NovelToon NovelToon

Pria 500 Juta

Bab 1. Tak Semanis Dulu

"Segini? Mana cukup?!" seru wanita seraya melemparkan uang yang ada di tangannya. Wanita itu berkacak pinggang, menatap pria yang ada di hadapannya. Pria yang telah membangun mahligai rumah tangga bersama dengannya.

"Gajiku semuanya sudah ku serahkan, Sifa. Hanya itu, bahkan aku tak mengambil sepeserpun dari amplop yang ku serahkan padamu," ujar Fahri.

Sifa mendengkus kesal. Ia menatap kembali amplop yang berisi uang tersebut. Benar saja, di sana ada selip gaji. Nominal yang tertera di secarik kertas itu, sama dengan jumlah uang yang ada di dalam amplop tersebut.

"Mas, kamu tahu kan? Untuk biaya satu bulan gajimu tidaklah cukup. Belum buat bayar sewa apartemen, makan sehari-hari, dan kebutuhan lainnya. Tentu saja ini kurang banyak, Mas." Kening Sifa berkerut karena pendapatan sang suami yang terbilang kecil menurutnya.

"Sifa, Istriku. Tolong kamu berhemat sedikit. Mas benar-benar minta tolong sama kamu. Belanja pakaian atau barang-barang seperlunya saja," bujuk Fahri.

Mendengar sang suami yang berucap demikian, membuat Sifa naik pitam. Ia beranjak dari duduknya, menatap Fahri dengan penuh amarah.

"Jadi maksud kamu ini semua salahku? Aku yang tidak bisa mengatur keuangan? Lagi pula aku belanja ini dan itu tidak sepenuhnya memakai uang yang kamu berikan padaku! Aku juga memiliki gaji, aku juga butuh perawatan. Jangan salahkan aku jika uang bulanan yang kamu berikan itu tidak cukup. Itu salahmu sendiri mengapa tidak bisa mencari pekerjaan dengan gaji yang besar," tukas Sifa mengambil uang yang ada di atas meja riasnya.

Sifa keluar dari kamar dengan perasaan kesal karena suaminya yang tak pernah mengerti akan kebutuhannya . Sementara Fahri, ia hanya bisa menatap Sifa dengan wajah sendu.

Fahri menikahi istrinya yang ia kagumi sejak duduk di bangku SMA. Sifa adalah gadis yang cukup populer dikalangan para siswi yang lainnya. Sifa memiliki rupa yang cantik, tentu saja circle pertemanannya tentu saja siswi dengan kelas level tertinggi karena memang wajahnya yang mendukung walaupun dari segi kepintaran, Sifa terbilang sedang-sedang saja. Jika kamu good looking, maka setengah masalahmu akan kelar, dan itulah yang saat ini Sifa rasakan.

Fahri hanya bisa mengagumi Sifa. Ia sadar bahwa dirinya beda kelas jika harus mendapatkan hati Sifa, karena Fahri bukanlah anak orang yang berada.

Namun, saat Fahri mendapatkan beasiswa untuk berkuliah di salah satu universitas yang lumayan bergengsi, lagi-lagi dirinya di pertemukan dengan Sifa. Hal itu tentunya membuat Fahri senang, karena ia dapat melihat wajah cantik Sifa lagi walaupun itu hanya dari kejauhan.

Setelah keduanya menyelesaikan pendidikannya, Fahri tak pernah bertemu dengan Sifa lagi. Wanita itu menghilang dari pandangannya. Seiring berjalannya waktu, Fahri mencoba untuk melupakan Sifa dan berniat untuk membuka hatinya pada gadis lain.

Tiba di waktu saat ia pertama kali mendapatkan pekerjaan, kala itu Fahri berada di sebuah kedai penjual bakso. Tanpa sengaja, ia bertemu dengan Sifa di tempat itu.

Saat itu Sifa berlinang air mata sembari memandangi makanannya yang belum tersentuh sama sekali. Mulai dari sana, Fahri memberanikan dirinya untuk mendekati gadis tersebut. Dan setelah beberapa hari mereka mulai menjalin komunikasi yang baik, mereka pun memutuskan untuk menjalin hubungan. Selang beberapa bulan kemudian, Fahri dan Sifa pun menikah.

Di awal pernikahan, Sifa sangat baik pada Fahri. Ia selalu saja memperlakukan Fahri layaknya pria yang ia cintai dengan sepenuh hati.

Namun, lama-kelamaan sikap Sifa pada Fahri berubah. Sifa menjadi wanita yang tak bisa menghargai hasil jerih payah suaminya, dan selalu merasa bahwa penghasilan yang Fahri berikan kurang.

Akan tetapi, Fahri tetap menyayangi sang istri. Pria itu selalu memperlakukan Sifa dengan lembut walaupun istrinya selalu saja melontarkan ucapan yang kasar padanya. Bukan karena ia tak punya harga diri, akan tetapi karena Fahri hanya memiliki sifa di muka bumi ini. Hanya istrinya.

...****************...

Fahri keluar dari kamarnya. Ia melihat Sifa yang tengah duduk di sofa sedang menonton televisi. Pria itu pun perlahan mendekati sang istri.

"Sifa, Istriku. Kau masih marah padaku?" tanya Fahri dengan sangat lembut.

"Aku merasa tersinggung dengan ucapanmu tadi. Kau seakan melimpahkan semua kekuranganmu padaku, padahal kaulah yang tidak bisa memenuhi kebutuhan istrimu sendiri," ketus Sifa.

"Istriku, maafkan jika ucapanku tadi menyinggungmu. Baiklah, begini saja. Aku akan berusaha untuk mencari tambahan kekurangan uang kita nanti," tutur Fahri.

"Benarkah?" tanya Sifa yang mulai melembut.

"Hmmm ... Nanti aku akan berusaha mencari kekurangan dari uang yang ku berikan padamu. Do'akan aku mendapatkan rejeki lagi setelah ini," ujar Fahri.

Perlahan Sifa pun menganggukkan kepalanya.

"Sekarang, tersenyumlah. Kamu sangat cantik jika sedang tersenyum," ucap Fahri seraya merapikan rambut Sifa, lalu kemudian menyelipkannya di balik telinga sang istri.

Sifa pun tersenyum menatap suaminya. Lalu kemudian ia merengkuh tubuh Fahri, bersandar di dada bidang pria tersebut.

"Mas, aku minta maaf karena sudah marah padamu," ujar Sifa.

"Aku juga minta maaf karena ucapanku tadi," ucap Fahri mengusap kepala istrinya dengan lembut.

"Ya sudah, kalau begitu ayo kita makan malam. Mas sudah sangat lapar," ajak Fahri pada sang istri.

Sifa melepaskan pelukannya. Ia sedikit mengusap tengkuknya karena merasa bersalah. "Ada apa?" selidik Fahri saat melihat ekspresi wajah istrinya yang seperti itu.

"Mas, aku sudah makan di luar tadi. Aku juga tidak masak untuk malam ini," ujar Sifa seraya tersenyum.

"Ya sudah, kalau begitu mas masak mie aja. Stok mie instan masih ada kan?" tanya Fahri.

"Iya, masih ada, Mas."

Sifa mengambil remote yang ada di atas meja untuk mengganti chanel. Wanita itu tak beranjak dari tempat duduknya. Melihat hal tersebut, Fahri lah yang harus mandiri. Ia berjalan ke dapur untuk menyiapkan makan malamnya sendiri.

Fahri membuka rak penyimpanan, ia mengambil salah satu mie cup yang ada di dalamnya. Fahri menghidupkan kompor untuk memanaskan air. Setelah mendidih ia pun menuangkan mie instan tersebut ke dalam cup.

Sembari menunggu mie instannya, Fahri membawa cup tersebut ke ruang tengah untuk bergabung menonton televisi bersama dengan sang istri.

"Mas, kalau bisa kamu makannya di dapur saja. Aroma mie instannya sangat pekat, takutnya aku lapar lagi," ujar Sifa menegur suaminya.

"Ya sudah, kalau kamu mau makan tidak apa-apa. Makan saja," timpal Fahri.

"Mas, ... Kalau aku gendut, aku akan malu berhadapan dengan teman-teman ku. Lagi pula di dapur kan luas," tukas Sifa.

Mendapat penolakan dari sang istri, membuat Fahri kembali membawa cup mie instan itu kembali ke dapur. Ia pun menjatuhkan bokongnya di kursi yang ada di dapur tersebut. Sesekali Fahri mengarahkan pandangannya pada Sifa yang tengah asyik menonton televisi.

"Apakah kamu sangat takut kehilangan teman-temanmu?" batin Fahri seraya memandangi wajah istrinya dari kejauhan.

Bersambung ....

Bab 2. Kunci Sebuah Keutuhan

Sinar mentari mulai memasuki celah jendela kaca. Mata Fahri yang semula terpejam, perlahan mulai terbuka. Pria itu mengusap matanya, lalu kemudian melirik ke sampingnya yang telah kosong.

Fahri beranjak dari tempat tidurnya. Ia mendengar suara bising dari dapur. Pria itu pun menarik segaris senyuman di bibirnya.

"Dia sedang memasak," gumam Fahri yang kemudian memilih untuk membersihkan dirinya sebelum menghampiri sang istri.

Setelah memakan waktu selama 15 menit berada di dalam kamar mandi, Fahri pun keluar dengan wajah yang lebih segar. Pria tersebut berjalan menuju lemari pakaiannya, lalu memakai setelan untuk berangkat bekerja.

Setelah mematut dirinya di cermin, Fahri pun keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuju ke dapur. Netranya menangkap Sifa yang saat ini tengah mengenakan apron. Wanita tersebut telah memakai setelan kantornya. Ia meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Fahri.

"Loh, kenapa cuma satu?" tanya Fahri yang menatap istrinya dengan heran.

"Kamu saja yang sarapan, Mas. Aku buru-buru," sahut Sifa.

"Buru-buru ke mana?" tanya Fahri lagi.

"Ya ... buru-buru berangkat kerja, emangnya mau kemana lagi," cetus Sifa segera melepas apron yang masih melekat di tubuhnya. Wanita itu meraih tas kerjanya. Namun, tiba-tiba saja tas tersebut terlepas dari tangannya, membuat semua isi di dalamnya berserakan.

"Sial!" umpat Sifa.

"Pelan-pelan, Sayang."

Sifa memasukkan kembali semua yang berhamburan ke dalam tasnya. Lalu wanita itu pun beranjak dengan sedikit merapikan lengan bajunya yang sedikit berlipat.

"Aku berangkat dulu ya, Mas." Sifa melangkah pergi begitu saja. Tanpa berpamitan dengan mencium punggung tangan suaminya terlebih dahulu.

Fahri melihat istrinya yang sudah menghilang dari balik pintu. Ia pun menghela napasnya melihat perubahan sedikit demi sedikit pada sang istri.

Matanya kembali memandang nasi goreng yang dibuat oleh Sifa tadi. Seketika hati Fahri menghangat hanya karena sepiring nasi goreng tersebut.

Fahri mulai menyantap nasi goreng buatan istrinya. Sesekali ia tersenyum saat indera pengecapnya mulai merasakan nasi goreng itu secara perlahan masuk ke dalam mulutnya. Fahri kembali melahap nasi goreng itu hingga tak tersisa di piringnya, meskipun masakan Sifa rasanya luar biasa asin.

Pria tersebut mengatasi rasa asin itu dengan menenggak air cukup banyak. Ia tak ingin membuang apa yang telah dibuat oleh istrinya, mengingat Sifa bangun pagi dan memasakkan sesuatu untuknya, sudah membuat Fahri bahagia.

Fahri meletakkan piring makannya. Mencuci piring bekasnya tadi sejenak agar tak merepotkan tugas istrinya nanti. Setelah mencuci piring, Fahri pun mengelap tangannya yang basah dengan kain. Tampa sengaja kakinya menendang sesuatu.

Fahri menunduk, ia memungut beda yang tadi ditendang olehnya. "Ini kan ID card-nya Sifa," gumam Fahri.

Pria itu segera memasukkan ID card Sifa ke dalam sakunya. Ia pun mengambil tas kerjanya dan segera berlari keluar dari rumahnya.

Fahri menghadang taksi yang melintas di depannya. Pria itu pun segera menaiki taksi tersebut untuk segera menuju ke tempat Sifa bekerja.

Setelah cukup lama menempuh perjalanan, Fahri pun tiba di salah satu bangunan yang bertuliskan 'Beauty Store'. Tempat itu merupakan toko kosmetik terbesar di kota tersebut. Istri Fahri bekerja di tempat itu sebagai pramuniaga.

Fahri mencoba menghubungi kontak Sifa, untuk menemuinya di depan tempat kerjanya. Namun, Sifa tak mengangkat panggilan teleponnya.

Saat mata Fahri tertuju ke arah seberang jalan, yang terdapat sebuah kedai kopi di tempat tersebut. Tanpa sengaja ia melihat Sifa tengah duduk berdua dengan seorang pria sembari berbincang-bincang.

Fahri menjauhkan ponselnya dari telinga. Ia dapat melihat dengan jelas di seberang sana, karena keduanya berada tak jauh dari jendela kaca.

Bukan hanya sekali, bahkan sering Fahri memergoki istrinya bersama dengan pria itu. Namun, Fahri masih ingin percaya pada sang istri. Ia yakin, jika Sifa tak akan mengkhianati dirinya.

Bagi Fahri kepercayaan adalah kunci dari keutuhan rumah tangga. Maka dari itu, Fahri memilih untuk tetap mempercayai istrinya supaya rumah tangganya tetap utuh.

Melihat Sifa yang tak kunjung mengangkat telepon darinya, membuat Fahri mengirimkan pesan singkat pada sang istri.

Kau dimana? Aku sedang berada di depan tempat kerjamu. Kedatanganku kemari untuk mengantarkan ID Card mu.

Setelah mengirimkan pesan singkat itu, Fahri melihat Sifa melirik ponselnya. Wanita itu tengah menatap layar ponselnya. Fahri dapat menebak bahwa Sifa sedang membalas pesan singkat darinya.

Tringgg ...

Benar saja. Notifikasi dari ponsel Fahri berbunyi. Pria itu pun segera membuka balasan pesan dari istrinya.

Baiklah, aku akan segera menemuimu.

Setelah membaca rentetan pesan tersebut, tak lama kemudian Fahri melihat Sifa keluar dari tempat itu, meninggalkan pria yang tadi berbincang dengannya sendirian.

Melihat Sifa yang keluar dari kedai tersebut, membuat Fahri langsung mengalihkan pandangannya. Ia memilih berpura-pura untuk tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh istrinya tadi.

Selang beberapa lama kemudian, Fahri merasakan seseorang memegang pundaknya. Dan saat ia berbalik, Sifa tengah menadahkan tangan berada di belakangnya.

"Mana ID card ku?" tanya Sifa.

Fahri tersenyum, lalu kemudian mengambil id card milim Sifa dari dalam sakunya. "Kau menjatuhkannya tadi. Untung aku menemukannya dengan cepat," ujar Fahri yang tak menghilangkan segaris senyum di wajahnya.

"Terima kasih," ucap Sifa.

Fahri mengangguk lalu kemudian mengusap puncak kepala istrinya dengan lembut. Tiba-tiba saja Sifa menepis tangan suaminya.

"Maaf, tapi aku takut tatanan rambutku akan kembali berantakan karenamu," lirih Sifa.

Fahri terkekeh geli mendengar alasan dari istrinya itu. "Baiklah, aku tidak akan mengusap rambutmu yang sudah rapi itu," tutur Fahri.

"Apakah kau tidak akan pergi bekerja?" tanya Sifa.

Fahri menatap jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Ia pun langsung membelalakan mata saat sadar bahwa dirinya akan terlambat ke kantor.

"Jam setengah delapan," ujar Fahri dengan ekspresi terkejut.

"Ya sudah, kalau begitu aku berangkat bekerja dulu. Kau jangan lupa makan nanti siang!" seru Fahri yang bergegas pergi dari tempat tersebut. Namun, pria itu berbalik lagi menatap sang istri yang masih berdiri di tempatnya. Fahri melambaikan tangannya pada sang istri, pria itu pun berlari menuju ke kantor karena memang lokasinya yang tak terlalu jauh dari tempat tersebut.

Di bawah sinar mentari yang mulai terik, Fahri memeluk tas kerjanya sembari berlarian menuju ke kantor. Jika menggunakan transportasi, mungkin akan lebih cepat. Namun, Fahri dituntut untuk menghemat. Uang yang diberikan oleh istrinya sebisa mungkin ia hemat sampai tiba gajian selanjutnya.

Fahri berlari begitu cepat. Ia menganggap bahwa saat ini dirinya tengah melakukan sebuah lomba lari untuk cepat tiba di tempat tujuannya, yaitu kantor.

Setelah berlari sekitar delapan belas menit lamanya, pria itu pun tiba di kantor. Fahri bergegas melewati pintu masuk, lalu kemudian menaiki lift yang mengantarkannya ke tempat dimana ia bekerja.

Di ruang sempit itu, Fahri memanfaatkan waktunya untuk mengatur napasnya yang masih terengah-engah.

Lift terbuka, Fahri sudah membenahi penampilannya saat berada di dalam lift tadi. Pria itu pun berjalan menuju ke ruang kerjanya.

Saat baru saja ia meletakkan tas kerja di mejanya, tiba-tiba suara lantang membuatnya terkejut seketika.

Bersambung ...

Bab 3. Terlambat

"Kamu pikir kantor adalah tempat bermainmu, hah?!" seru pria yang umurnya kisaran 35 tahun.

Fahri terkejut. Ia melihat pria yang saat ini menghampiri dirinya menatap ke arahnya dengan nyalang.

"Ma-maafkan saya, Pak." Fahri tertunduk, pria itu tak berani menatap mata atasannya.

"Jika kau tidak ingin bekerja lagi, sebaiknya berhenti saja! Atau kamu ingin langsung dikeluarkan dari perusahaan ini?" tanya pria itu.

"Saya mohon, Pak. Jangan pecat saya," ucap Fahri.

Pria itu pun melemparkan berkas-berkas yang ia pegang dengan kasar, hingga berkas-berkas tersebut berhamburan.

"Aku sebenarnya sudah muak menghadapimu," ujar pria tersebut sembari mengernyitkan keningnya.

"Aku juga akan memaafkanmu untuk kali ini. Ku harap, kejadian ini tidak terulang lagi untuk kedepannya. Begitu juga dengan staf yang lainnya!" lanjut pria tersebut dengan lantang sembari menatap beberapa pegawai yang ada di ruangan itu.

"Ambil berkas itu dan kamu input ulang. Aku melihat beberapa kesalahan. Data yang kamu ketik tidak valid. Sebaiknya perbaiki dan kamu cek kembali dengan teliti, TELITI!!" tukas atasan Fahri dengan nada yang penuh penekanan.

"Baik, Pak. Saya akan merevisinya kembali dengan sangat teliti," ujar Fahri tertunduk.

Sang atasan tak menggubris ucapan Fahri. Ia melenggang meninggalkan ruangan tersebut, berjalan menuju ke ruangannya.

Fahri langsung berjongkok memunguti semua berkas yang berserakan. Semua orang yang ada di tempat itu menatap Fahri dengan rasa kasihan. Namun, tak ada satu pun yang berani membantu pria tersebut. Jika mereka melakukan hal itu, maka mereka juga yang akan terkena imbasnya.

Fahri sudah cukup lama bekerja di tempat tersebut. Namun, pria itu tak pernah mendapatkan perlakuan yang baik. Selalu saja dipandang rendah oleh atasannya .

Fahri mengumpulkan berkas-berkas itu, menumpuknya menjadi satu. Bekerja di sini sama seperti menjatuhkan harga dirinya. Akan tetapi, ia tak dapat berbuat apa-apa, karena Fahri bukanlah hidup sendiri melainkan ia mempunyai tanggung jawabnya, yaitu Sifa.

Demi Sifa, Fahri membuang rasa egoisnya jauh-jauh. Demi wanita itu, Fahri juga rela menjatuhkan harga dirinya untuk mencukupi kebutuhan sang istri.

Sanggupkah pria lain di posisi Fahri? Adakah pria yang sesabar Fahri? Jawabannya hanya satu berbanding seribu.

....

Fahri baru saja menyelesaikan berkas-berkas yang harus ia perbaiki tadi. Pria tersebut merapikan berkas itu dan menumpuknya menjadi satu kesatuan untuk diberikan langsung ke ruang atasannya.

Ia beranjak dari tempat duduknya. Berjalan menuju ke ruang sang atasan untuk memberikan tugas yang telah ia selesaikan.

TOKKK ... TOKKK ...

Pria itu mengetuk pintu, setelah mendapat persetujuan dari dalam, suara yang menyuruh prianitu masuk, Fahri pun langsung memasuki ruangan tersebut.

"Ini ... berkas yang tadi Bapak minta," ujar Fahri seraya menyodorkan berkas tersebut.

Pria itu pun mengambilnya dari tangan Fahri. "Baik, aku akan mengeceknya nanti," ucapnya.

"Sekarang kamu boleh keluar!" titah atasannya setelah menerima dokumen tersebut.

Fahri pun menundukkan kepalanya sejenak, lalu kemudian berjalan keluar dari ruangan itu.

Waktu istirahat jam makan siang tiba. Namun, Fahri hanya memilih menuju pantry untuk menyeduh kopi saja. Rasa lapar ia tahan demi menghemat uang yang ada. Ia mengatasi laparnya dengan segelas kopi.

"Fahri, ayo kita makan siang!" ajak salah satu rekan kerja satu ruangan dengannya.

"Aku tidak lapar," timpal Fahri berbohong. Pria itu mengembangkan senyumnya.

"Kamu benar-benar pelit, Fahri."

Fahri hanya memberikan respon dengan mengulas senyum. Lalu kemudian berlalu dari hadapan rekan kerja yang berbicara dengannya tadi.

Pria tersebut membawa secangkir kopinya menuju ke meja kerja. Ia memilih untuk menyelesaikan pekerjaannya, menyibukkan diri agar rasa laparnya dapat teralihkan.

Baru saja ia menatap layar komputernya, tiba-tiba ponselnya berdering. Fahri merogoh sakunya, lalu kemudian melihat layar benda persegi itu yang tertera nama 'Ibu Mertua' tengah meneleponnya.

Fahri pun langsung menerima panggilan tersebut. "Assalamualaikum, Bu."

"Fahri, bisakah kau jemput ibu di stasiun? Ibu sangat malas sekali jika harus mencari taksi untuk ke tempatmu."

Fahri melirik jam yang ada di tangannya. Jam istirahat makan siang tak cukup jika dipergunakan untuk menjemput mertuanya.

"Maaf, Bu. Fahri tidak bisa menjemput ibu. Masalahnya jam istirahat aka...."

"Sudah ... sudah ... bilang saja jika kamu tidak mau menjemput ibu. Banyak alasan kamu! Punya menantu satu, tapi tidak bisa diandalkan sama sekali!"

Sambungan telepon terputus. Fahri menghela napasnya. Pria itu selalu saja salah di mata mertuanya. Bahkan saat Fahri mengucapkan salam, mertuanya tak membalas salam dari Fahri.

Pria itu meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Ia menyesal kopinya, mencoba untuk menghilangkan beban pikiran atas ucapan mertuanya tadi.

....

Waktu telah menunjukkan pukul enam sore. Fahri telah menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia pun melihat ke sekelilingnya, banyak yang sudah pulang lebih dulu darinya.

Fahri mengirimkan laporan yang ia buat dalam bentuk file melalui email atasannya. Setelah itu, ia pun mematikan komputer, serta membereskan meja kerjanya. Menumpuk beberapa dokumen yang telah ia input menjadi satu.

Fahri pun berjalan keluar dari kantor itu. Namun, setibanya ia diluar gedung, tiba-tiba saja hujan turun dengan sangat deras, membuat pria tersebut harus terpaksa menunggu hingga hujan reda.

Sesekali Fahri menadahkan tangannya, merasakan air hujan yang membasahi telapak tangan. Pria itu tersenyum. Hujan mampu meneduhkannya. Rasa panas dari emosi yang tadi selalu menjadi beban pikiran, kini seakan menguap begitu saja.

Hujan cukup deras, pria tak memiliki mobil seperti yang lainnya untuk pulang. Jangankan mobil, kendaraan roda dua saja ia tak punya. Jika dipikir-pikir, gaji yang ia peroleh bisa saja ia kreditkan dengan satu unit motor, akan tetapi karena pengeluaran sang istri yang selalu saja berlebihan, membuat mereka selalu hidup dalam kekurangan.

Hujan mulai reda, hanya menyisakan rintik kecil yang tak terlalu membasahi. Pria itu memilih untuk berjalan kaki sampai di rumahnya. Sembari menatap sekeliling kota yang mulai disinari oleh lampu-lampu yang begitu indah.

Fahri menyusuri jalanan yang cukup lenggang, karena memang hujan baru saja reda dan beberapa orang memilih untuk menaiki kendaraannya ataupun kendaraan umum yang dapat mengantarkan mereka sampai di rumah.

Setibanya di sebuah penyebrangan jalan, Fahri melihat sepasang suami istri yang tengah bercanda ria. Wanita itu tengah berbadan dua sembari mengusap perutnya, sementara sang pria menatap istrinya dengan penuh cinta, seraya memapah jalannya.

Dalam hati Fahri ada rasa iri melihat pasangan itu. Pasangan muda yang mampu tersenyum seraya melangkah bersama. Sedangkan dirinya, seorang pria matang yang sekuat tenaga menjadikan istrinya seorang ratu.

Namun, perjuangannya sejauh ini seakan tak terlihat. Ingin rasanya menyerah, akan tetapi Fahri mengingat semua kenangan manis yang pernah mereka ciptakan dulu. Walaupun kini, rasa cinta sang istri sedikit hambar, tetapi rasa cinta Fahri untuk istrinya masih sama manisnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!