NovelToon NovelToon

Istri Tuan Amnesia

Tragedi malam itu

Di kegelapan malam yang mencekam. Seorang pria tengah berlari terengah-engah dengan luka penuh darah di bagian kepalanya. Dadanya sakit, dan kepalanya begitu pening menatap hamparan kegelapan yang ada di hadapannya.

"Aku... Aku harus kemana lagi?" fikirnya, sembari mengatur nafas dan irama jantungnya yang begitu cepat. "Bahkan, sekarang aku dimana pun, aku tak tahu." ucapnya, menatap hamparan pohon luas terbentang di hadapannya.

"Cepat, cari dia sampai dapat. Jangan biarkan Dia pergi. Jika tidak, semua rencana kita akan hancur. Aku sudah berusaha sejauh ini. Jangan sampai gagal hanya karena dia yang lolos dengan mudahnya." seseorang tampak memberi instruksi dengan orang-orangnya. Terdengar begitu serius, mencari pria incarannya yang harus mereka tangkap, baik hidup atau mati.

Kreeek! Ranting terinjak, dan semua orang lantas menyorot ke arah sumber suara, dengan senter yang mereka bawa. "Itu Dia!" pekik salah seorang dari mereka. Pria itu kembali berlari sekuat tenaganya, tanpa mampu memilih arah yang tepat untuk Ia tuju. Hingga sebuah jurang terjal, Ia temukan tepat di hadapannya.

"Astaga! Kenapa aku kemari? Ini jurang? Dibawah sana, pasti dalam sekali. Tapi, tak ada tempat ku untuk lari lagi."

Pria itu menatap kearah bawah, bergantian menoleh ke arah cahaya, dimana mereka semakin dekat ke arahnya.

"Aku terjun, apakah aku akan selamat? Tapi jika aku menyerahkan diri pada mereka, maka aku pun akan mati." fikirnya panjang, menatap lautan luas yang terbentang di depan matanya. Tampak jelas, dengan sinaran rembulan dengan cahaya diatasnya.

"Rayan!" pekik seorang pria padanya. Ia bukan tersangka utama yang menculiknya. Ia hanya tangan kanan yang menutupi wajahnya dengan topeng pengecutnya.

Rayan berusaha mencari celah, agar dapat lari. Tapi gelapnya suasana disana, membuat pengelihatan Rayan benar-benar tak jelas. Ia terpeleset, dan akhirnya jatuh kedalam sana. Suara jeritannya terdengar begitu jelas ditelinga mereka semua. Hingga mereka berlari menuju ke sumber suara yang mereka dengar. Untung saja, mereka tahu itu jurang, hingga mereka dapat mengerem langkah kaki masing-masing.

"Astaga! Apa dia loncat ke dalam sana?"

"Apakah dia mati? Itu dalam sekali. Belum lagi, jika terbentur dengan bebatuan yang ada."

"Kenapa begini, Rayan? Sesulit itukah, hanya untuk menjadi seorang penurut?" pria bertopeng itu, mengambil sebuah sepatu. Dan pastinya itu yang Rayan pakai sebelum terjatuh. Ia membawanya, sebagai bukti yang akan menyatakan, jika Rayan telah mati kecelakaan. Mobil Rayan pun akan dibuat, sedemikian rupa agar meyakinkan untuk segala keterangan yang dibutuhkan.

***

Byuuurrrrr! Tubuh Rayan tercebur di dalam air yang begitu dalam. Bahkan, tampak tanpa dasar yang akan menjadi tempatnya berpijak.

Ia tak bisa berenang. Sekarang, Ia harus apa sekarang? Haruskah, mengikuti aliran air yang membawanya terombang ambing entah kemana. Ia pun memilih diam, terapung mengikuti arusnya. Ia menghemat tenaga, agar tak semakin lemah atau bahkan kehabisan nafas dan mati sebelum waktunya.

"Aku... Aku tak boleh mati dalam keadaan seperti ini. Mereka, akan menang jika begini. Aku tak boleh, membiarkan itu terjadi."

Tubuhnya mulai menggigil kedinginan. Air membawanya semakin menengah, bukan semakin menepi. Ia bahkan tak tahu lagi, sudah berapa lama Ia terapung disana. Ia hanya melihat, matahari telah menyambut pagi yang begitu cerah. Ia hanya bisa terpejam, silau, dan lelah.

"Semoga aku akan tetap hidup setelah ini." harapnya.

Malaikat?

"Da, nanti keluarga Pak Amar kemari." ucap Sang Om sembari mengambar pola untuk proyek barunya. "Untuk apa?" tanya Aida, yang tengah membaca buku kesukaannya.

Aida adalah seorang gadis yang ceria. Ia seorang lulusan kebidanan, tapi Ia sedang tak bekerja saat ini. Di daerahnya, masih begitu kental dengan permainan orang dalam dalam setiap lamaran kerja. Jika tidak ada orang dalam, maka akan ada permainan uang untuk memperoleh posisi untuk sekedar pegawai kontrak.

"Kalau kamu mau menikah sama Amrul, kamu bisa jadi pegawai. Pak Amar bersedia, membiayai kamu menjadi PNS, Da. Kan lumayan."

"Aida ngga mau. Aida ngga cinta sama Amrul. Apa? Pria manja yang hanya bergantung dengan harta Ayahnya. Males." Aida mengatupnya bibirnya. Ia pun menutup buku, lalu beranjak pergi dari tempat Ia dan neneknya.

"Mau kemana? Jangan kepantai, air sedang pasang." Sang Om memperingatkan. "Pasang ya biarin. Kali aja ketemu pangeran tampan kaya raya, nanti."

"Omongan kok ngawur, Da, Da." sang Om menggelengkan kepalanya, menatap tingkah laku yang masih saja seperti anak kecil itu. Ambekan, dan tak pernah mau diatur demi kebaikan dirinya sendiri. Tapi itulah Aida, selalu memiliki prinsip dalam hidupnya.

*

"Udah dibilang, ngga mau dijodohin. Apalagi sama Amrul. Astaga, mau jadi apa aku nanti. Bukannya dinafkahi, malah aku yang akan pontang panting menafkahi dia." gerutu Aida, yang duduk di bebatuan pinggir pantai.

Pak Amar adalah salah satu juragan kaya di kota kecil itu. Anaknya Amrul, adalah anak kesayangannya. Anak semata wayang, bisa dibilang. Hingga apapun maunya, pasti akan selalu dituruti sang Ayah.

"Da! Ngapain ngelamun?" Mei, seorang sahabat Aida yang paling dekat disana. Ia yang paling mengerti keadaan Aida saat ini.

"Aku kabur. Masa katanya, Amrul mau lamar aku. Males banget." keluhnya.

"Katanya mau jadi PNS. Ya itu, jalan tercepat. Minimal, kamu jadi honorer setelah ini." ucap Mei, yang duduk di sebelahnya.

"Omonganmu, persis seperti omongan Om Edo. Apa-apa, harus PNS. Kayak, ngga ada kerjaan lain aja." sergah Aida.

"Sekarang, jamannya memang begitu. Ya mau gimana lagi? Kalau ngga begitu, apa yang mau kita andalkan. Belajar dari pengalaman kita, yang nekat melamar kerja tanpa orang dalam. Map coklat kita berakhir di tong sampah. Bahkan mungkin tanpa di lirik sama sekali." Mei menceritakan semua pengalaman nya  selama ini.

Aida mendengarkan, tapi tatapannya terganggu dengan sesuatu. Seperti se sosok manusia, yang tengah terdampar lemah di bibir pantai. Dekat dengan tempatnya duduk.

" Mei, Mei lihat itu, Mei." Aida menepuk-nepuk bahu Mei dengan kuat, sembari menunjuk ke arah pria itu.

"Apa sih, Ai. Nabokin gitu, kenapa deh? Aneh......." ucap Mei, sembari menoleh ke arah yang Aida tunjuk. "Aaaaaarrrrrghhh! Mayaaaat!" pekik Mei, yang telah melihat sosok itu. Aida seketika membekap mulut Mei, agar diam dan tak menjerit lagi.

"Dieeem! Ayo lihat dulu, masih hidup apa engga. Abis itu, kita tolongin." ajak Aida padanya.

"Atuuut," Mei menggenggam erat tangan Aida, dan tak mau lepas dari gengamannya.

Aida bergeming Ia terus mendekat, dengan Mei yang tak mau lepas darinya. "Cowok, Mei. Luka, dan dingin." Aida mulai mengecek semuanya, memastikan apakah pria itu masih hidup, atau sudah tewas karena hipotermia.

"Masih hidup. Tapi, denyut nadinya lemah. Di tubuhnya, banyak memar." Aida memberanikan diri, membuka kemeja putih yang pria itu pakai.

"Mei, bawa dia ke Rumah sakit, yuk. Dia, harus mendapat pertolongan segera. Panggil angkot."

"I-iya, Ai." Mei langsung berlari, menuruti semua yang Aida mau.

"Hartono? Siapa nama awalnya? Tanda pengenalnya memudar, dan tak ada identitas lain. Hanya, kertas basah yang mulai hancur. Berapa lama Ia di dalam air?" Aida menatap pria itu dengan seksama. Dan tampak, pria itu perlahan membuka matanya.

"Malaikat?" ucapnya, lalu kembali pingsan.

Terlalu baik?

"Hey, Pak! Kenapa pingsan lagi?" Aida menepuk-nepuk pipinya. Bahkan sedikit keras untuk dapat menyadarkannya sebentar saja.

"Aida! Angkot nya udah ada. Itu, mang Usman juga dateng, mau bantuin." teriak dan lari Mei padanya.

"Da, mana mayatnya?" tanya Mang Usman, yang ikut cemas dengan penemuan itu.

"Belum mayat, Mang. Dia masih hidup." balas Aida, memintanya segera mengangkat pria itu naik ke dalam angkot tuanya.

"Ke Rumah sakit, Mang. Yang penting, ditangani dulu, sama dokter." pinta Aida.

"Tapi, biayanya mahal loh. Siapa yang bayar?" tanya Mei padanya. Aida berfikir sejenak, lalu menatap cincin yang ada di jari manisnya. Bukan cincin pertunangan, melainkan cincin peninggalan sang Ibu padanya.

"Aku, udah ngga berharap lagi bertemu Ibu. Dia juga entah dimana. Inget aku ada aja, mungkin engga. Jualin ya, Mei? Lumayan, buat biaya Mas ini, nanti." Aida memberikan cincin berharga itu pada Mei.

"Astaga, Aida. Bisa-bisa nya kamu......"

"Mei, tolong. Nyawanya perlu di selamatkan." bujuk Aida.

Mei pun turun, mencari ojek di persimpangan jalan yang akan membawanya ke sebuah toko emas terdekat. Ia tahu, memang Aida itu gadis baik dan tulus. Hanya nasibnya saja, yang kurang beruntung gara-gara tak memiliki orang tua saat itu. "Aida, Aida. Kadang, takut kamu di begoin orang, kalau begini." gumamnya.

Angkot berhenti di Rumah sakit terdekat. Aida memanggil beberapa perawat jaga, dan membawakan brankar untuk membawa pasien itu masuk kedalam.

"Aida, siapa dia?" tanya seorang senior padanya.

"Aida ngga tahu, Kak. Aida cuma nemuin dia terdampar. Lalu Aida bawa kesini. Identitasnya, cuma ada ini," Aida menunjukkan KTP luntur itu pada seniornya.

"Lalu, siapa yang akan bertanggung jawab nanti? Biayanya? Dan semua....."

"Aida yang tanggung. Aida jadi walinya hari ini. Tolong, lakukan apapun yang terbaik, Kak." mohon Aida dengan sangat.

"Ya, baiklah. Maaf, hanya mengikuti prosedur Rumah sakit." senior bernama Bima itu langsung membawa nya ke ruang observasi. Pria itu langsung di tangani sesuai SOP yang berlaku untuk pasien tenggelam. Aida memperhatikannya, dan bernafas lega ketika melihat semuanya berangsur membaik.

" Tekanan darah rendah, suhu tubuh rendah, pernafasan dan detak jantung lemah. Apa, kamu mau dia di rawat inap?" tanya Seniornya lagi.

"Jika tidak, apakah akan bahaya?" tanya Aida, memikirkan biaya yang mungkin akan Ia tanggung nantinya. "Jujur, Aida ngga punya biaya, Kak. Ini saja, menunggu Mei menjual cincin Ibu."

Bima hanya menghela nafas, lalu memikirkan sebuah cara agar Pria itu dapat tertolong, dan Aida tak tercekik dengan biayanya.

"Aida kan lulusan Bidan. Bagaimana, kalau Aida rawat sendiri dia dirumah? Kakak akan bantu kontrol, dan memberi beberapa tindakan lain yang tak bisa Aida lakukan."

"Bisa kah? Tak apa jika begitu. Aida akan merawatnya dirumah, bersama nenek dan Mei, nanti."

"Baiklah, Kakak akan bantu bicara pada staf Rumah sakit."

"Aidaaaa!" panggil Mei, berlari dengan begitu cepat menghampirinya. "Ini, uangnya. Dapet segitu, karena emas lama, dan ngga ada surat suratnya." ucap Mei, dengan nafas terengah.

Aida menerima uang itu, dan menghitungnya untuk memulai mengurus administrasi pria itu.

"Atas nama siapa, Mba? Maaf, tadi datanya belum ada."

"Tono, Mba. Maaf, adanya cuma itu. Ktpnya luntur, dan ngga ada yang lain." ucap Aida. Kini, Pria bernama asli Rayan itu, resmi menyandang nama Tono. Setidaknya, masih menggunakan nama keluarganya.

"Tinggal menunggumu sadar, lalu akan ku rawat di rumah." lirih Aida, menatap Tono dengan dengan segala empatinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!