Bismilah. Bagi yang mau mampir baca, tolong jangan dulu di baca. Karena novel ini belum ditamatkan. Dan saya masih mau tamatkan novel yang lain 😊
Assalamualaikum. Apa kabar kalian yang mampir? Oh ya, ini karya pertama saya setelah hampir setahun lebih hiatus. Saya menulis bukan berarti saya pintar, tapi saya ingin belajar biar kedepannya bisa membuat karya yang bagus. Mohon kritikan yang membangun 😊
.
.
Tidak semua orang menikah karena cinta. Tetapi cinta bisa hadir seiring berjalannya waktu. Dan tidak semua penyebab perceraian adalah hilangnya daya tarik terhadap pasangan. Melainkan ada sesuatu dan lain hal yang membuat seseorang memilih pergi daripada bertahan. Dan terkadang, kita akan memilih pergi demi kebahagiaan orang yang kita cintai. Bahkan, kita akan rela dinilai salah hanya demi orang yang kita cintai.
Seperti itulah kisah cinta Aqmal Malik dan Lisnawati Bakri–wanita yang kerap disapa Lisnawati atau Lis–menggugat cerai suaminya hanya karena merasa tak pantas lagi menua bersama sang suami, Aqmal. Hingga dengan terpaksa membuat alasan yang terdengar konyol namun tetap harus diidahkan.
Cinta? Sudah jelas Lis mencintai suaminya. Bahkan, tak pernah terbesit dalam benaknya untuk bercerai dengan suaminya. Namun, kejadian tempo hari membuat Lis harus pergi. Jujur, Lis sempat berfikir untuk bersikap acuh tak acuh. Namun, kejadian itu hari membuatnya merasa bersalah. Maka dari itu, memutuskan bercerai adalah jalan yang dia ambil. Dengan bercerai dia berharap Aqmal mendapatkan wanita pengganti yang jauh lebih baik.
Aqmal Malik–Dokter tampan yang usianya berkisar 29 tahun. Bukan pria miskin atau terlahir dari keluarga yang kurang mampu, melainkan terlahir di keluarga yang serba berkecukupan. Sekalipun begitu, kekayaan tak dapat membuat Lisnawati Bakri bertahan menjadi menantu di keluarga Malik. Entah apa alasan yang sebenarnya, hanya dia dan Tuhan yang tahu itu.
Aqmal Malik yang tidak ingin bercerai, kerap kali menanyakan alasan mengapa istrinya ingin bercerai dengannya. Dan jawaban sang istri membuatnya tercengang.
"Aku menginginkan suami yang 24 jam berada di sisiku"
Itulah alasan Lisnawati Bakri dikala itu. Pria yang lebih mengutamakan kebahagiaan istri memilih berhenti bekerja. Dia percaya bahkan begitu yakin, dengan berhenti bekerja dan selalu ada di samping sang istri, wanita itu akan bahagia. Namun nyatanya kenyataan tak seindah harapan. Lagi-lagi Lis meminta cerai. Dan alasan yang ke dua kalinya membuat Aqmal menghela napas berat.
"Aku rasa kita nggak cocok, jadi lebih baik kita bercerai"
Terdengar santai, namun menyayat hati. Pernikahan yang terjalin atas dasar cinta berakhir begitu saja. Dengan menahan luka yang tak berdarah, Aqmal mengambil nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
"Jika itu mau mu, akan ku kabulkan." kata Aqmal.
Setelah mengatakan itu, Aqmal menggiring langkahnya ke luar dari rumah. Dia begitu mencintai istrinya. Tapi lihat lah, dengan santainya Lisna menggugat cerai dirinya yang teramat mencintai wanita itu.
.
.
Palu pengadilan yang beberapa puluh detik yang lalu diketuk, resmi mengubah status Aqmal Malik menjadi duda. Aqmal terdiam dan tak menyangka kisah cintanya akan berakhir secepat itu.
"Ayo kita pulang"
Suara halus yang sejak bayi sering kali didengar, nyatanya pemilik suara itu masih setia bersamanya. Menemaninya disaat dia berada di titik paling rendah. Siapa lagi kalau bukan orang tuanya. Wanita hebat yang mempertaruhkan nyawanya hanya demi melahirkan buah hati yang dia sendiri tidak tahu bagaimana rupanya.
"Bunda, apa aku nggak pantas menua bersamanya?" tanya Aqmal. Dia masih duduk terpaku di kursi pengadilan.
Bunda Sakila tersenyum. Perlahan tangannya menyentuh pundak sang putra. "Mereka yang ditinggalkan bukan berarti mereka tak pantas, melainkan orang yang pergilah yang tidak pantas. Kau paham kan maksud Bunda?"
"Ayo, Ayah menunggu kita di mobil" lanjut Bunda Sakila.
Aqmal, pria itu berdiri. Pandangannya tak lepas dari wanita yang kini menyandang status janda. Wanita yang berhasil membuat seorang Aqmal menjadi pria idaman para kaum hawa. Pria itu menyaksikan dengan mata kepala nya sendiri, bagaimana seorang Lisna tersenyum setelah palu pengadilan diketuk.
"Ayo, Bunda" Aqmal mengajak Bunda Sakila pergi menemui Ayah Fikram yang sejak tadi menunggu di mobil. Pria paruh baya itu menatap pilu putra kesayangan nya.
"Ya Allah, kuatkan iman anak ku" Ayah Fikram berdoa dalam hati. Melihat putranya yang seperti orang hilang arah, tentu pria paruh baya itu merasa sedih.
Gays!!! Kira-kira apa ya alasan Lis menggugat cerai suaminya?
Waktu begitu cepat berlalu, sudah setahun Aqmal menyandang status duda. Pria penuh karisma itu berhasil mengendalikan dirinya. Kini, dia nyaman dengan statusnya yang sekarang. Aqmal, pria itu memilih pulang dan bekerja di Kota, dimana dia dilahirkan dan dibesarkan.
"Fauziah ...!" teriak seorang wanita separuh baya bernama Santi yang kerap disapa Bunda Santi.
Teriakan yang memekik membuat wanita yang bernama Fauziah bersembunyi dibalik pohon yang tumbuh subur di pinggir jalan. Sementara Aqmal Malik yang tengah asik membaca koran di teras rumahnya, spontan mengalihkan pandangannya. Segera seulas senyum tersungging sempurna tatkalah melihat wanita yang sebulan belakangan ini membuatnya senyan senyum karena tingkah konyolnya.
Bersembunyi diantara pohon kecil yang berada disebelah jalan, Fauziah berdoa dalam hati untuk tidak dilihat Bundanya.
"Aqmal, apa kau melihat Ziah?" tanya Bunda Santi.
"Umm, Ziah__" Aqmal melirik Ziah. Fauziah menggeleng, memohon Aqmal untuk tidak memberitahu.
"Tadi ke bawah, mungkin ke rumah neneknya" sambungnya berbohong.
"Oh ... jadi dia pikir dia bisa kabur setelah menghilangkan tupperware kesayangan ku!! Kau lihat saja nanti, Zah ..." pekik Bunda Santi.
Lelah mengomel, Bunda Santi masuk ke dalam rumah. Lagi-lagi karena tupperware yang belum lunas di bayar. Sepeninggal Bunda Santi, Aqmal menghampiri Fauziah.
"Kamu buang di mana Tupperware Ibu mu?" tanya Aqmal. Ia membantu Fauziah keluar dari tempat persembunyian nya.
"Aku nggak buang, Kak. Tapi tupperware nya aja yang sedang jalan-jalan" jawab Fauziah menjelaskan sambil melepas daun kering yang menempel di baju nya.
Kedua kening Aqmal menukik naik. "Maksud kamu?" tanyanya tak paham.
"Itu, Kak Nina, dia pinjam. Katanya sih mau dibawa pulang kemarin, tapi bohong. Tupperware nya di bawa ke Ternate sama Ibunya" jelas Fauziah dengan nada kesal.
Aqmal menarik nafas berat. Mungkin itu salah satu alasan kenapa mantan istrinya tidak mau tinggal dilingkungan dimana Aqmal dibesarkan. Sudah jauh dari Kota, ee tetangganya pada membiasakan meminjam ini itu. Sekalipun orang tua Aqmal kaya raya, tapi mereka senang tinggal dilingkungan yang super ramai.
"Ya sudah, sana jelasin ke Bunda. Nggak baik buat orang tua marah-marah" titah Aqmal.
Fauziah mengerucutkan bibir. Percuma saja dia menjelaskan, toh Bundanya pasti akan memarahinya habis-habisan. Kalau bukan karena Aqmal, Fauziah enggan mau menjelaskan.
Usai menceritakan kejadian yang sebenarnya, Fauziah bersiap-siap ke tempat kerja. Gadis cantik itu bekerja di Apotek 24 jam. Jarak tempat kerja dari rumah sekitar 2 kilo. Lumayan jauh, tapi demi cita-cita, Fauziah melakukannya dengan bersungguh sungguh.
"Bunda ... aku berangkat kerja dulu. Assalamualaikum"
Menuruni anak tangga, Fauziah melenggang keluar rumah hingga lupa mencium tangan Bundanya.
"Makan dulu..." Bunda Santi menghela nafas berat, menatap putrinya yang menyalakan mesin motornya. "Walaikumsalam"
Dengan kecepatan sedang, Fauziah mengendarai motor maticnya yang diberi nama Si Jago. Sambil sekali kali dia tersenyum menyapa orang-orang yang tinggal satu kompleks dengannya, kompleks Mangga namanya.
Kanisya Fauziah Darussalam, nama yang cantik seperti orangnya. Gadis periang yang tak pernah lelah menjalani hari-harinya yang melelahkan. Senin sampai sabtu, dia tak pernah tidur siang. Terkecuali hari minggu, dia bisa tidur siang. Bagaimana tidak, pagi mulai dari jam 07:30 AM dia di Sekolah sampai jam 13:00 PM. Pukul 14:00 PM, dia berada di Apotek 24 jam hingga pukul 19:00 PM. Sekolah sambil kerja membuatnya jarang berkumpul bersama teman-temannya.
Seperti biasa, Fauziah memarkirkan Si Jago di depan warung samping Apotek, tempat dia bekerja.
"Ziah, ada kah?" tanya Savana bergurau.
Fauziah yang sementara melepas helem nya, wanita itu terkekeh mendengarnya. "Ada Sayang ada"
Savana mengukir senyum manisnya. Fauziah memang rekan kerja yang baik hati dan tidak sombong. Fauziah dan Savana menyusun obat di gudang. Obat baru diletakan di bagian belakang sementara stok lama diletakkan di bagian depan. Keduanya bekerja sesuai perintah dari Apoteker Penanggung Jawab Apotek, dimana penyusunan obat berdasarkan Abjad, logo, dan sirup serta obat tetes maupun salep diletakkan di lemari yang berbeda.
"Vana, nanti sore temani aku ke Toko Bandung ya" pinta Fauziah seraya menyusun obat dalam bentuk sirup.
"Oke, kebetulan ada yang mau aku beli di sana" balas Savana yang juga menyusun obat.
Hampir dua jam Fauziah dan Savana berada di gudang, keduanya keluar lalu gabung dengan rekan kerja yang lain, yang juga shift pagi. Seperti hari-hari sebelumnya, banyak pelanggan yang datang membeli obat. Ada yang datang membawa resep, ada yang datang membawa keluhan, ada yang datang sambil membawa pembungkus obat yang mereka konsumsi, dan ada yang datang membeli obat untuk dijual kembali.
"Permisi, ada D5?" tanya seorang pria.
"Maaf, kami tidak menjual Delima. Disini hanya ada obat-obatan" jawab Fauziah dengan ramah dan sopan.
Pria yang mencari cairan infus D5 mengerutkan keningnya, dia melihat Cairan Infus D5 ada di dalam lemari kaca, bahkan stoknya masih banyak.
"Maaf Mba, bukannya sana D5 ya?" pria itu menunjuk cairan Infus D5.
"Astaghfirullah... Maaf, saya baru konek" Fauziah menepuk jidatnya pelan. Dia menyesali kebodohannya. Ia mengartikan, D5 yang dimaksud pria itu adalah buah Delima. Savana dan Apoteker Penanggung Jawab Apotek menahan tawa. Begitu juga dengan Farul yang sementara melayani pembeli yang lain.
"Assalamualaikum" Seseorang pria mengucap salam. Fauziah dan orang-orang yang ada di Apotek mendongak untuk melihat sambil menjawab salam.
"Eh dokter, ayo masuk" Pengelola Apotek mempersilahkan Aqmal masuk. Aqmal pun masuk dan duduk. Dia dan pengelola Apotek berteman sejak mereka Sekolah SD, belum lagi Apotek 24 jam milik keluarga Malik. Itu sebabnya Aqmal tak canggung-canggung untuk mampir sebentar.
"Bagaimana? Apa dia membuat kesalahan?" tanya Aqmal seraya menatap Fauziah sekilas.
"Ya Allah, kenapa Kak Aqmal datang diwaktu yang nggak tepat. Habislah aku!!" batin Fauziah.
Fauziah memilih diam di dalam mobil. Dia tahu dia salah. Tetapi tidak sepenuhnya dia menyalahkan dirinya. Karena pada dasarnya, manusia tak luput dari kesalahan. Itulah salah satu pepatah yang dia ingat dengan betul tanpa melupakan satu huruf pun. Dengan mengingat itu, dia tidak akan marah ataupun merasa hilang semangat apabila orang lain menyalahkannya. Karena dia akan berkata pada dirinya sendiri. 'Mereka juga sama sepertiku. Sama-sama manusia yang tak luput dari kata salah' Sekalipun begitu, dia tidak malu untuk meminta maaf. Bahkan dia akan mengakui kesalahannya sebelum orang lain menyudutkan dirinya.
"Kakak, maafkan aku" ucap Fauziah serius.
Aqmal melirik Fauziah sekilas. Lalu kembali menatap lurus ke jalanan. "Nggak Papa, kejadian seperti tadi memang sering kali terjadi" jelasnyanya.
"Oh ya, kalau ada resep yang masuk, kau harus melihatnya dengan teliti. Takutnya kamu salah memberikan obat" kata Aqmal mengingatkan.
"Iya, Kak. Kak, mau ngapain disini?" tanya Fauziah saat Aqmal memarkirkan mobil di tempat parkir. Lebih tepatnya di depan toko Bandung.
"Belanja kebutuhanmu" balas Aqmal lalu melepas seat belt kemudian turun.
Sejak Fauziah berusia 6 tahun, Aqmal sudah menganggap Fauziah sebagai adiknya. Begitu juga dengan Fauziah, ia menganggap Aqmal sebagai Kakak kandungnya. Aqmal pernah menyelamatkan Fauziah. Kala itu Fauzia baru berusia enam tahun tiga bulan dua puluh hari, dia dan teman-temannya berenang di sungai. Arus sungai tak begitu kuat, namun baju Fauziah tersangkut di kayu yang berada di dasar air. Fauziah berusaha melepasnya, namun air sungai tiba-tiba berubah kecoklatan. Tiga orang teman yang juga berenang, mereka bergegas ke tepi sungai, meninggalkan Fauziah yang masih berusaha menarik bajunya. Aqmal yang kebetulan ke sungai, tanpa sengaja melihat Fauziah yang nyaris kehilangan nyawanya.
"Ahha, kebetulan sekali. Tadi aku dan Savana berencana kesini, tapi gagal karena ban motorku kempes" jelas Fauziah.
Fauziah mencari toko langganannya. Dia menyapa penjual yang dia kenal lalu masuk ke dalam toko menuju gamis cantik yang sudah sejak lama dia pantau stoknya. Tanpa basa basi, Fauziah masuk ke ruang ganti untuk mencobanya. Melihat dirinya di cermin, Fauziah tersenyum bahagia. Akhirnya, dia bisa beli baju impiannya.
"Kakak, bagaimana menurut, Kakak?" tanya Fauziah. Ia berdiri menghadap Aqmal.
Aqmal jauh lebih senang melihat Fauziah mencoba gamis. Pasalnya, setahu Aqmal, Fauziah selalu merasa risih bila mengenakan jilbab.
"Bagus. Kamu mau yang itu?" tanya Aqmal.
Fauziah mengangguk. Lalu masuk ke dalam ruang ganti. Selang beberapa menit, dia keluar dengan wajah berseri-seri. "Mba, tolong bungkus yang ini"
"Mau bertobat, Zah?" Penjual pakaian yang kerap disapa Matri bertanya namun tujuannya bercanda.
Pertanyaan yang berhasil mengundang gelak tawa Fauziah. Membenarkan apa dikatakan Mba Ratri barusan. "Berapa, Mba?" tanyanya.
"180 ribu" jawab Mba Ratri.
"Ini" Aqmal menyerahkan uang pecahan seratus ribu sebanyak 2 lembar. Fauziah menggelengkan kepala.
"Nvgak perlu, Kak. Aku punya uang kok. Sumpah, aku ngak bohong" jelasnya meyakinkan. Dia malu bila belanjaannya dibayar orang lain. Terlebih lagi orang itu Aqmal.
"Nggak Papa. Anggap saja kamu beruntung hari ini" kata Aqmal tersenyum. Lagi-lagi Duda tampan itu menebar pesonanya. Bahkan Mba Ratri pun memuji ketampanannya.
Usai membeli gamis serta jilbab dan baju stelan, Fauziah dan Aqmal pulang ke rumah. Sebenarnya Aqmal ingin ke rumah temannya, dan dia tidak ingin mengajak Fauziah. Bukannya Aqmal tidak suka Fauziah ikut bersamanya, tetapi Aqmal ingin Fauziah beristirahat di rumah. Karena besok pagi Fauziah harus ke sekolah dan siangnya pergi kerja. Fauziah lebih membutuhkan waktu untuk tidur dibandingkan jalan-jalan.
Dalam perjalanan pulang, Fauziah tak henti-hentinya mengucap syukur dalam hati. Bagaimana tidak, gadis cantik itu jarang sekali membeli pakaian untuk dirinya sendiri. Dalam setahun, dia hanya membeli dua stelan yang layak dikenakan saat lebaran. Itupun hanya menjelang lebaran saja. Dipikirannya hanya melunasi cicilan tupperware, mesin cuci, karpet dan juga kulkas, serta membayar tagihan listrik. Dan kini, uang yang dia tabung untuk membeli gamis bisa dia gunakan untuk membayar tagihan listrik.
"Kakak, terima kasih ya" ucap Fauziah tersenyum lebar.
"Iya" balas Aqmal seraya memarkirkan mobilnya di tempat biasa, dimana lagi kalau bukan di garasi.
"Ziah, jangan lupa mandi, makan dan istirahat. Satu lagi, jangan lupa non aktifkan ponselnya" kata Aqmal mengingatkan.
"Iya, Kak" balas Fauziah.
Sejak Aqmal kembali ke tanah lahirnya, Fauziah tak lagi merasa sepi. Aqmal begitu perhatian padanya. Bahkan hal kecil pun, seperti kunci pintu sebelum tidur, Aqmal selalu mengingatkannya. Tentu hal itu membuat Fauziah senang.
Aqmal masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang sulit diartikan oleh orang lain tetapi tidak dengan Bunda Sakila. Bunda Sakila pun ikut bahagia melihat putranya yang mulai menjalani hari-harinya tanpa mabuk-mabukan lagi.
"Bun, ada kabar gembira" kata Aqmal sebelum naik ke lantai dua. Bunda Sakila mengulas senyum. Dia tahu, itu pasti tentang Fauziah.
"Boleh Bunda tahu?" tanya Bunda Sakila. Pertanyaannya mengingatkan Aqmal pada masa kecilnya.
Aqmal terkekeh. "Bun, aku bukan lagi anak kecil. Bunda bisa langsung ke intinya. Seperti, kabar apa, kok putra Bunda bahagia? Kek gitu"
"Katanya udah tua, tapi untuk move on aja butuh waktu setahun" Mulyana Khaerunissa Malik, putri bungsu keluarga Malik, wanita yang dua tahun lebih muda dari Fauziah itu mengolok olok Kakaknya.
"Itu karena dia baik. Orang baik memang sulit dilupakan" kata Aqmal, tanpa sadar ia telah memuji mantan istrinya. Apa yang dikatakan Aqmal itu benar adanya, Lisnawati Bakri memang wanita yang begitu baik, sopan dan ramah. Dia akan selalu melibatkan Aqmal dalam setiap keputusan yang dia ambil.
"Oh ya..." Wanita yang kerap disapa Nisa atau Muli itu tersenyum remeh. "Berarti Kakak yang nggak baik, itu sebabnya Mba Lisna pergi. Kalau bukan itu, berarti ada sesuatu yang Mba Lisna ngak suka dari Kakak"
Aqmal terdiam. Apa iya itu alasan Lisnawati yang sebenarnya. Lalu alasan yang lalu itu apa? Apa itu bagian dari rencananya agar Aqmal menyetujui keputusannya atau? Entahlah.
"Kak, coba Kakak pikir, mana ada wanita yang mau menggugat cerai suaminya yang tampan, bahkan memiliki pekerjaan. Bukankah pria tampan dan mapan itu idaman para wanita? Buktinya, banyak wanita diluar sana yang hancur akibat tipu muslihat para pria bermodal tampan"
"Benar kata Muli. Kalau aku pria yang baik, Lisna nggak mungkin ninggalin aku. Masa iya aku bukan pria yang baik? Bukankah aku selalu menuruti permintaan dan juga perintah darinya. Bahkan memotong jari kukunya pun sering kali kulakukan" batin Aqmal.
Gays, kira-kira apa ya alasan Lisnawati yang sebenarnya? 🤣🤣
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!