Shasa sibuk menulis sesuatu di buku note-nya hingga tak sadar seseorang memasuki kamarnya dengan hati-hati.
"Nah ...." Gadis itu mengambil bukunya.
"Ya ... Kakak."
"Nulis puisi mulu, makanya kamu tuh gak pinter-pinter. Ngayal terus bawaannya." Rika mencoba melihat apa yang ditulis Shasa. "Apa nih, 'kepada senja' ...."
"Ah, Kakak." Shasa mencoba merebut kembali buku itu karena malu, tapi Rika mampu menghindarinya.
Rika bahkan menyembunyikannya di belakang punggung. "Udah ah! Ngapain lho nulis beginian. Ngak guna tau!" Ia melempar buku itu ke atas tempat tidur.
Shasa hendak mengambilnya, tapi Rika malah mendudukinya. "Kak." Ia hanya sanggup berdiri di depan tempat tidur.
"Mending lo temenin gue."
"Ke mana?"
"Pesta Topeng nanti malam."
"Pesta apaan Kak?"
"Pesta untuk cowok-cewek ketemuan."
"Pake topeng gitu?"
"Iya," Rika mengangguk.
"Lah, kalo gitu, gimana kenalannya?"
"Lho, itu justru pesta orang-orang kaya Sha, yang cari pacar atau calon Istri di situ. Kalo ngerasa cocok, nanti baru cari tahu."
"Gak mau ah Kak." Shasa masih mempermainkan pulpen di tangan.
"Harus! Kamu harus ikut, kalo enggak Papa nggak ngizinin aku pergi."
"Lagian kenapa Kakak pergi ke pesta begituan sih Kak? Kan Kakak udah punya pacar, Kak Bima. Ganteng, juga kaya. Kalo nanti Kakak dapat cowok lagi di sana, Kak Bima mau dikemanain?"
"Bima cuma serep. Dia gak kaya-kaya amat. Aku pengen punya pacar yang kaya raya dan anaknya pemilik perusahaan."
"Kasihan kan Kak Bima Kak," bujuk Shasa.
"Kak Bima juga tau kok kalo aku jadiin serep. Lagipula, dia juga ikut nanti malam," terang Rika.
"Kan kita baru lulus SMA Kak, apa gak sebaiknya kita mikirin kerja atau nerusin kuliah?" Shasa coba mengalihkan pembicaraan.
"Aku ngikutin kamu kok. Kamu gak kuliah, aku juga gak kuliah."
"Ya, jangan gitu Kak. Kakak kuliah saja, kalau aku mau kerja karena nggak ada biaya."
Rika mengerut dahi melihat Shasa. "Kan Papa mau bayarin kamu kuliah."
"Iya, tapi aku mau biayain sendiri kuliahku makanya aku mau kerja dulu."
"Ya sudah, aku juga mau kerja."
"Kakak, jangan gitu." Shasa meraih tangan Rika karena merasa bersalah.
Rika menepisnya. "Suka-suka aku dong, aku mau kuliah apa enggak," ucap Rika sewot.
Shasa terdiam.
"Pokoknya kamu ikut entar malem," Rika berkeras.
"Ngak mau ah Kak." Shasa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Rika mengambil buku yang didudukinya. "Buku ini aku sita. Kalo kamu gak mau pergi, aku bakar."
"Kakak ...." rajuk Shasa. Ia tahu sepupunya itu tidak pernah main-main kalau bicara. Harus terjadi apa yang diinginkannya kalau tidak ia akan mengamuk dan merusak barang-barang milik Shasa.
Gadis berjilbab itu tidak punya pilihan lain karena sejak orang tuanya meninggal 2 tahun yang lalu akibat kecelakaan, ia diambil oleh Om dan Tantenya dan tinggal di rumah itu.
"Gimana?"
"Ya udah ...." Shasa menunduk.
Tiba-tiba pintu terbuka. Sebuah kepala muncul dari balik pintu. "Ada apa sih, berisik banget dari tadi!" Seorang pria muda mengerut keningnya ingin tahu.
"Oh, Kak Damar. Ngak papa Kak," sahut Shasa dengan santun. Damar adalah Kakak Rika. Sedang Rika seumuran dengan Shasa hanya lebih tua sebulan hingga ia ingin dipanggil Kakak oleh Shasa.
"Mmh." Damar menoleh pada Rika. "Kamu lagi ngapain Ka?"
"Gak ada apa-apa," ucap gadis itu berpura-pura.
"Mmh ...." Matanya menyipit curiga pada Rika. "Ya udah." Ia kemudian keluar dan menutup pintu.
"Pokoknya ntar malem ya? Papa gak ngijin aku pergi walaupun sama Bima. Papa lebih percaya sama kamu."
Shasa hanya diam sambil mengerucutkan mulutnya.
"Awas kalo gak pergi." Rika keluar dengan membawa buku catatan Shasa.
Malam pun tiba. Shasa bingung melihat Rika membawakan baju yang sama untuknya. Celana bahan dan blus tangan panjang padahal Rika paling tidak suka baju tangan panjang dan juga tidak berjilbab.
"Kakak mulai pakai jilbab?" Shasa tersenyum.
"Enak saja. Gue gak betah tau, pake beginian."
"Lah, trus kenapa pake beginian?"
"Supaya bisa ngeles, kita jadi cewek kembar."
"Kembar?"
"Iyalah. Nanti kalo aku gak suka pasanganku, aku bisa ngaku jadi kamu."
"Kakak ...."
"Udah jangan berisik! Kerjakan saja."
Shasa mengerucutkan mulutnya tapi tak berani membantah. Yang dipikirkan hanyalah, bagaimana caranya buku itu bisa kembali. Ia kemudian mengganti baju dan berdandan.
Rika tidak begitu pintar memasang jilbab karena itu Shasa memperbaiki jilbabnya. "Harus sama persis pokoknya."
"Iya."
Sebentar kemudian Shasa selesai memakaikan jilbab Rika. Sepupunya itu terlihat cantik dengan jilbabnya. Shasa tersenyum melihat hasilnya. "Coba Kakak terusin Kak, cantik lho Kak berjilbab," saran Shasa.
Terdengar suara klakson mobil dibunyikan.
"Iih, udah ceramahnya. Ayo kita berangkat!" Rika menarik tangan Shasa.
"Sebentar Kak." Shasa mengambil tas tangan yang berada di atas tempat tidur kemudian mereka berlari ke luar kamar. Mereka sempat bertemu Papa Rika di ruang tengah.
"Mau ke mana kalian?"
"Ke Pesta Topeng Om."
"Ih." Rika sempat melotot ke arah Shasa sekilas. "Eh, itu Pa, acara perpisahan sekolah." Ia memberikan senyum termanisnya.
"Oh ... Jangan pulang terlalu malam ya?" Pria paruh baya itu menyeruput dari cangkir tehnya.
"Iya. Pergi sama Kak Bima kok Om."
Papa Rika hanya tersenyum datar.
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam," sahut Papa Rika.
Rika menarik lengan Shasa agar cepat keluar. "Ayo cepetan! Lama amat sih lo, pake basa basi segala."
"Astaghfirullah alazim. Iya Kak," Shasa hanya menurut.
Sekilas gadis itu mendelik kesal pada Shasa.
Di luar ternyata Bima telah menunggu mereka. Seorang pria muda yang tampan. Kulitnya putih bersih dengan hidung mancung. Pria ini sudah punya usaha sendiri, sebuah perusahaan periklanan walaupun tidak besar.
Ia tak sengaja berkenalan dengan Rika saat gadis itu menemani temannya untuk model iklan. Ia salah mengira, dikiranya Rika adalah model yang mendaftar karena gadis itu sangat cantik.
"Malam Kak," sapa Shasa padanya.
"Eh, malam." Bima berharap Rika menyapanya tapi gadis itu malah langsung masuk ke dalam mobil tanpa berkata apa-apa. "Eh, ayo masuk." Pria itu menawarkan Shasa untuk duduk dalam mobilnya.
"Eh iya Kak." Shasa duduk di belakang.
Mobil melaju ke jalan raya.
--------+++--------
"Oh, Ron. Finally(akhirnya) ...." Pria itu membuka pintu mobil yang baru saja terparkir di depannya. "Sekarang kita mau ke mana lagi?" Ia duduk di samping pria yang menyetir mobil itu.
"Mmh, aku sudah lama tidak ke Jakarta. Aku dengar ada Pesta Topeng yang sangat terkenal karena dikunjungi banyak Eksekutif Muda. Kabarnya itu tempat mereka mencari pacar atau bahkan calon Istri." Ronny menjalankan mobilnya sambil tersenyum.
Pria tampan itu menertawakan temannya yang bule itu. "Kamu cari hiburan atau cari huru hara sih? Kita masih sangat muda kenapa harus memikirkan hal yang rumit-rumit? Apa lagi tempat seperti itu, salah-salah kamu malah pacaran sama istri orang, Ron."
"Bra, kamu itu yang terlalu rumit. Hidup itu dinikmati saja, jangan dipikirkan. Aku hanya ingin tahu tempat itu seperti apa. Perkara kita dapat apa nanti di sana, itu tidak penting. Kan kita cari hiburan? Kalau kita tidak mendapatkannya di sana ya kita cari lagi di tempat lain. Ok?"
Abra mengangguk. "Ok!"
Di tempat lain, ternyata Rika dan Shasa memasuki sebuah hotel berbintang, tapi hanya mereka berdua saja yang turun sedang Bima tidak.
"Kak, kasihan Kak, masa Kak Bima dibiarin di mobil sendirian," Shasa iba pada Bima.
"Ck, berisik! Ikutin aja yang aku bilang." Rika mendorong Shasa masuk ke dalam sebuah lorong. Di pertigaan ada sebuah meja yang agak menjorok ke dalam. Di sana Rika melapor dan kemudian mendapat dua buah topeng. Ia memberikan satu pada Shasa. "Nanti kita pisah ya?" Gadis itu memakai topeng setengah wajah berwarna emas itu segera.
"Eh, Kak aku takut." Ia menggenggam tangan Rika.
Gadis itu menepisnya. "Apaan sih! Disini gak ada yang kenal kamu, lagi. Juga wajahmu jadi gak usah takut." Ia memasangkan topeng itu pada wajah Shasa. "Percaya deh! Gak akan ada yang melihatmu aneh."
"Jadi aku harus apa?" tanya Shasa lugu.
"Pasti di sana banyak makanan. Aku tadi udah bayar online kok," Rika langsung mendorong Shasa masuk melewati pintu di depannya.
Dengan enggan Shasa melangkah ke depan. Lampu di ruangan besar itu sedikit redup. Ada lampu kedap kedip menyinari ruangan dan musik sedikit kencang. Orang-orang bertopeng emas ramai di sekeliling mencari kesibukannya sendiri-sendiri. Ada yang mencari makanan, minuman, ngobrol di kursi sofa yang tersedia bahkan sampai ke balkon luar.
Mereka kebanyakan pasangan muda-mudi dengan topeng mereka masing-masing. Dari pakaiannya terlihat mereka para Eksekutif Muda karena mereka datang dengan pakaian kantor mereka.
Namun, Shasa dan Rika malah menjadi perhatian di dalam pesta karena menggunakan jilbab. Jilbab image-nya adalah ta'aruf. Keberadaan mereka di sana malah menjadi tontonan yang ajaib.
Rika salah tingkah. Harusnya ia tidak membawa Shasa yang berjilbab yang pada akhirnya membuat ia terlihat salah kostum di pesta itu. Ia segera mendekati meja makan dan terlihat sangat gusar. Ia meminum segelas air yang pertama dilihatnya.
"Kak."
"Udah ah, berisik!" Rika kesal dan kecewa.
Shasa hanya diam, tak tahu harus melakukan apa.
"Eh, nona-nona cantik. Boleh aku berkenalan?" Seorang pria berpakaian jas hitam dengan kemeja putih di dalamnya datang menyodorkan tangan pada Shasa. Gadis itu terlihat bingung.
Rika dengan cepat meraih tangan pria bertopeng itu. "Boleh saja."
Pria itu dengan senang menarik Rika menjauh. Tinggal Shasa yang bingung sendirian. Ia mencoba melihat makan dan mengambil salah satunya. Ia mulai memakannya.
"Eh, nona ...."
Shasa menoleh dan melihat lelaki tinggi besar dengan otot yang sangat menggiurkan. Tanpa aba-aba ia bergegas pergi menjauh, bahkan menabrak seorang pria di depannya.
"Oh."
"Eh, maaf." Shasa mengangguk-anggukan kepalanya tanpa melihat pria di depannya lalu segera pergi.
Pria itu terkejut dan menoleh pada teman di sampingnya. "Ada yang berjilbab juga."
Ronny tertawa. "Nah kan, Bra? Kita tidak tau apa yang bisa kita temui di sini. You'll have fun, believe me.(kamu akan senang, percaya padaku.)"
"Kamu terlihat muda ya? Berapa umurmu? Apa kamu sedang mengelola usaha sendiri?" Pria yang bersama Rika mulai bertanya-tanya.
Aduh, mulai ribet nih. Kenapa ngomongin usaha sih, memangnya tampangku seperti kasir apa, sampai harus ngomongi usaha? Aduh ... aku harus ngomong apa ini?
Tiba-tiba hp-nya berbunyi. Rika akhirnya punya kesempatan meninggalkan pria membosankan itu dan mengangkat teleponnya, tapi ia tidak hati-hati saat mengeluarkan hp-nya yang malah membuatnya menjatuhkan sesuatu. Buku catatan Shasa.
__________________________________________
Selamat datang di novel terbaru author dan jangan lupa menekan tanda favorit agar tidak ketinggalan cerita di novel ini. Ini visual Shanum Andina Prawira atau Shasa, gadis lugu yang berusaha tegar menghadapi hidup.
Author Sichuz dengan novelnya Suamiku, daun muda. Bercerita tentang kisah cinta beda usia. Kepoin yuk!
Abra tanpa sengaja melihat Rika menjatuhkan sesuatu. "Hei, milikmu jatuh." Namun gadis itu tidak mendengarnya.
"Halo." Rika berjalan menjauhi sofa sambil masih memegang hp-nya.
Sebentar, ia mendengarkan.
"Apaan sih, sebentar doang lo gak betah!" omelnya. Ia berjalan makin menjauh sementara Abra, ia mendekati buku note itu dan mengambilnya. Ia membukanya. Sebuah puisi tertulis dengan beberapa coretan di beberapa tempat.
'Kepada senja yang bersinar kemerahan
Kutitip kerinduan pada jejak yang tersapu hujan
Pada angin yang bertiup kelelahan
Pada awan yang mendekap mentari'
Shasa yang sedang mencari Rika, melihat seorang pria sedang membaca sebuah buku note. Buku itu seperti miliknya. Ia mendekati pria itu perlahan dari samping. Pria itu, dengan serius melihat buku yang berwarna hijau itu dan isinya ... puisi. Itu bukunya! Segera ia merebutnya.
"Eh?" Abra terkejut.
Gadis berjilbab itu, menggangguk-anggukkan kepalanya meminta maaf dengan tanpa suara lalu kemudian pergi berlari.
Eh, itu bukannya cewek tadi ya? Eh, lucu juga cewek itu. Datang dan pergi. Mana hanya satu-satunya lagi di sini yang berjilbab. Eh, tapi puisinya bagus juga, mengingatkanku pada ....
Tanpa sadar Abra mencarinya. Ia malah terkejut menemukan 2 orang gadis berpakaian sama di hadapannya. Apa? Mereka kembar?
Rika baru saja menutup hp-nya ketika Shasa datang membawa buku note milik sendiri.
"Kak, kok bukuku jatuh?" tanya Shasa.
Rika segera merebut dari tangan sepupunya. "Eh, gak sengaja."
"Tapi Kak, itu kan punyaku." Shasa berusaha merebut kembali tapi berhasil dijauhkan Rika.
"Eh, maaf."
Kedatangan Abra mengejutkan keduanya. Bahkan Shasa sampai meraih lengan sepupunya dan bersembunyi di balik punggungnya.
"Buku itu milik siapa ya?" Abra memberanikan diri.
"Oh, itu milikku." Rika memamerkannya pada Abra. Shasa hanya melihat saja.
Bukan milik yang satu lagi ya? Tadi mereka bertengkar kenapa? Bukannya gara-gara buku itu? Mmh, tapi mereka sangat mirip. Bagaimana membedakannya? Abra tak bisa membedakan keduanya karena mereka berpakaian sama dan postur tubuhnya pun juga mirip. Hanya Shasa bertubuh lebih mungil, dan Rika sedikit lebih tinggi.
"kamu pintar juga bikin puisinya. Boleh kenalan?"
"Oh, boleh. Namaku Rika." Gadis itu menyodorkan tangannya.
"Abra."
Mereka berjabat tangan, tapi Abra tidak berhenti sampai di situ saja. Ia menyodorkan tangannya pada Shasa. Gadis itu terlihat bingung. Rika segera menarik tangan Shasa dan menyodorkannya pada Abra. Mereka bersalaman. Entah kenapa, Abra lebih tertarik pada gadis kembar yang kedua. Matanya menyoroti gadis yang terlihat enggan dan malu-malu itu padanya.
"Maaf kami mau pulang." Rika merapikan tasnya.
"Oh, begitu. Kok, cepat-cepat pulang," Abra mengungkap kekecewaannya.
Rika terlihat senang. "Mau nganterin pulang?"
"Yah, tapi hari ini aku tidak bawa mobil. Aku datang bareng teman."
Ah, ini sih mah kere. Paling juga pegawai. Huh! "Eh, maaf ya, kami buru-buru." Rika meraih tangan Shasa dan melangkah ke pintu.
Benarkah gadis yang bernama Rika ini yang menulis buku itu, tapi aku lebih suka kembarannya yang satu lagi itu yang menulis buku itu, entah kenapa. Eh siapa namanya tadi? Eh, aku lupa menanyakan namanya. Abra mengejar kedua gadis itu yang sudah keluar ruangan dan membuka topeng mereka untuk mengembalikannya di meja resepsionis. Wajah mereka ternyata berbeda. Yang namanya Rika ternyata cantik dan yang satu lagi ... wajahnya sangat manis.
Rika dan Shasa terkejut karena Abra mengejar mereka sampai ke tempat itu.
"Eh, maaf."
"Curang!" sahut Rika, tapi di dalam hatinya ia senang pria itu mengejarnya sampai ke tempat itu.
Abra membuka topengnya dan itu membuat Rika dan Shasa kembali terkejut karena pria itu ternyata sangat tampan. "Kalian terlihat masih sangat muda. Apa kalian punya usaha sendiri?" Ia memperkirakan kedua gadis itu masih pelajar melihat wajah mereka yang masih belia.
Rika jadi salah tingkah. "Eh, sebenarnya kita baru lulus SMA, berniat mencari pekerjaan jadi kalau ke sini mungkin bisa bertemu Eksekutif Muda yang bisa membantu kami masuk ke perusahaan mereka," kilah Rika sambil tertunduk. Toh ia tak bisa mengelak karena wajah mereka tak bisa membohongi pria itu.
"Oh, begitu." Abra mengeluarkan kartu namanya. "Ini, kartu namaku. Aku bekerja di stasiun TV ini sebagai CEO. Kalian bisa coba mendaftar kerja di sini."
Rika mengambilnya dengan mata membulat sempurna. Ia kegirangan. "Terima kasih Pak, eh Kak, eh apa ya?"
Abra dengan ringannya tertawa. "Tidak apa-apa."
"Apa sekarang ada lowongan?"
"Aku sendiri tidak tahu ya, tapi coba saja." Abra melirik Shasa yang hanya diam. "Eh, kamu namanya siapa?" Ia coba bertanya.
Namun Rika dengan sigap menarik tangan Shasa. "Oh, ini sepupu saya. Eh, maaf kami mau segera pulang." Ia buru-buru melangkah sambil menarik tangan Shasa.
Dari dulu ia memang tak suka sepupunya itu diperhatikan orang atau lebih terkenal dari dirinya karena dia merasa dialah yang paling cantik diantara mereka berdua.
Shasa adalah anak tunggal keluarga kaya raya yang selalu dapat pujian karena pintar dan baik hati. Rika kesal dibanding-bandingkan dengan sepupunya itu hanya karena kedua ayah mereka bersaudara.
Setelah kedua orang tua Shasa meninggal, Papa Rika yang mengurus perusahaan kakaknya itu. Shasa terkadang terlihat diistimewakan oleh Papa Rika yang membuat Rika sering meradang dan Shasa merasa tak enak hati pada Rika. Padahal Shasa tak ingin diistimewakan, dan Papa Rika juga sebenarnya berusaha adil kepada kedua anak dan ponakannya tapi Rika melihatnya berbeda.
Abra berusaha menyamakan langkah mengantar mereka. Entah kenapa, ia begitu penasaran pada sepupu Rika yang ia tidak tahu namanya itu tapi ia juga tidak ingin terlihat mengejarnya karena Rika seperti melindunginya.
"Eh, jadi kalian akan mencoba melamar pekerjaan di mana?"
"Eh, tidak tahu."
"Oh." Pria itu mencoba mencari bahan obrolan lain tapi ia tidak bisa menemukannya. Tidak bila harus terburu-buru seperti itu. "Eh, mau ku panggilkan taksi?"
Rika mulai curiga Abra tidak mengejar dirinya tapi Shasa. Ia mulai terlihat kesal. "Eh maaf udah ada jemputan." Ia menunjuk pada mobil yang terparkir dekat dengan pintu masuk. Ada Bima di dalam mobil itu melambaikan tangan. Mereka mendekati mobil itu.
"Eh, ini pacarmu?" tanya Abra melihat pakaian mahal yang dipakai Bima.
"Oh, bukan. Ini pacar Shasa." Rika mendorong Shasa ke kursi mobil di muka. Bahkan membantu membukakan pintunya.
"Eh?"
"Tapi ...." Bima bingung dengan pernyataan Rika.
"Iya kan?" Rika menoleh pada Bima.
Melihat wajah serius Rika, akhirnya Bima menyetujui. "I-iya."
"Mmh?" Kini Shasa yang bingung dengan pernyataan keduanya. Kenapa ceritanya jadi begini?
Yah, sayang ... dia sudah milik orang lain. Namanya Shasa ya? "Jadi, kapan kalian akan mengirimkan resumenya biar aku tanya HRD." Siapa tahu, saat dia kerja padaku, dia putus dengan pacarnya, Abra tersenyum samar dengan khayalannya.
Rika melihat pandangan Abra yang tak putus pada Shasa. "Oh, aku mungkin bisa tapi Shasa mungkin dia kerja di tempat pacarnya."
Kembali pernyataan Rika menuai pandangan aneh pada Bima dan Shasa.
Shasa bekerja padaku? Apa itu yang kau mau? Bima terlihat kesal pada Rika.
Aku bekerja di perusahaan Kak Bima? Shasa melirik Bima dengan wajah bingung.
"Oh, Anda punya perusahaan apa?" Abra mendekat pada Bima. Ia penasaran.
"Perusahaan periklanan."
"Oh, cocok sekali. Aku bekerja di stasiun TV. Mungkin suatu saat kita bisa rekanan." Abra mengeluarkan kartu nama.
Bima pun mengeluarkan kartu namanya sehingga mereka bisa bertukar kartu nama.
"Ok, kapan-kapan mungkin aku telepon ya?" ucap Abra sambil membaca kartu nama itu.
"Terima kasih."
Saat Abra ingin bicara lagi, Rika segera menyudahi. Ia tak ingin lama-lama di situ karena takut ketahuan ia berbohong. Ia segera masuk ke dalam mobil di kursi belakang.
Abra melambaikan tangan dan melihat mobil itu menjauh. Ah, gadis semanis itu. Kenapa milik orang lain? Kenapa tidak Rika saja yang pacaran dengan pria itu? Aaah, kesal! Ia mengacak-ngacak rambutnya.
"Jadi lo naksir yang mana?" Ronny datang sambil tertawa. "Makanya gue bilang juga apa. Lo dapet sesuatu kan? Lo kemakan omongan sendiri, lo sekarang naksir pacar orang kan?" Ronny melipat tangannya di dada.
"Iya," jawab Abra dengan wajah kusut. Tuhan, gue tuh sebenarnya telat berapa tahun sih dapetin dia? Hah ....
---------+++--------
Di tengah jalan mobil Bima berhenti. Ia menoleh ke arah Rika di belakang. "Apa maksud perkataanmu tadi? Coba tolong jelaskan."
Shasa hanya berani memperhatikan mereka berdua tapi tak mampu bicara karena ia sendiri dalam kebingungan.
"Sudah jelas kan? Mau ditanya apa lagi?" Rika melipat tangannya di dada dan melihat ke arah luar lewat jendela kaca di sampingnya.
Bima masih belum mengerti. "Aku masih bingung. Apa, maksud perkataanmu tuh apa?"
"Ya kamu pacaran dong sama Shasa."
"Apa?"
Shasa terlihat semakin bingung. Kenapa aku yang harus pacaran dengan Kak Bima? Apa maksudnya? "Kak, Kak Bima kan ...."
"Diem! Ngak ada yang menyuruh lo bicara." Rika menatap tajam pada Shasa.
"Rika ...."
"Aku kan pernah bilang aku gak ingin pacaran sama kamu, tapi kamu maksa dengan alasan ini-itu ini-itu dan aku kasih kondisi cadangan kamu mau. Nah, kalau kamu benar-benar cinta sama aku buktikan dong. Pacari Shasa!"
Shasa benar-benar bingung melihat keduanya. Kenapa sekarang dia jadi bahan percobaan?
Bima terdiam. Ia melirik Shasa juga Rika. "Ok." Ia melirik Shasa. "Kamu mau jadi pacarku kan?"
"Apa?" Shasa menatap Rika, juga Bima. Apa-apa sih ini? Kenapa aku jadi bahan taruhan?
"Udahlah terima aja, beres!" sahut Rika dengan gampangnya pada Shasa. "Udah, dia pasti mau kok. Sudah ...." Ia meyakinkan Bima.
Bima masih terlihat bingung pada kedua gadis di hadapannya.
"Tunggu Kak." Shasa melihat iba pada Bima. "Kakak ...."
Belum selesai Shasa bicara, Rika memotongnya. "Aku ingin mengejar CEO yang bernama Abra yang ganteng itu. Kalian harus mendukungku. Terserah kalau kalian mau pacaran beneran atau bohongan, aku gak perduli tapi sekarang aku mau ngejar cowok itu jadi aku minta partisipasi kalian dengan sandiwara yang aku buat ini. Bisa kan?"
Shasa melihat wajah Bima yang kecewa. Pria itu menunduk sebentar kemudian menoleh ke arah Shasa. "Sha, kamu jadi pacar aku sekarang, mau kan?"
"Ta-tapi ...."
"Aku akan memasukkanmu kerja di perusahaanku."
"Bagus!" ucap Rika yang membuat Shasa makin tersudut.
"Ta-tapi ...."
"Sudah terima aja. Susah banget sih!" Rika makin mendesaknya. Ia membuka tasnya dan memperlihatkan buku note Shasa. "Gimana?"
"I-iya." terbata-bata Shasa menjawab karena tak punya pilihan.
Tiba-tiba Bima meraih lengan Shasa sambil mencondongkan wajahnya ke depan.
Cup!
Ia mengecup kening gadis itu.
____________________________________________
Baru perkenalan karakter ya Reader. Ikutin terus cerita di novel ini. Jangan lupa like, komen, vote, dan hadiah-hadiah dan mungkin juga koin. Ini visual Abra atau Abraham Natawijaya, CEO muda dengan cinta sederhananya. Salam, ingflora. 💋
Author Ummu Salamah dengan novel berjudul My Love Forever menceritakan cinta yang berakhir dengan dendam.
Shasa melongo. Pipinya bersemu merah. Kak Bima beneran suka sama aku atau karena permintaan Kak Rika?
Bima tersenyum pada Shasa. Ia kemudian kembali menghidupkan mobil dan menjalankannya.
Sambil menjalankan mobil, Bima melirik pada Rika lewat cermin kecil di atasnya. Gadis itu melirik Shasa sebentar dengan pandangan yang sulit diartikan, lalu kembali memandang ke arah luar lewat jendela.
Bima, ia bingung dengan gadis itu belakangan ini. Keinginannya selalu berubah-ubah. Kadang dia bilang A kemudian minta B. Lalu ganti lagi minta C. Apa kini ia telah bertemu dengan Rika yang sesungguhnya?
Dulu hubungan mereka lancar-lancar saja. Saat didekati, gadis itu terlihat senang, tapi setelah ia menyatakan cinta, gadis itu seperti main petak umpet.
Saat dekat Rika menyenangkan, tapi saat jauh ia susah dicari. Sekarang malah minta pria itu untuk memacari sepupunya. Bima tak habis pikir dengan sikap Rika, gadis itu menyukai dia atau tidak sebenarnya? Karena itu ia coba mencium kening Shasa untuk mengetahui reaksi Rika akan bagaimana. Cemburukah atau bahkan tidak peduli, dan yang terakhir itu jawabannya. Tidak peduli. Bima benar-benar kecewa.
Baik, aku akan berpacaran dengan Shasa, tapi ingat, bila aku bersamanya, aku takkan ada lagi untukmu. Jangan menyesal kalau suatu saat aku benar-benar bisa menikahinya karena kamu telah melepasku. Bima mendengus kesal.
Mobil pun berhenti di depan sebuah rumah mewah. Satpam yang menjaga pagar sudah hapal dengan mobil itu hingga mereka langsung membukakan pintu pagar rumah itu.
Bima memarkirkan mobilnya di depan pintu rumah itu. Shasa dan Rika turun. Bima memanggil gadis bertubuh mungil itu dan Shasa mendekatinya di jendela mobil.
Pria itu membuat kaget Shasa karena langsung menggenggam jemari tangannya.
"Eh, Kak ...." Shasa menoleh ke arah Rika karena merasa tak nyaman.
Rika tak peduli dan melengos pergi. Lo mau bikin gue cemburu, benaknya sambil tersenyum senang. Lu bodoh!
"Kak Bima ...."
Bima mengeratkan genggaman tangannya. "Kamu gak percaya sama aku? Ok, besok bawa CV-mu ke kantor. Oh, iya aku lupa. Kamu jadi pacarku ya sekarang? Ok, besok pagi aku jemput."
Shasa masih melirik antara Rika yang masuk ke rumah dan Bima yang sekarang menggenggam jemari tangannya. Kenapa ia kini berada di tengah konflik keduanya? Bima kan ngak bener-bener suka sama aku kan? Dia hanya manas-manasin Rika aja kan sebenarnya?
"Sayang ...."
"Eh, apa?"
"Aku serius."
Shasa memperhatikan wajah pria di depannya dengan seksama. Memang sejak lama ia mengagumi sosok pria yang mengejar-ngejar Rika ini. Seorang pria tampan juga pengusaha. Gadis itu tidak mengerti kenapa Rika dan Papanya tidak menyukainya.
Sayangnya, ia meragukan kata-kata pria itu sekarang, karena cepatnya ia berbalik arah. Bukankah cinta bukan buatan manusia? Jadi sewajarnya tidak mungkin ada orang yang bisa merubah haluan cinta, meskipun ingin.
"Kak, sudah ya main-mainnya?"
Pria itu memejamkan mata sebentar. "Begini saja. Besok kamu aku jemput. Kamu akan langsung kerja besok."
"Apa?"
"Jam 8 ya?"
"Eh ...."
Belum selesai Shasa bicara, pria itu sudah menghidupkan mesin mobilnya. Ia melambaikan tangan pada Shasa sebelum membawa mobilnya keluar.
Shasa menghela napas.
Di dalam rumah, ternyata kedua orang tua Rika telah menunggunya. Rika yang terlihat menggerutu sebal dan membuka jilbabnya, menjadi pemandangan yang dipertanyakan.
"Kamu kenapa jilbabnya dibuka?" tanya Papa Rika heran. " Padahal kamu bagus pakai itu."
"Uah ... panas Pa, gak betah!" ucap gadis itu kesal.
"Lalu kenapa dipakai?"
Rika senyum di kulum. "He, iseng."
"Padahal cantik lho anak Mama pakai itu. Mama aja penasaran lihat pas Papa cerita tadi, jadi Mama nungguin. Kali aja kamu sudah berubah pingin berhijab. Eh taunya cuma iseng," Mama Rika menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Gak ah! Orang modern kayak Rika mah gak cocok jilbaban Ma. Jadi terlihat kuno!"
Mama Rika tertawa. "Ya sudah. Terus pesta perpisahannya gimana?"
"Eh, oh, em." Rika salah tingkah karena ia tidak mempersiapkan jawabannya. "Rika bosen jadi pulang aja deh."
"Oh, masih berlangsung?"
"Kan Papa dan Mama gak ngijinin Rika pulang malam."
"Mmh, ya sudah. Cepat tukar bajumu sana." Baru saja Papa Rika ingin menanyakan soal Shasa, gadis itu sudah masuk ke dalam rumah. "Sha, kok kamu tumben lama." Ia kemudian ingat bahwa Bima yang mengantar mereka berdua. Ia langsung mengerut kening. "Ngobrol sama Bima?"
"Dia ...."
Rika langsung memotong ucapan Shasa takut gadis itu salah bicara. "Dia diterima kerja di kantornya Bima, Pa."
"Kenapa kamu manggil Bima dengan namanya saja, kok gak pake Kak?" tanya Papa Rika karena ia tahu Bima jauh lebih tua dari Rika.
"Karena Bima sendiri yang maunya begitu," jawab Rika asal, padahal ia tak pernah menanyakan itu pada Bima dan Papa Rika sudah bisa menebaknya.
Pria itu kembali mengerutkan keningnya, tapi pada saat bertanya pada Shasa, ia menampilkan wajah senangnya. "Jadi kamu diterima kerja di perusahaan Bima? Om ikut senang. Sayang kamu gak mau kuliah, padahal Om sudah menyisihkan uang untuk biaya kuliahmu."
"Mmh, anak sendiri dilupain," Rika mencibir.
Papa Rika selalu saja bingung saat harus bicara dengan Shasa karena Rika selalu cemburu. "Kamu juga Papa tawarin kuliah kamu gak mau?"
"Ngak ah, males mikir. Mendingan kerja aja."
"Kamu mau masuk perusahaan Bima juga, seperti Shasa?"
"Ngak ah! Ada temen nawarin kerja di perusahaan keluarganya."
Papa Rika tertegun. "Tapi jaga sikapmu ya, jangan seenaknya. Jaga nama baik Papa."
Rika merengut. "Papa gak pernah percaya sama anak sendiri sih! Shasa aja ...." Rika menggantung kalimatnya karena kesal dan ia sudah berlari ke arah kamarnya di lantai 2.
Tinggal Papa Rika yang menghela napas panjang. Shasa langsung pamit ke kamar karena tak ingin salah bicara.
Damar mengintip dari pintu kamarnya yang berada di lantai atas juga. Ia kemudian menutup pintu. "Huh, dasar cewek egois," gerutu Damar sambil membanting tubuhnya di atas tempat tidur. Sebentar ia melipat tangannya di belakang kepalanya sambil tidur terlentang. Ia sedang membayangi sesuatu sambil menyeringai senang. "Ah, tidur dulu ah!" Ia menyamping dan menutup kedua matanya.
Shasa telah bertukar pakaian dengan baju tidurnya. Iapun juga sudah membersihkan makeup-nya. Ia membaringkan diri di atas tempat tidur, tengkurap sambil menindih guling. Gadis itu mengangkat sedikit tubuhnya lalu melepas ikatan rambut dan menyisir pelan dengan jemarinya. Rambutnya yang lurus terlihat bergelombang karena diikat terlalu lama.
Shasa merebahkan diri dengan meluruskan tangan dan meletakkan kepalanya di atas guling yang dihimpitnya.
Ia mengingat kembali hari ini yang penuh warna. Dulu hidupnya sangat kesepian. Sebagai anak tunggal keluarga kaya ia tidak punya teman bicara. Walaupun kini sebagai gantinya ia kehilangan kedua orang tuanya, ia sangat senang tinggal bersama Rika walaupun gadis itu tidak mudah dipahami.
Apapun yang dilakukannya tidak pernah membuatnya senang, tapi Shasa tidak pernah marah. Ia berusaha memaklumi keinginan Rika walau terkadang tidak masuk akal. Ia melakukan itu karena ingin membuat Om dan Tantenya senang mereka tidak pernah bertengkar dan juga agar masalahnya cepat selesai.
Bukan apa-apa, Rika saat ia disalahkan marahnya bisa berhari-hari. Apalagi kalau Papa Rika memenangkan Shasa, dan itu seringkali, masalahnya bisa merambat ke mana-mana. Barang-barang Shasa hilang satu-satu atau ada yang rusak, atau gadis itu ngambek tak bicara, atau yang lebih parahnya lagi gadis itu akan merundungnya. Shasa pasrah karena ia tinggal dengan mereka. Pilihan yang hanya satu-satunya.
Shasa tersenyum. Apa hari ini hari terbaik dalam hidupnya? Pria yang diam-diam disukainya malah mengajaknya pacaran. Padahal tadinya ia berpikir Rika akan berpacaran dengan Bima karena seringnya Bima datang menjemput Rika. Bahkan mengantar-jemput Rika sekolah dan ia sering ikut menumpang bersama mereka. Mereka terlihat seperti pasangan yang sangat cocok satu sama lain bahkan Shasa mengagumi Bima karena terlihat sangat baik pada Rika.
Namun melihat Rika yang belakangan ini berubah, Shasa sama sekali tidak mengerti ada apa di antara keduanya. Ia juga meragukan pernyataan Bima yang ingin pacaran dengannya yang membuat ia bertanya-tanya apa maksud dari perkataan Bima itu. Perlahan rasa simpatiknya pada Bima berkurang walaupun ia masih menyukainya.
Ia kemudian mengingat pria bernama Abra. Pria itu lebih tampan dari Bima bahkan ia mengira pria itu seorang model karena tubuhnya yang tinggi, putih, hidung mancung dan wajah rupawan. Sepertinya pemuda itu masih ada darah Indo mengalir ditubuhnya. Shasa memgagumi pria itu yang terlihat masih sangat muda untuk menjadi seorang CEO. Apalagi saat pria itu mencuri-curi pandang dan tersenyum kepadanya.
Ah, ia tidak ingin berkhayal terlampau jauh. Ia kini hanyalah seorang anak yatim piatu yang menumpang di rumah saudaranya yang kaya. Kaya itu masa lalu. Kini ia hanya seorang gadis pengkhayal yang sedang berjuang untuk dirinya sendiri.
Ya, ia ingin berdiri sendiri dan keluar dari rumah itu secepatnya karena ia merasa terbebani tinggal di sana. Ia tahu Omnya berusaha mengurusnya tapi ia melihat Rika tidak menyukainya. Ia tidak ingin gara-gara dirinya, keluarga itu jadi saling bertengkar. Ia akan mengalah dan keluar dari rumah itu baik-baik.
------+++-------
"Abra!"
Pria itu berhenti dan menghela napas. Ia menoleh.
Seorang pria dengan masih menggunakan pakaian kerjanya duduk di samping meja makan. Ia mengapit cangkir kopi dengan kedua tangannya di atas meja. "Kamu ke mana, aku cari tadi? Kamu tahu kan tv itu operasionalnya 24 jam!" sergah pria itu.
"Maaf Kak, aku lagi suntuk jadi memilih pulang," Abra berusaha menghindar karena ia tahu Kakaknya Kevin sedang mencarinya untuk meeting. Ada hal-hal yang ia tidak setujui dalam meeting itu dan ia belum menemukan solusi penggantinya karena itu ia coba menghindar. Ia tahu Kevin selalu mencecar pekerjaannya sehingga ia harus siap dengan solusi bila ia tidak menyetujui usul Kevin.
Kevin terkenal tangan besi dalam kepemimpinannya. Semua bawahannya tahu bahwa pria itu hanya bicara 'ya' atau 'tidak'. Dia tidak suka peragu dan negoisasi sedang Abra tipe pria yang yang sangat fleksibel tergantung situasi karena pekerjaan di tv itu sangat dinamis.
"Tidak ada yang namanya suntuk memikirkan yang lain karena kerja di tv itu harus fokus."
"Aku juga sedang memikirkan itu."
"Bagus!"
Sunyi merayap.
"Aku tidur dulu Kak."
"Iya, sana!"
Abra menaiki tangga menuju kamarnya.
Seorang wanita paruh baya dengan baju tidur mewahnya keluar dari arah dapur mendatangi Kevin. Ia melihat Abra menaiki tangga. "Mmh, kenapa sih kamu masih mempertahankan Adik Tirimu itu. Dia gak becus kan?" Wanita yang sedikit gemuk itu terlihat sebal.
___________________________________________
Masih baru-baru nih di awal. Masih pemanasan. Yuk dukung Author dengan partisipasimu di novel ini dengan memberi like, vote, komen, hadiah bahkan koin biar authornya tambah semangat. Ini visual Anrika Widya Prawira, atau yang akrab dipanggil Rika. Kecantikannya membuat ia menjadi gadis egois yang ambisius. Salam, ingflora. 💋
Author Age Nairie dengan novel terbarunya berjudul Kamuflase Cinta Sang CEO bercerita tentang pernikahan yang terlanjur terjadi karena keadaan. Mungkinkah mereka akan mengakhiri atau mungkin malah akan memperbaiki?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!