NovelToon NovelToon

Ditikung Adik Tiri

1. Merasakan sesuatu

Seorang wanita duduk di depan cermin dengan riasan yang sangat cantik, serta hiasan bunga melati di atas kepalanya. Dia adalah Zayna, yang sebentar lagi akan melangsungkan ijab qabul dengan kekasihnya. Sudah dua tahun mereka menjalin hubungan.

Zayna tersenyum melihat pantulan dirinya di cermin. Wanita itu tidak menyangka dirinya bisa secantik ini. Dia jarang sekali berdandan. Setiap hari hanya menggunakan bedak bayi saja, tanpa sapuan alat make up lainnya.

"Cie ... yang bentar lagi sold out," goda Alifia—sahabat Zayna.

"Apa sih, kamu nggak usah godain aku," ucap Zayna yang pura-pura ketus.

Alifia menarik kursi di samping meja, yang biasa digunakan Zayna membaca dan membawanya mendekat ke arah calon pengantin. Gadis itu duduk di sebelah sahabatnya.

"Na, aku senang lihat kamu tersenyum seperti ini. Semoga setelah kamu menikah, kamu bisa bebas dari keluarga ini. Kamu juga berhak bahagia," ucap Alifia sambil menggenggam telapak tangan Zayna.

"Terima kasih, Al. Kamu dan Nisa adalah sahabat terbaikku. Sayang dia nggak bisa datang, tapi aku bahagia memiliki kalian yang selalu menemaniku dalam suka maupun duka," ujar Zayna dengan mata berkaca-kaca.

"Aku juga senang memiliki sahabat sepertimu. Aku tidak akan melupakan kebersamaan kita," ujar Alifia yang diangguki Zayna. "Sudah, jangan nangis. Nanti malah merusak riasan kamu. Aku jadi kesal kalau ingat Nisa. Dia lebih mementingkan pekerjaannya daripada kita."

"Jangan seperti itu. Zaman sekarang cari pekerjaan susah. Aku mengerti keadaannya."

"Iya, sih, mana bosnya galak lagi," gumam Alifia.

"Huss ... malah jelekin orang," tegur Zayna.

Alifia cengengesan mendengar teguran Zayna. Memang benar apa yang Alifia katakan jika atasan Nisa memang suka seenaknya saja. Tidak jarang Nisa selalu curhat mengenai bosnya.

"Na, acara akad nikah kamu bukannya jam delapan, ya! Ini sudah hampir jam delapan, kenapa calon suami kamu belum datang?" tanya Alifia membuat Zayna mengalihkan pandangannya pada jam dinding.

Kurang lima menit lagi jam delapan, tetapi tidak ada tanda-tanda kedatangan Fahri—calon suami Zayna, sekaligus kekasihnya selama dua tahun ini. Wanita itu mulai khawatir, tanpa sadar dia menggigit bibir bawahnya, hal yang selalu dilakukannya disaat sedang gelisah dan gugup.

"Kamu jangan khawatir, sebentar lagi dia akan datang. Kita semua tahu betapa cintanya Fahri sama kamu." Alifia mencoba menenangkan sahabatnya. Meskipun sebenarnya dia sendiri sedang gelisah.

Zayna mengangguk. Dia mencoba untuk terlihat baik-baik, meski hatinya tidak. Sebelumnya wanita itu sudah memperingatkan Fahri jika pria itu harus datang lebih awal. Dalam hati Zayna tidak hentinya berdoa agar calon suaminya baik-baik saja dan selamat sampai tujuan.

Hingga jam setengah sembilan, calon pengantin pria tidak menunjukkan kehadirannya. Zayna semakin gelisah, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Pemikiran buruk tiba-tiba terlintas di depan mata, tetapi wanita itu tidak mau mengakuinya. Zayna yakin jika Fahri tidak apa-apa, dia akan datang dan menikahinya karena mereka saling mencintai.

Tidak berapa lama, masuklah keluarga Zayna, Fahri serta kedua orang tua calon pengantin pria. Zayna tersenyum melihat kedatangan calon suaminya. Dia tersenyum setelah sempat senam jantung beberapa saat yang lalu.

"Mas, akhirnya kamu datang! Aku dari tadi khawatir sama kamu," ucap Zayna yang ingin mendekati Fahri. Namun, pria itu menolak untuk disentuhnya.

Zayna menyernyitkan keningnya. Dia merasa ada sesuatu yang terjadi pada Fahri. Tidak biasanya pria itu bersikap acuh seperti ini. Jantung gadis itu kembali berdetak tak beraturan.

"Alifia, tolong keluar sebentar. Ada yang perlu kami bicarakan. Ini urusan keluarga," ucap Savina—ibu tiri Zayna.

Ibu kandung Zayna sudah meninggal sejak melahirkannya. Sejak saat itu banyak orang yang mengucilkannya dan mengaggap gadis itu pembawa sial. Sang papa yang harusnya bisa menjadi tameng untuk anaknya, tetapi pria itu lebih memilih diam. Banyak yang berspekulasi bahwa Rahmad—ayah Zayna membenarkan cibiran orang-orang.

Satu tahun setelah itu, papanya menikah lagi dengan wanita yang bernama Savina. Awalnya wanita itu perhatian pada Zayna. Namun, setelah dia memiliki anak sendiri, rasa sayangnya pada gadis itu pudar seiring berjalannya waktu. Bahkan kini lebih dikatakan benci.

Zayna tidak pernah memedulikan apa yang ibu tiri buat padanya, asal sang papa bahagia. Terkadang dia harus berpura-pura tersenyum, meski dalam hati dia terluka karena sering kali Rahmat berbuat tidak adil pada anak-anaknya. Pria paruh baya itu lebih menyayangi kedua anaknya dari Savira.

Rahmad bukannya tidak menyayangi Zayna, tetapi setiap kali melihat wajah gadis itu, dia selalu teringat pada almarhumah istrinya dan itu membuat hatinya terluka. Sampai detik ini pria itu tidak pernah melupakan almarhumah ibu Zayna. Hal itu juga yang membuat Savina semakin membenci anak tirinya itu.

Wanita paruh baya itu iri, bahkan sudah bertahun-tahun sang suami masih memikirkan orang yang sudah meninggal. Bagaimana Safina tahu? Tentu saja pada saat sang suami tidur pria itu sering menyebut nama Aisyah—ibu kandung Zayna.

Savina pernah menegur sang suami, kenapa sampai detik ini belum bisa melupakan almarhumah istrinya. Namun, Rahmat berkelit bahwa dia tidak pernah memikirkan Aisyah sama sekali. Kalau tidak memikirkan, bagaimana orang yang sedang tidur, memanggil nama orang yang sudah meninggal?

Rahmad pikir Savina anak kecil yang bisa dibodohi? Akan tetapi, wanita itu tidak mau berdebat, percuma saja menurutnya. Pria itu tidak akan pernah mengakui apa yang sudah dia dengar.

Kembali ke kamar pengantin, Alifia menatap sahabatnya seolah bertanya, apakah tidak apa-apa jika dia pergi? Zayna yang mengerti pun hanya mengangguk. Dia sendiri tidak tahu apa yang ingin dibicarakan keluarganya dan keluarga calon suaminya.

Alifia pun pergi dari kamar Zayna. Savina mengunci pintu agar tidak seorang pun masuk dan mendengar pembicaraan mereka. Rasa penasaran yang tinggi membuat calon pengantin wanita diam, menunggu seseorang dari mereka bersuara.

"Nak Fahri, katanya ada sesuatu yang ingin dibicarakan?" tanya Rahmat yang sudah tidak sabar. Dia juga tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba perasaannya tidak enak.

"Pa, sebaiknya duduk dulu. Masa tamu disuruh berdiri saja!" tegur Savina.

"Tidak apa-apa, Nyonya. Saya juga penasaran apa yang ingin dikatakan anak saya," sahut Ma'ruf—ayah Fahri.

Semua orang menatap pria itu, menunggu jawaban yang keluar dari bibirnya. Jantung Zayna kembali berdetak lebih cepat. Ditambah tatapan Fahri padanya yang sudah berbeda.

"Maafkan aku. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini," ucap Fahri dengan kepala menunduk.

Semua orang yang ada di ruangan itu terkejut, kecuali Savina dan Zanita—adik pertama Zayna. Kedua wanita itu saling lirik dan tersenyum tanpa diketahui orang lain selain Zayna.

.

.

.

2. Pengantin pengganti

Zayna begitu terluka mendengar kata-kata yang diucapkan Fahri. Bagaimana pria itu bisa dengan mudahnya membatalkan pernikahan yang sudah ada di depan mata? Semua tamu sudah datang. Keluarga besar dan teman-temannya. Apa dia tidak pernah memikirkan akibatnya?

Bagaimana nanti Zayna akan menjelaskan pada keluarga dan para tamu lainnya? Kalau memang Fahri sudah tidak mencintainya, kenapa tidak dari kemarin-kemarin? Kenapa harus menunggu sampai hari pernikahan? Apa kebersamaan mereka selama dua tahun ini tidak berarti sama sekali untuknya?

Sakit? Tentu saja sakit. Bukan luka fisik yang mudah sembuh setelah diberi obat, tetapi hati Zayna begitu terluka. Luka yang tidak mudah untuk disembuhkan. Cinta yang begitu dia agung-agungkan, kini hancur begitu saja menjadi kepingan yang tidak berarti.

"Apa maksudmu tidak bisa melanjutkan pernikahan ini?" tanya Rahmat dengan nada tinggi.

Dari tadi pria itu merasa ada sesuatu yang tidak beres saat Fahri ingin berbicara. Sebagai seorang ayah, dia tidak rela jika putrinya disakiti meskipun Rahmat tidak begitu dekat dengan Zayna.

"Maafkan saya, Pa. Saya tidak bisa menikah dengan Zayna karena saya mencintai wanita lain," jawab Fahri yang justru mendapat bogem mentah dari Ma'ruf—Ayah Fahri.

"Papa! Kenapa Papa memukul anak kita?" teriak Lusi—ibu Fahri.

Sejak awal wanita itu memang tidak pernah setuju dengan hubungan Fahri dan Zayna. Dia selalu sinis jika kekasih putranya itu datang berkunjung. Seluruh keluarga tahu itu, tetapi Fahri selalu meyakinkan Zayna, jika mamanya pasti akan luluh dengan kebaikan yang dilakukan wanita itu, seiring berjalannya waktu.

Namun, waktu yang dijanjikan itu justru tidak akan pernah terjadi. Zayna tertawa miris jika dulu calon mertuanya tidak menginginkannya, kini malah calon suaminya yang tidak ingin. Sungguh rahasia Tuhan tidak ada yang tahu.

"Dia memang pantas mendapatkan itu. Dia yang merencanakan acara ini, tetapi dia juga yang membatalkannya. Apa dia tidak pernah memikirkan perasaan orang lain? Terutama Zayna."

Semua orang menatap Zayna yang hanya terdiam dengan air mata yang mengalir semakin deras. Gadis itu yakin jika apa yang dia alami hari ini itu ulah ibu tiri dan adik tirinya, tetapi Zayna tidak punya bukti. Jika gadis itu mengatakannya, pasti tidak akan ada yang percaya padanya.

"Kenapa kamu melakukan ini padaku? Apa salahku padamu? Jika kamu tidak mencintaiku lalu kenapa kamu setuju untuk menikah? Kita juga sudah dua tahun bersama. Apa yang membuatmu membatalkan pernikahan ini? Apa ada seseorang yang memengaruhimu?" tanya Zayna dengan pelan.

"Tidak ada yang memengaruhiku. Ini murni atas keinginanku sendiri," jawab Fahri dengan menunduk. Dia tidak kuasa melihat wajah wanita yang sudah dua tahun menemani harinya bersimbah air mata.

Jauh di lubuk hatinya yang terdalam, dia masih mencintai Zayna, tetapi Fahri lebih mencintai wanita lain yang bisa memberinya kehangatan dan kebahagiaan. Sungguh egois bukan? Namun, inilah dirinya yang sesungguhnya.

"Kalau begitu, pergilah. Jangan tampakkan wajahmu di rumah ini lagi."

"Itu tidak bisa. Aku tidak mungkin tidak datang ke rumah ini lagi," sahut Fahri dengan cepat.

"Kenapa tidak bisa? Apa yang kamu inginkan dariku?" pekik Zayna.

Gadis itu benar-benar tidak mengerti apa yang diinginkan oleh mantan calon suaminya ini. Bukankah dia sudah membatalkan pernikahan ini? Untuk apa lagi pria itu datang? Apa Fahri memiliki tujuan lain?

"Aku tidak menginginkan apa pun darimu. Aku hanya ingin menikah dengan Zanita karena aku mencintainya," jawab Fahri dengan lantang.

Tubuh Zayna limbung seketika. Untung saja dia berpegangan pada tepi ranjang hingga gadis itu tidak terjatuh. Benar seperti perkiraannya, semua tidak lepas dari ibu tiri dan adik tirinya. Tidakkah mereka cukup menyulitkan hidup Zayna selama ini? Kenapa masih saja mengusik masa depannya.

Air mata yang sempat terhenti kini semakin deras. Tidak tahu lagi, apa yang akan dia lakukan. Tubuhnya seolah tak memiliki tenaga lagi. Fahri sudah benar-benar menghancurkan segalanya. Savina dan Zanita juga sudah berhasil menjatuhkannya.

Zayna merasa menjadi manusia paling buruk hari ini. Tidak ada air mata yang menangisi kegagalan ini selain dirinya sendiri. Ayah yang seharusnya bisa memeluk dan memberi ketenangan, hanya mampu berdiri kaku di tempat. Pria itu juga ingin melakukannya, tetapi keegoisan yang tinggi membuat Rahmat berdiam diri.

"Apa maksudmu menikah dengan Zanita? Dia itu adiknya Zayna!" Bukan Pak Rahmat yang bertanya tetapi Ma'ruf—ayah Fahri.

"Aku mencintainya, Pa. Hanya dia yang aku inginkan. Aku telah salah menilai perasaanku. Aku hanya kagum pada Zayna, tidak ada rasa cinta. Sedangkan bersama Zanita, aku bisa merasa menjadi diriku sendiri. Aku bisa merasakan kebahagiaanku bersama dengannya," ujar Fahri.

Zayna tertawa sinis. Dia cukup tahu apa maksud dari ucapan Fahri. Sudah setahun yang lalu, pria itu selalu merayunya agar mau melakukan berhubungan suami istri, tetapi gadis itu selalu menolak. Zayna hanya ingin melakukan hubungan suami istri yang halal. Nyatanya Fahri justru tidak bisa menahan godaan itu.

Semua orang yang berada di ruangan itu menatap Zayna yang tertawa. Mereka heran, apanya yang lucu dari ucapan Fahri? Apa yang pria itu katakan biasa saja.

"Bolehkah aku bertanya?" tanya Zayna masih dengan tawa mengejeknya.

Fahri hanya mengangguk tanpa berkata. Dia merasa khawatir melihat wajah Zayna yang tidak seperti biasanya. Semua orang pun menanti apa yang akan keluar dari mulut gadis itu.

"Apa kamu dan Zanita sudah melakukan hubungan suami istri?"

Sebuah tamparan mengenai pipi Zayna membuat sudut bibir gadis itu mengeluarkan sedikit darah. Pelakunya tidak lain adalah ayahnya sendiri, Rahmat. Hatinya sudah terluka, kini fisiknya pun ikut terluka.

"Jaga mulutmu! Saya tidak pernah mengajarimu berbicara seperti itu!" teriak Rahmat. Suaranya menggelegar memenuhi seluruh kamar.

"Kamu menghina adikmu? Bagaimana kamu bisa melakukan hal ini? Di mana hati nuranimu? Pantas saja Fahri meninggalkanmu dan lebih memilih Zanita karena dia memang lebih baik daripada kamu!" Savina ikut memarahi Zayna. Sebagai seorang ibu, dia tidak rela putrinya dihina seperti ini.

Zayna memejamkan matanya, selalu seperti ini. Di mata seluruh keluarga dirinya selalu salah. Tidak ada satu kebaikan pun yang dilihat dari diri gadis itu. Semua selalu menyalahkannya.

"Pak Rahmat, sepertinya keputusan putra saya sudah benar dengan membatalkan pernikahan ini dan memilih putri Anda yang lain. Saya lihat Zanita jauh lebih baik daripada kakaknya. Apa salahnya kita tetap menjalankan pernikahan ini dengan pengantin wanita yang diganti. Setidaknya ini bisa menutup wajah kita yang sudah tercoreng karena Zayna," ujar Lusi.

"Iya, Pa. Sebaiknya kita lanjutkan pernikahan ini dengan mengganti Zayna dengan Zanita," timpal Savina.

.

.

.

3. Dikurung

Meskipun selama ini Lusi tidak begitu mengenal Zanita, tetapi jika dilihat dari penampilan dia lebih menyukainya. Wanita itu termasuk wanita sosialita jadi selalu memperhatikan penampilan. Selama ini Lusi tidak menyukai Zayna yang penampilannya biasa saja. Berbeda dengan Zanita yang tampil cantik dan seksi.

"Baiklah, pernikahan akan tetap dilaksanakan dengan pengantin wanita diganti," ucap Rahmat akhirnya.

Tentu saja keputusan ini sangat menyakiti Zayna, tetapi wanita itu hanya diam. Sudah bukan haknya lagi untuk berbicara. Apa pun yang akan diucapkan pasti akan selalu salah, itulah kehidupannya. Tidakkah papanya tahu betapa besar luka di hatinya? Kenapa tidak ada yang empati padanya?

"Aku akan meminta pak penghulu untuk menunggu. Zanita, sebaiknya kamu segera bersiap," ujar Savina.

"Ayo, kita keluar! Zayna sebaiknya kamu di sini saja jangan ke mana-mana," ucap Rahmat yang kemudian berlalu.

Semua orang berlalu, Savina keluar terakhir. Dia mengambil kunci yang menggantung di pintu dan menguncinya dari luar. Wanita itu juga memerintahkan dua orang berjaga di depan kamar agar Zayna tidak melakukan sesuatu yang bisa menggagalkan pernikahan.

"Fahri," panggil Ma'ruf membuat langkah kaki pria itu terhenti. "Apa benar kamu sudah melakukan hubungan suami istri dengan Zanita?"

Fahri terdiam dan menunduk. Melihat itu membuat Ma'ruf sudah tahu jawabannya tanpa harus mendengarnya dari mulut putranya. Sebagai seorang ayah, dia kecewa pada Fahri. Ma'ruf bisa melihat banyak kebaikan dari diri Zayna, tetapi sayang putranya sudah dibutakan oleh nafsu.

"Kalian memang cocok. Pria brengs*k dengan wanita murah*n." Ma'ruf berlalu setelah mengatakannya.

Fahri tidak ambil pusing ucapan papanya. Baginya yang penting dia bisa menikah dengan Zanita, wanita yang bisa memberinya kebahagiaan dan kepuasan.

Savina meminta pak penghulu menunggu sebentar lagi. Dia juga meminta maaf pada para tamu karena sudah lama menunggu. Semua dekorasi dengan nama Zayna diubah menjadi Zanita atas perintah Savina.

Tidak berapa lama, pengantin wanita akhirnya keluar. Semua memang sudah diatur jadi tidak perlu menunggu waktu lama akhirnya beres. Semua tamu terkejut melihat Zanita sebagai pengantin wanita. Mereka bertanya-tanya, bukankah seharusnya Zayna yang berada di sana? Kenapa sekarang jadi Zanita?

Bisik-bisik dari para tamu yang datang, sempat menimbulkan kericuhan hingga seorang ustaz meminta mereka untuk tenang. Pak Rahmat mendekati penghulu dan mengatakan jika sebelumnya memang ada kesalahan mengenai nama. Pak penghulu menganggukkan kepalanya mengerti.

Alifia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Sudah jelas-jelas tadi sebelum dia pergi, Zayna sudah siap dengan kebayanya, tetapi kenapa sekarang tiba-tiba mengatakan ada kesalahan? Secara diam-diam gadis itu pergi menuju kamar Zayna. Namun, sayang kamar itu dijaga dua orang berbadan kekar. Alifia sama sekali tidak diperbolehkan mendekati pintu, apalagi masuk.

Sementara Zayna berada di kamar seorang diri. Sejak kepergian semua orang tadi, tubuhnya luruh ke tanah di dekat ranjang. Dia menangis terisak menumpahkan semua rasa sakit karena pengkhianatan calon suami dan adiknya.

Wanita itu mengingat kembali momen kebersamaan mereka dulu. Tidak pernah sedikit pun terlintas jika pria itu akan mengkhianatinya. Namun, dibalik kejadian hari ini, Zayna bersyukur karena Tuhan telah menunjukkan siapa sebenarnya calon suaminya itu.

Seandainya kejadian hari ini terjadi setelah mereka menikah, itu sudah pasti lebih menyakitinya. Zayna bangkit dari duduknya dan memilih menyiram seluruh tubuhnya di kamar mandi dengan masih menggunakan kebaya. Dia ingin menghapus kesialan ini dan melupakan cinta yang menyakitkan.

Setelah selesai membersihkan diri, wanita itu memilih melaksanakan shalat Dhuha. Zayna butuh tempat mengadu dan memohon, hanya pada Tuhan tempat yang paling tepat. Segala doa dia panjatkan. Semua keluh kesah yang dirasakan wanita itu ditumpahkan di atas sajadah yang membentang.

Air mata yang tadinya tidak akan Zayna keluarkan lagi, tiba-tiba keluar begitu saja. Dia yakin ada hikmah dibalik semua ini. Tuhan pasti sudah menyiapkan jodoh yang lain untuknya dan pasti itu yang terbaik.

*****

Kata sah menggema di ruang tamu, tempat diadakannya akad nikah. Doa-doa dibacakan oleh seorang ustaz agar pernikahan mereka berkah. Ucapan selamat terucap dari bibir para tamu yang datang.

"Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar," ucap Savina saat para tamu sudah pergi.

"Iya, Bu Savina saya juga bersyukur semua berjalan dengan lancar. Sekarang saatnya merencanakan acara resepsi nanti malam," timpal Lusi yang diangguki Savina.

Sementara para pria hanya diam saja. Ma'ruf sebenarnya kurang menyukai Zanita. Dilihat dari tingkah lakunya saja sudah pasti dia bukan istri yang baik, tetapi mau bagaimana lagi, ini keinginan putranya sendiri. Lagi pula Zayna juga berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik.

"Maaf, Pak Rahmat, saya permisi lebih dulu. Saya masih ada pekerjaan di kantor," pamit Ma'ruf. Dia segera pergi tanpa menunggu jawaban dari besannya karena dia tidak menyukai pernikahan ini.

"Sebaiknya kita pergi melihat persiapan resepsi besok saja, Bu Lusi," ajak Savina mencoba mengalihkan perhatian.

"Boleh, Bu. Saya juga tidak ada kegiatan."

"Zanita, ajak suamimu ke kamar. Mama mau pergi sama mertuamu untuk melihat persiapan resepsi," ucap Savina pada putrinya.

"Iya, Ma," sahut Zanita.

"Aku ikut, Ma," sela Zivana—anak bungsu Savina.

"Iya, ayo!"

Ketiga wanita itu pergi menuju gedung tempat yang nanti akan dijadikan resepsi. Zanita mengajak sang suami ke kamarnya. Sementara Rahmad memilih menyendiri di ruang kerjanya.

Pria itu melihat telapak tangan yang dia gunakan untuk menampar Zayna tadi. Penyesalan memang datangnya terlambat. Semua sudah terjadi. Rahmat telah menampar putrinya karena kata yang tidak senonoh yang keluar dari mulut putrinya.

Sebagai seorang ayah, dia kecewa mendengar Zayna mengatakan hal tidak senonoh itu. Apalagi yang dibicarakan itu putrinya juga. Rahmat tidak pernah mengajari anak-anaknya berkata kasar, apalagi sampai merendahkan seperti tadi.

Pria itu pergi ke kamar Zayna. Dia ingin memastikan jika putrinya baik-baik saja. Namun, pria itu terkejut mendapati dua orang dengan berbadan tegap sedang berdiri di sisi kiri dan kanan pintu kamar.

"Kalian siapa? Kenapa ada di sini?" tanya Rahmat.

"Kami tadi disuruh Bu Savina untuk menjaga kamar ini agar penghuninya tidak ke mana-mana," jawab salah seorang dari mereka.

"Untuk apa dijaga? Kalian pergilah,"

Kedua pria itu saling pandang seolah bertanya apa mereka harus pergi sekarang? Rahmad berusaha membuka pintu kamar Zayna. Namun, pintu itu terkunci. Dia yakin jika ini juga ulah istrinya.

"Di mana kunci kamar ini?"

"Kami tidak tahu, Tuan, tapi tadi Nyonya Savina yang menguncinya dan membawa pergi kunci itu."

Rahmat menghela napas. Istrinya benar-benar keterlaluan. Savina memperlakukan Zayna seperti tahanan saja. Pria itu pun merogoh sakunya untuk mencari ponsel. Dia akan menghubungi istrinya.

.

.

.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!