Posisi matahari kini sudah berada persis di atas kepala seorang wanita berusia muda, yang sedang sibuk memanen buah apel milik tuan tanah terkaya di desanya.
Berbalut sarung tangan usang, wanita muda itu menatap puas dua buah kantong perca besar yang sudah terisi penuh oleh apel-apel ranum tersebut.
Matanya sejenak menatap minat pada satu buah apel yang paling merah, yang tanpa sengaja tersembul keluar kantong. Maklum saja, ia harus menahan lapar dan haus saat memanen dan tidak memiliki banyak uang untuk membawa bekal.
Wanita muda itu menggeleng keras. Tuan tanahnya tidak akan segan-segan menghukum siapapun yang sudah mencuri apelnya meski hanya satu buah saja. Belum lagi timbangan yang akan berkurang jika ia mengambil buah tersebut, dan akan memengaruhi pembayaran, sebab upahnya akan dihitung berdasarkan berat buah yang berhasil dipanen.
Dirasa cukup, wanita itu pun bergegas membawa kedua kantong tersebut dengan susah payah, menuju sebuah gudang kayu milik si tuan tanah.
"Iris, tunggu!" teriak salah seorang gadis bersurai keemasan, memanggil namanya. Dengan sigap ia berhasil menyusul Iris sembari menarik gerobak berisi buah apel hasil panennya.
"Letakkan di sini dan kita tarik bersama!" titah Bella, nama gadis itu, pada Iris.
"Terima kasih," ucap Iris. Keduanya mengangkat kantong apel milik Iris dan langsung mendorongnya menuju gudang kayu untuk ditimbang.
"Kamu yakin benda ini kuat?" tanya Iris ragu. Dia takut gerobak buatan itu akan patah di tengah jalan, hingga menyebabkan apel-apel hadil panen mereka berhamburan.
"Tenang saja, ayahku membawa empat ekor keledai berukuran sedang dengan ini!" seru Bella percaya diri. Senyum manis terpatri di wajah cantiknya yang kini tertutup tanah dan debu.
"Baiklah!" Iris tersenyum. Sesampainya di gudang, mereka masih harus menunggu antrian lima hingga enam orang lagi.
Dua orang suruhan sang tuan tanah kemudian membantu menurunkan dua kantong buah milik Iris dan menimbangnya.
"Total 34 pon!" kata Mr. Greg yang langsung mencatatnya di atas kertas cokelat menggunakan fountain pen.
"Ini uangmu!" Pria berjanggut lebat itu lantas memberikan beberapa uang logam ke tangan Iris.
"Terima kasih," ucap Iris seraya membungkuk hormat. "Sampai jumpa lagi, Bella," pamitnya pada sang teman yang telah membantu.
Bella mengangguk. Dia melambaikan tangannya pada Iris lalu kembali fokus pada timbangan buahnya.
"Iris!"
Senyum sumringah seketika mengembang di wajah cantik Iris, tatkala seorang pria tampan berdiri di ujung jalan sambil melambaikan tangannya.
Mata Iris berbinar. Dalam satu kali tarikan napas, dia langsung berlari menuju pria yang kini sedang mengayun-ayunkan sepotong roti gandum menggiurkan ke arahnya.
Akan tetapi, semakin Iris berlari, jarak pria itu malah semakin menjauh. Namun, Iris sama sekali tidak terlihat kelelahan. Dia terus menapaki jalan yang mulai bergelombang demi menghampiri sang pujaan hati. Hingga kemudian, suara-suara statistik yang entah dari mana asalnya tiba-tiba bergaung memekakkan telinga.
Hujan petir dengan awan gelap seketika melanda kawasan tersebut.
Iris tidak terkejut. Dia terus melangkahkan kakinya menuju si pria tampan yang kini tampak memudar.
"Aku mencintaimu, Iris!"
Bagai sebuah roll film. Sosok pria tampan itu terlihat sedang menggendong dirinya sembari tertawa-tawa bahagia.
"Aku juga mencintaimu!"
"Aku sangat mencintaimu, meski Tuhan menutup mata dan membiarkan kekejaman ini memisahkan raga kita, aku akan tetap mencintaimu."
"Selamat tinggal!"
Iris terguncang. Dengan mata terbelalak dia menatap sesosok wanita yang mirip dengannya itu, kini sudah bersimbah darah dan airmata.
Wanita itu merapal seuntai kalimat berisi janji, dan dengan tangan halusnya menggapai wajah pucat pasi seorang pria yang tak lagi bergerak di tanah.
"Bunuh dia!"
Iris sontak memejamkan mata begitu mendengar perintah dari seseorang.
Sebuah kapak pun terayun dan ...
"Elena!" Teriakan Mrs. Jane sontak membangunkan gadis bersurai cokelat yang sedang tertidur pulas di atas meja.
Elena buru-buru bangkit dari tempat duduknya dan langsung mengambil buku pelajaran yang tergeletak di atas meja. "Keruntuhan Kekaisaran Romawi pada tahun 470 M dianggap sebagai awal periode sejarah ini, sedangkan masa renaisans dianggap sebagai akhirnya!" seru gadis itu lantang.
Suara gelak tawa dari teman-teman sekelas Elena pun meledak memenuhi ruang kelas. Jenny, sahabatnya yang duduk di belakang dengan brutal menarik seragam Elena dan menyuruhnya untuk duduk kembali.
Sadar akan kesalahannya, gadis itu meringis malu.
Mrs. Jane bertolak pinggang. Matanya memandang sinis Elena dari atas ke bawah, sebelum kemudian terpejam. "Elena ...,"
"Baik, Mrs," ucap Elena lesu. Seolah tahu apa yang hendak diucapkan sang guru, dia sudah keluar duluan dari kelas dan berdiri sendirian di lorong sembari membawa buku catatan sejarahnya.
Helaan napas keluar dari mulut Elena. "Kenapa aku tertidur lagi, sih!" keluhnya. Bagaimana tidak, ini sudah kali kelima dia kedapatan tertidur di kelas pada jam pelajaran Mrs. Jane.
Entah apa yang telah terjadi dengan gadis itu akhir-akhir ini, padahal setiap hari dia selalu tidur tepat waktu dan bangun pagi-pagi dalam kondisi segar bugar nan prima.
Belum lagi disetiap tidurnya, Elena selalu saja memimpikan hal-hal aneh yang sama sekali tidak dia mengerti. Mimpi tersebut bahkan nyaris sama dan terus berulang.
Terganggu? Jelas. Namun Elena sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, karena dia sama sekali tidak memiliki petunjuk apapun soal mimpi yang dialaminya, selain sebuah nama dari wanita yang berkali-kali muncul di mimpi tersebut.
"Iris," gumam Elena.
Seperti yang dia ketahui selama ini, bahwa mimpi merupakan bunga tidur yang tidak memiliki makna apa-apa. Mimpi juga merupakan salah satu bentuk kecemasan akan sesuatu hal di kehidupan nyata.
Elena lebih mempercayai teori pertama, karena untuk teori kedua, dia sama sekali tidak sedang mencemaskan atau memiliki masalah apapun.
"Apa, sih, maksudnya? Mana sejak mimpi aneh, aku jadi doyan tidur di kelas. Menyebalkan sekali!" sungut Elena sembari memainkan sepatunya di lantai.
Tak ingin memusingkan hal-hal tidak jelas, Elena akhirnya memilih membaca buku catatan yang dia bawa selagi menunggu jam pelajaran Mrs. Jane berakhir tiga puluh menit lagi.
"Poor, Elena!" Gadis itu membatin.
...***...
"Bagaimana kakimu? Masih sakit?" tanya Jenny khawatir, sahabat baik Elena sejak lama.
"Sudah lebih baik. Terima kasih," jawab Elena seraya memamerkan gigi-gigi putihnya pada sang sahabat.
"Lain kali berusahalah untuk tidak tidur. Kamu ini bukan sekali dua kali tertidur saat jam pelajaran Mrs. Jane tengah berlangsung, tahu!" Gadis bermata biru itu bersedekap, menatap Elena penuh kekesalan.
Elena mengusap wajahnya frustrasi. "Aku juga tidak tahu. Sejak mimpi itu datang, jam tidurku seperti bertambah!"
"Coba kamu pikir-pikir, mungkin saja kamu habis menonton film yang ending-nya terngiang-ngiang sampai terbawa mimpi!" kata Jenny yang sejak awal tahu tentang mimpi Elena tersebut.
"Entahlah. Bisa jadi!" Elena mengangkat bahunya. Terlalu malas untuk memikirkan hal tersebut lebih dalam. Dia pun mulai membuka topik lain untuk mengalihkan pembicaraan, sampai sebuah mobil sport mewah tiba-tiba datang dan berhenti tepat di depan mereka.
"Kekasih hati sudah datang. Sana pulang!" usir Jenny main-main.
"Ayo, kita pulang bersama," ajak Elena.
"Untuk jadi serangga pengganggu di antara kalian? Tidak, terima kasih!" Jenny memutar bola matanya jengah.
Elena tertawa. "Hmm, atau mau kutemani sampai supirmu datang?"
"Tidak perlu. Tuh, sudah datang!" Jenny mengangkat dagunya ke arah mobil SUV yang baru saja masuk ke dalam gerbang sekolah mereka.
"Baiklah, smpai bertemu besok!" Elena melambaikan tangan dan masuk ke dalam mobil tersebut, lalu pergi meninggalkan Jenny.
"Lama ya?" tanya Albern, kekasih Elena yang usianya terpaut dua tahun lebih tua darinya.
Elena mencium pipi Albern. "Tidak." Jawab gadis itu dengan wajah sumringah.
"Baiklah, tapi sebelum pulang kita makan dulu, ya?"
Elena mengangguk antusias. Bertemu dengan sang kekasih membuat gadis itu lupa akan mimpi yang sempat mengusik pikirannya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Note :
Fantasi merupakan sebuah genre fiksi, yang menggunakan bentuk sihir atau kejadian supranatural (salah satunya adalah reinkarnasi) sebagai salah satu elemen plot, tema dan seting dalam sebuah cerita.
Genre cerita ini adalah Romansa Fantasy, dan saya mengambil tema reinkarnasi, jadi harus dibaca pelan-pelan supaya dapat memahami isi cerita. Antara kenyataan dan mimpi, hanya saya jelaskan melalui narasi, dan kebanyakan cerita fantasy tidak bisa dijelaskan secara logika.
"Terima kasih, Sayang," ucap Elena saat mereka tiba di depan rumah keluarga Wileen. "Kamu tidak mau mampir dulu?" tanya gadis itu kemudian.
"Sudah terlalu sore dan kamu juga belum istirahat. Sampaikan salamku pada papa dan mama saja, ya?" Albern mengusap kepala Elena dan memagut bibirnya mesra.
Pipi Elena bersemu merah. Ia selalu saja terbuai dengan perlakuan pria pujaan hatinya itu. Pria yang begitu lembut dalam bersikap dan bertutur kata.
Selama hampir satu tahun berpacaran, Albern tak pernah bersikap dan berkata yang menyakitkan. Pergaulannya di kampus pun terbilang sangat baik. Maka tak heran jika Elena sangat tergila-gila pada Albern.
Perkenalan mereka sebenarnya cukup singkat dan sedikit memalukan, yaitu saat Elena menumpahkan minuman dinginnya pada kemeja Albern, ketika ia dan Jenny baru saja datang ke kafe dan hendak mencari tempat duduk.
Hanya butuh tiga kali pertemuan, Albern langsung menyatakan perasaannya pada Elena dan mulai menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih.
"Aku turun dulu. Telepon aku kalau sudah sampai di rumah!" pesan Elena malu-malu.
Albern melempar senyum tipis pada sang kekasih lalu mengangguk singkat.
Elena membuka pintu mobil dan menurunkan satu kakinya. Namun, sebelum benar-benar ke luar dari sana, ia kembali masuk dan menarik kerah kemeja Albern untuk mendaratkan sebuah ciuman balasan.
Albern tertawa kecil. Pria yang selalu terbuai dengan manisnya bibir sang kekasih itu dengan senang hati menyambutnya. Mereka baru sama-sama saling melepaskan diri ketika oksigen yang terhirup hampir habis.
...***...
"Aku pulang!" seru Elena sumringah sembari berlari masuk ke dalam rumah.
Samantha, sang ibu, yang sedang menikmati secangkir teh jahe dan cookies, menyambut kedatangan putri bungsunya tersebut.
"Sepertinya putri Mama sedang senang sekali. Pasti karena pujaan hati, ya?" tukas Samantha. Beliau memang sangat senang menggoda anak gadisnya yang sedang kasmaran.
Elena tersenyum malu-malu. "Oh iya, Albern titip salam untuk Papa dan Mama," katanya.
Samantha mengangguk. "Suruh dia main lagi ke sini, Sayang."
Elena mengangguk semangat, sebelum kemudian berpamitan pada sang ibu untuk mandi dan berganti pakaian.
...***...
Sementara itu, jauh di tempat lain, seorang pria berwajah tampan dan berpenampilan rapi tampak terdiam memandangi hamparan laut dari balkon rumahnya. Pria itu termenung, seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Evans, semua sudah siap. Pesawat akan berangkat pukul setengah delapan malam nanti. Apa ada yang kamu butuhkan lagi?" Seorang wanita berpenampilan modis dengan surai pendek kecoklatan datang menghampiri Evans.
Evans terdiam. Helaan napas keluar dari mulutnya. Meski berat, mau tak mau ia harus menuruti perintah sang ayah untuk meninggalkan negara yang sudah lima belas tahun ditinggalinya ini.
Kalau saja sang ayah tidak sakit, ia mungkin akan menolak mentah-mentah permintaan beliau untuk pulang ke tanah air. Adanya seseorang membuat pria itu lebih memilih menetap di sini dalam waktu tidak ditentukan.
Evans lantas berbalik dan berjalan menghampiri Jemima, orang kepercayaan yang sudah membersamainya selama hampir tujuh tahun.
...***...
Elena hampir saja menyemburkan makanannya ketika mendengar kabar dari Simon, sang ayah, bahwa kakaknya akan menetap bersama mereka.
Wajah Elena yang semula penuh dengan keceriaan mendadak suram.
Simon terpaksa harus beristirahat dari kegiatan kantornya karena memiliki riwayat penyakit jantung. Oleh karena itu, ia meminta sang putra sulung untuk pulang guna mengurus perusahaan keluarga mereka.
Semula Evans memang sempat bimbang. Namun, berkat desakan sang ayah, anak itu akhirnya mau kembali dan meninggalkan karirnya yang cukup sukses sebagai pengusaha di sana.
Selain karena penyakit, Simon juga ingin kedua anaknya memiliki hubungan yang harmonis. Sebab, Evans lah yang akan bertanggung jawab atas Elena, ketika mereka tiada kelak.
"Sayang," panggil Samantha saat Elena bangkit dari kursi makannya.
"Aku sudah kenyang, Pa, Ma. Aku mau langsung tidur." Elena mengulas senyum tipis dan bergegas pergi memisahkan diri.
Samantha hanya bisa menatap cemas anak bungsunya.
"Apa kamu yakin, Sayang?" kata Samantha pada sang suami.
"Ya, Sayang. Aku tidak rela perusahaan yang telah kubangun selama puluhan tahun harus jatuh ke tangan orang lain." Simon memegang tangan sang istri dan menepuknya halus. "Evans sudah dewasa, dan dia pasti sudah lebih mengerti. Percayalah hubungan mereka akan baik-baik saja."
...***...
Elena menutup pintunya dan bergegas naik ke atas tempat tidur. Gadis itu terlihat sedih dan takut, karena orang yang paling membenci dirinya akan pulang ke rumah setelah belasan tahun tinggal di luar negeri.
Sejak Elena kecil, ia memang tidak pernah sekalipun merasakan kehadiran sang kakak.
Kenangan bersamanya pun, Elena tak punya, sebab sejak usia Elena tiga tahun, mereka sudah hidup terpisah. Jarak usia mereka pun terbilang cukup jauh, yaitu 12 tahun.
Elena yang sudah semakin besar baru menyadari sikap kakaknya, ketika mereka sekeluarga beberapa kali menjenguk pria itu.
Beberapa kali Elena datang, Evans tidak pernah bersikap baik padanya, bahkan cenderung menganggap Elena seperti orang lain.
Itulah yang menjadi alasan cukup bagi Elena, untuk tidak pernah lagi ikut kedua orang tuanya menemui Evans.
Elena bukannya tidak pernah menanyakan sikap Evans pada ayah dan ibunya. Namun, mereka sendiri juga tidak mengetahui alasan Evans yang sampai tega membenci adik kandungnya sendiri.
Elena mengacak rambutnya frustrasi. Hidup seperti apa yang akan ia jalani saat pria itu tiba di sini nanti?
...***...
Jenny menatap Elena perihatin. Gadis bersurai keemasan itu menepuk punggung sang sahabat, guna membantu menenangkan kerisauan yang hinggap di hati Elena sekarang.
Kedekatan mereka membuat keduanya tak pernah menyembunyikan apapun satu sama lain, termasuk aib keluarga masing-masing.
"Benar kata ayahmu, El, mungkin Kak Evans sudah berubah. Buktinya dia mau pulang ke rumah dan berkumpul bersama," kata Jenny mencoba berpikir positif.
"Itu karena sakit ayahku, bukan karena aku, Jen," sahut Elena lesu. Gadis itu bertopang dagu di atas tumpukan buku matematika miliknya.
"Ya sama saja, El. Kalau Kak Evans masih membencimu, dia pasti akan memberi banyak alasan untuk tidak menetap di sini."
Elena mengembuskan napasnya keras-keras. Gara-gara memikirkan hal tersebut, gadis itu tak dapat tidur semalaman. Ajaibnya lagi, ia tidak tertidur di kelas saat jam pelajaran Mrs. Jane berlangsung.
"Semoga saja apa yang kamu katakan benar, Jen, karena kalau tidak, aku mungkin akan meminta ayah dan ibu untuk tinggal di kost saja."
Mendengar itu, Jenny mengangkat bahunya santai. "Terserah padamu saja, El," ujar gadis itu.
"Selamat datang Mr. Evans!" Seorang pria bertubuh tinggi tegap segera membungkuk hormat pada Evans yang baru saja tiba. "Saya Joe, yang akan menjadi supir pribadi Anda mulai saat ini."
Evans mengangguk singkat. Joe kemudian membukakan pintu mobil guna mempersilakan Evans dan Jemima masuk.
Suasana di dalam mobil tampak hening. Tak ada perbincangan di sepanjang perjalanan. Sejak awal keberangkatan hingga sampai di tempat ini, Evans berubah menjadi sosok yang lebih dingin dan pendiam.
Jemima sebenarnya tahu apa yang menyebabkan Evans berlaku demikian. Namun, wanita itu tak ingin ikut campur pada kehidupan pribadi tuannya tersebut.
"Anda ingin pergi ke suatu tempat terlebih dahulu atau langsung pulang, Mr. Evans?" tanya Joe tak lama kemudian.
Evans menatap jam tangannya sejenak. "Antar aku ke kantor dulu," jawab pria itu datar.
"Baik!" Joe menganggukkan kepalanya.
...***...
Hari ini Elena tiba di rumah tepat waktu. Albern yang sedang sibuk dengan tugas kuliahnya terpaksa membatalkan rencana untuk menjemput sang kekasih. Elena jadi tidak memiliki alasan lain agar bisa pulang terlambat demi menghindari seseorang, yang mungkin sudah berada di rumah.
Elena berdeham. Ia masuk ke dalam rumah dengan cara mengendap-endap.
"Nona El!" tegur Lily, salah seorang asisten rumah tangga yang paling sering melayani kebutuhan pribadinya.
"Ssstt!" Elena meletakkan jari telunjuknya ke bibir. "Sepi sekali! Kakakku sudah datang?" tanyanya sembari berbisik.
Lily menggelengkan kepala. "Nyonya bilang, Tuan Evans mampir ke kantor dulu. Nyonya baru saja menyusul ke sana. Beliau menitip pesan pada saya untuk disampaikan pada Nona."
Raut kelegaan langsung terpancar dari wajah cantik Elena. "Pesan apa?" tanya gadis itu dengan nada biasa lagi.
"Anda diminta menyusul ke kantor," jawab Lily santai.
Elena tentu saja menolak tegas. "No! Lebih baik aku tidur saja. Kalau mama telepon, bilang saja aku sedang berhibernasi hingga batas waktu yang tidak dapat ditentukan!" serunya dengan mematri wajah seketus mungkin.
Tanpa bicara apa-apa lagi, Elena lantas melenggang santai melewati Lily, menuju lantai dua.
"Tapi Non—"
Perkataan Lily terhenti saat Elena mengangkat tangannya ke atas sembari mengepal. Tanda bahwa dia menyuruhnya untuk diam.
Sesampainya di kamar, Elena langsung membasuh diri dan berganti pakaian. Ia juga meminta Lily untuk mengantarkan makanan ke kamar, melalui interkom.
Sambil menunggu makanan datang, Elena memilih menonton televisi dengan santai.
...*************************************************...
Hamparan ladang gandum membentang luas bak permadani indah di salah satu sudut desa terpencil itu. Seorang wanita muda terlihat sedang duduk tenang di atas papan beroda yang tampak ditarik oleh pria pujaan hatinya.
Mulut wanita itu bersenandung, mengiringi langkah kaki si pria yang sesekali menoleh ke belakang dan tersenyum padanya.
Tak butuh waktu lama, keduanya tiba di depan sebuah bangunan rumah sederhana yang semuanya tersusun dari papan dan batu saja.
Wanita muda itu turun dari atas papan beroda, sembari membawa dua buah kantong perca berisi sayur dan buah yang baru saja mereka tukar dengan dua helai mantel buatan sendiri.
Tak ada yang istimewa dari interior rumah tersebut. Lantainya hanya beralaskan tanah padat, sedangkan toilet terpisah di luar. Di dalamnya hanya ada satu buah papan berkaki yang dipakai mereka sebagai alas tidur, dan sebuah perapian kecil yang dipenuhi beberapa gerabah untuk memasak.
Meski hidup serba kekurangan, sepasang suami istri muda itu tampak sangat bahagia. Mereka terlihat saling membantu dan saling menguatkan satu sama lain.
...***...
Suasana gelap lantas tergantikan, saat si pria berhasil menyalakan obor untuk penerangan rumah mereka. Keduanya kini duduk di atas tempat tidur sederhana, sambil berpelukan untuk menghalau dingin yang mulai menerpa.
"Sudah lebih hangat?" tanya sang suami pada wanita muda itu.
Si wanita mengangguk semangat. "Terima kasih," ucapnya riang.
Rumah yang mereka tinggali memang tak cukup menahan panas matahari dan dinginnya malam. Namun, keduanya sama sekali tidak mempermasalahkan keadaan yang ada. Terlebih, pada si wanita, karena hampir setiap malam pria itu akan memeluk tubuhnya demi memberikan kehangatan sampai ia tertidur.
"Terima kasih," ucap si pria lirih, sambil mengeratkan pelukannya.
"Untuk apa?" tanya wanita muda itu.
"Segalanya. Jujur saja, terkadang aku masih merasa malu karena telah membawamu dalam kehidupan yang penuh dengan berbagai kepedihan ini."
"Tidak, Sayang. Bukan kau yang membawaku, melainkan aku yang mengikutimu." Wanita muda itu mengelus pipi sang suami lembut.
"Berjanjilah Iris, bahwa kita akan terus bersama," ujar si pria.
Iris mengangguk mantap. "Meski bumi terbelah dua, dan semesta hilang dari peraduannya, kita akan terus bersama dan aku akan selalu mencintaimu, Leon." Matanya menatap sang suami penuh cinta.
Leon tersenyum, tangannya terulur memegang dagu Iris dan mulai mengecupi seluruh wajahnya dengan gerakan selembut mungkin.
Mata mereka saling terpejam satu sama lain. Tak ada satu kata pun lagi yang terucap dari kedua insan yang tengah dimabuk asmara itu. Mereka seolah saling berbicara melalui bahasa tubuh masing-masing.
Iris menyampirkan surai keemasannya, ketika bibir halus Leon sampai pada tulang selangka wanita itu.
Leon mengg*git, mengh*sap dan membelai tubuh Iris menggunakan bibir tipisnya. Ia juga membuat tanda kepemilikan di sana, sebelum kemudian beralih pada dua aset Iris yang hanya tertutupi oleh selimut tipis milik mereka.
Iris menggigit bibirnya sendiri, saat Leon mulai menyapu seluruh tubuh bagian depannya. Tangan wanita muda itu bahkan mulai mencengkeram erat pada selimut yang membalut tubuhnya.
Perlahan, sang suami merebahkan Iris dan mulai membuka seluruh kain yang ada di tubuh wanita tercintanya.
"Hmm!"
"Bunuh dia!"
Tiba-tiba suara bariton seorang pria terdengar menggelegar.
Iris sontak membelalakkan matanya, ketika sebuah kapak besar berada persis di atas kepala Leon dan hendak berayun.
"TIDAAAK!"
...********************************************...
"TIDAAAK!"
Elena terbangun dari tidurnya dengan wajah pucat pasi. Keringat dingin terlihat membasahi seluruh tubuh gadis berusia 18 tahun itu.
Ia lagi-lagi memimpikan gadis bernama Iris. Elena bahkan selalu ketakutan, setiap kali mengingat sebuah kapak besar yang hendak menghantam kepala pria pasangan Iris.
Sorot mata Elena berubah horor. Ia memeluk kedua bahunya sendiri dengan napas memburu.
Bagaimana tidak, mimpi yang baru saja terjadi tampaknya terasa lebih nyata dari pada kemarin-kemarin.
Elena sontak memegang tulang selangkanya. "Shit!" umpat gadis itu.
Suara ketukan pintu terdengar tak lama kemudian. Lily masuk ke dalam kamar dengan membawa nampan berisi makan siang dan segelas jus dingin untuk Elena.
"Lama sekali, sih! Aku sampai ketiduran tahu!" ketus Elena.
"Ma–maaf, Nona, saya harus menerima telepon dari Nyonya Samantha terlebih dahulu. Beliau juga sudah saya beritahu perihal penolakan Nona untuk pergi ke kantor."
"Baiklah, kamu boleh pergi." Elena mengambil nampan tersebut dari tangan Lily. Pelayan muda itu pun pergi meninggalkan kamar sang nona.
Tak ingin memikirkan mimpi aneh tersebut, Elena bergegas mengganti pakaiannya yang kini telah basah oleh keringat, sebelum menyantap makanan yang dibawa oleh Lily.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!