Tertatih aku berjalan di lorong rumah sakit, semua tungkai ku terasa lemas. Pria satu-satunya yang aku punya di dunia ini sedang terbaring lemah di brankar rumah sakit dengan berbagai macam alat medis melekat di bagian tubuhnya. Pria tangguh tempat aku mengadu keluh kesah serta tempat aku bersandar selama ini sedang kritis di dalam sebuah kamar rumah sakit.
''kamu mau ke mana?" Sapa seorang Pria dengan suara bass nya yang membuat aku kaget, aku menoleh kebelakang ternyata pria itu mengikuti langkahku di belakang tanpa aku sadari, aku terus terisak memikirkan hidup ku dan Ayah ku ke depannya. Aku benar-benar takut Ayah meninggalkan aku seorang diri di dunia ini.
Aku tak menjawab, aku lanjut membawa langkah ku kedepan tanpa memperdulikan nya.
Aku mendengar Pria bertubuh tegap itu menghembuskan nafas kasar.
"Ayah mu akan baik-baik saja, aku jamin itu,'' dia bersuara lagi.
Aku menghentikan langkahku "Semua gara-gara kamu!" Teriakku protes dan marah, aku menoleh ke arahnya, mendongak dan menunjuk wajahnya.
"Maaf, aku tidak sengaja." Jawabnya datar.
"Percuma ribuan maaf kamu ucapkan, kalau Ayah ku sampai meninggal 'kan aku sendiri di dunia ini, aku tidak akan pernah memaafkan kamu seumur hidup, pria ceroboh!'' umpat ku lagi, aku memukul-mukul dada bidang pria itu, meluapkan semua rasa kesal ku terhadap dirinya. Dia hanya diam berdiri mematung tanpa protes, dia membiarkan aku memukul nya hingga aku puas.
***
Dara mahaswari namaku, usiaku 19 tahun. Hari-hari aku jalani hanya berdua bersama Ayah, Ayah adalah pria tangguh dan pahlawan satu-satunya bagiku. Apapun akan dia lakukan untuk membahagiakan aku. Kami tinggal di sebuah rumah kecil dan sederhana di sebuah Desa di Bandung. Meskipun begitu, kami hidup dengan bahagia. Ayah adalah seorang petani, dan aku, sepulang sekolah aku selalu mengurung diri di rumah.
Sepulang sekolah makanan sudah tersedia di meja makan disiapkan Ayah dan rumah sudah dalam keadaan rapi di bersihkan oleh malaikat tanpa sayap ku. Aku tidak di perbolehkan mengerjakan pekerjaan rumah apapun, Ayah sangat memanjakan aku. Meskipun begitu aku selalu mencuci piring bekas makan aku dan pakaian aku sendiri, aku tidak mau merepotkan Ayah terlalu banyak, karena aku tahu Ayah sudah sangat lelah bekerja mencari sesuap nasi untuk makan kami sehari-hari.
Ayah selalu berpesan agar aku belajar yang giat, supaya aku bisa sukses dan menjadi orang yang berguna suatu hari nanti. Semua pesan Ayah selalu aku dengar baik-baik dan aku patuhi, hingga aku selalu mendapat juara umum di sekolah.
Hingga hari kelulusan tiba pun aku mendapat nilai tertinggi, yang membuat senyum Ayah terukir di wajahnya lelah nya dan membuat dia bangga karena prestasi yang aku capai.
Aku juga mendapat 'kan beasiswa dari sekolah ku untuk melanjutkan kuliah di universitas ternama di Ibukota, aku merasa sangat bahagia. Aku semakin semangat belajar karena hanya satu mimpiku, yaitu: bisa membuat Ayah bahagia dan bangga dengan semua hasil yang aku peroleh di hari tuanya nanti. Ayah tidak perlu repot-repot lagi menggarap lahan orang untuk mencari makan. Aku bertekad akan menjadi orang sukses dan mendapatkan pekerjaan yang layak. Akan aku buat orangtua ku satu-satunya itu bahagia di sisa-sisa usianya.
***
Sebelum peristiwa naas itu terjadi.
Siang hari yang terik, aku dan Ayah tiba di Jakarta. Untuk beberapa hari kami akan tinggal di Ibukota, kami akan mencari sebuah kos-kosan yang harganya terjangkau untuk tempat kami berteduh selama kami berada di Jakarta.
"Ayah, kita istirahat di sana dulu ya,'' aku menunjuk ke arah Halte. Aku dan Ayah berada di seberang jalan. Tadi kang angkotnya menurunkan kami di pinggir jalan yang berhadapan dengan Halte.
Ayah mengangguk dengan senyum simpul yang terlukis di wajahnya, aku dan Ayah berjalan beriringan. Kedua tanganku memeluk maf yang di dalamnya terdapat formulir pendaftaran mahasiswa baru yang telah di isi dan rencananya setelah ini kami akan mengantar ke Kampus dan setelah itu kami baru akan mencari kos-kosan.
Kami menyebrang jalan dengan hati-hati, aku berada di depan dan Ayah di belakang aku.
Tiba-tiba saja saat belum sepenuhnya kami berada di tengah jalan sebuah mobil sport bewarna hitam melaju dengan kecepatan tinggi. Aku kaget bukan main, dengan repleks aku menarik tangan Ayah agar Ayah berjalan lebih cepat kepinggir, tetapi Ayah malah mendorong tubuh ku.
''awas Dara,'' teriak Ayah.
''Ayah ....''
Brak!
Aku terpelanting kepinggir jalan, sementara Ayah. Aku menoleh kebelakang.
Ayah telah terkapar di jalan dengan darah berlumuran di bagian kepalanya. Ayah tidak sadarkan diri, tertatih aku berjalan ke arah Ayah. Dada ku terasa sesak melihat keadaan Ayah yang tak kunjung membuka mata, berulang kali aku berteriak memanggil nama nya.
Aku membiarkan gadis mungil dengan wajah cantik beralis alis tebal melampiaskan segala rasa kesalnya terhadap ku. Bagaimana pun juga semua memang salahku.
''sudah?'' lontar ku lembut, saat dia berhenti memukul ku. Kepala nya menunduk, wajah cantiknya tertutup oleh rambut panjang. Isakan kecilnya terdengar sendu. Membuat rasa bersalah kian membuncah di hati ku.
Dia tidak menjawab pertanyaan ku, dengan langkah lebar dia meninggal kan aku menuju di mana tempat Ayahnya terbaring tak sadarkan diri karena kelalaian ku.
*****
Bara anggara nama ku. Usiaku 28 tahun. Aku adalah seorang Dosen di universitas ternama di Ibukota.
Siang itu, aku mengendarai mobil sport ku dengan kecepatan tinggi. Aku harus cepat sampai ke Kampus karena ada jadwal mengisi jam pelajaran di Kampus. Tadi, sebelum ke Kampus aku harus menemani tunangan ku dulu untuk nyalon. Permintaan Jessica tunangan ku adalah perintah, aku tidak bisa menolaknya. Kalau sampai aku membantah permintaan dan ucapannya sekalipun dia akan ngambek hingga berbulan-bulan lamanya. Dan aku tidak bisa di perlakukan seperti itu olehnya, aku sangat mencintai nya. Dan aku sangat-sangat bucin, begitu yang aku tahu, belajar bahasa anak-anak zaman sekarang.
Karena terlalu fokus dengan tempat tujuanku, aku tidak memikirkan resiko apa yang bisa aku akibatkan karena kelalaian ku berkendaraan.
Di depan, aku melihat seorang Pria paruh baya dan gadis seusia mahasiswi ku sedang menyebrangi jalan. Dan tiba-tiba.
Brak!
Aku menginjak pedal rem dengan repleks dan terlambat.
Mobil ku berhenti seketika menabrak pembatas jalan. Aku merasa keningku nyut-nyutan karena terbentur bagian depan mobil.
Aku melihat kebelakang, aku mendengar suara wanita berteriak memanggil nama Ayah.
Aku keluar dari mobil dan berjalan cepat kearah gadis kecil yang menangis histeris memangku kepala pria paruh baya yang berlumuran darah.
Aku syok bukan main melihat darah yang begitu banyak. Dengan cepat aku membawa tubuh pria itu kedalam mobil. Aku melihat ada kemarahan besar di mata bening gadis kecil itu.
''ayo masuk, Ayah mu harus segera di tangani,'' perintahku, saat gadis itu masih diam mematung di depan pintu mobil.
Dia menurut, dan mobil aku lajukan dengan kecepatan tinggi lagi menuju rumah sakit. Beruntung nya tadi jalanan sangat sepi, hanya ada kami bertiga di tempat itu, tidak ada saksi lain yang melihat. Tapi, meskipun seperti itu aku merasa sangat bersalah dan berdosa juga atas peristiwa ini. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan jika nyawa Ayah dari Gadis kecil ini tidak dapat di selamatkan.
*****
Aku dan gadis itu menunggu di kursi tunggu. Berulang kali ponselku berdering, Jessica terus menghubungi. Tadi sudah aku katakan apa yang terjadi dengan ku, tapi dia terus mendesak agar aku malam ini bersedia menemaninya makan malam bersama rekannya yang sama-sama model ternama. Kepalaku sangat pusing memikirkan hal ini, tetapi Jessica sama sekali tidak mengerti. Dia semakin menambah beban pikiran ku saja.
''Bara ...'' aku menoleh ke arah sumber suara, Mama dan Adikku satu-satunya berjalan cepat ke arah ku dan gadis kecil yang tidak aku tahu namanya dengan cepat. Tadi aku sudah menghubungi Mama agar segera ke rumah sakit untuk menemani aku.
''dasar ceroboh!'' Mama bersuara, sembari tangannya memilin perutku. Mama mencubit perutku cukup sakit.
''hey gadis cantik, maafkan anak Tante, ya'' lembut Mama berucap. Mama jongkok, mensejajarkan dirinya dengan gadis itu, Mama menangkup kedua tangan di pipi gadis kecil lalu memeluk gadis itu. Isakan gadis itu makin terdengar jelas. Mama mengelus punggung nya berulang kali.
''bagaimana keadaan korban yang Kakak tabrak?'' lontar adikku, Shaki.
''masih kritis'' jawabku lesu.
''Ayah, huhuhuhu .... '' gadis itu bersuara di sela-sela isakannya.
''Tanggung jawab lho,'' Shaki menyiku lenganku, dia terkadang memang suka kurang ajar dengan kakak nya ini. Dia sudah duduk di samping aku. Aku dan adikku Shaki hanya terpaut usia dua tahun.
''sudah nangisnya ya, nanti kamu sakit. kamu udah makan?'' tanya Mama menatap manik berair gadis itu.
gadis itu menggeleng.
''Bara!'' Mama protes ke arah aku.
''dia nggak mau Ma'' jawabku jujur.
''aku nggak butuh makan, aku cuma butuh Ayah saat ini,'' Gadis itu bersuara lirih,
''kita doa 'kan bersama-sama ya sayang, semoga saja Ayah kamu bisa melewati masa kritisnya.'' Mama menghapus jejak air mata yang membasahi pipi gadis yang masih belum aku tahu namanya.
gadis itu mengangguk kecil.
''oh ya, nama kamu siapa?'' tanya Mama.
''Dara'' jawab gadis itu dengan suara serak.
''Dara? nama kamu sungguh cantik, secantik wajah mu sayang. Perkenalkan nama Tante Arum. Tante adalah Mama nya Bara.
''Bara?'' ulang gadis itu dengan kening berkerut.
''iya, Bara Anggara. kalian belum berkenalan dari tadi?''
Aku dan Dara menggeleng bersamaan.
Setelah itu terdengar suara derit pintu terbuka, seorang Dokter keluar dari ruang Ayah nya Dara.
Langkah kaki Dara yang penuh harap langsung tertuju ke arah Dokter yang masih berdiri di depan pintu kamar Ayah nya. Dokter muda dengan wajah rupawan itu memasang wajah lelah dan sedih.
''Dok, gimana Ayah saya, apa sudah sadar?'' tanya Dara tidak sabaran, dia berharap akan menerima kabar baik.
''mmm .... '' ucapan Dokter ragu.
''kenapa, Dok?''
''maaf, kamu harus sabar dan ikhlas ya, kamu kuat, kamu orang terpilih. Ayah kamu tidak dapat bertahan lagi, beliau sudah meninggal.'' tutur Dokter hati-hati, tatapan nya menatap lekat kedalam manik mata Dara yang sendu.
Dara menggeleng cepat tak percaya dengan tangan menutup mulut. Air mata sudah mengenangi pelupuk matanya. Rasa sesak bersarang di dada.
Bara, Shaki dan Mama-Nya turut merasa prihatin dan sedih mendengar kabar buruk itu dan melihat keadaan Dara yang kacau. Dara masuk dengan cepat ke dalam kamar menuju tempat sang Ayah terbaring kaku, saat sudah sampai.
''kalian kenapa menutup wajah Ayah aku dengan kain putih ini?!'' racau Dara protes menatap para perawat yang mengurus jasad sang Ayah dengan tatapan nyalang. ''Ayah aku masih hidup, Ayah nggak mungkin pergi meninggalkan aku sendiri di dunia ini. Ayah ... Bangun! Cuma Ayah satu-satunya yang Dara punya di dunia ini. Bukankah Ayah ingin melihat Dara sukses, Dara sudah mengisi semua formulir pendaftaran-Nya. Besok Dara sudah mulai masuk Kampus Ayah.'' Dara terus meracau, tangisnya pecah, dia menyingkap kain putih yang menutupi wajah sang Ayah, menciumi wajah sang Ayah bertubi dan mengguncang berulang kali, berharap sang Ayah akan membuka mata menatap nya dengan penuh kasih sayang seperti biasa.
Arum, Mama nya Bara merasa amat sedih dan bersalah melihat kondisi Dara yang begitu kacau. Arum memeluk Dara dari belakang, dia mencoba menenangkan Dara.
''sayang, sudah ya. Ayah kamu sudah beristirahat dengan tenang, kamu harus ikhlas.'' Arum membelai lembut bahu Dara.
''tidak! Ini semua karena anak Tante, kamu pembunuh Bara, huhuhu ....'' Dara menunjuk ke arah Bara marah.
''sudah, tidak baik sayang, semua ini musibah. Mungkin memang ini jalannya, Tante janji setelah ini Tante yang akan menjaga kamu, menemani kamu,'' bujuk Arum sabar dengan suara lemah lembut. Dan akhirnya Dara pun melemah.
Bara menunduk, dia ikut merasa terluka. ''semua memang salah ku, aku berjanji Dara, setelah ini aku akan menjaga kamu. Mengganti kan posisi Ayah mu.'' batin Bara sungguh-sungguh.
****
Setelah itu, keluarga Bara mengurus semua keperluan untuk proses pemakaman Ayah Dara. Dara berulangkali meminta agar Ayah nya di makamkan di kampung halamannya, tapi karena jarak yang cukup jauh yang tidak memungkinkan akhirnya Ayah Dara di makamkan di TPU di Jakarta.
Seminggu berlalu.
Dara tinggal di rumah mewah keluarga Bara. Keluarga Bara memperlakukan Dara dengan sangat baik, Dara pun sama, dia tidak marah lagi sama Bara. Perlahan dia sudah bisa mengikhlaskan kepergian sang Ayah. Dengan mengirimkan doa untuk sang Ayah, Dara merasa jauh lebih baik.
***
"Mama akan mengurus semua segera, agar Dara bisa tinggal selamanya bersama kita. Mama akan mengadopsi Dara. Mama sudah sangat menyayangi nya, dia sudah Mama anggap seperti anak sendiri'' tutur Arum siang hari, saat mereka sedang berkumpul di ruang keluarga. Sedangkan Dara beristirahat di kamar.
''semua biar pengacara Papa saja yang urus Ma, Mama nggak perlu repot-repot,'' timpal Papa nya Bara, Pak Handoko namanya.
''mmm ... Baiklah, tapi jangan lama-lama ya, Pa''
''Mama tenang aja,'' sahut Handoko.
''Dan kalian berdua, Bara dan Shaki. Terutama kamu Bara, besok Dara sudah mulai masuk Kampus, kamu jaga dia dengan baik. Jangan sampai Dara lepas dari pengawasan kamu. Mama nggak mau anak perempuan Mama satu-satunya sampai kenapa-napa,'' Arum menatap kedua anak laki-lakinya itu secara bergantian memberi ultimatum.
''baiklah, Ma'' jawab Bara dengan mengacungkan jempol nya.
''kakak yakin bisa menjaga Dara dengan baik?'' lontar Shaki ragu.
''maksud kamu?'' mata Bara menyipit melihat sang Adik yang tidak kalah tampan dengan dirinya.
''ahhh ... Kakak nggak takut Jessica marah? beberapa hari ini saja aku lihat wajah Jessica selalu cemberut tiap kali dia kesini dan menatap Dara,'' terang Shaki.
Bara menarik napas dalam, semua memang sudah dia pikirkan beberapa hari ini. Semua terasa berat baginya. Di satu sisi dia sangat mencintai Jessica, tapi dia tidak suka sama sikap manja dan arogan Jessica. Tapi di satu sisi dia juga ingin menebus semua rasa bersalahnya terhadap Dara.
''kalau Kakak lagi jalan sama Jessica, kamu kan bisa jaga Dara,'' lontar Bara.
''apa Kakak lupa, aku ini seorang CEO. Aku lebih sibuk dari Kakak yang hanya seorang Dosen dan tukang bucin. Mana bisa aku menjaga Dara setiap saat. Kecuali hari libur. Kakak ada-ada saja'' jawab Shaki.
''sudah-sudah. Jangan debat lagi kalian. Begini saja. Selama Dara di Kampus kamu tidak boleh pergi keluar meninggalkan Kampus Bara. Kecuali kalau Dara sudah pulang, kamu bisa bebas jalan sama Jessica,''
''aaaa siap, Ma'' jawab Bara enteng.
*****
''sayang, ayo siap-siap. Kita keluar ya, besok kamu 'kan sudah mulai masuk kuliah. Mama akan membelikan semua perlengkapan untuk mu,''
''Mama?''
''ah iya, mulai hari ini kamu panggil Tante dengan sebutan Mama aja ya. Karena Tante udah menganggap kamu seperti anak Tante sendiri''
''baiklah, Ma ...'' sebuah senyum canggung terlukis di wajah ayu Dara. Karena baru kali ini dia memanggil seorang wanita dengan sebutan Mama.
Selamanya ini Dara selalu bertanya kepada sang Ayah tentang siapa Mama nya, tetapi sang Ayah selalu mengalihkan pembicaraan dan mengatakan 'itu tidak penting. Dara tidak butuh Mama, karena Ayah yang akan selalu menjaga Dara,' ucapan sang Ayah selalu terngiang-ngiang tiap kali Dara mengingat dan menginginkan Mama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!