NovelToon NovelToon

Srikandi Tanah Pasundan

Gerimis yang Mengundang

PROLOG

Sudah menjadi ketetapan jika dunia manusia akan selalu berdampingan dengan dunia lelembut. Dunia tak kasat mata yang hanya berbatas tabir setipis kulit ari.

Para lelembut nakal yang selalu menggoda umat manusia dengan ketakutan, bujuk rayu akan harta dan juga kekuasaan. Mengaburkan antara yang benar dan salah, menjerumuskan manusia dalam angkara murka.

Beberapa tahun belakangan ini dunia lelembut digegerkan oleh kemunculan seorang wanita bercadar dengan dua pusaka yang memiliki aura angker menakutkan di kedua tangannya.

Wanita itu selalu hadir disaat bangsa lelembut mengganggu ketenangan hidup manusia. Ia akan selalu hadir membantu membinasakan para lelembut nakal yang sengaja menebar ketakutan di dunia manusia.

Wanita bercadar dengan empat penjaganya yang selalu setia menemaninya melintasi dimensi demi menuntaskan dendam lama.

Dia melindungi umat manusia dari kejahatan iblis dan para lelembut nakal lainnya. Tapi sebenarnya ia memiliki misi khusus, mencari keberadaan musuh lama yang bersembunyi dalam kegelapan.

Siapa pun yang mendengar namanya di dunia lelembut akan gemetar dan ketakutan. Dia, Srikandi Tanah Pasundan.

...----------------...

Dua wanita muda berjalan dengan tergesa gesa menembus gelapnya malam. Hujan yang turun menyisakan gerimis kecil. Malam itu begitu dingin dan lembab, cocok untuk datangnya para bangsa lelembut.

"Kamu sih, pake acara pulang lewat sini!" kata Sinta menyalahkan temannya, Naura.

"Emang kenapa sih lewat sini, kan lebih dekat! Daripada kita muter kejauhan, lagian kan lewat sini juga terang." sahut Naura heran melihat temannya berjalan sambil celingukan nggak jelas

"Eh Ra, lewat sini emang dekat tapi apa kamu nggak tau cerita tentang rumah kos di ujung jalan sana?!" tanya Sinta sambil menyentuh tengkuknya yang mulai meremang.

"Cerita apaan?" Naura bertanya balik 

"Katanya rumah kost-an itu berhantu Ra! Ada hantu tanpa kepala yang selalu ngikutin siapa aja yang lewat ditengah malam?!" Sinta setengah berbisik, ia terus saja celingukan ke kanan dan kiri.

"Hah, masa sih?! Aku kok baru denger?"

"Makanya kamu tuh kalo keluar rumah bergaul dong ma tetangga! Biar kata kita anak kost tapi nge-ghibah tetep jalan dong!"

Naura menggerutu dinasehati Sinta, "Cckk, ada gitu pake acara nge-ghibah bareng tetangga?"

"Adalah, itu cara biar kita bisa dapet calon mertua eeh salah, calon jodoh maksudnya Ra. Kamu kan tahu tetangga kita itu punya anak cowok ganteng-ganteng lho Ra!" Sinta cengengesan melupakan ketakutannya sejenak.

"Hhhmm, ada udang dibalik tekwan judulnya yaaa!"

"Bakwan kali Ra!"

Mereka berdua tertawa kecil, menghibur diri dari rasa takut di tengah gerimis yang turun. Tanpa terasa sampailah mereka di depan rumah kost mewah berlantai dua.

Mereka berdua saling berpandangan, suasana mulai terasa mencekam. Suara gerimis yang jatuh di atas payung membuat malam terasa horor. Sepi dan sunyi.

Para penghuni kost mungkin saja sudah terlelap dalam tidurnya karena jam juga sudah menunjukkan lewat dari jam sebelas malam.

"Ra, kok rasanya ada yang aneh ya … kamu dengar sesuatu nggak?" Sinta memegang erat tangan Naura yang sedang memegang payung.

"Hhm, denger sih nggak tapi … ada bau aneh nggak sih?" Naura balik bertanya.

Sinta mengendus-endus sekelilingnya berusaha menajamkan Indra penciumannya, 

"Ehm, bau … amis bukan?!"

"Keknya iya, anyir …,"

"Darah …," mereka bicara secara bersamaan, dan kemudian saling berpandangan.

Naura dan Sinta seketika gemetar, mereka teringat cerita tentang hantu tanpa kepala penunggu kost-an mewah yang beberapa langkah lagi akan dilewati.

Mereka mempercepat langkah tanpa banyak bicara lagi. Saling berpegangan tangan dan merapatkan tubuh di bawah payung besar yang melindungi mereka dari gerimis.

"Mbak …," 

Terdengar suara berat memanggil mereka dari belakang. Awalnya mereka berdua mengindahkan suara itu. Naura memberi kode pada Sinta dengan gelengan kepala agar tidak melihat ke arah panggilan. Mereka berjalan dengan tergesa berharap segera melewati rumah angker itu.

"Mbak …,"

Sinta semakin menggenggam erat tangan Naura, wajah mereka pucat pasi.

"Mbak, mbaknya ni berdua budeg apa gimana sih!" Seseorang tampak marah dan menahan kesal.

Sinta dan Naura langsung terhenti dan melihat tepat ke samping dimana pemilik suara itu menampakkan wajah kesal pada keduanya.

"Eeh, orang ya saya kira …,"

Apa?! Hantu!" lelaki muda itu tampak kesal.

"Yaaa, kirain …," Naura cengengesan merasa bersalah. 

"Ccck, sialan gue dikira hantu! Untung kalian cakep kalo nggak gue gampar dah!" Gerutu lelaki muda itu

"Lha lagian masnya ngapain coba panggil-panggil kita, mana gerimis sepi pula jalan?!" protes Sinta.

"Niiih, saya cuma mau ngasih ini!"

Lelaki muda itu mengacungkan sebuah bungkusan plastik berwarna putih pada Sinta dan Naura.

"Ini punya mbak kan? Jatuh tuh disana!" ujar lelaki muda itu sambil menunjukkan jalan di belakang mereka.

Bagai dihipnotis Naura dan Sinta menerima tas plastik yang diberikan lelaki muda yang cukup tampan itu.

"Ini …," Naura memandang Sinta sejenak setelah menerimanya.

"Ini punya mbaknya kan?" tanya lelaki itu sekali lagi.

"Ehm, ini … eh, iya … ini punya saya eh kita." jawab Sinta ragu seraya berkedip pada Naura.

Lelaki muda itu tersenyum ganjil, Sinta dan Naura berbohong karena tas plastik itu bukan milik mereka.

"Ya udah, saya pergi dulu kalo gitu!" Lelaki itu berpamitan pada mereka berdua dan meninggalkan mereka berdua yang kebingungan.

"Gila kamu Sin, ngapain kamu ngakuin itu tas punya kita?! Kalo ada yang punya gimana? Kan kasian klo nyari?"

"Ehm, ya udah terlanjur Ra … masa mau dibalikin lagi ke masnya? Gengsi dong!"

"Hhmm makan tuh gengsi, cari perkara ni!"

"Udahlah, yuuk jalan lagi! Dingin nih, aku kebelet pipis lagi!" Sinta menarik tangan Naura agar segera pergi dari tempat itu.

Tanpa mereka sadari, lelaki muda yang menurut mereka tampan itu telah menghilang begitu saja setelah menyerahkan tas plastik. Lampu penerangan jalan yang berada di sepanjang jalan itu padam secara tiba-tiba dan hanya menyisakan satu lampu saja.

Hantu Tanpa Kepala

Lampu penerangan jalan yang menerangi sepanjang jalan itu padam secara tiba-tiba dan hanya menyisakan satu saja.

"Eeh, kok gelap Ra?!"

"Konslet kali lampunya. Buruan jalannya agak-agak nggak enak perasaan dehh." jawab Sinta dengan suara sedikit gemetar karena takut.

"Ehm, Sin ini tas kok makin lama terasa berat ya?!" tanya Naura lagi.

"Ah masa sih? Hhmm, bilang aja kamu minta dibawain tasnya! Modus nih!" Sinta terkekeh.

Wajah Naura berubah pasi, ia menatap ke arah Sinta. "Sin, tasnya gerak-gerak … apaan sih ini isinya?" tanyanya dengan panik.

Sinta beralih menatap ke arah tas plastik berwarna putih yang ada di tangan Naura.

Benar saja Sinta melihat sesuatu bergerak dari dalam tas.

"Ra … i-itu apa?"

Dengan gemetar Naura nekat membuka isi tas plastik dan betapa terkejutnya Naura ketika mendapati sebuah kepala manusia yang sedang menyeringai padanya dengan mata melotot.

Seketika Naura melempar tas plastik itu lalu, membuat Sinta terkejut.

"A-apa itu Ra?"

"Ke-kepala orang Sin …," jawabnya dengan gemetar, kakinya lemas dan tak sanggup berjalan lagi.

Sinta merasakan tangan dingin menepuk bahunya, membuatnya terkejut.

"Mbak … mana kepala saya?" suara itu terdengar serak dan menyeramkan.

Sinta gemetar tapi rasa penasarannya membuat dirinya ingin menoleh kebelakang. Sosok tanpa kepala sedang berdiri tepat di belakangnya.

Darah mengalir dari luka penggalan dilehernya, membasahi pakaiannya yang berwarna putih. Bau anyir darah dan busuk menusuk hidung Sinta.

"Raaa …" teriakan panjang Sinta diikuti dengan hilangnya kesadaran.

Sementara Naura rupanya telah terlebih dulu pingsan. Kedua gadis itu tergeletak di tengah jalan dengan hujan gerimis membasahi tubuh.

Sosok hantu tanpa kepala itu berjalan mendekati tas plastik yang berisi kepalanya. Hantu itu seolah mengerti dimana letak kepala nya berada.

Tangannya dengan perlahan mengambil kepala dalam tas plastik dan memasangnya kembali ke tubuhnya. Kepala itu melekat begitu saja tanpa perlu perekat khusus, yang terlihat hanya garis merah yang masih mengeluarkan darah.

Ternyata sosok itu adalah lelaki muda tampan yang tadi memanggil Sinta dan Naura. Ia tersenyum menatap kedua gadis yang tergeletak pingsan di jalan

Ia mendekati Sinta berjongkok lalu mendekatkan wajahnya. Membuka mulut Sinta dan mengambil hawa kehidupan milik gadis itu. Kabut tipis keluar dari mulut Sinta dan langsung dihisapnya cepat.

Belum juga selesai menghirup hawa kehidupan Sinta, sabetan  pedang dengan tanpa ampun membabat lehernya. Memotongnya kembali dan membuat kepalanya terpental jauh beberapa meter.

"Huh .. sepertinya kamu menikmati acara hisap menghisap ya?" 

Seorang wanita cantik dengan cadar yang menutupi wajahnya muncul begitu saja. Sebilah pedang dengan darah yang masih menetes ada di tangan kanannya. Dengan perlahan ia berjalan mendekati hantu tanpa kepala yang kini telah mendekati kepalanya yang terlempar.

"Apa urusannya kamu mengangguku?"

"Aku? Nggak ada! Aku cuma benci sama hantu rendahan model kalian, yang bisanya mencuri hawa kehidupan manusia dengan tipu daya licik!"

"Aku tidak punya urusan dengan mu! Jangan ganggu aku atau …,'

"Atau apa? Mau membunuhku? Dengan kepala seperti itu?"

"Jangan menghinaku! Kamu belum tahu siapa aku!" 

Hantu tanpa kepala itu masang kembali kepalanya lalu menggelengkan kepala ke kanan dan kiri hingga terdengar suara tulang lehernya saling beradu.

Hantu itu berbalik ke arah wanita dengan cadar yang menutupi wajahnya. Mata coklatnya tampak indah ditimpa cahaya lampu, tapi sejurus kemudian matanya berkilat kemerahan.

Hantu itu terkesiap saat melihat kilatan merah dari mata wanita misterius yang ada dihadapannya.

"Kau … jangan-jangan kau adalah …," 

Belum sempat hantu menyelesaikan perkataannya, sabetan pedang dengan warna kemerahan telah menebas kembali lehernya. Tapi kali ini pedang dengan aura angker itu juga membelah dua tubuh si hantu. 

Mata hantu itu melotot ke arah wanita misterius yang sedang berjalan ke arahnya. Ia melirik tubuhnya yang mulai menyatu, lalu menyeringai pada wanita misterius yang sudah berjongkok didepannya.

"Sepertinya ini hari naas mu makhluk jelek! Waktunya kembali ke neraka!"

Pedang itu menembus tulang tengkorak menimbulkan bunyi retakan lalu membakarnya seketika menjadi abu. Tubuh si hantu berhenti menyatu lalu perlahan ikut terbakar seperti kertas dan hilang ditiup angin.

Wanita misterius itu berdiri lalu tersenyum, ia membuka penutup wajahnya. Menampakkan dirinya di bawah temaram sinar bulan yang mulai muncul malu-malu dari balik awan mendung.

"Satu lagi hantu bodoh pengganggu manusia musnah," gumamnya

Tangannya menengadah dan sedikit abu dari hantu itu jatuh diatas telapak tangannya.

"Sar, gadis - gadis itu bagaimana?" tanya Bimasena Menghampiri Sari.

Sari tidak menjawab, dan mendekati kedua gadis yang masih tergelatak pingsan. Sari merapal mantra di tangannya lalu mengusapkan ke wajah kedua gadis itu. Cahaya keemasan tampak merembes dari sentuhan kulit Sari dan wajah gadis itu.

"Ayo kita pergi Bimasena, kita harus mengejar kereta pagi. Aku ada urusan ke suatu tempat!"

Sari Anneliese Van Barend, mantan jurnalis Journey to the East melesat menembus dimensi waktu.  

Tugasnya kali ini bukan liputan mistis tapi beralih menjadi pemburu hantu yang ditakuti setiap bangsa lelembut hanya dengan mendengar namanya saja.

Aku akan berburu hingga ke ujung dunia manusia dan lelembut untuk mencarimu!!

Kesabaran Doni

Suara alarm berbunyi memekakkan telinga Sari yang masih enggan membuka mata. Tangannya berusaha meraba raba meja tempat ponselnya yang membunyikan alarm.

Dengan malas dan mata masih tertutup, Sari menggerakkan tangannya ke kanan dan kiri. Tangan Sari belum sempat meraih ponselnya saat bunyi alarm terhenti.

"Bangun Sar, ini dah siang banget lho!" Doni menghampiri dan duduk di tepi ranjang.

Dengan lembut, ia membelai rambut Sari berusaha membuat Sari mau membuka matanya.

"Masih ngantuk, capek," jawab Sari malas.

"Mau sampai kapan kamu begini Sar?" Doni bertanya dengan nada rendah, tangannya masih belum berpindah dari rambut hitam panjang Sari.

Sari tidak menjawab dan masih memejamkan mata, dengan posisi membelakangi Doni.

"Ini sudah hampir 15 tahun, apa kamu mau terus begini sepanjang hidupmu?"

Perlahan Sari yang membelakangi Doni mulai membuka matanya. Dia menunggu Doni kembali bicara. Hampir setiap hari Doni selalu membangunkannya dari lelapnya tidur, menemaninya sepanjang waktu tanpa lelah selama 15 tahun terakhir. 

"Sar, kamu ingat kan sekarang hari apa?" tanya Doni dengan kepala menunduk, wajahnya muram dan sedih.

Sari akhirnya membalikkan tubuh dan menghadap ke arah Doni. Dan saat Doni hendak beranjak tangannya menahan Doni pergi.

"Don, maaf aku dah banyak ngerepotin kamu."

Doni tersenyum melihat Sari yang kini telah menjadi istrinya itu, "Sudah kewajiban ku juga kan buat ngelindungin kamu. Kamu istriku, jadi nggak perlu sungkan."

"Tapi … aku belum bisa jadi istri yang baik untuk kamu. Aku …,"

"Ssst, nggak perlu panjang katanya pagi-pagi. Kalo mau diterusin tolong buat seribu kata tanpa jeda," canda Doni pada Sari.

Sari tersenyum dan memukul ringan tangan Doni, "Kamu pikir novel pake bikin seribu kata?!"

"Eh novel juga cukup 500 kata selesai lho?"

Sari kembali terkekeh, "Ya … ya, apa kata kamu deh, mentang-mentang sekarang mulai aktif nulis. Kamu minat jadi penulis novel juga?"

Doni menaikkan alis nya sebelah, "Ehm, mungkin … cocok nggak kalo jadi penulis novel, ngehalu tentang dunia mistis?"

Sari tertawa lagi melihat wajah konyol Doni yang sedang menanggapi pertanyaannya.

"Cocok … cocok banget, kan kamu juga tahu dunia begitu apa lagi mukamu tuh dah kayak bangsa lelembut!" sahut Sari sambil melipat selimutnya.

"Eeh, kamu jadi istri nggak ada akhlak bener. Suami sendiri dibilang kek bangsa lelembut?!" protes Doni seraya mendekati Sari yang kini telah berdiri dan bersiap ke kamar mandi. 

Sari kembali tertawa, hari - harinya terasa manis karena Doni selalu membuatnya tertawa setiap saat. Membantu Sari melupakan kesedihannya kehilangan Bagas.

Meski cinta Sari untuk Bagas belum terhapus tapi Doni dengan sabar menanti Sari membuka lagi hatinya. Pernikahan Sari dan Doni sudah memasuki 12 tahun, butuh waktu tiga tahun bagi Doni untuk bisa meyakinkan Sari agar bisa menerimanya menjadi imam pengganti Bagas.

Perjuangan yang luar biasa bagi Doni, karena Sari benar-benar mengurung dirinya sendiri dalam rumah setelah kejadian itu. Kehilangan Bagas, Ahmad, dan Rara membuatnya shock berat. 

Ditambah lagi keabadian yang harus diterima Sari akibat ulah si kembar, membuat Sari semakin sulit untuk memulihkan kondisi psikologisnya.

Sari yang saat itu tidak punya pilihan selain membunuh Lingga dan Litha secara bersamaan. Membuat murka Airlangga dan hampir saja membunuh Doni.

Lingga membunuh Bagas dengan sengaja yang membuat Sari kecewa dan marah besar, apalagi Doni juga akan dijadikan umpan cadangan Lingga untuk mematik emosi Sari agar menggunakan pedang Sengkayana padanya.

Bagas yang naas harus menjemput ajal di tangan Lingga sementara Doni sedikit beruntung meski ia terluka cukup parah saat menghadapi Airlangga.

Tapi untungnya semua sudah berakhir. Sari akhirnya bisa berdamai dengan keadaan. Semua itu tak lepas dari dukungan Mom Adeline dan Dad Barend serta Doni yang selalu menemaninya selama menghadapi masa-masa sulit.

Doni memeluk Sari dari belakang, cintanya pada Sari tidak pernah berubah meski Sari masih takut dan trauma jika Doni akan mengalami hal yang sama dengan Bagas. Meninggal secara mengenaskan.

"I love you, my love." Doni berbisik lembut di telinga Sari.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!