih, saya sudah kembali bu." Galih mencoba meyakinkan calon mertuanya itu kalau yang berdiri di hadapannya itu adalah dia. Benar-benar dia.
"Galih... Nak Galih? Ini sungguh kamu? Tapi kamu kan..." Bu Rukmini tiba-tiba menghentika ucapannya sejenak dan kemudian berteriak memanggil suaminya.
"Pak... Pakne...! Cepat kemari pakne!" Teriak bu Rukmini memanggil suaminya.
"Iya, sebentar..." Terdengar sahutan suaminya dari dalam rumah.
"Cepetan to pakne, jangan lama-lama!" Bu Rukmini kembali berteriak memanggil suaminya yang tak kunjung menghampirinya. Terlihat jelas rasa panik dari raut wajahnya yang renta dan ketidak sabaran wanita itu membuat Galih semakin bingung. Ada apa sebenarnya?
"Iya, iya ini lagi jalan, ada apa to bune kok gak sabaran begitu?" Sahut suaminya yang tak lama kemudian keluar dari dalam rumah. Pak Sastro, bapak Sinar itu tergopoh-gopoh menghampiri istrinya dan bisa ditebak ekspresi wajahnya ketika melihat Galih yang tengah berdiri dihadapan istrinya. Ya, tentu sama terkejutnya dengan istrinya tadi dan seakan tidak percaya bahwa pemuda yang ada di hadapannya itu adalah Galih, calon menantunya.
"Astaga!! Bune...Bapak tidak salah lihat to? Ini..." Ucapan pak Sastro terhenti dan langsung disambar oleh istrinya.
"Iya pak, ini nak Galih!" Sahut bu Rukmini.
Bersambung....
"Ini sungguh kamu Lih?" Tanya pak Sastro pada Galih seakan lelaki setengah baya itu tidak percaya jika pemuda yang berdiri di hadapannya adalah dia.
"Ini benar-benar saya pak, Galih Admaja." Jawab Galih sambil menyodorkan tangannya untuk meraih dan mencium tangan calon mertuanya itu.
"Ya Tuhan... Ini benar-benar kamu Lih... Ohh ya, ayo masuk nak, masuk!" Titah pak Sastro menggiring Galih untuk masuk ke dalam rumahnya dan menyuruhnya untuk duduk. Mereka bertiga berbincang-bincang saling bercerita dan pada akhirnya Galih menanyakan bagaimana kabar Sinar. Dia bertanya kenapa dari tadi dia tidak melihat keberadaan Sinar di dalam rumah itu? Seketika itu juga bapak serta ibu Sinar terdiam dan saling berpandangan. Kemudian bu Rukmini berkata...
"Oh ya nak, kamu kan baru saja sampai dan langsung datang kemari pasti sangat capek. Ini sudah hampir gelap dan sebentar lagi akan magrib, sebaiknya kamu mandi dulu biar segar." Kata bu Rukmini seraya tersenyum.
"Kita sholat magrib bersama ya? Setelah itu kita makan malam, kebetulan ibu masak sayur asem, tempe mendoan dan sambal terasi kesukaan kamu." Lanjut bu Rukmini yang masih tersenyum pada Galih.
"Baiklah kalau begitu." Sembari membalas senyuman bu Rukmini, Galih pun menuruti kata-kata calon mertuanya itu. Walaupun dia sendiri tidak tahu pasti arti dari senyuman itu. Yang ia tahu dia merasa aneh dengan sikap bapak dan ibu Sinar, seperti ada yang mereka sembunyikan darinya awal ia datang. Apalagi saat ia bertanya soal Sinar raut wajah keduanya tiba-tiba berubah menjadi kaku. Tapi Galih langsung membuang jauh-jauh prasangka itu.
"Mungkin perasaanku saja." Kata Galih dalam hati, kemudian dia bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setelah mandi dan sholat magrib, Galih pun makan malam bersama bapak dan ibunya Sinar, dia merasa ada yang kurang.
"Ohh ya pak, rumah ini kok jadi sepi ya? Dik Wita kemana? Dari tadi saya tidak melihatnya." Akhirnya Galih memberanikan diri untuk bertanya, walau sebenarnya bukan hanya itu yang ingin dia tanyakan, tetapi juga tentang Sinar kekasihnya.
"Ealaahh Wita to? Kalau Wita sih memang gak pernah ada di rumah, dia sekarang kuliah di Surabaya. Pulang-pulang cuma satu bulan sekali, itupun paling cuma dua hari setelahnya balik lagi ke Surabaya." Jawab pak Sastro.
"Iya nak Galih, jadi setiap hari cuma kami berdua saja di rumah." Tambah bu Rukmini.
"Lalu Sinar kemana pak?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulut Galih, dia sudah tidak bisa menahannya lagi untuk menanyakan hal itu. Tapi lagi-lagi raut wajah mereka berubah menjadi aneh. Ini membuat pertanyaan baru dibenak pemuda tampan itu.
"Apakah Sinar sudah menikah dan bahagia dengan lelaki lain? Mungkin dia lelah menungguku yang tak kunjung pulang, lalu dia memutuskan meninggalkanku dan memilih lelaki lain."
Namun belum sempat Galih bertanya soal itu pak Sastro sudah angkat bicara.
"Sebaiknya kita makan dulu, baru setelahnya kita bicara mengenai Sinar." Titah pak Sastro dan Galih pun mengiyakannya. Akhirnya mereka melanjutkan makan malam, walau sebenarnya Galih agak sulit menelan makanannya karena hatinya masih tidak tenang sebelum dia mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
Seusai makan malam mereka bertiga berkumpul di ruang tamu, sungguh suasana saat itu sangat tidak mengenakkan. Semua yang ada di sana terlihat tegang namun perlahan pak Sastro membuka suaranya.
"Sebelum saya bicara lebih jauh, saya mohon kepada nak Galih apapun yang saya katakan nanti saya ingin nak Galih bisa menerimanya dengan hati yang lapang." Pak Sastro menjeda ucapannya sejenak, mengambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, kemudian berkata kembali.
"Bengini nak Galih... Sebelumnya kami sekeluarga minta maaf sebab kami tidak memberi tahu soal ini lebih awal kepada nak Galih, karena kami memang tidak menyangka kalau nak Galih akan kembali setelah bertugas untuk sekian lama." Ujar pak Sastro setenang dan sebisa mungkin agar tidak mengejutkan Galih.
"Sebenarnya..." Ucapan pak Sastro terhenti di udara karena Galih memotong ucapannya.
"Tunggu sebentar pak, sebenarnya apa yang terjadi? Saya semakin bingung." Jantung Galih semakin berdebar karena kemungkinan yang ada dipikirannya benar adanya.
Pak Sastro pun mencoba untuk menjelaskannya lagi.
"Semenjak kepergianmu bertugas ke Papua, Sinar selalu setia untuk menunggumu. Tapi setahun berlalu kamu tak pernah memberi kabar, tidak lama setelah itu ada yang mengabarkan jika kamu gugur di medan pertempuran. Dan akhirnya..." Bibir pak Sastro bergetar seakan tak kuasa meneruskan perkataannya.
"Dan akhirnya apa pak? Dan akhirnya Sinar memutuskan untuk menikah dengan orang lain dan kini telah bahagia?" Apa yang ada dipikiran Galih akhirnya meluap juga, dengan segala sisa ketenangan yang ia miliki mencoba meredam emosi yang ada di dadanya.
Mendengar ucapan Galih itu bu Rukmini pun langsung angkat bicara.
"Sinar memang sudah bahagia sekarang, tetapi dia tidak menikah, kamu adalah satu-satunya lelaki yang putriku cintai, putriku... Dia sekarang sudah bahagia di sisi Penciptanya." Butiran bening menetes perlahan dari mata sayunya. Dengan segenap kekuatan dari hatinya yang rapuh itu bu Rukmini berkata kembali.
"Sinar meninggalkan kita semua enam bulan yang lalu." Akhirnya wanita berhati lembut itu tidak kuasa membendung air matanya lebih lama lagi, dia menangis tersedu-sedu sambil memeluk suaminya.
Setelah mendengar semua itu dada Galih terasa sesak bagai dihujam ribuan sembilu, jantungnya serasa berhenti berdegup. Berita itu sangat memukul hatinya, dia masih tidak percaya semua itu terjadi.
"Tidak mungkin, ini semua tidak mungkin terjadi!! Ini semua bohong kan pak, bu?" Galih mulai geram, emosi hatinya tidak stabil dan mulai memuncak.
"Sinar masih ada kan? Dia tidak mungkin meninggalkan saya, dia sudah berjanji untuk menunggu saya sampai kembali." Ungkapnya dengan bahu yang bergetar.
"Tenanglah nak Galih... Kamu harus bisa menerima semua ini, kamu harus ikhlas." Pak Sastro berusaha untuk menenangkan mantan calon menantunya itu.
"Setelah mendengar kabar bahwa kamu gugur dalam pertempuran, semangat hidupnya tidak ada lagi, diapun jatuh sakit. Liver yang dideritanya sudah cukup parah, semua makanan yang masuk ke dalam tubuhnya ditolaknya dan akhirnya Sinar tidak tertolong lagi." Ujar pak Sastro mengungkap kebenaran yang ada.
"Ini semua salah saya pak... Seandainya saya tidak pergi, seandainya saya tidak menyuruhnya untuk menunggu pasti Sinar masih ada di sini." Lelaki gagah itu tertunduk lemas, menangis tersedu-sedu. Sebuah penyesalan tertanam di hatinya.
"Kamu tidak boleh berkata seperti itu nak... Kami sekeluarga sudah ikhlas melepaskannya pergi. Sinar sangat mencintaimu, kamu juga harus ikhlas melepaskannya pergi. Kepergian Sinar adalah takdir dari Yang Maha Kuasa, mungkin ini jalan terbaik bagi Sinar, kamu dan kami semua. Tidak ada yang harus disesali, tidak ada yang salah. Yang harus kita lakukan saat ini hanyalah berdo'a semoga Sinar bahagia di rumah barunya." Kata pak Sastro bijak, berharap Galih mengikhlaskan kematian putrinya dan tidak menyalahkan dirinya sendiri.
Flash Back Of...
Maka sejak itu Galih selalu dihantui rasa bersalah dan penyesalan yang sangat amat dalam. Bahkan setiap wanita yang terlintas oleh matanya terlihat seperti Sinar. Sampai orang-orang beranggapan dia sudah gila, untung saja itu tidak berlangsung lama dan masih beruntung dia memiliki teman-teman yang baik yang selalu mengingatkannya serta memberi nasehat disaat penyesalan itu datang kembali.
Bersambung....
Tiga tahun kemudian....
Hari Senin yang cerah, aktifitas kembali seperti semula setelah liburan kemarin. Orang-orang kembali menyibukkan diri dengan segara rutinitasnya masing-masing. Ada yang mulai masuk kerja, ada yang sekolah atau kualiah, ada juga yang sibuk latihan seperti prajurit TNI AD itu. Tapi ada yang tidak kalah sibuk disini. Bukan sibuk lagi... Mungkin lebih tepatnya dibilang ramai, lebih ramai dibandingkan dengan suara tentara-tentara itu latihan. Karena di balik tembok tempat tentara-tentara itu latihan terdapat sebuah rumah yang setiap paginya selalu gaduh, apalagi di hari-hari kerja seperti saat ini.
"Dino... Ayo cepat pakai sepatunya! Udah siang nih ntar terlambat masuk sekolahnya." Seru mama Rina sambil memegang sepatu anak bungsunya.
"Sebentar ma... Kaos kaki Dino hilang satu nih." Jawab Dino yang kebingungan mencari kaos kakinya yang hilang sebelah.
"Terus yang ada di kantong celanamu sebelah kiri itu apa?" Tanya mama Rina sambil menunjuk ke arah kantong kiri celana Dino.
"Hehe... Kaos kaki ma." Sambil meringis ditariknya kaos kaki yang ada di kantong kiri celananya itu. Dasar Dino, masih SD saja sudah pikun, apa kabarnya kalau dia sudah SMA? Mungkin dia lupa arah jalan pulang kali ya...? Ckckk...
Sementara itu dari dalam kamar terdengar seruan papa Rendra memanggil-manggil istrinya. Kelihatannya sang papa juga tengah kebingungan mencari sesuatu.
"Ma... Mama... Ke sini sebentar dong ma!" Panggil papa Rendra dari balik kamarnya. Mama Rina pun menghampiri suaminya.
"Ada apa pa? Papa sedang cari-cari apa?" Tanya mama Rina heran pada suaminya.
"Mama lihat sangkur papa gak?" Tanya papa yang ternyata kehilangan sangkurnya. Sangkur adalah pedang kecil yang mirip belati, biasa dibawa tentara dan diselipkan di pinggangnya. Maklum papa Rendra adalah salah seorang prajurit juga.
"Nggak tuh pa, bukannya tadi masih ada di atas meja ini?" Jawab istrinya.
"Iya, tadi sebelum papa mandi juga masih ada di atas meja ini, tapi setelah papa mandi sudah hilang." Ungkap papa Rendra yang masih bingung kemana benda itu hilang.
"Sepertinya Dino tahu deh pa." Sahut Dino menyela.
"Beneran kamu tahu kemana perginya sangkur papa yang gak punya kaki itu?" Tanya papa Rendra yang tidak begitu yakin pada anak bungsunya itu, pasalnya Dino itu kecil-kecil suka iseng.
"Suer pa! Kali ini Dino gak bakalan bohong!" Jawab Dino sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V.
"Awas kamu ya kalau ngerjain papa, papa sunat lagi tahu rasa!" Ancam papanya yang membuat Dino langsung menutupi bagian bawah perutnya dengan kedua telapak tangannya.
"Ehh jangan dong pa... Ntar kalau habis gimana?" Rengek Dino sambil mengerucutkan bibirnya.
"Ya sudah cepetan tunjukin kemana perginya itu senjata!" Perintah papa Rendra.
"Ayo pa ikutin Dino! Sangkur papa ada di luar." Pinta Dino agar papanya mengikutinya.
"Kok bisa sampai di luar sih?" Gerutu papa Rendra heran sambil mengikuti langkah kaki anaknya.
"Bisa, soalnya ada mbak Kunti yang bawa." Sahut Dino santai sambil terus melangkah ke luar rumah.
"Yang benar kamu kalau ngomong! Masa pagi-pagi bolong gini ada mbak Kunti?" Cerca papa Rendra pada anak lelakinya.
"Benar pa... Kalau gak percaya coba papa lihat di atas sana!" Tunjuk Dino ke arah atas pohon mangga yang ada di depan halaman rumah mereka.
"Astagfirullah... Wangi!!" Seru papa Renda terkejut setelah melihat apa yang ada di atas pohon mangga gadungnya.
Nampak di atas sana seorang gadis berambut sebahu dengan setelan kaos oblong dan celana pendek selutut tengah asyik duduk di salah satu cabang pohon mangga sambil mengupas buah mangga dengan santainya. Dia adalah Wangi Prameswari, gadis cantik yang tomboy dan sedikit bar-bar, putri pertama papa Rendra dan mama Rina. Kelakuannya unik selalu membuat kedua orang tuanya geleng-geleng kepala.
"Wangi, ngapain kamu ada di atas sana?!" Teriak papa Rendra dari bawah sana, dia tidak habis pikir dengan kelakuan anak gadis satu-satunya itu.
"Ngupas mangga pa." Jawab Wangi enteng. "Papa mau?" Lanjutnya seraya menyodorkan buah mangga yang telah dikupasnya dari atas sana.
"Gak usah! Yang ada papa jadi tambah mules! Dan itu...aduuuhh..." Papa Rendra memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening, ia tidak bisa melanjutkan kata-katanya setelah apa yang ia lihat. Sangkur kesayangannya yang ia cari ternyata telah dipakai untuk mengupas mangga oleh Wangi.
"Kenapa masih ramai saja sih? Papa sudah nemuin sangkur papa?" Tanya mama Rina yang datang dari dalam rumah.
"Sudah ma, ada di atas sana." Jawab papa Rendra lesu.
"Astagfirullah...! Kok ada monyet di atas sana sih pa?" Ternyata reaksi mama Rina diluar dugaan, membuat suaminya tepok jidat sementara Dino langsung tertawa cekikikan.
"Itu anak gadismu ma..." Ujar sang suami.
"Hah?! Masa sih?" Mama Rina langsung mendongak lagi ke atas pohon mangga menajamkan penglihatannya.
"Astaga Wangi Prameswari...! Ngapain kamu bergelantungan di atas pohon segala, mama kira tadi itu monyet yang lepas dari kebun binatang. Cepat turun!!" Cerocos mama Rina menyuruh anak gadisnya Wangi untuk segera turun dari atas pohon mangganya.
"Ihh mama gak asyik deh... Lha wong Wangi cuma ngupas mangga juga." Protesnya masih dari atas sana.
"Tapi gak harus di atas pohonnya juga kaliiii... Pokoknya cepat turun! Kalau gak mau uang jajan kamu mama potong!" Ancam mamanya yang berhasil membuat gadis tomboy itu turun dari tempat ternyamannya.
"Iya, iya... Ini Wangi turun." Setelah dia sampai di bawah, wangi langsung menyerahkan sangkur papanya yang belepotan penuh dengan noda mangga.
"Ini pa Wangi kembalikan pusaka kesayangan papa, terimakasih ya pa..." Ucap Wangi tanpa dosa dan itu sukses membuat papanya lagi-lagi memijat pelipisnya melihat sangkur kesayangannya yang terlihat mengenaskan.
"Tapi gak perlu pakai sangkur papa juga kali buat ngupas mangga Wangi... Padahal papa baru saja membersihkannya, mencuncinya, memandikannya pakai bunga tujuh rupa biar wangi, tapi sekarang....aduuuhh." Papa Renda langsung tepok jidat melihat penampilan sangkurnya itu.
"Wangi, pokoknya kamu sekarang harus bersihin ini sem..u..a... Lho... Mana perginya itu anak?" Papa Rendra menengok ke kanan kiri, depan belakang mencari Wangi yang ternyata sudah diam-diam melarikan diri dari amukan papanya.
"Sudahlah pa, urusan Wangi ntar biar mama yang urus. Sekarang sudah siang nanti malah terlambat lagi." Mama Rina mengingatkan.
"Ayo pa... Berangkat sekarang! Dino sudah telat nih!" Rengek Dino.
"Ya sudah kalau gitu, nih ma." Papa Rendra menyerahkan sangkurnya pada istrinya.
"Kok dikasih ke mama? Papa gak jadi bawa?" Tanya istrinya heran.
"Gak jadi, suruh Wangi bersihin! Pokoknya ntar papa pulang kerja harus sudah bersih dan harum!" Titah papa Rendra seraya berpamitan pada istrinya dan melangkah pergi bersama Dino yang hendak berangkat ke sekolah.
Kini sekarang tinggal mama Rina melancarkan aksinya untuk menangkap monyet yang kabur.
"Wangi Prameswari.....!!!
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!