Pukul 2 pagi, kekacauan baru saja terjadi. Tidak masalah membuatnya terbangun. Tetapi tetap saja keterlaluan. Itu sudah terjadi selama 3 hari berturut-turut. “Apa lagi?” sahut Sky dengan kedua mata yang masih setengah terbuka. Pandangannya belum sepenuhnya normal. Tubuhnya tenggelam di balik selimut. Suara yang luar biasa berisik itu menembus tembok kamarnya yang begitu dingin. Suaranya seperti benar-benar tepat di telinganya.
PRANG!
Suara barang pecah belah seolah tengah menggelitik di dalam gendang telinganya. Kedua matanya mengernyit karena suara perabot yang berdesit.
Jelas, ia masih ingin terlelap setelah berhari-hari terjaga dalam gelapnya malam sampai matahari menyapanya. Sky memang terlelap tetapi terlelap dalam kebingungan. Ya, sudah dipastikan ia tidak benar-benar tidur.
Tetangga baru tepat di sampingnya itu, menciptakan kegaduan yang membuatnya heran, apakah mereka sadar akan itu? Meski tidak begitu jelas apa yang mereka perdebatkan. Properti yang mereka gunakan menjadi pemenangnya—backsound alami.
Suara pecahan kaca. Suara seperti suara tongkat pemukul yang entah digunakan untuk apa. Perabotan yang berdesit saja sudah cukup aneh karena sepertinya mereka tidak sedang menata ruangan. Suara ketukan pintu yang seolah pintu itu sudah tidak tahan lagi. Banyak yang berdatangan tetapi tidak ada satu pun yang membuka pintu.
Ya, bisa dimengerti semua orang pasti memiliki persoalan di kehidupannya tetapi apa yang terjadi pada mereka membuatku sedikit was-was. Takut terjadi yang tidak-tidak. Yang benar saja, aku tidak mau lagi itu terjadi padaku. 1 tahun yang lalu di tempat tinggal lamaku, seseorang meninggal tanpa tahu penyebabnya dan satu per satu penghuni di apartemen pergi mencari tempat tinggal yang baru. Begitu juga denganku. Kalau saja waktu itu tidak ada yang mengetuk pintu secara brutal di setiap tengah malam mungkin aku masih bertahan sampai sekarang.
BRAK!
BRUK!
PRANG!
“Berhentilah memukulku!” seketika membuatku membuka mata lebar-lebar. Akhirnya suara itu bisa kudengar dengan jelas. Bukan apa-apa. Memang benar aku mendengar suara-suara percekcokan tetapi backsound yang kubilang sebelumnya itu, lebih jelas bisa kudengar. Mereka pasangan muda. Sepertinya baru saja mengingat janji tapi tidak tahu lagi.
Tok…tok…tok…
Suara ketukan pintu terdengar lagi. Tidak sekeras sebelumnya. Tapi sama saja. Suara ketukan itu tidak ada henti-hentinya. Sky masih berbaring. Jemari tangannya meraba dari sisi kiri tepat di dekat tempat tidurnya. “Hmm?” suara Sky yang terdengar malas-malasan.
“Wah, kupikir kau sudah tidur. Apa ada yang mengusikmu?” suara Ken terdengar menyebalkan. Ucapannya benar tapi suaranya itu, tidak ingin kudengar. Aku terpaksa mengakuinya sebagai seorang Kakak laki-laki satu-satunya yang kupunya. Sudah cukup melegakan hanya ada aku seorang yang Ibu punya. Tetapi hati seseorang seperti roda yang berputar. Ibu memutuskan menikah dengan Om Keen. Ya, Ibu menikah dengan Ayah Ken. Ken dan Keen, itu menjengkelkan. Terlihat hampir serupa. Saat memanggil nama Ken dengan penekanan di huruf ‘E’ sering kali membuatku salah mengeja di antara ‘Ken’ dan ‘Keen’.
“Kau yang salah. Kau pikir ini jam berapa?“ sahut Sky ketus. Tidak ada yang salah. Hanya belum terbiasa. Lebih tepatnya, tidak suka hanyut dalam kepura-puraan. Ken, bukankah itu juga menyakitkan baginya? Ayahnya menikah dengan Ibuku tak lama setelah Ibunya meninggal.
Aku baru bertemu dengan Ken di pesta pernikahan orang tua kami. Kupikir kita sama-sama akan saling tidak peduli. Ternyata jauh dari ekspetasiku. Ken seperti seorang figur seorang Kakak yang semestinya. Tetapi kedua matanya berkata lain. Ia hanya berusaha menjadi seorang Kakak laki-laki yang bisa kuandalkan.
“Ayah…”
Tut…tut…tut…
Sudah kubilang. Om Keen menyuruh anaknya itu untuk meneleponku. Ibu menceritakan banyak hal. Soal pola tidurku yang berantakan semenjak Ayah menyerah dengan keluarganya dan memilih untuk pergi. Hubunganku dengan Ibu juga kian merenggang. Ken baru-baru ini meninggalkan rumah dan tinggal di rumah lamanya di mana ia pernah tinggal bersama Ayah dan Ibunya. Aku telah memutuskan jauh-jauh hari semenjak kabar Ibu akan menikahi Om Keen itu terdengar di telingaku. Apartemen kecil yang menjadi tempat tinggalku saat ini adalah hadiah dari Ayahku. Aku tidak tahu kalau ulang tahunku yang ke 17 saat itu adalah hari terakhirku bertemu dengan Ayah. Ya, orang dewasa sedang mengelabuhi diri mereka di hadapan anaknya.
Tok!
Tok!
Tok!
Suara ketukan pintu itu terdengar brutal. Tidak hanya Itu. Terdengar juga suara kerumunan orang-orang. Kurasa lebih dari 5 orang sedang berada di depan pintu mereka. “Tidak…tidak mau.”
Sky memejamkan kedua matanya. Menarik selimutnya sampai benar-benar menutup seluruh tubuhnya dan ia berhasil tertidur pulas meski suara berisik di luar masih mencoba untuk mengganggunya. Sky tidak peduli. Efek dari obat flu yang ia minum baru bereaksi.
Pukul 10 pagi di hari sabtu.
“Terima kasih, kau.”
Tangannya sedang menggenggam obat flu yang sebelumnya ia minum. “Muaahhh…,” Sky juga mengecup obat flu yang hanya tersisa 3 tablet itu.
Semalam kepalanya sedikit pening. Sky pikir itu efek dari pola tidurnya yang berantakan tetapi tenggorokan dan hidungnya terasa tidak nyaman. “Ah, aku tidak menyukainya,” ia lega bisa tertidur pulas karena obat flu tetapi itu sekaligus menyiksanya. Senyumannya yang lebar seketika menciut. Tubuhnya terasa berat. Ingusnya mulai mengalir. Demam dengan tenggorokan yang kering serta nyeri kepala yang membuatnya ingin tidur tak beralaskan bantal.
Sky beranjak dari tempat tidurnya. Menggosok gigi. Mencuci muka dengan hati-hati. Lalu mengenakan hoodie di gantungan baju di balik pintu kamarnya. Memakai masker berwarna hitam dengan hoodie yang telah menutupi seluruh rambutnya. Meraih tote bag yang ia buat sendiri. Memakai sandal jepit berwarna coklat. Tak lupa mengunci pintu. Sky berjalan kaki menuju klinik yang tak jauh dari tempat tinggalnya.
Commuterline, pukul 12 siang.
“Kau sedang flu ya, nak?” seorang wanita paruh baya yang kebetulan berada tepat di sisi kananku.
“Iya, Bu. Maaf…,” sahut Sky dengan menundukkan kepala.
“Kau tinggal sendirian?” Ibu itu bertanya padaku. Sorot matanya tajam. Ia benar-benar berbicara sambil menatap mataku dengan tajam. Seolah-olah seperti sedang membaca pikiranku atau sedang meramalku. Ah, kurasa flu membuatku sedikit gila. Pikiranku ke mana-mana.
“Iya…,” balasku lirih. Lalu Ibu itu berpindah tempat duduk.
Apa maksudnya? Bolehkah aku mangatakan Ibu itu aneh? Aku hanya terkena flu yang akan sembuh sesegera mungkin. Ada apa dengannya?
“Tidak baik menatap orang asing dengan tatapanmu itu,” seseorang tiba-tiba bersuara.
Sky terlihat bingung menoleh ke kanan dan kiri lalu menatap wanita paruh baya itu dan ia tidak peduli lagi. Pandangannya fokus pada layar ponselnya.
“Hei, kau mengabaikanku?”
Sky masih terlihat bingung. Kurasa mukanya tanpa memakai masker, tidak akan tertolong. Ia akan terlihat seperti orang bodoh yang tersesat.
“Aku?” Sky menunjuk dirinya sendiri pada seseorang di hadapannya. Memang tidak salah dengar. Orang itu sedang berbicara tapi melalui earphonenya. Biasanya aku mengabaikan seseorang yang sedang menyumbat telinganya. Entahlah menurutku mereka lebih peka…
Jangan bilang orang itu menyadari kalau aku…
“Ah, kau berbicara denganku?” nada bicaraku menyebalkan. Seperti seseorang yang menyebalkan, itu maksudku.
“Aku?” sahutnya.
Hah?
Dia sengaja mengejekku?
Sky tidak peduli dan fokus pada layar ponselnya tetapi justru membuatnya menyesal karena telah bertaut pada ponselnya. Ken meneleponnya hampir 10 kali. Mengirimiku banyak pesan yang isinya tidak ada bedanya, sisanya spam.
Kau kehabisan kata-kata?”
Aku tidak peduli.
Untuk apa berbicara dengan orang asing?
Sky beranjak dari tempat duduknya. Laki-laki itu masih ada.
“Mau ke mana, kau?”
Laki-laki itu menahanku dengan jemari tangannya yang mencengkeram di pergelangan tanganku. Begitu erat dan kuat.
“Apa yang kau…”
Sial!
Dia menatapku dengan kedua matanya yang tajam.
“Kau pikir, kau bisa kabur?” ucapnya. Ia berbicara dengan santai tetapi suaranya seperti membunuhku.
Sial!
Aku tidak bisa menatap wajahnya.
Ada apa denganku?
Tunggu!
Apa mungkin…
“Apa kau…”
Detak jantungku berdegup kencang. Aku tidak sanggup melanjutkan ucapanku tanpa memotongnya. Sungguh, tidak tahu…ada apa denganku?
“Apa kau…”
“Kau dan aku…”
“Pernah bertemu sebelumnya?” Sky memejamkan matanya. Berpaling dari tatapannya dan menyesali kebodohan yang baru saja terjadi.
Genggaman itu terlepas.
Begitu pintu keluar telah terbuka. Sky melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa seperti ketakutan sehabis melihat makhluk yang tak kasat mata.
Pikirannya campur aduk. Apa seseorang yang sedang terserang flu rawan melakukan kebodohan yang seharusnya tidak terjadi?
“Kau…”
SREK!
Sial!
Sial!
Laki-laki itu tepat di hadapanku. Mendekat padaku…
Menyentuh masker yang kukenakan hingga terlepas jatuh menyentuh lantai.
...***...
“Sepertinya, aku baru saja bertemu dengan orang gila…”
“Apa maksudnya?”
“Apa tidak tahu malu?”
“Wah, benar-benar membuat bulu kudukku berdiri.”
“Tapi bagaimana bisa? Dia terlihat tidak asing tetapi dia tetap orang asing tapi…”
“Mengapa aku seperti pernah melihatnya sebelumnya?”
Sky berbicara sendiri sejak 1 jam yang lalu. Ia terus berbicara tanpa henti. Malam semakin gelap tetapi orang asing itu membuatnya penasaran. Sembari mengingat-ingat di antara ruang ingatan yang tersimpan, Sky hampir menghabiskan satu toples keripik lada hitam kesukaannya.
“Wah, aku harus berhenti memakannya.”
Melangkahkan kakinya. Meletakkan kembali toples keripik itu pada tumpukan camilan yang ia punya. Membuka jendela di dekat ruang cuci piring. Menghirup sejuknya udara malam yang berembus di belakang lehernya sampai menyentuh pori-pori kulit. “Dingin…”
Sky menutup jendelanya. Pikirannya menerawang. Masih pada topik yang sama. Orang asing itu seperti menghantuinya.
PLAK!
“Sadar, Sky!”
Ponselnya berdering. Siapa lagi kalau bukan Kakak sambungnya itu. Ken meneleponku dalam sehari…setidaknya ada 10 kali panggilan tetapi hanya 1 atau 2 kali, aku meresponnya.
Ken membosankan. Dia selalu bertanya dengan pertanyaan yang sama. Kau sudah makan? Bagaimana hari-harimu? Tidurmu berantakan, ya? Apa ada laki-laki yang sedang kau pacari?
Oke, mungkin pertanyaan yang lainnya bisa kumengerti. Tapi pertanyaan yang berulang tentang apakah aku telah memiliki pacar atau tidak, itu sangat tidak perlu. Untuk apa bertanya? Lagi pula kita tidak sedekat itu dan sebenarnya…
Ada alasan di balik sikapku padanya.
1 bulan setelah pernikahan Ibuku dan AyahKen.
Aku sempat tinggal bersama mereka sekitar 2 bulan, setelahnya memutuskan untuk tinggal sendiri karena dekat dengan kampus. Meski alasan terbesarnya bukan masalah jarak tetapi banyak pertimbangan yang membuatku memikirkannya dan alangkah baiknya aku tidak tinggal bersama mereka.
Ken saat itu berada di kamarnya. Pintu kamarnya sedikit terbuka. Dia berbicara dengan seseorang. Tapi bodohnya Ken, dia ceroboh. Memang di hari itu aku tidak ada di rumah tapi tidak menutup kemungkinan aku bisa pulang cepat.
Benar-benar ceroboh. Ken membiarkan speaker pada ponselnya menyala. Seseorang yang berbicara dengannya juga…entahlah. Menurutku, Ken salah memilih teman. Bukannya menjadi lega, Ken justru semakin memanas.
Orang itu mengatakan banyak hal yang membuat amarah Ken semakin menjadi-jadi.
Aku bisa mengerti bagaimana rasanya. Meski berusaha untuk menutupinya tetap saja, tak semuanya bisa menerima kenyataan yang tiba-tiba datang padamu. Bahkan tak sesuai maumu.
Ken bercerita pada temannya dan ia berkata, “Siapa bilang aku menerimanya, dia bukan siapa-siapa. Dia juga tidak dilahirkan dari rahim Ibuku.”
Teman Ken pun menjawab, “Kau tidak perlu menganggapnya ada. Bukannya kau satu-satunya anak tunggal, hahaha? Itu akan merepotkan, jika ada orang asing yang tinggal bersamamu. Bahkan di rumahmu.”
Perbincangan mereka cukup lama.
Ya, tentu. Aku mendengar semuanya.
Tok…tok…tok…
Suara ketukan pintu menyudahi lamunanku. “Siapa?” gumam lirih di mulut Sky.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Orang itu bukannya memencet bel, justru mengetuk pintu berulang kali. Sama seperti orang-orang yang mengetuk pintu tetangga sebelah yang selalu berisik itu.
“Iya?” Sky terlihat bingung. Tidak mengenali pria paruh baya yang mengetuk pintunya.
“Apa kau tidak bisa memberi tahunya agar tidak berisik?” tetangga sebelah yang berisik yang pria itu maksud.
“Mengapa harus saya?” jawabanku cukup masuk akal, bukan? Mengapa harus aku yang menegur mereka?
“Wah, kau anak muda. Seharusnya jawabanmu tidak seperti ini. Kau yang berdekatan dengannya. Seharusnya kau yang berinisiatif sendiri. Ini sudah mengganggu kenyamanan semuanya. Ah, kau tidak peka.”
“Ah, anak muda masa kini punya penyumbat telinga dengan musik yang berantakan itu. Kau seperti itu rupanya,” pria paru baya itu melanjutkan.
Wah, aku tidak bisa berkata-kata. Selalu ada orang seperti itu. Di mana pun kita berada. Setidaknya, “Maaf apa kau juga terganggu atau sebelumnya pernah menegurnya?”
Itu lebih baik.
Pria itu justru mengomel yang tidak-tidak. Bukankah pria itu datang untuk meminta tolong tetapi mengapa justru seolah dia yang sedang menegurku?
“Kalau memang terganggu, saya rasa tidak perlu perantara orang lain untuk menegurnya.”
Sebenarnya saat aku baru sampai, mereka menyampaikan permintaan maaf padaku. Mereka juga akan berkeliling ke semua orang yang tinggal di dekat mereka untuk meminta maaf.
“Wah, kau jangan bertingkah seolah kau sedang mengajariku.”
“Dasar anak muda tidak tahu diri.”
“Kau akan tahu rasanya menjadi orang tua.”
“Kau…”
Pria paruh baya itu tidak berhenti mengomel.
“Tunggu saja di rumah, Pak. Mereka akan datang,” ucapku padanya.
“Dasar, kau!” tanpa tahu maksudku pria itu langsung pergi dari hadapanku.
Ada-ada saja.
Sky mengambil jacket. Memakai masker. Tote bag berwarna ungu. Sandal jepit dengan kaos kaki dan ia hendak pergi keluar di pukul 12 malam.
Lingkungan tempat tinggalnya akan ramai 24 jam. Hanya sepanjang jalan di sekitar apartemen. Ada banyak streetfood. Bahkan kalau sudah sampai di sana, rasanya ingin membeli semuanya.
Ramen super pedas. Lima macam gorengan. Satu gelas lemonade. “Selamat makan, Sky,” ucap Sky dalam benaknya.
Sayangnya tidak bisa memilih tempat duduk. Tidak memungkinkan karena terlalu padat. Ada meja panjang dengan deretan kursi yang cukup banyak. Semuanya akan makan dengan saling berhadapan dengan sesama orang asing.
Satu suapan ramen yang pedas sukses meleleh di mulutku.
“Jangan muncrat…jangan muncrat!” Sky berbicara dalam benaknya. Hal yang selalu ia takutkan adalah saat makan berhadapan dengan orang asing dan itu makan ramen.
Sky menundukkan kepalanya. Memakan ramen dengan super hati-hati.
“Wah, kau makannya banyak juga.”
DEG!
Orang asing itu…
“Kau…,” Sky mematung. Bola matanya hampir keluar. Ia juga hampir tersedak.
Kenapa aku harus bertemu dengannya?
Jangan-jangan dia tinggal di apartemen yang sama denganku.
Ah, tidak!
Lingkungan ini di buka untuk orang umum.
Tetapi cara berpakaiannya terlihat berantakan seperti ala kadarnya karena hanya pergi ke tempat yang tak jauh dari rumah.
Ah, mungkin karena sudah tengah malam. Siapa juga yang masih peduli dengan penampilan.
“Hai…,” orang asing itu terlihat sangat santai. Raut mukanya menjengkelkan, tengil.
Ucapanku benar, orang itu gila. Wah, ekspresi mukanya membuatku muak. Tapi…
Sepertinya laki-laki itu…
“Hei! Apa yang kau lakukan?” teriak Sky kencang.
Laki-laki itu tersenyum sambil berjalan dan berkata, “Ah, bukan apa-apa. Dia hanya sedikit marah,” jelasnya pada orang-orang sekitar agar tidak ada kecurigaan.
Sky yang masih terpaku berada di hadapan laki-laki yang ia temui sehari sebelumnya, laki-laki itu tiba-tiba beranjak dari tempat duduknya. Berjalan menghampiri Sky dan…
Tangannya meraih jemari tanganku. Memaksaku berjalan bersamanya dan mendengar suaranya yang berbicara omong kosong.
“Hei, lepas!” pinta Sky dengan suara lantangnya.
Kau tahu apa responnya?
Kurasa dia tidak hanya sekedar gila tapi psychopath.
Laki-laki itu justru tersenyum.
Genggaman tangannya kecang.
Ada yang salah denganku.
Jantungku berdegup kencang.
Seharusnya ia bisa melarikan diri tetapi ia justru tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti berada di dimensi lagi yang tak bisa kumengerti.
Ia melihatnya. Laki-laki itu lari bersamanya, sama sekali tidak melepas genggaman itu. Seluruh wajahnya terlihat jelas. Garis wajahnya di atas rata-rata. Kulit wajahnya tak bernoda. Alis, mata, hidung, dan mulutnya…nyaris sempurna. Wah…tak kusangkah…rambutnya lebih panjang dariku. Hitam gelap dan entahlah…mengapa rambutnya begitu indah.
“Sampai…,” genggaman itu terlepas. Suaranya terdengar ceria dan renyah di telinga.
Sky terpaku.
Diam seperti patung.
Pandangannya kosong.
“Hai…hei…halo?” Sky mendengarnya tetapi pikirannya kosong.
Laki-laki itu mendekat. Ia sedikit menurunkan tubuhnya untuk menyamai tinggi perempuan di hadapannya itu.
Kini jarak di antara keduanya hampir tidak berjarak.
“Hai…,” ucapnya dengan menyentuh pipiku dengan ujung jarinya dan detik itu juga duniaku serasa runtuh karena menyesali apa yang sedang kulakukan.
Sky menamparnya.
“Wah, tanganmu kuat juga,” sahutnya dengan lirih.
“Kau pantas mendapatkannya,” spontan keluar dari mulutku karena setelahnya pandanganku menjadi berkeliling.
Bukankah ini…
“Hei, apa maksudmu? Apa yang kau lakukan? Untuk apa kau membawaku ke sini? Jangan macam-macam, kau pikir aku akan takut padamu? Sama sekali tidak,” Sky menjauh dari laki-laki itu.
“Hahaha, apa yang kau pikirkan? Singkirkan pikiran kotor dari otakmu itu, aku tidak seperti yang kau pikirkan…”
“Hanya saja…kemarin adalah ulang tahunku,” ucap laki-laki itu.
“Hah? Lalu apa hubungannya denganku? Kita tidak saling mengenal dan kau juga aneh,” suara Sky semakin lantang.
“Tidak, jangan salah sangkah…aku hanya mengandalkan perasaanku. Kalau kau terlihat sama sepertiku. Kau kesepian,” sorot matanya berbeda. Membuatku ingin mempercayainya. Laki-laki itu terlihat apa adanya. Seperti mengatakan yang sebenarnya.
“Hah? Kau gila, ya?” Sky mengepalkan kedua tangannya.
“Maafkan aku tapi…kau harus percaya padaku.”
“Bagaimana aku bisa percaya padamu? Kau membawaku masuk ke tempat tinggalmu tanpa memberi tahuku yang bahkan, kau dan aku tidak saling mengenal.”
“Iya, aku tahu tapi bolehkah kau berpura-pura menjadi temanku di hari ini saja? Kumohon!”
“Kau benar-benar gila.”
BRAK!
...***...
“Kau menyesalinya?” tatapannya kosong.
Itu hanya sebuah kebetulan.
Benar, laki-laki itu tinggal di gedung apartemen yang sama denganku. Hanya berbeda satu lantai.
Pukul 1 pagi.
KREK!
“Aku tahu, kau akan percaya padaku,” ada sinar di matanya. Seolah bersinar terang. Orang itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Tetapi tidak membuatku sepenuhnya percaya.
“Cepat, apa maumu? Sebelum aku berubah pikiran,” Sky pasang muka masam.
Menyebalkan, raut wajahnya itu…
Menjengkelkan.
Seperti muka-muka ada maunya.
Perasaanku tidak enak.
Bersama orang asing dan mengiyakan sesuatu yang tidak jelas saja sudah cukup ganjal. Tetapi hati nuraniku menuntunku untuk datang kembali.
Itu telah menjadi suatu kebiasaan. Jika dirasa hal itu cukup mengganggu pikiranku dan beberapa kali berbaur bersama isi kepalaku…artinya, aku harus memilihnya.
Ya, hidup penuh pilihan dari berbagai pilihan. Meski tujuannya di jalan yang sama tetapi pilihan itu terkadang juga bisa menjebak.
“Hei, katakan maumu! Kau pikir ini waktu yang tempat untuk bertemu dengan orang asing sepertimu di tempat seperti ini?” Sky yang mulai kesal.
Laki-laki itu menyuruhnya menunggu dan melihatnya sedang sibuk mondar-mandir tanpa tahu maksudnya.
Bukannya menjawab, dia justru terdiam dan tak peduli.
Apa dia bermuka dua?
Beberapa menit yang lalu, dia terlihat bahagia dan itu begitu terlihat dari kedua matanya.
“Hei, orang asing!” Sky semakin dibuat bosan.
Orang itu seperti batu yang bergerak. Wah, berapa kali mulutku ini mengucapkan panggilan untuknya.
Orang asing.
Laki-laki itu.
Orang itu.
Pandangan mata Sky berkeliling. Dekorasi rumahnya minimalist. Tidak terlalu banyak barang. Hanya ada gabungan dua warna, kelabu dan putih. Ada rak buku yang terlihat mencolok karena berada pada ruang-ruang yang semestinya masih bisa terisi.
Sudah pukul 2 pagi tetapi laki-laki itu tidak terlihat batang hidungnya. Sky hanya bisa mendengar suara langkah kakinya yang terdengar ramai. Orang itu berada di lantai atas.
“Hoaaamm…,” rasa kantuk mulai menyerangku.
Haruskah aku pergi melihatnya?
Ya.
Anggap saja orang asing itu butuh bantuan.
Sky berpindah dari ruang tamu menuju tangga. Ada 2 tangga di sisi kanan dan kiri. Apa bedanya? “Ah, sama saja.”
Ia memilih tangan di sisi kanan.
“Wah…”
Ternyata tangga di antara keduanya berbeda. Kupikir akan saling bertemu ternyata tidak. Di lantai itu hanya ada satu ruang yang entah di antara kamar atau ruang kerja. Sky tidak mendengar ada kehadiran orang asing itu. “Baiklah, tangga yang satunya.”
Wah, apa ada maksud tersendiri? Dari luar kedua tangga itu seperti terhubung di antara keduanya. “Sebentar…,” Sky putar haluan dan kembali menaiki tangga di sisi kanan. Satu ruangan yang ia maksud tadi berada tepat di sisi kanan tepat ia menginjakkan kakinya.
Dan…
Ada sesuatu yang membuatnya ingin mendekat untuk memastikannya.
Sekarang ia sedang meraba tembok berwana putih pucat di sisi kiri dengan kedua tangannya. Dari jauh itu terlihat hanya sebatas tembok.
Sekarang Sky seperti cicak yang sedang merayap di tembok. Bedanya ia tidak mungkin merayap sampai di langit-langit dinding.
Pandangannya dibuat menjauh lalu mendekat, seperti itu dan berulang. “Apa itu pintu?”
“Ya, itu pintu.”
DEG!
“Hei, sejak kapan ka—u…”
Orang asing itu sudah berada di belakangku.
“Wah, bukankah kau seharusnya tidak melakukannya?” sorot matanya tajam. Aku seperti sedang tertangkap basah. Tapi, kan…aku tidak melakukan apa-apa.
“Sebanyak apa kau melihatnya? Terlihat jelas, kau akan mengatakannya. Haha…,” orang asing itu tertawa dengan sorot matanya yang masih tajam tapi sorot matanya itu juga seolah sedang mencibirku.
“Tidak, bukankah kau butuh bantuanku?” entahlah, Sky. Kau terlihat sedang berbasa-basi dengan alasan yang klasik.
“Ahhhhh…,” suaranya menusukku. Telinganya juga seperti mencibirku.
Orang asing itu memberiku isyarat untuk mengikutinya.
Benar. Tembok yang tampak menipu itu ada sebuah pintu yang juga senada dengan warna tembok. Pintu itu memang penghubung di antara ruang dan juga tangga pada sisi kiri.
“Psychopath…,” suara Sky lirih.
“Apa?” orang asing itu pasang muka bodoh.
“Hah?” Sky pun, seperti tidak tahu apa-apa dengan menunjukkan gesturnya.
Rupanya ada tangga lain. Tentu saja, itu balkon. Tidak terlalu besar tapi cukup untuk menenangkan pikiran. Jikalau hidup membuatmu sesak.
Ada lampu-lampu yang tak begitu terang, itulah fungsinya. Lampu-lampu itu memang redup. Jika terang justru akan merusak suasana.
Ada meja kecil dengan karpet di bawahnya. Karpet dengan motif abstrak dan dua bantal duduk yang saling berhadapan di antara meja kecil itu. Tunggu…kalau tidak…
“Hei!”
“Kau, hei!”
“Aku tidak tahu namamu, hei!”
Orang asing itu tepat di hadapan Sky dengan melambaikan jemari tangannya tapi Sky tak kunjung tersadar.
PUK!
Mataku melebar, “Aw!”
“Sudah….sudah melamunnya?” ucapnya di hadapanku.
“Apa yang kau lakukan?” muka Sky masam.
“Tidak…aku hanya mengetuk pelan,” mukanya itu polos sekali tetapi sorot matanya menyebalkan.
“Mengetuk? Menggunakan botol kosong yang kau bawa itu?”
“Iya.”
“Wah…kau…”
“Apa itu sakit?” orang asing itu berlagak polos.
“Kau pikir?”
“Benarkah, itu sakit?”
Orang asing itu…
Keterlaluan.
Sky menepis tangan orang asing itu.
Tangannya itu berada di atas kepalanya dan…
Orang asing itu mengacak-acak rambutnya dengan…
Lembut.
Seolah…
Wah, aku tidak bisa meneruskannya.
Mengapa semua laki-laki itu menyebalkan?
Apa itu senjata bagi mereka?
“Tidak sopan,” ucap Sky tanpa melihat ke arah orang asing itu.
“Hahaha, kau lucu sekali. Ah, ternyata kau tipe orang yang seperti itu, ya?” orang asing itu tertawa dengan suara tawa yang canggung dan dipaksakan.
Tidak salah lagi. Orang asing itu benar-benar gila…
Psychopath.
Tidak ada kue ulang tahun.
Hanya ada setoples permen mint dan permen rasa buah dengan dua gelas minuman kaleng yang kupikir itu adalah minuman terlarang. Nyatanya hanya minuman kaleng rasa buah blueberry yang biasa kubeli di supermarket dekat apartemen.
“Kenapa?” itu yang terucap dari mulut orang asing itu setelah beberapa menit saling berdiam diri menatap ke arah luar.
Angin yang yang berembus terasa sejuk sekaligus menusuk-nusuk permukaan kulit. Orang asing itu seperti sedang menutupi apa yang terlihat pada dirinya.
Pandangannya kosong. Seperti sedang mengenang.
Tidak ada bintang lagi.
Seolah masuk ke dalam lubang hitam yang gelap.
Kedua matanya seperti sedang menahan sesuatu. Apa itu hal yang begitu menyakitkan bagi seorang laki-laki?
Bukankah menangis bukan berarti kau lemah?
Bukankah akan menjadi sesak jika terus menahannya?
“Selamat ulang tahun, Kai.”
Dag…dig…dug…
Jantungku berdegup kencang…dag…dig…dug…
Kurengkuh tubuhku seperti sedang melindungi diriku sendiri. Rasanya campur aduk. Seolah jantungmu ada di tangan seseorang dan berusaha mengeluarkannya dari tubuhmu.
“Kai…,” tak kusangkah itu keluar dari mulutku.
Pukul 3 pagi.
Cup!
Dua orang asing yang tentu tidak saling mengenal itu…
Saling membeku bersama embusan angin yang semakin dingin.
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!