NovelToon NovelToon

Janda Kembang & Bad Guy

Bab 1 Lucas Denver

"Ampun Tuan, tolong berikan lagi tambahan waktu. Saya pasti akan melunasi semua utang berikut bunganya," pinta seorang pria dengan wajah mencium lantai sebab kaki seseorang menindih kepalanya.

Seseorang tersebut menyeringai kejam lantas menekan dan memutar-mutar sepatunya di atas kepala pria malang itu. "Aku sudah memberimu perpanjangan waktu, Omran. Sekarang, sudah tidak ada lagi toleransi. Kamu bayar semua utang serta bunganya, atau aku patahkan lehermu ini?"

"A-ampun Tuan Lucas... saat ini saya benar-benar tidak memiliki uang sepersen pun. Tuan bisa ambil semua perabotan dan sertifikat rumah saya sebagai jaminan," kata Omran membuat kesepakatan.

Pria bernama Lucas tertawa terbahak-bahak lalu melempar puntung rokok ke arah kepala Omran lanjut mematikannya menggunakan tapak sepatu. "Rumah butut ini mau kamu jadikan jaminan, Omran? Yang benar saja! Bahkan untuk membayar bunganya pun, tidak cukup!!"

Lucas memerintahkan anak buahnya untuk mengobrak-abrik seisi rumah. Kursi dan meja sudah tidak berada pada tempatnya. Keadaan hunian sederhana itu telah porak poranda dengan serpihan kaca di mana-mana sebab para anak buah Lucas telah memecahkan semua jendela.

"Ambilkan pecahan kaca itu padaku!" titah Lucas pada salah satu anak buah. Senyumnya semakin menakutkan. Sudah dipastikan pikiran jahat berkelibatan di dalam otaknya.

"Ini Bos," ucap anak buah Lucas memberikan pecahan kaca lalu kembali ke tempat semula seraya memainkan janggut tipisnya. Bibir-bibir kehitam-hitaman menyunggingkan senyuman tipis lantaran sudah tidak sabar dengan apa yang akan terjadi di depan mata.

Lucas mengangkat kakinya dari atas kepala Omran. Dia memainkan pecahan kaca dengan cara diputar-putar. Matanya tak lepas dari tubuh pria yang masih dalam posisi bersimpuh mencium lantai. Semburat kebengisan sangat jelas dari raut wajahnya. "Angkat pria tua bangka ini dan pegang tangannya kuat-kuat!!"

Dua orang bertubuh besar langsung melakukan apa yang diperintahkan bos-nya. Masing-masing dari mereka memegangi tangan Omran agar tidak bisa melarikan diri.

"Mau apa kamu?" bentak Omran yang sudah memiliki firasat buruk sebab dia menilik benda tajam yang berada di genggaman Lucas.

Lucas terkekeh. "Lihat wajah keriputmu, Omran! Penuh dengan keringat, mau aku tambahi darah segar?"

"Ma-maksud Tuan?" Omran terbata-bata sudah tak sanggup lagi berbicara dengan jelas. Hanya kedua mata yang terlihat penuh tanda tanya.

"Omran... Omran. Kenapa kamu ketakutan seperti itu? Aku bukanlah malaikat mautmu, jadi tenanglah sedikit!" Lucas menggoreskan serpihan kaca tersebut ke atas pipi Omran dan meninggalkan luka yang lumayan dalam.

"Ahgrh..." erang Omran menahan rasa pedih. Darah segar menetes dari atas pipi bercampur air mata yang tiba-tiba berderai.

"Lagi?" tanya Lucas. Tanpa perasaan, pria berusia enam puluh tahun itu kembali melukai wajah kisut Omran dengan benda tajam tersebut. Dia nampak menikmati saat Omran memekik kesakitan. Mulutnya terbuka lebar, suara gelak tawa menggema di dalam bangunan yang saat ini acak-acakkan. "Ini hukuman karena kamu telah berani bermain-main denganku, Omran! Aku sudah memberimu kelonggaran waktu. Tapi, kamu malah menyia-nyiakannya. Jadi, rasakan saja akibatnya!"

Teriakan Omran semakin mengencang sebab Lucas menendang betisnya menggunakan ujung sepatu membuat kaki renta itu bergetar nyeri.

"Ampuni saya Tuan Lucas. Saya janji akan melunasi utang-utang saya. Tapi, tolong berikan waktu satu minggu lagi," pinta Omran berharap pria yang seusia dengannya bisa berbaik hati memberi perpanjangan waktu.

Seorang pria dengan kaca mata hitam di atas kepala menghampiri Lucas lantas membisikkan sesuatu ke telinganya. Bibir kehitaman itu mengukir senyuman yang berbeda dari sebelumnya.

"Omran, apa benar kamu memiliki seorang putri yang sangat cantik?" tanya Lucas menatap bola mata pria yang tengah dia tekan. "Aku dengar, gadismu itu adalah kembang desa di sini. Benarkah itu?" tanyanya lagi dengan mata tak berhenti menatap.

"Sa-saya tidak memiliki anak, Tuan." Omran berdusta untuk menjaga keselamatan putrinya.

"Benarkah?" tekan Lucas. "Aku bisa membaca matamu, Omran. Jadi, aku bisa tahu apa kamu sekarang tengah berbohong atau tidak...!!" Lucas menyabet perut Omran menggunakan benda yang dia genggam. Tetesan berwarna merah saga, menembus kemeja putih miliknya.

"Su-sudah Tuan... saya mengaku kalah." Suara Omran terdengar parau, sorotan manik matanya sedikit meredup.

"Jadi?" tanya Lucas.

"Iya Tuan, saya memiliki seorang anak perempuan. Usianya saat ini menginjak dua puluh tiga tahun," ungkap Omran dengan berat hati. Dia tahu pasti kalau setelah ini pria yang terkenal kaya raya, tetapi sangat kejam itu akan menjadikan putri semata wayangnya sebagai istri keenam.

"Di mana dia sekarang?" Lucas terus saja bertanya. Dia amat penasaran dengan paras bak bidadari yang dikatakan oleh anak buahnya.

Omran menelan saliva sebelum menjawab. "Anak saya berada di kota P, Tuan. Di sana dia bekerja sebagai bidan, di salah satu Rumah Sakit."

Lucas memainkan bibirnya menggunakan lidah. Membayangkan dara muda berusia dua puluh tiga tahun, hasrat kelakiannya sontak saja terbangun. "Tunjukkan foto anakmu itu. Kalau dia masuk dalam kriteria istri keenam, aku anggap utang kita lunas!"

"Ma-maksud Tuan?" Omran berpura-pura tidak mengerti makna dari selorohan Lucas.

Lucas menggepit kuat kedua rahang Omran. "Sangat mudah dimengerti seharusnya. Jadi, jangan berlagak bodoh di hadapanku. Atau aku akan menghancurkan sel-sel otakmu sampai kamu benar-benar menjadi orang bodoh!!"

"Maaf, Tuan... saya mengaku salah!" balas Omran setelah cengkeraman tangan Lucas di mulutnya terlepas.

"Mana foto anakmu? Aku tidak akan memintanya lagi setelah ini. Kalau kamu masih saja bermain-main..." Lucas menjeda ucapannya. Dia menggerakan ke lima jarinya di depan leher.

Omran lagi-lagi menelan ludah membayangkan kalau kepala yang menyatu dengan leher akan terputus dari urat-uratnya. "Di-di laci meja sudut ada album foto. Di situ banyak gambar anak perempuan saya. Tuan bisa mengambilnya."

Lucas menggerakkan kepala ke samping sebagai tanda perintah pada bawahannya. Pria berkepala gundul mengangguk dan berjalan menuju meja sudut yang dimaksudkan oleh Omran. Dia membuka laci tersebut lalu mengeluarkan sebuah album foto yang sedikit usang.

"Ini, Bos!" Pria itu menyerahkan barang yang dia ambil dari dalam laci.

Lucas tersenyum tipis seraya menatap Omran kemudian membuka album itu selembar demi selembar. Kedua bibirnya tertarik sempurna dengan binar mata bercahaya. "Waw... anakmu benar-benar seperti bidadari, Omran! Dia sangat cantik dan tubuhnya begitu sempurna."

"Lalu apa yang Tuan inginkan dari putriku?" Omran ingin memastikan niat yang terselubung di dalam hati seorang Lucas Denver.

Lucas tergelak. "Berikan gadis cantikmu itu padaku! Semua utang yang kamu miliki, aku anggap lunas!!"

"Anakku dijadikan alat pembayaran utang?" Omran terus saja bertanya. Tetapi, di dalam hatinya antara setan dan malaikat tengah bertikai. Di satu sisi dia merasa bersalah karena sang anak menjadi korban atas kebiasan buruk dirinya yang senang berjudi dan bermain wanita jalangg. Namun, satu sisi lain dia berpikir akan menjadi keuntungan tersendiri bila memiliki menantu seorang saudagar kaya raya.

"Menurutmu?" cibir Lucas. "Suruh dia pulang secepatnya! Atau jangan salahkan, apabila anak buahku menyeret putrimu itu ke hadapanku!"

"Ba-baik, Tuan. Saya akan memintanya pulang minggu ini," ujar Omran pasrah karena sudah tidak memiliki jalan keluar yang lain atas kesulitan hidupnya.

"Aku tunggu!!" Lucas mengibaskan tangan menyuruh anak buahnya untuk melepaskan Omran dan pergi dari hunian yang kondisinya sudah mengkhawatirkan.

...*****...

...Bismillah... semoga setelah ini bisa lebih fokus berkarya 🙏...

Bab 2 Matthew Alonzo

"Ayo Nyonya, tarik napas lalu buang perlahan dan tekan yang kencang..." titah seorang bidan yang membantu persalinan. Ia terus memberikan sorongan agar pasien mau berjuang demi bayinya.

"Dokter mana dokter? Saya ingin ditangani oleh dokter kandungan saya!" teriak wanita yang terbaring di atas verloss bed (ranjang bersalin) karena persalinannya tidak ingin dibantu oleh seorang midwife atau bidan.

"Mohon maaf, Nyonya. Dokter Alexander mendadak ada tugas keluar. Dan di Rumah Sakit ini tidak ada lagi dokter kandungan," jawab bidan di sela-sela kepanikan. "Tolong percayakan semuanya pada saya. Anda juga bayi Anda akan selamat."

"Ah... sakit. Saya tidak kuat, Nona." Pasien yang akan melahirkan tersebut, terus-menerus mengaduh kesakitan. Keringat bercucuran lantaran rasa nyeri yang tidak bisa digambarkan oleh kata-kata. Ia tidak mampu lagi untuk menjawab ataupun menyergah ucapan bidan.

"Anda harus kuat, Nyonya. Demi bayi kembar Anda." Bidan itu tidak ingin pasiennya menyerah. Karena bila si ibu menyerah, akan ada dua bahkan tiga nyawa yang terancam keselamatannya.

Wanita muda itu terus mengedan, dengan kedua tangan berpegangan erat pada besi yang berada di pinggiran ranjang. Ia sekuat tenaga mendorong agar bayi pertamanya itu bisa lahir dengan segera.

"Bagus, Nyonya. Ayo dorong terus, kepala bayi sudah terlihat!" Wanita yang mengenakan pakaian medis menantikan sesosok bayi mungil penuh harap-harap cemas. "Terus dorong Nyonya, tinggal sedikit lagi!" ucapnya lagi.

Suara erangan kini bersahutan dengan isak tangis bayi perempuan. Semua orang merasa lega. Namun, hanya untuk sesaat karena keadaan kembali menegang. Bayi kedua sudah mendesak ingin keluar dari dalam perut ibunya menyusul sang kakak.

"Sakit sekali..." rajuk wanita muda geleng-geleng kepala. " Aku sudah tidak kuat, Nona..." lirihnya dengan deru napas yang melemah.

"Tidak Nyonya, berjuanglah. Saya mohon ...."

Wanita yang terbaring lemah menggelengkan kepala, kedua kelopak mata perlahan mulai terkulai. Namun, semangatnya kembali pulih saat ia mendengar suara tangis mungil dan nyaring anak sulungnya.

"Laura...." lirih wanita itu. "Iya, Nak. Mommy akan berusaha sekuat tenaga agar adikmu lahir ke dunia dengan selamat," ujarnya menatap pilu ke arah bayi yang terbaring di atas ranjang.

"Ayo, Nyonya. Nyawa bayi kedua Anda ada di tangan Anda. Saya mohon, berjuanglah...."

Segala yang terjadi di dunia ini tidak lepas dari campur tangan Tuhan. Di saat berada pada titik pasrah dan berserah, di sanalah kuasa-Nya hadir untuk memberikan kebahagiaan yang tak ternilai.

"Terus Nyonya! Tarik napas, lalu dorong bayinya." Bidan tersebut terus memberi arahan agar wanita yang ia tangani, bisa melakukan proses persalinan sesuai prosedur.

Di sisa tenaga yang ia miliki, wanita tersebut mengedan sekuat jiwa. Bayi mungil kedua akhirnya bisa keluar dari jalan lahirnya. Semua orang menghela napas lega karena kedua bayi kembar itu akhirnya selamat.

"Selamat Nyonya, bayi kedua Anda berjenis kelamin laki-laki. Dia sangat tampan sekali..." puji bidan yang tengah menggendong bayi tersebut. Ia menatap penuh cinta, malaikat kecil yang baru saja melihat dunia.

"Dia mirip sekali dengan daddy-nya. Pria bajingan yang meninggalkan mereka sebelum terlahir ke dunia ini," sahut pasien bernada amarah juga berbalut kepedihan.

"Anda wanita yang kuat, Nyonya." Wanita dengan pakaian medis menepuk-nepuk tangan pasiennya. "Maaf, saya harus membawa bayi-bayi Anda segera ke ruangan khusus bayi untuk dimandikan. Beristirahat sajalah dulu di sini, nanti perawat yang akan mengantarkan Nyonya ke ruang perawatan," jelas bidan.

Wanita muda itu mengangguk pelan. "Nona... terima kasih banyak karena Anda sudah menolong saya. Semoga hidupmu selalu mendapat berkat dari Tuhan."

"Sama-sama, Nyonya. Itu sudah bagian dari tugas saya."

"Oh iya. Bolehkah saya tahu nama Anda?" tanya pasien lantaran papan nama bidan tersebut tertutupi jubah medis.

Bidan itu tersenyum begitu manis. "Tentu saja, Nyonya. Nama saya Amanda Shawnette."

"Nama saya Karla Guilfu."

"Nama yang indah," puji Amanda. "Baiklah, saya harus secepatnya membawa bayi Anda ke ruangan khusus. Sekali lagi, saya ucapkan selamat untuk bayi kembar yang sangat luar biasa." Amanda dibantu oleh asistennya membawa kedua bayi mungil tersebut. Karla memandang buah hatinya dengan tatapan penuh kasih meski di saat seperti ini, dia harus berjuang sendiri tanpa siapa pun di sisinya.

...***...

Seharian berjibaku dengan darah, tangis dan kehidupan baru. Dara berusia dua puluh tiga tahun itu menghempaskan tubuhnya di atas ranjang. Ia menghembuskan napas, membuang segala beban yang menghimpit kedua pundaknya.

"Ya Tuhan... lelah juga ternyata. Tapi aku bahagia ketika melihat senyuman tulus dari wajah malaikat-malaikat tak bersayap," gumam Amanda membayangkan paras semua bayi yang pernah lahir di atas telapak tangannya. Dia turut menyunggingkan senyuman lantas menengok ke arah tas selempang karena teringat sejak pagi hari sama sekali tidak mengecek ponselnya.

"Papa? Ada apa papa meneleponku sampai berpuluh-puluh kali?" Amanda menghubungi ayahnya kembali. Namun, nomornya tidak tersambung. "Mungkin handphone papa tidak aktif. Besok pagi, aku coba telepon papa lagi," gumamnya. Dia menaruh ponsel ke atas kasur kemudian memejamkan mata.

"Wake-up honey!!" bisik seseorang di samping telinga Amanda. "Kalau tidak bangun juga, jangan salahkan kalau aku berbuat lebih." Seseorang itu mengecup bibir Amanda berulang-ulang kali agar gadis yang terlelap itu terjaga dari tidurnya.

Amanda mengerjap-ngerjapkan kelopak mata. Bibirnya mengukir senyuman. Dia menarik kepala seseorang tersebut dan mencumbunya begitu dalam.

"Oh... Matthew... I miss you, darl!"

"Ayo bangun!!" Matthew membetot tangan Amanda. Agar kekasihnya itu mau beringsut dari posisinya.

"Aku ngantuk, baby!" Amanda mengucek kedua matanya. Berkali-kali dia menutupi mulut lantaran menguap. "Hari ini aku sangat lelah. Aku ingin tidur panjang...."

Matthew cengengesan. "Kamu bukan beruang, honey. So... wake-up, now! Aku sudah membuatkan makan malam spesial untuk kita berdua."

Pria dengan lesung pipi itu kembali membetot tangan Amanda. Kali ini lebih kencang dari sebelumnya. Amanda berusaha melepaskan tangannya. Akan tetapi sia-sia. sebab kekasihnya itu memegang sangat erat.

"Oke-oke, aku ikut denganmu. Tapi lepaskan dulu tanganku, sakit tahu!" ketus Amanda mendelikkan mata. Bibirnya mengerucut kesal karena sikap Matthew yang memaksanya untuk bangun.

Matthew mengulum senyum melihat Amanda yang bertingkah seperti anak kecil. "Amanda?"

"Apa?" kesal Amanda.

"Bibir kamu," jawab Matthew dengan kalimat menggantung. Andai saja saat ini Amanda melihat ke arah kekasihnya, dia akan tahu kalau lelaki pujaannya itu tengah menahan gairah yang datang tiba-tiba.

Amanda mendengkus. "Bibirku memangnya kenapa? Tidak ada yang aneh, 'kan?"

"Tidak, tapi...."

"Tapi apa?" potong Amanda."

"Bibirmu manis sekali. Boleh aku mengunyahnya?" canda Matthew.

Amanda mendengus lalu berdiri dan mendorong kening kekasihnya. "Lama-lama aku cuci juga otakmu ini! Biar bersih dari urusan sek-s dan selangkangann."

Matthew tergelak. "Maklumlah namanya juga laki-laki normal. Justu kalau aku tidak horny melihat perempuan seseksi dirimu, jadi tanda tanya besar. "

"Alasan!" cibir Amanda berjalan ke arah keluar kamar. "Ayo... nanti keburu dingin makan malamnya. Apa kamu mau diam saja di situ, Matthew?" cicit Amanda.

Matthew menggeleng-gelengkan kepala. "Kamu memang sangat licin dan sulit untuk ditaklukkan, Amanda. Tapi, itulah yang membuatku selalu merasa jatuh cinta."

Amanda menyimpulkan senyuman ke arah Matthew. Tatapan penuh cinta, dia layangkan untuk laki-laki yang telah menjadi kekasihnya selama tiga tahun terakhir ini. Keduanya sama-sama saling mencintai. Namun, takdir Tuhan akan memisahkan keduanya dalam sekejap mata.

...*****...

Bab 3 Kiss me

"Matthew?" panggil Amanda dengan suara lembut.

"Yes?" sahut Matthew. "Ada apa? Kamu terlihat tidak nyaman. Apakah ada masalah?" tanyanya pada Amanda. Dia mengiris lamb steak, lalu memasukkannya ke dalam mulut menunggu Amanda menjawab pertanyaan yang dia lontarkan.

"Akhir pekan ini, kamu ada waktu luang?" Amanda menaruh garpu dan pisau lanjut duduk bersidekap di atas meja. Dia menatap kekasihnya itu penuh harap. Meski dia tahu pasti, Matthew akan menjawab dengan satu kata, sibuk.

Suara nyaring piring karena hentakan benda keras di atasnya, sudah mewakili akan jawaban yang terucap dari mulut pria berlesung pipi itu. "Memangnya ada apa dengan akhir pekan? Tumben sekali kamu bertanya seperti ini."

Amanda mendesah. "Tidak ada apa-apa, lupakan saja!"

"Begitu?" Matthew menarik kedua alisnya ke atas sebab dia penasaran dengan apa yang dipikirkan kekasihnya. "Akhir pekan ini, kebetulan aku sengaja cuti. Agar memiliki waktu berduaan denganmu." Matthew menjulurkan tangannya kemudian mengenggenggam jemari Amanda.

"Really?" tanya Amanda berbinar bahagia. "Apa aku tidak sedang bermimpi, honey?" cicitnya. Meski terkesan berlebihan. Namun, itulah ungkapan dari apa yang dia rasakan.

"Apa aku terlihat sedang berbohong?" Matthew kembali menarik kedua alisnya ke atas. Membuat beberapa lipatan muncul di atas keningnya.

Amanda berdeham, "Ya... tidak sih. Aku cuma merasa terkejut sekaligus bahagia. Aku pikir, kita hanya bisa bersama dalam waktu satu sampai dua jam saja setiap akhir pekan."

Matthew manggut-manggut. "Lalu, ada apa dengan akhir pekan ini. Kamu mau mengajakku ke suatu tempat or berkencan?"

Amanda terkekeh dan menggigit tipis ujung bibirnya. Matanya tak berkedip sekali pun memandangi wajah rupawan sang kekasih yang sangat dia cintai. "Aku ingin pulang. Sudah satu tahun aku tidak bertemu dengan papa. Firasatku kali ini sangat tidak enak. Maka dari itu, aku ingin menemuinya. Kamu bisa, 'kan, mengantarku?"

"...." Matthew nampak berpikir keras dan menimang-nimang akan permintaan sang kekasih. Amanda menghela napas, tidak ingin terlalu berharap pada lelakinya itu.

"It's ok, aku bisa pulang sendiri." Amanda meneguk air mineral yang tersaji di dalam gelas untuk meredakan perasaannya. "Mungkin Tuhan belum mengizinkan untuk kamu bertemu dengan papaku. Tidak apa-apa..." Amanda geleng-geleng kepala seraya mendenguskan kekecewaan. Dia mengelap bibirnya menggunakan napkin dan melempar kasar kain itu ke atas meja.

Suara deritan kursi bersamaan dengan hentak langkah dari kaki mulus nan jenjang. Gadis bernetra biru safir berjalan gontai ke arah kamar. Dia membanting pintu dan langsung mencampakkan tubuhnya ke atas ranjang dengan posisi menelungkup.

Matthew geleng-geleng kepala lalu beringsut dan menyusul kekasihnya yang tengah merajuk. Perlahan tapi pasti, kini pria matang itu sudah berada di samping Amanda dan membelai rambut indahnya. "Aku belum selesai bicara. Kenapa kamu pergi begitu saja?"

Amanda menoleh sepintas lantas memalingkan muka. "Karena jawabanmu sangat mudah diprediksi."

Suara bariton dengan sedikit sentuhan lembut, terdengar renyah juga maskulin secara bersamaan. "Tapi, jangan menyesal karena kamu sok tahu dengan pikiranku!"

Amanda bangkit lantas duduk dengan tegak menghadap kekasihnya. "Aku bukan sok tahu. Tapi memang tahu!"

"Kamu memang si gadis manjaku!" Matthew merangkum kedua pipi Amanda dan mengunci pergerakan mata kekasihnya itu. "Listen to me! Pekan ini, aku akan mengantarkan ke mana pun yang kamu mau. Termasuk untuk pulang dan menemui keluargamu," tegasnya tidak memperlihatkan keraguan sedikit pun.

Biji mata Amanda bergerak-gerak. Dia ingin sekali menjawab dengan sederet kata-kata, tetapi mulutnya yang mengerucut karena tangan Matthew, mendadak kelu dan tak mampu berucap meski hanya satu huruf.

"I love you, Amanda. Aku akan berusaha melakukan yang terbaik untukmu dan hubungan kita!" Matthew menatap hangat manik mata yang selalu membuatnya mabuk kepayang. Dia memiringkan kepala dan satu kecupan mendarat sangat lembut di atas bibir dingin tak bergincu. "Kamu tidak ingin merespon, meski hanya dengan kalimat I love you t—"

"I love you too," potong Amanda membuat darah keduanya berdesir.

Sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta itu menelan saliva bersama-sama. Sebagai anak muda yang memiliki gejolak sek-s sangat tinggi, mereka harus bersusah payah menahan godaan yang terus menerobos akal sehat keduanya.

Amanda, dara berusia dua puluh tiga tahun itu berkomitmen untuk melakukan sek-s selepas menikah. Bukan tanpa sebab, dengan profesinya sebagai bidan. Dia seringkali menemukan wanita-wanita muda yang depresi lantaran melahirkan tanpa dukungan orang-orang terdekat. Khususnya suami ataupun kekasih.

Sementara Matthew, sejak kecil dia diasuh oleh sang nenek jauh dari orang tuanya. Di mana wanita itu mendidik dan menanamkan nilai-nilai agama yang kuat. Salah satunya, *n*o se-x before marriage.

Amanda lagi-lagi merajuk. Dia mendorong dada Matthew sebab pria itu menyesap bibir bawahnya begitu kencang. "Sudah... nanti bibirku bengkak!"

"Malah, aku suka kalau bibirmu berubah tebal. Akan lebih nikmat untuk kusesap nantinya." Matthew sengaja mengusili kekasihnya itu yang selalu bersikap manja padanya.

"Oke-oke... nanti aku suntik filler bibir, biar seperti artis-artis Hollywood. Puas?" kesal Amanda.

"Tidak mau." Matthew geleng-geleng kepala. "Aku hanya ingin bibirmu menebal secara natural." Pria itu menggerak-gerakkan bibirnya, menirukan gaya seekor ikan.

Amanda mendorong kening kekasihnya lantaran wajah tampan itu semakin mendekat, bersiap untuk melahap kembali bibir mungilnya. "Sudah malam, aku mau tidur. Kamu pulanglah!"

"Biarkan aku tidur di kamarmu, malam ini... saja," rengek Matthew seperti anak kecil yang meminta dibelikan permen pada ibunya. Dia menepuk-nepuk bantal kemudian merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Wajah yang tampan terlihat bertambah tampan. Saat matanya terpejam dengan raut damai, meneduhkan siapa pun yang memandanginya.

"Iya tahu, aku memang tampan. So, kiss me!" seloroh Matthew tanpa membuka kelopak matanya.

Paras Amanda bersemu merah karena dia kedapatan tengah memandangi wajah kekasihnya. "Aku izinkan kamu tidur di kamarku. Tapi cukup sekali ini saja ya...."

Tidak ada sahutan, yang terdengar hanya suara dengkuran dari mulut Matthew. Lantaran dia telah tertidur dengan pulas.

Amanda menarik bibirnya tipis. Tangan halus membelai lembut wajah tampan yang menjadi angan-angan di masa depan. Khayalan melambung tinggi, membayangkan bila suatu saat Tuhan menyatukan dia dan lelaki yang amat dicintai dengan ikatan suci pernikahan. Akan menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidupnya, yang tak akan dapat terbeli oleh apa pun juga.

"I love you to the moon and back, my future husband!" Amanda memberikan ciuman selamat tidur pada wajah Matthew tanpa terlewati seinci pun. Dia beringsar dari atas kasur seraya mengambil bantal dan selimut. Malam ini, dia harus rela tidur di atas sofa kamar. Mengalah demi pria yang selalu membuat hari-harinya kian berharga.

...*****...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!