...Kenangan masa muda yang pahit dan indah, semua telah berlalu. Bukanlah hal yang semu......
...Namun, hatiku terasa sakit kala merindukanmu......
Rion...
Sebuah mobil hitam berhenti di depan area sebuah gedung SMU yang telah lama terbengkalai. Gedung yang akan segera dirobohkan, guna dibangun taman hiburan di atasnya. Seorang pemuda turun dari mobil yang dibukakan supirnya, mengenakan sweater putih, serta celana jeans hitam. Earphone menggantung di lehernya, menatap gedung tua di hadapannya.
Sudah 10 tahun, masa-masa yang buruk, sekaligus terindah baginya berlalu. Perlahan berjalan seorang diri menelusuri lorong. Menghentikan langkahnya, menutup matanya sejenak, ilusi masa lalu yang terbayang kala sekolah itu masih ramai dengan siswa.
Lapangan basket yang ramai dengan sorak sorai para siswi yang menyaksikan pertandingan. Namun sudut itu dilewatkan sang pemuda, kembali menelusuri lorong lebih jauh. Hingga ruangan kelas seni terlihat, seorang gadis yang memoles kuasnya terlihat indah.
Pemuda itu menitikkan air matanya, menatap ilusi wajah yang 10 tahun ini dirindukannya. Jemari tangannya mengepal, memasuki ruangan yang sejatinya telah berdebu, dengan beberapa akar tanaman memasuki celah dindingnya.
Namun ilusi yang masih teringat jelas dibenaknya, gadis tercantik yang pernah ditemuinya. Bukan hanya wajahnya, namun juga hatinya. Perlahan pemuda itu duduk disamping fatamorgana Sazi gadis yang dirindukannya.
Jemari tangan Sazi benar-benar piawai memegang kuas saat itu. Senyuman yang benar-benar cerah, hingga dirinya ingin menggenggam tangannya. Namun tidak bisa, sosok itu tembus pandang, hanya potongan memori masa lalu baginya.
Pemuda itu memukul-mukul dadanya yang terasa sesak. Jemari tangannya mengepal, sudah diduga olehnya gadis impiannya sudah menikah kala dirinya kembali.
10 tahun bukan waktu yang singkat. Hingga dirinya berusaha untuk bangkit meninggalkan ruangan berdebu. Namun, sebuah sketsa terjatuh dari bawah laci tempatnya duduk sebelumnya. Hanya ada satu sketsa wajahnya yang dibuat jemari tangan wanita yang dicintainya. Masa yang benar-benar indah baginya. Bagaikan tidak ingin meninggalkan tempat itu, tidak ingin merobohkan gedung penuh kenangan.
Namun, mungkin ini yang terbaik, semua kenangan akan menghilang. Menjadi suara tawa anak-anak yang bermain di taman hiburan nantinya.
Pemuda rupawan yang mulai melangkah mendekati mobilnya. Hingga sang supir menoleh padanya."Tuan muda, ada yang menghubungi anda," ucapnya memberikan phoncell milik majikannya.
Perlahan pemuda itu meraihnya."Ada apa?" tanyanya pada seseorang di seberang sana.
"Tuan, maaf informasi baru yang kami dapatkan wanita yang anda cari, kini..." sang asisten menghentikan kata-katanya sejenak.
Pemuda itu mengepalkan tangannya, mencengkram kertas yang telah menguning termakan waktu, sketsa wajah dirinya ketika SMU."Ada apa dengannya?" tanyanya.
"Sazi bercerai di malam pernikahannya. Sampai sekarang, wanita itu mengalami depresi, tinggal di rumah sakit jiwa Bakti. Tidak diurus keluarganya, tidak pernah ada yang menjenguknya. Bahkan memiliki tunggakan biaya perawatan..." jawaban sang asisten dari seberang sana.
Pemuda itu menjatuhkan phoncellnya, air matanya mengalir tidak terkendali. Wanita sempurna yang disia-siakan semua orang. Bukan fisik, namun juga hatinya. Wanita yang dicintainya, disia-siakan bahkan oleh keluarganya sendiri...
***
10 tahun lalu...
Dedaunan kecil berguguran, menyambut seorang remaja yang mulai memarkirkan mobilnya. Tertawa, berjalan bersama itulah Sazi dan Dave sahabat dari masa kecil. Bahkan kedua orang tuanya telah merencanakan pertunangan sepasang sahabat itu sejak dini.
Benar-benar terlihat pasangan yang sempurna. Hingga langkah Sazi terhenti."Buluk!" panggilnya.
Remaja gemuk yang masih memakan roti itu menghentikan langkahnya. Salah satu matanya terlihat membiru kehitaman, bagaikan terkena bekas hantaman.
"Uang pembayaran buku!?" pintanya menadahkan tangannya, mengingat gadis itu adalah bendahara kelas saat ini.
"Ini, cuma ada setengah, aku ..." ucapnya tertunduk bingung harus bagaimana.
"Lunasi besok!! Ha...Rus..." tegasnya, berjalan bergandengan tangan dengan Dave.
Sazi menghela napas kasar, hanya tinggal pemuda itulah yang belum membayar. Sedikit melirik ke arah belakang, remaja gemuk yang terdiam, tidak begitu menonjol di kelas.
Kenapa dirinya peduli? Mungkin semua uangnya di habiskan untuk membeli makanan. Setidaknya itulah yang ada di fikirannya. Menggandeng tangan Dave, siswa paling populer sekaligus tunangannya.
Namun, apakah benar demikian? Ada kalanya Dave tidak pulang bersamanya. Dirinya terdiam sejenak menatap derasnya hujan yang turun, menunggu supir rumahnya yang menjemput.
Teman sekelasnya itu terlihat lagi, namun kali ini dengan keadaan berbeda...
Pemuda yang berdiri, ikut menatap hujan dengan luka membiru di salah satu matanya. Hingga sekelompok siswa lainnya menghampirinya.
"Buluk, mana tasmu!!" tanya salah satu dari mereka merebut tasnya.
"Tidak ada uang! Isinya cuma buku..." ucapnya berusaha merebut tasnya.
Hingga dirinya ditarik ke area belakang sekolah. Awalnya Sazi, tidak peduli namun terlalu lama dirinya terdiam, remaja gemuk dan beberapa orang itu tidak kembali sama sekali.
Sang gadis berjalan dengan ragu ke area belakang sekolah.
Bug...
Tubuh besar itu roboh di tengah derasnya air hujan. Tubuhnya di hantam beberapa kali, menerima tendangan tiada henti.
"Berani menyembunyikan uang dari kami?" ucap salah satu dari keempat orang siswa yang merundungnya.
Remaja gemuk terlihat menoleh pada Sazi, menggelengkan kepalanya sembari tersenyum. Seolah memintanya untuk diam, tidak melakukan apapun.
Namun tidak, Sazi mengambil gambar di phoncellnya."Pergi! Jika tidak aku akan menghubungi polisi!" teriaknya mengancam.
Keempat orang itu menoleh padanya."Rebut phoncellnya!" perintah salah satu dari mereka.
Empat orang pemuda, salah satunya bahkan memegang balok kayu.
Tangan Sazi gemetar, mundur selangkah ketakutan. Hingga salah seorang dari mereka, merebut phoncellnya, melempar hingga hancur berantakan.
Satu orang lagi mencoba menghantamnya dengan balok kayu. Wanita yang refleks berjongkok, memegangi kepalanya, bersiap akan menerima hantaman.
Namun, tidak terjadi apapun. Mata Sazi yang awalnya terpejam ketakutan mulai terbuka. Darah menetes membasahi lantai, mengalir dari kepala pemuda gemuk, teman sekelasnya yang dihajar sebelumnya.
Pemuda yang tersenyum padanya."Kamu tidak apa-apa?" tanyanya.
"Darah..." Sazi tertegun tubuh yang berusaha melindungi dirinya. Jemari tangannya terangkat hendak menggapai lukanya.
Salah seorang dari mereka mencoba menyerang kembali. Tapi sang pemuda gemuk, merebut balok kayu yang sebelumnya digunakan menghantam kepalanya. Mencoba menyerang mereka asal."Tolong! Tolong!" teriak Sazi meminta pertolongan.
Hingga sang penjaga sekolah yang baru saja sampai untuk mengunci pintu segera datang."Woi! Kalian sedang apa?" teriaknya, berlari menghampiri mereka, dengan segera keempat orang itu melarikan diri.
Sazi menghampiri sang pria gemuk yang tubuhnya di basahi air hujan."Kamu tidak apa-apa?" tanyanya menangis ketakutan, membiarkan tubuh, rambut, dan seragamnya ikut basah.
Sang pemuda gemuk menggeleng."Aku tidak apa-apa, jangan menangis badanku lebih besar dari sansak latihan tinju. Sekeras batu, jika mereka memukul tangan dan kaki mereka yang sakit. Tapi aku tidak apa-apa..." jawabnya tersenyum, menghapus air mata Sazi.
Gadis itu menghela napas kasar menghapus air matanya sendiri."Setengah uang pembayaran bukumu biar aku yang bayar,"
"Terimakasih..." Rion mengangguk, menatap satu-satunya orang yang peduli padanya.
"Dasar buluk!! Lemak jahatmu yang menyelamatkan nyawamu!" ucap Sazi tertawa kecil, memukul bahunya.
Dua orang yang saling tertawa, menjadi sahabat begitulah hubungan mereka.
Bersambung
"Sakit..." lirihnya, kala Sazi mengobati luka di belakang kepala Rion. Luka yang tidak dalam, namun membuat darah segar yang cukup banyak mengalir.
"Dasar! Sudah selesai..." ucap Sazi tersenyum.
Sang penjaga sekolah tiba-tiba datang membawakan teh hangat untuk mereka."Kenapa belum pulang!? Kalau sudah waktunya, seharusnya langsung pulang..."
"Maaf, aku lupa bawa payung," jawab Sazi tersenyum.
"Kalau kamu?" tanyanya lagi pada Rion.
"Saya mau nebeng payungnya dia. Karena dia kebetulan tidak bawa payung jadi saya tidak bisa pulang..." jawaban tidak masuk akal dari Rion, membuat Sazi dan sang penjaga sekolah hanya dapat menghela napas kasar.
"Dia siswa paling bodoh di kelas, jadi wajar saja." Sazi memijit pelipisnya sendiri, menatap kelakuan pria yang paling dihindari semua orang.
"Aku memang bodoh," jawaban dari Rion tersenyum.
Hingga sebuah mobil berhenti di hadapan warung depan sekolah, tempat mereka berada saat ini. Seorang pria memakai pakaian rapi turun dari mobil, membawa payung hitam."Tuan muda..." ucapnya menunduk.
"Tuan muda!?" gumam Sazi menoleh bersamaan dengan sang penjaga sekolah ke arah Rion.
"Aku bukan seorang tuan muda, jika aku orang kaya, tidak mungkin aku kesulitan membayar uang sekolah..." jawabnya tertawa, membungkam mulut sang supir, membekapnya menggunakan tangannya.
"Apa yang kamu katakan, bilang saja aku ini adikmu," bisiknya pada supir pribadinya, masih menutup mulutnya.
Nyonya besar akan memukuliku jika tau kelakuanmu... gumam sang supir dalam hatinya, menahan kekesalannya.
Bekapan mulutnya dilepaskan, bersamaan dengan sang supir mengenyitkan keningnya."Adik malang yang dilahirkan ibuku, silahkan naik ke dalam mobil milik majikan kakakmu yang berprofesi sebagai supir ini," ucapnya kaku.
Rion memijit pelipisnya sendiri, menghela napas kasar."Kakakku memang suka bercanda, dia seorang supir pribadi keluarga kaya," ucapnya tertawa canggung.
Sazi mulai meminum sedikit teh hangatnya."Pulanglah duluan,"
"Aku akan menunggumu disini..." jawaban darinya, terpaku.
"Tapi kakakmu, bagaimana jika majikannya tau?" Sazi mengenyitkan keningnya.
"Tidak apa-apa majikannya sedang ke luar negeri, dan dia punya banyak waktu senggang. Iya kan kakak?" tanyanya menoleh ke arah sang supir agar ikut bekerja sama.
"Iya..." jawabnya menunduk bagaikan memberi hormat.
Bocah sial... gumam sang supir dalam hatinya.
Bau gorengan hangat tercium, mereka mulai memakannya menahan rasa dingin yang menerpa tubuh. Sesekali Rion melirik ke arah gadis tercantik di kelasnya itu. Wanita tegas, galak, mandiri dan baik hati, berbeda dengan dirinya. Benar-benar jarak besar yang bagaikan jurang.
Hanya beberapa saat perasaan hangat itu terasa, memakan gorengan bersama di tengah hujan lebat. Sosok itu akhirnya tiba juga, ketika hujan telah reda mengendarai motor sport menjemputnya, pria yang selalu dicintai Sazi.
Helm itu terbuka, seorang pemuda rupawan memanggil namanya."Sazi ayo pulang," panggilnya menyodorkan helm.
Sazi tersenyum, berjalan mendekatinya pria cerdas, berwajah rupawan, itulah tunangan Sazi, Dave. Benar-benar terlihat serasi...
"Rion, aku pulang duluan!" ucapnya memeluk pinggang pemuda itu. Dengan erat, hingga motor melaju meninggalkan area depan warung.
Wajah Rion nampak tersenyum, akhirnya wanita itu memanggil namanya. Air matanya mengalir diseka olehnya. Cinta pertama? Mungkin itulah dia, karena inilah Rion mengikutinya dari sekolah menengah pertama.
Bahkan namanya tidak pernah dipanggil sekalipun. Hanya buluk, Itulah nama panggilan dari Sazi, karena memang begitulah dari dulu. Namun kini Rion? Namanya benar-benar diingat.
Jemari tangan mengepal, memasuki mobil yang akan melaju menuju rumah sang nenek. Kaya? Tidak, dirinya hanya cucu luar dari keluarga konglomerat. Ayahnya seorang buruh angkut di pasar yang sakit-sakitan.
Sedangkan ibunya nona muda yang meninggalkan statusnya demi cinta, dengan kata-kata pada sang nenek dahulu, 'uang tidak penting, yang penting kami bersama dan saling mencintai'.
Namun hanya bertahan tiga tahun, sang ibu kembali pada keluarganya, meninggalkan putranya yang masih balita dan sang suami, dengan kata-kata yang berbeda 'aku pulang! Cinta tidak akan bisa membuat kenyang!'
Munafik bukan? Namun, itulah ibunya yang kemudian menikah lagi dengan duda beranak satu, seorang pria kalangan atas. Memiliki segalanya, berpenghasilan besar. Segera setelah menikah mereka memiliki tiga orang anak perempuan.
Untuk apa Rion dipanggil ke rumah keluarga itu? Tentu saja, setelah belasan tahun sang nenek putus asa. Hanya anak laki-laki di keluarga tersebut yang akan memiliki hak waris, menurut wasiat sang kakek yang telah lama meninggal.
Ibunya hanya memiliki anak sambung laki-laki bukan anak kandungnya, dan tiga orang putri dari pernikahan keduanya. Untuk itulah Rion yang tinggal bertahun-tahun dengan ayahnya didatangkan oleh sang nenek.
Tangan remaja gemuk itu mengepal, mengingat setiap sudut rumah yang penuh dengan penghinaan. Bahkan pelayan sekalipun pernah menghina ayahnya, kala sang ayah menggedongnya. Ingin meminjam uang untuk dirinya yang demam dengan suhu tinggi.
Semua hal yang tidak akan pernah dilupakannya. Dirinya hidup cukup bahagia dengan ayahnya, walaupun dibawah garis kemiskinan.
Namun, ada hal yang tidak dimengerti olehnya hingga saat ini. Ayahnya ingin dirinya berpura-pura bodoh. Hanya agar suami sang ibu, tidak mengusiknya. Agar sang nenek tidak mengharapkannya menjadi pewaris.
Siapa yang menyangka IQ Rion, siswa dengan peringkat paling belakang di kelasnya mencapai 193. Menjadi gemuk, jelek dan bodoh agar dapat selamat dari ayah tirinya.
Tapi tetap saja, gender dan hubungan darah menjadi tolak ukur bagi sang nenek untuk mendatangkan cucunya kembali. Awal sebuah bencana yang akan terjadi.
Mobil mulai memasuki pekarangan rumah yang luas. Dedaunan masih terlihat basah, pintu belakang dibukakan sang supir. Dengan ragu Rion melangkah masuk, bertingkah bodoh hanya itulah yang harus dilakukannya nanti.
Gemuk, menjemukan dan bodoh itu cukup agar sang nenek tidak memandangnya penuh harap lagi. Agar ayah tirinya tidak mengancam akan membunuhnya seperti saat dirinya berusia lima tahun.
Kali ini ibunya Margaretha tidak ada disana, bahkan ayah tirinya Gerald juga tidak ada. Hanya sang nenek dengan rambut memutih memakai pakaian berkelas terlihat anggun dengan rangkaian kalung mutiara kwalitas terbaik terangkai di lehernya.
Menatap ke arah cucu gemuknya yang babak belur, memakai baju seragam kotor setengah kering.
"Rion? Kamu kenapa?" tanya Silvia (sang nenek) mengenyitkan menatap ke arah cucu laki-laki kandungnya. Tangannya gemetar berusaha untuk tersenyum, apa benar ini cucu yang terpilih sebagai generasi penerus keluarganya?
Berbanding terbalik dengan Jameson (putra sambung Margaretha), bertubuh atletis, pintar, berwibawa, berwajah rupawan.
"Aku? Ini karena ada promosi beli satu gratis satu, jadi aku mengambil dua roti dengan rasa yang sama, ternyata harus dengan dua rasa yang berbeda. Aku berdebat dengan kasir minimarket kemudian melarikan diri, setelah meninggalkan uang membawa rotinya,"
"Kasirnya berteriak maling, kemudian aku dipukuli..." ucapnya tersenyum, pria gemuk dengan satu mata yang lebam, kepala di perban, beberapa luka memar di lengan. Menceritakan kebohongan bodoh yang dikarangnya.
Silvia memijit pelipisnya sendiri, bagaimana nasib perusahaan yang diwariskan turun-temurun jika generasi selanjutnya seperti ini?
"Kamu harus belajar lebih dewasa," ucap sang nenek.
"Aku memang sudah dewasa, bahkan pernah mengalami mimpi basah..." jawaban darinya, menahan malunya. Tapi ini memang harus dilakukannya agar dapat hidup dengan tenang besama ayahnya.
"Mimpi basah, bukan tolak ukur kedewasaan." Sang nenek bertambah kesal.
"Nenek sudah tua, apa pernah mimpi basah?" kata-kata dari cucunya yang terlihat dungu.
"Mimpi basah hanya untuk pria!! Kalau wanita menstruasi!! Kamu tidak belajar pelajaran biologi!? Bahkan anak SMP pun tau!!" bentak neneknya.
Aku tau, saat oragan reproduksi manusia siap untuk berkembang biak. Maka aku akan mengalami mimpi basah, dan Sazi akan mengalami menstruasi... batinnya, memikirkan Sazi dalam setiap tindakannya.
"Aku sudah SMU, jadi lupa pelajaran SMP, bukunya juga sudah aku jual pada pemulung. Supaya bisa beli ayam goreng..." jawaban darinya.
Benar-benar keterlaluan, sudah gemuk, pembuat masalah, bodoh, apa dosanya hingga memiliki cucu kandung laki-laki satu-satunya sebodoh ini. Mengumumkan pada media pun, dirinya hanya akan malu sendiri.
Karena itu, hanya setelah ini, dirinya akan menyerah. Menjadikan Jameson yang tidak memiliki hubungan darah sebagai pewaris tunggal keluarga ini.
"Ini! Kerjakan dengan baik!" ucapnya menyodorkan beberapa lembar kertas."Jika kamu dapat mengerjakannya, nenek akan membayar uang tunggakan sekolahmu. Sampai uang ujiannya sekalian!!"
"Ini apa?" tanyanya yang menatap beberapa pertanyaan aneh pada kertas.
"Pertanyaan untuk orang bodoh! Jika bisa menjawabnya nenek tidak akan memanggilmu kemari lagi..." jawaban Silvia jenuh menatap ke arah cucunya.
Selang beberapa belas menit, seluruh pertanyaan dijawab cucunya."Nenek sudah selesai, aku pamit pulang..."
"Em..." hanya itu jawaban sang nenek yang sibuk membaca berkas-berkas perusahaan miliknya.
Rion melangkah pergi perlahan, tidak curiga sedikitpun. Pasalnya pertanyaan pada kertas bukan pertanyaan di bidang akademis. Supir membukakan pintu untuknya, agar segera mengantarnya kembali ke pemukiman kumuh.
Rumah besar itu ditatapnya untuk terakhir kali, hanya orang-orang munafik yang ada disana, menurutnya.
***
Sementara itu Silvia masih fokus pada berkas-berkas yang menumpuk. Hingga seorang psikolog tiba."Nyonya besar..." ucapnya tertunduk.
"Itu lembaran jawabannya, katakan IQ-nya berapa, jangan ragu dan jangan ditutup-tutupi. Dia benar-benar sebuah kegagalan, jika hanya 80 saja mungkin sudah bagus..." cibirnya.
Beberapa menit memeriksa, sang psikolog mengenyitkan keningnya. Membaca satu-persatu dengan seksama, bahkan tes gambar.
"Nyo... nyonya besar..." ucapnya ragu.
"Em?" Sivia, meraih secangkir teh hijau lalu meminumnya.
"IQ-nya 193," jawaban sang psikolog.
Prrhh....
Teh itu menyembur, Silvia terbatuk-batuk mendengarnya."Si bodoh ternyata keturunan unggulan dengan IQ tinggi? Dia pura-pura bodoh!?"
Bersambung
Perjodohan yang telah diatur sejak lama, Sazi mulai turun dari motor yang dikendarai Dave pria yang bersetatus sebagai kekasihnya. Ayahnya tidak ada di rumah, sering kali mengurus bisnisnya di negara lain. Perlahan dirinya melangkah masuk, bersama dengan Dave.
Matanya menelisik, mengamati paman dan sepupunya yang duduk di ruang tamu membawa koper besar. Sedangkan ibunya tersenyum disana menyambut mereka. Alexa, itulah nama sepupunya, sedangkan Fredric paman yang merupakan adik angkat ayahnya.
Cantik? Alexa memang cantik, lebih tepatnya pandai merawat diri. Beberapa hari yang lalu perusahaan yang dimiliki Fredric dinyatakan pailit, bertepatan dengan harga saham tempatnya berinvestasi anjlok. Bankrut? Tidak memiliki apapun? Sejatinya tidak, Fredric masih memiliki beberapa aset. Namun apa tujuan kedatangan pamannya kemari membawa banyak tas koper?
Perlahan dirinya melangkah, mendekati ibunya."Ibu, ini untuk ibu..." ucapnya memberikan sebungkus gorengan yang dibelinya di depan sekolah.
Dini (sang ibu) berusaha tersenyum, meraihnya."Terimakasih sayang..."
"Bibi, ini untuk bibi, aku lupa memberikannya. Aku tidak sengaja membelinya kemarin karena mengingat tentang wajah bibi yang keibuan warna biru mungkin sangat cocok," Alexa menyodorkan kotak kecil berisikan tas tangan bermerek.
"Bibi menyukainya, kamu tidak perlu repot-repot," ucap Dini meraihnya, meletakkan gorengan pemberian Sazi sembarang di atas sofa. Menatap tas kecil itu penuh kebanggaan.
Sazi hanya dapat tersenyum menghela napas kasar. Alexa berjalan mendekatinya."Sazi aku juga punya hadiah untukmu, kripik pedas..." Alexa merangkul sepupunya, dengan posisi tubuh bagaikan bersinggungan dengan tubuh Dave yang berdiri di belakang Sazi."Maaf..." ucapnya pada Dave bagaikan tidak sengaja.
"Tidak apa-apa, perkenalkan aku Dave." Dave mengulurkan tangannya, dan benar saja dengan cepat Alexa menyambutnya. Gaya berpakaian yang berbeda dengan Sazi, wajah yang terlihat benar-benar cantik. Aura yang benar-benar segar.
Sazi masih tersenyum, wanita yang benar-benar lugu, menganggap semua orang baik hati seperti dirinya."Terimakasih, aku suka kripik pedas. Dave, aku pergi ke kamar dulu ganti baju..."
Sazi melangkah pergi menuju lantai dua tidak ada yang aneh baginya, semua baik-baik saja. Menatap keakraban saudara sepupu dengan tunangannya yang mulai ikut duduk di sofa berbincang. Tidak ada yang aneh baginya keluaga hangat yang bahagia.
Namun sejenak, setelah dirinya berganti pakaian, berjalan kembali menuruni tangga Alexa dan Dave tidak terlihat sama sekali.
"Ibu dimana Dave?" tanyanya.
"Alexa baru untuk pertama kalinya datang ke kota ini, jadi ibu meminta Dave untuk mengantarnya berkeliling. Kamu tidak keberatan kan?" Dini, menghela napas kasar tersenyum menatap Sazi.
Gadis itu mengangguk, berjalan turun hendak makan siang, namun langkahnya terhenti."Sazi, bisa kamu tinggal di kamar depan nanti? Alexa akan tinggal di sini sementara, pamanmu ingin membangun bisnis barunya di kota ini. Sepupumu tidak terbiasa tinggal di kamar yang tidak memiliki balkon..."
"Ibu, aku..." kata-katanya terhenti Dini menatap tajam padanya.
"Kamu anak yang baik kan? Ibu tidak mendidikmu untuk membenci saudaramu sendiri. Pindahkan barang-barangmu, maklumi sepupumu, apa sulitnya..." kata-kata menusuk yang keluar dari mulut Dini.
Sazi mengepalkan tangannya, namun ibunya benar. Mungkin ini cara ibunya untuk menyayanginya agar menjadi wanita yang baik setelah cukup dewasa nanti. Seorang ibu akan mencintai dan mengasihi putrinya bukan?
"Aku akan pindah," ucapnya tersenyum, berjalan menuju dapur meninggalkan ibu dan pamannya berbicara berdua. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun hanya suara tawa yang terdengar.
***
Tepat pada pukul empat dini hari gadis itu terbangun, kerongkongannya terasa kering. Berjalan menuju lantai satu guna mengisi tempat airnya yang kosong, membawa tea pot yang terbuat dari kaca. Menuruni tangga menuju lantai satu.
Suara motor terdengar, itulah suara motor Dave. Sesaat kemudian Alexa yang terlihat tersenyum-senyum sendiri berjalan melewati ruang tamu.
"Dave mengantarmu pulang?" tanyanya menyapa saudara sepupunya.
Alexa mengangguk tersenyum ke arahnya."Dia mengantarku berkeliling. Lalu, aku bertemu dengan teman SMP-ku, menginap di rumahnya. Dave hanya mengantarku pulang, jangan salah paham. Bagaimana jika pagi ini kamu tidur di kamarku? Aku mempunyai banyak DVD film-film terbaru..."
Sazi mengangguk, menepis semua perasaan cemburu dan prasangkanya yang terlintas dengan satu kalimat, dia sepupu yang menyayangiku. Melangkah menuju lantai dua tempat kamar Alexa berada.
Tidak menyadari sesuatu di balik senyuman saudara sepupunya. Benar-benar senyuman yang sejatinya memuakkan.
***
Motor Dave melaju, membelah jalanan perkotaan. Benar-benar hidup yang indah baginya, bukan seorang wanita membosankan yang hanya taunya belajar.
Hari ini sepi, benar-benar sepi, membuka pintu depan rumahnya. Berjalan menuju lantai dua, pemuda itu adalah anak bungsu dari 4 bersaudara, memiliki kakak-kakak yang lebih cerdas darinya. Namun tetaplah dirinya yang paling diutamakan disana, penyebabnya? Tentu saja, pertunangannya dengan Sazi.
Mencintai wanita membosankan? Tidak sepenuhnya, sebagai sahabat mungkin iya. Wanita dengan senyuman yang datar terlihat anggun namun menyebalkan tidak pernah dapat disentuh sedikitpun.
Berbeda dengan Alexa, andai saja tunangannya adalah Alexa...
Pintu kamarnya mulai dibuka olehnya, merebahkan dirinya sendiri di tempat tidur. Cinta pada pandangan pertama? Itulah yang dikatakan gadis lugu bernama Alexa setelah menghabiskan waktu seharian bersama.
Menggenggam jemari tangannya bagaikan ragu. Mengatakan jika dirinya mencintai Dave pada pandangan pertama, namun terlalu takut pada Sazi yang memiliki derajat lebih tinggi darinya. Sazi yang sering merundungnya sebagai saudari sepupu miskin.
Dari sanalah ciuman itu terjadi, keinginan, tubuh yang sama-sama terjerat napsu.
"Aku mencintaimu juga..." ucap Dave saat itu, melanjutkan ciumannya. Memberikan ciuman pertamanya pada wanita yang baru pertama kali dikenalnya.
Ketagihan? Tentu saja keinginan untuk berkembang biak yang benar-benar menggelora. Wanita yang membeli alat pengaman untuknya. Membawanya ke hotel berbintang, menikmati malam dingin yang indah disana.
Sungguh perasaan yang membuatnya ketagihan, kala menikmati tubuh wanita itu. Membuat deru napas mereka lelah bersamaan.
Tidak perawan? Dave menyadarinya, lalu kenapa? Alexa merupakan korban pelecehan, itulah alasannya, meminta maaf berderai air mata dalam pelukannya. Yang dilakukan Dave bagaikan pria sejati, mencium keningnya, membalas pelukannya.
Pemuda itu masih menatap langit-langit kamar membayangkan wajah Alexa ketika tubuhnya berguncang pelan. Menjerit dengan suara parau memanggil namanya.
Dirinya tersenyum, namun sejenak kemudian senyumannya pudar, menatap cincin pertunangan yang melingkar di jari manisnya.
Dave tersenyum acuh, benar-benar merasa kesal dengan arogansi Sazi. Banyak hal yang telah didengarkannya dari Alexa, termasuk Alexa dan Fredric yang menumpang dengan cacian dan hinaan dari Sazi.
Tapi apa benar? Tentu hanya kebohongan, untuk membenarkan tindakan mereka yang menjalin hubungan di belakang Sazi.
Pemuda itu mengepalkan tangannya, jika saja Alexa memiliki segalanya yang dimiliki Sazi. Maka dirinya dapat memutuskan hubungan secepatnya.
Tapi tidak bisa begini, hanya kisah cinta diam-diam yang akan dapat mereka lakukan. Hingga menemukan jalan untuk bersama suatu hari nanti.
Bersambung
...Aku bodoh? Aku tidak bodoh, hanya saja terjebak dalam asumsi semua orang akan bersikap sama sepertiku......
...Tidak ada harimau yang merekam pawang yang memberinya makan......
...Tidak ada bunga indah yang memiliki duri......
...Tidak ada cinta sejati yang akan pudar......
...Pangeran rupawan akan hanya mencintai putri cantik berhati mulia......
...Itulah ilusi dalam fikiranku tentang dunia ini, tidak menyadari itu hanyalah dongeng. Aku akan ditarik ke neraka oleh orang-orang yang aku kasihi......
...Hanya berakhir seorang sendiri......
Sazi...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!