NovelToon NovelToon

Ibu Pengganti

Chapter 1. Kami merindukanmu, Nana

Jeanno meletakkan penanya untuk berangsur menuju kamar Aera. Baby monitor yang berada diruang kerjanya mendadak bunyi, menunjukkan tangisan putri kecilnya. Ia tau Aera mengalami mimpi buruk, dan cara membuatnya tenang adalah dengan memeluknya.

“Sayang..” ketika Jeanno membuka pintu, gadis cilik itu sudah dalam posisi terduduk. Mata bulatnya memerah dan bekas airmata tercetak jelas diwajahnya. Jeanno menyalakan lampu, kemudian segera memeluk Aera lembut.

“Sshh.. tidak apa, Papa disini. Papa disini…” Lelaki itu mengecupi puncak kepala putrinya lembut sembari berbisik mengatakan dirinya disini dan semua akan aman. “Aera bermimpi apa hm?”

“Aera.. mimpi… hiks.. monster” tangisan gadis itu sedikit mereda ketika berada dalam pelukan sang ayah. Tinggal tersisa senggukan dari pundak mungilnya. “Aera takut, Papa”

Pria lantas menggendong putrinya seraya mengusap sisa airmata disana. Senyumnya tersungging lembut. “Aera mau tidur bersama papa?”

Aera mengangguk. “Aera mau tidur dengan Papa supaya monster itu tidak datang lagi”

*

Jeanno mengecup kening Aera sekali lagi setelah berhasil meninabobokan gadis kecilnya. Tangannya masih menepuk-nepuk lembut kaki bocah itu, salah satu cara supaya Aera cepat tertidur. Senyumnya yang sedari tadi terukir, perlahan memudar. Ditatapnya nanar gadis kecil yang merupakan anak kandungnya. Wajahnya, wajahnya begitu mirip dengan ibunya. Matanya bulat dan akan berbinar lucu ketika ia sedang bersemangat. Bulu matanya panjang dan lentik. Hidungnya kecil dan memerah seperti tomat jika menangis. Dan senyumnya, senyuman itu yang paling mengingatkan Jeanno akan mendiang istrinya.

Ya, mendiang.

Netranya beralih kepada figura foto yang terpasang diatas nakas samping ranjangnya. Fotonya berdampingan dengan seorang perempuan manis yang tengah memangku bayi merah. Keduanya tersenyum bahagia kearah kamera.

Fotonya dengan Nayara, belahan jiwanya. Yang telah pergi satu tahun lalu akibat kanker darah. Kematian Nana membuatnya seakan ditempa godam besar. Ia begitu hilang, tersesat. Ingin rasanya ia bunuh diri, pergi menyusul Nananya. Namun akal sehat kembali menamparnya, membuatnya tersadar bahwa ada nyawa lain yang bergantung padanya. Buah cinta mereka yang masih sangat kecil, yang tentu saja membutuhkan kasih sayang salah satu dari orangtuanya.

“Apa yang harus aku lakukan, Nana? Aku tidak bisa sendirian tanpamu. Aku membutuhkanmu. Aku dan Aera membutuhkanmu..”

Bisiknya parau. Dipeluknya Aera lembut, Jeanno tertidur dengan jejak airmata diwajahnya.

*

“Kantung matamu semakin hari semakin menghitam”

Jeanno tak begitu mengindahkan ucapan manajer keuangan sekaligus sepupu dan merangkap sebagai sahabat baiknya, Mark Sebastian. Lelaki itu masuk ke ruangannya tanpa basa-basi dan melemparkan rekap laporan akhir bulan padanya, untuk kemudian duduk di sofa dengan kaki terangkat satu. Sopan sekali bukan?

“Aku tertidur setelah meninabobokan Aera, lalu terbangun jam 3 untuk melanjutkan pekerjaanku. Lalu setelah itu aku membangunkan Aera, menyiapkan kebutuhannya sekolah, mengantarnya, dan berangkat ke kantor. Mungkin itu cukup untuk membuatmu berhenti menanyakan kantung mataku, Mark”

Mark terkekeh. Jeanno memandang datar laporan yang ia berikan. Pemuda itu menegakkan tubuhnya. “Jean, kau masih muda dan kaya. Mengapa kau tidak menyewa pengasuh saja untuk mengurus Aera? Aku tau kau menyayanginya, tapi kau juga harus menyadari kesibukanmu selaku CEO sebuah perusahaan besar. Jika kau terus seperti ini, yang ada nanti kau sakit. Kalau kau sakit, siapa yang repot, hm?”

Jeanno tak menjawab. Pandangannya begitu fokus pada barisan angka pada laporan yang dibuat Mark. Sementara kawannya, menunggu balasan Jeanno sembari memainkan ponsel. Ia mengenal laki-laki itu sejauh yang bisa ia ingat. Bagaimana Jeanno dulu, dan bagaimana lelaki itu setelah bertemu dengan sang belahan jiwa, Mark mengetahui semuanya. Seorang wanita manis bernama Nayara yang berhasil membuat Jeanno tertekuk lutut. Menyerah akan cinta. Memberikan segenap hatinya untuk digenggam Nana. Jeanno yang keras kepala dan arogan, berubah menjadi Jeanno yang Mark kenal sebagai pekerja keras. Membangun perusahaan ini dari 0 hanya untuk menjamin kehidupannya dengan Nayara dimasa depan.

Mark ada disana saat keduanya menikah. Menjadi satu-satunya yang datang dari pihak Jeanno. Jika kau bisa menebak, benar. Keluarga Jeanno yang kaya raya dan menjunjung tinggi martabat enggan menerima Nayara sebagai menantu. Nayara, seorang anak yatim piatu yang tak jelas bibit bebet bobotnya. Bahkan sempat beredar rumor ia merupakan anak dari ayah yang pengedar narkoba dan ibu seorang pelacur. Rumor yang entah dibuat siapa, sehingga kebencian orangtua Jeanno semakin menjadi. Memberikan putra mereka dua pilihan. Pergi dari rumah dan hidup miskin, atau tinggalkan Nayara.

Jeanno, tentu saja tanpa perlu berpikir dua kali, langsung memilih belahan jiwanya.

Mark meletakkan ponselnya, memandang Jeanno lamat-lamat. Ketika lawan bicaranya meletakkan laporan diatas meja, keduanya bertukar pandang. “Ada yang salah dengan pengeluaran tanggal 15. Bukankah yang kau tulis terlalu banyak?”

Bibir Mark tertarik kesamping, membentuk cengiran sinis. “Baiklah, akan kuperbaiki. Hey, kau belum menjawab pertanyaanku tadi”

“Haruskah kujawab? Kupikir kau sudah tau alasanku tidak ingin mencari pengasuh. Pertama, aku tidak mau Aera dipegang oleh orang asing. Aku tidak mau putriku lebih dekat dengan pengasuhnya ketimbang denganku. Kedua, aku sudah berjanji pada Nana untuk menjaga malaikat kecil kami. Dan ketiga, aku ingin menjadi orang pertama yang melihat setiap tumbuh kembang putriku. Terakhir, sekolah sekaligus daycare tempat Aera sekarang sangat terpercaya. Jadi tidak ada alasan bagiku untuk menyewa babysitter”

Mark mengangkat bahu. “Jika memang itu yang kau pikirkan, aku tidak bisa mendebat lagi. Tapi kalau kau lelah atau butuh bantuan, jangan sungkan menghubungiku atau Tyona, okay?”

Jeanno mengangguk samar ketika Mark menyebut nama Tyona yang merupakan dokter spesialis anak yang selalu ia datangi jika Aera sakit. Bermula dari sekedar orangtua pasien dan dokter, kini ia berteman baik dengan Tyona. Sama seperti Mark, wanita itu selalu menawarkan bantuan jikalau Jeanno membutuhkannya.

“Mark..”

“Hm?”

“Apa menurutmu Nana bahagia melihatku dan Aera disini?” Tatapan Jeanno berubah sendu. Tersirat luka dan duka yang begitu dalam pada sorot mata coklatnya.

“Aku yakin Nana bahagia jika kau juga bahagia. Sekarang kau menjadi orangtua tunggal Aera. Kaulah satu-satunya yang ia punya. Jika kau melemah, bagaimana nasib Aera? Aku bermaksud mengguruimu karena akupun belum menikah. Tapi.. kuatkanlah dirimu, Jean. Ikhlaskan kepergian Nana dan mulailah kembali menata hidupmu. Kau semakin kurus setiap harinya. Kau pergi ke kantor dengan mata menghitam dan wajah pucat. Kutebak, kau bahkan tidak makan 3 kali sehari, hm?”

Jeanno tidak mengelak.

“Sudah satu tahun. Aku tau kau mencintainya, tapi Aera juga membutuhkanmu. Bertahanlah demi malaikat kecil kalian..”

Jeanno tak mendebat apapun perkataan Mark. Ia lebih memilih mengusap cincin pernikahan yang masih tersemat apik dijari manisnya. Berjanji ia tak akan melepas cincin itu dengan alasan apapun.

*

Jeanno & Nayara

“Kau Jeanno Alexander?”

Jeanno mengangkat wajahnya malas. Ia butuh tidur setelah begadang semalaman mabuk di pesta ulangtahun Henry. Jika saja bukan karena paksaan ibundanya untuk masuk kuliah hari ini, ia tidak akan tertidur di kelas.

Dengan ekspresi gusar dan kesadaran yang belum sepenuhnya kembali, Jeanno mengerjapkan matanya. Berusaha memperjelas siapa pelaku yang tengah berani membangunkan tidurnya. Pemuda itu sudah siap marah, namun ketika kerjapan matanya berhasil membuat figur dihadapannya semakin jelas, ia mengurungkan niatnya. Seorang perempuan mungil berambut coklat dan berparas manis. Wajah itu memandang tajam kearahnya, yang menurut Jeanno jauh dari kata mengerikan.

“Ya, aku”

Si manis memberikan—atau lebih tepatnya melempar- beberapa lembar kertas keatas meja Jeanno. Yang direspon dengan ekspresi kebingungan pemuda itu. “Apa ini?”

“Bagianmu. Profesor Wu memberikan tugas kelompok untuk membuat makalah dua minggu yang lalu. Kita satu kelompok. Aku sudah mengerjakan bagianku”

Dahi Jeanno menyernyit. “Lalu?”

“Sekarang giliranmu. Aku sudah menulis apa-apa saja yang harus kau kerjakan untuk melengkapi makalah kita. Oia, datelinenya besok. Jadi kuharap kau sudah bisa menyelesaikannya. Dan jangan lupa dijilid rapi” perempuan itu berbalik, melenggang ringan tanpa mempedulikan pelototan Jeanno. Langkahnya baru berhenti ketika pundaknya dibalik kasar oleh lawan bicaranya tadi.

“Apa kau bilang? Kau pikir aku akan mengerjakan tugas bodoh ini?”

Lawan bicaranya memandang datar. “Jika kau tidak mau, mudah saja. Aku bisa mengatakan pada Profesor Wu kalau kau tidak berkenan, sehingga nilaimu 0 dan kau mengulang”

Bibir Jeanno tertarik sebelah, menampakan seringai sinis yang menurut orang-orang, seksi. “Kau pikir ini semua salahku? Ini tugas dua minggu yang lalu. Dateline besok dan kau baru memberitahuku hari ini?”

Tak dinyana, seringai itu justru dibalas si lelaki manis dengan seringai yang sama. Yang justru terkesan cantik dimata Jeanno. “Salahku? Aku sudah mencarimu sejak hari pertama kelompok terbentuk. Tapi kau tidak pernah menampakkan batang hidungmu di kampus. Ketika aku meminta nomormu kepada mahasiswa lain, aku justru dicemooh dan mengatakan bahwa aku bukan seleramu. Detik itu aku tau bahwa Jeanno Alexander yang satu kelompok denganku adalah seorang casanova yang menjadi incaran para mahasiswi disini. Tapi tenang saja, aku tidak akan terpesona denganmu. Aku hanya ingin tugasku selesai dan aku mendapatkan nilai. Jadi kau, Mr. Alexander yang terkenal. Selesaikan tugasmu dan setelah itu tidak ada yang terluka, okay?”

Ia itu melepas tangan Jeanno dipundaknya. Lalu berbalik, melanjutkan langkahnya tanpa menoleh lagi. Disaat Jeanno berteriak bertanya siapa namanya, si manis berhenti dan menjawab singkat.

“Nayara”

*

Nayara mendesah jengah ketika melihat Jeanno mengambil kursi disampingnya. Sudah satu bulan sejak pertama kali mereka bertemu, sejak itu dengan ajaib Jeanno selalu hadir disetiap mata kuliah yang ia ambil. Dan selalu, selalu mengambil tempat duduk disampingnya.

“Halo, Nayara”

Yang dipanggil melirik datar seraya mengeluarkan alat tulis dari tasnya. “Apa yang kau rencanakan?”

“Apa maksudmu?”

Ia mengedikkan bahu. “Aneh bukan? Mahasiswa yang jarang sekali hadir di kampus, tiba-tiba hadir tepat waktu disetiap mata kuliah. Apa yang membuatmu berubah jadi serajin ini?”

Jeanno mengistirahatkan dagunya ditelapak tangan. Memandang Nayara dengan binar yang luar biasa indahnya. “Kalau kujawab kau, bagaimana?”

Jawaban yang membuat Naya nyaris tersedak ludahnya sendiri. “Aku tidak akan tertipu rayuan murahanmu, Jeano. Dan kuberi tahu, diruangan ini ada banyak kursi kosong. Kau bisa memilih tempat lain. Bukankah barisan belakang adalah kursi favoritmu? Supaya kau bisa tidur?”

Jeanno terkekeh. Nayara dimatanya semakin hari semakin manis. Sekalipun perempuan itu selalu menjawabnya dengan nada ketus dan gestur anti-Jeanno-Alexander andalannya. “Kau menarik, Na”

“Sst. Diamlah, aku ingin memperhatikan apa yang dijelaskan Profesor Jill. Jika kau tak keberatan”

“Aku akan tetap bersuara, asal..”

“Asal?”

“Asal kau mau memberi nomormu padaku”

“Tidak ada untungnya bagiku”

Jenno mengedikkan bahu. “Baiklah, kalau begitu aku akan terus bicara sampai kita berdua ditegur. Aku tidak masalah jika nilaiku dipangkas, tapi kurasa kau sangat masalah dengan itu”

“Jangan mengancamku, Jean”

“Hanya nomormu. Anggaplah ada seorang teman kuliah yang ingin meminta nomormu. Apakah itu melewati batas?”

Nayara memberikan tatapan membunuh kearah Jeanno, terlebih ketika Profesor Jill berdehem keras sembari memandang kearah mereka. Jeanno memberikan cengiran kuda, melihat Naya merobek kasar kertas pada bukunya untuk dituliskan nomor ponselnya.

“Puas?” ujarnya setelah memberikan kertas itu kepada Jeanno.

Jeanno mendekatkan kepalanya ke telinga perempuan itu ketika dosen mereka kembali fokus pada buku tebalnya. “Puas. Dan omong-omong..”

Pemuda tampan itu mendekatkan kepalanya, menyesap aroma manis yang menguar dari sosok perempuan disampingnya. “Kau harum sekali, Nana”

Nayara tidak tau apa yang harus ia lakukan terlebih dahulu. Menonjok wajah tampan Jeanno, atau menenangkan hatinya yang entah mengapa, berdegup begitu kencang.

*

Nayara mendengus sebal ketika layar ponselnya terus berkedip, menampilkan nomor Jeanno yang laki-laki itu simpan setelah merebut ponselnya paksa. Sudah sejak setengah jam lalu si tuan muda berusaha menelponnya, yang tentu saja tidak ia angkat dengan beberapa alasan.

Pertama, telpon dari Jeanno pasti hanya berisi kata-kata tidak penting. Kedua, mengangkat telpon sama saja mengganggu belajarnya. Ia sudah memasuki semester akhir dan belajar adalah prioritas utamanya. Ketiga, ia tidak boleh membiarkan dirinya melemah. Sejujurnya, sejak Jeanno terus duduk disampingnya, ada perasaan aneh yang melingkupi dada Nayara. Dirinya tau jika dibiarkan terus menerus maka akhirnya akan buruk. Ia akan jatuh cinta kepada lelaki tampan itu. Dan Nayara tidak mau sampai hal tersebut terjadi.

Gadis itu tersenyum penuh kemenangan ketika ponselnya padam. Mungkin Jeanno sudah menyerah menelpon, batinnya. Detik berikutnya pintu kamarnya diketuk.

“Naya, kau sibuk?” tanpa perlu menunggu, pintu kamar asramanya terbuka. Menampilkan kepala Bu Ira, penjaga asramanya.

Naya menggeleng. “Tidak, aku hanya sedang belajar. Ada apa, bu?”

“Oh, ada temanmu diruang tamu”

Dahi Nayara mengerut. “Teman? Seingatku tidak ada teman yang mau menemuiku sore ini”

“Dia bilang sudah ada janji denganmu. Temui saja, Nak”

Nayara menutup bukunya, memutuskan untuk menuruti perkataan bu Ira walaupun dalam hatinya masih bingung sekaligus penasaran siapa ‘teman’ yang dimaksud karena selama ini dirinya paling jarang kedatangan tamu dibanding mahasiswi lain.

Sepanjang perjalanan dari kamarnya di lantai 3 menuju ruang tamu di lantai 1, ia beberapa kali berpapasan dengan mahasiswi lain. Biasanya mereka hanya bertegur sapa, atau sekedar menganggukkan kepala sembari tersenyum. Namun kali ini mereka yang berpapasan dengannya justru meliriknya aneh. Ada yang memandangnya dengan penuh kekaguman, ada yang memantaunya dari ujung kaki hingga ujung rambut, ada yang memandangnya sinis. Terakhir telinga Nayara menangkap bisikan dua mahasiswi yang melewatinya.

“Tidak menyangka dia punya kekasih”

“Kekasihnya setampan itu pula”

Bisikan itu semakin membuatnya heran, kekasih? Apa mereka membicarakannya? Jika memang ucapan itu ditunjukkan kepadanya, maka itu artinya teman yang dimaksud bu Ira adalah……

“Selamat sore, Nayara”

Disanalah Jeanno Alexander, berdiri dengan jeans abu-abu dan kaos putih polos yang dibalut dengan jaket biru navy. Tengah duduk disofa ruang tamu asramanya. Melempar senyuman paling mempesona yang membuat matanya melengkung membentuk bulan sabit.

Senyuman yang sedikit menggoyahkan pendirian Nayara.

*

Chapter 2. Tiga Sahabat

Judith menyesap memainkan ponsel ditangannya ketika Arman selesai mengaitkan kancing terakhir kemeja. Dibanding Arman yang sudah rapi, Judith justru masih terduduk santai diatas ranjang. Dirinya terlalu malas berpakaian usai aktivitas panas mereka semalam.

“Uang sudah masuk ke rekeningmu. Aku melebihkannya sedikit karena pelayananmu yang sangat memuaskan semalam” Arman menunduk, mengecup singkat bibir merah Judith. Dibalas perempuan itu dengan hembusan asap rokok.

“Kau tau, dibanding menjadi ‘pembeli’mu, kau bisa jadi simpananku. Kau bisa tinggal disalah satu apartemenku. Tanpa perlu bekerja di club malam, kau hanya perlu diam dirumah, menungguku dan melayaniku ketika istriku sedang tidak dirumah”

Judith memberikan tawa sinis. Perempuan berambut blonde itu mengerling nakal kearah si lelaki tampan dengan tinggi menjulang dihadapannya. “Tawaran yang menarik, Arman. Tapi sayangnya aku tidak menginginkannya”

Arman mendudukkan tubuhnya diranjang, tangannya mulai nakal masuk kedalam selimut, mengusap paha dalam Judith yang masih polos. Setengah mengagumi tubuh bagian atas Judith yang masih tercetak jelas tanda sisa kegiatan mereka semalam. “Ayolah, aku menyukaimu, Judith. Dan sedikit menjengkelkan kalau aku datang ke club untuk mencarimu, namun kau sudah lebih dulu dibawa pengunjung lain. Aku ingin memilikimu untuk diriku sendiri”

“Dan menyakiti istrimu?”

Arman terdiam. Judith menyambungnya. “Kau tidak menyukaiku. Kau hanya menyukai tubuhku. Begitupun denganku, aku tidak menyukaimu. Hanya uangmu. Komitmen bukanlah untukku. Dan kau tau itu, Arman”

Si tampan masih terdiam ketika Judith bangkit, memungut pakaiannya yang berserakan dan mengenakkannya dihadapan Arman tanpa merasa sungkan. Buat apa? Toh mereka sudah berkali-kali tidur bersama.

“Aku tau kau mencintai istrimu. Kau hanya kesepian karena kesibukannya sebagai artis sehingga kau mencariku. Buktinya setiap dia ada dirumah, kau tidak pernah datang ke Victoire” Judith membungkuk, meraih atasan yang entah mengapa bisa tergeletak dibawah tempat tidur.

“Pulanglah. Dan datang padaku jika memang kau merindukan tubuhku. Sampai bertemu lagi, Arman” Judith membungkukkan tubuhnya, mengecup singkat bibir Arman sebelum melangkah keluar kamar hotel.

*

Judith bersenandung ringan. Senyum tak juga luput dari wajah manisnya sejak ia melihat mutasi rekening. Saat Arman berkata pria itu memberinya sedikit bonus, Judith tau nominal yang dimaksud tak akan mengecewakan. Pria itu begitu loyal padanya. Ketika ada puluhan penari cantik lain di Victoire, Arman selalu memilihnya. Bermula dari hanya memberinya private dance, dan berakhir menjadi teman tidur. Lelaki itu nyaris setiap bulan mendatanginya, terlebih ketika istrinya yang berprofesi sebagai artis dibanjiri kesibukan syuting hingga jarang pulang. Kasarnya, Arman bisa disebut sebagai pelanggan setianya.

Judith tidak keberatan dengan status Arman. Toh mereka tidak saling mencintai. Ia lakukan itu semua murni hanya karena uang. Dan Arman membutuhkan ****. Itulah mengapa mereka klop.

Arman bukan pria pertamanya. Ada banyak pengunjung Victoire yang mengantri ingin menghabiskan waktu barang semalam dengannya. Namun tentu harga yang harus dibayar tidak murah. Judith, yang merupakan salah satu penari erotis terbaik di club termewah di kota ini, memaksa Johnny-manager Victoire- untuk mengatakan kepada siapapun yang menawarnya, bahwa tarifnya tinggi. Begitu tingginya hingga terkadang lelaki hidung belang yang semula tergiur padanya, memilih menyerah dan beralih ke penari lain yang jauh lebih ‘murah’.

“Aku pulang” Judith melangkah memasuki apartemennya. Diruang tengah netranya terlihat sahabatnya, Hannah tengah duduk memeluk bantal sofa sembari menonton drama.

“Sudah melacurnya?” tanyanya sarkas. Judith menyunggingkan senyum miring. Perempuan itu melempar tubuhnya disamping Hannah, memeluknya manja. “Aku lelah sekali, Hannah..”

“Berhentilah mengeluh sayang. Terutama disaat rekeningmu lebih gendut dibandingkan dengan siapapun yang ada di apartemen ini”

Judith terkekeh. Jarinya menusuk-nusuk pipi Hannah jahil. “Kalau kau mau rekeningmu gendut sepertiku, kau harus memilih jalan yang sama denganku, sayang”

“Tidak, terimakasih” Hannah menoleh memandang kawannya. “Apa kau terluka? Mau kuambilkan sesuatu?”

Yang ditanya mengangguk dengan ekspresi memelas yang dibuat-buat. “Kurasa punggungku sedikit lebam karena Arman mendorongku ke dinding setelah kami masuk kamar. Tapi tidak apa, itu hal biasa”

Hannah menghela nafas, ia bangkit menuju kulkas untuk mengambil ice pack. Sekembalinya dari dapur ia membantu menempelkan ice pack tersebut ke punggung Judith yang penuh warna, campuran dari lebam terbentur dinding sekaligus kissmark ciptaan Arman.

“Dimana Renatta?”

“Tadi dia mengirimiku pesan dan mengatakan bahwa dirinya akan menginap di apartemen kekasihnya. Kurasa ia mengirimmu pesan juga tapi belum kau baca”

Judith mengangguk sekilas. Ia mengecek ponsel, benar kata Hannah, Renatta rupanya telah mengirimnya pesan berisi kalimat yang sama. Tanpa repot membalas, Judith menyimpan kembali ponselnya.

“Apa kau tidak lelah?”

“Lelah?”

Hannah mengangguk. Mengulangi apa yang ia maksud. “Bagaimana jika kau bertemu dengan lelaki yang jauh lebih brengsek, yang tidak segan-segan menyakiti tubuhmu. Kau tau, ada banyak ‘orang gila’ disekitar kita”

Judith memahami maksud teman baiknya. Hannah, dirinya, dan Renatta sama-sama penari Victoire. Ketiganya berkawan nyaris lima tahun. Bertukar duka dan tawa bersama. Kepribadian mereka yang saling melengkapi, membuat pertemanan mereka awet hingga sekarang. Ketika Renatta mengusulkan ide untuk menyewa apartemen bersama, Judith dan Hannah menyetujui tanpa pikir panjang.

Jika Judith bersedia melempar tubuhnya untuk ditiduri lelaki kaya raya, maka berbeda dengan Hannah. Perempuan berkulit sawo matang itu sangat teguh pada pendiriannya, bahwa yang ia lakukan di Victoire hanyalah menari. Tidak lebih. Padahal menurut Judith, Hannah sangat cantik. Terlebih kulitnya yang eksotis. Sudah tak terhitung berapa banyak pria yang kecewa ditolak olehnya. Berapapun banyaknya nominal yang ditawarkan pada Hannah, tetap saja tak ada yang mampu menggoyahkan keputusannya.

Jika Hannah seperti itu, berbeda lagi dengan Renatta. Perempuan mungil itu awalnya sama seperti Judith. Bersedia tidur dengan siapapun yang mampu membayarnya mahal. Namun suatu hari, tingkahnya berubah. Ia menari dengan pakaian yang lebih tertutup dari biasanya. Ia juga menolak pengunjung. Ketika ditanya mengapa, Renatta berkata bahwa dirinya sudah memiliki kekasih dan ia sangat mencintainya. Mengenai siapa lelaki itu, baik Judith maupun Hannah sama-sama tidak tau. Sahabat mereka itu sangat lihai menutupi identitas prianya. Tebakan Judith antara kekasih Renatta sudah memiliki istri atau kekasihnya adalah pejabat tinggi negeri ini. Sementara Hannah berspekulasi kalau kekasih Renatta memiliki rupa jelek sehingga ia malu mengenalkannya pada mereka.

Entahlah, Renatta berubah menjadi misterius sejak memacari kekasihnya yang sekarang. Namun segala perbedaan itu tak lantas merenggangkan pertemanan mereka. Tak ada yang berubah dari persahabatan ketiganya.

“Aku bisa menjaga diriku sayang. Jangan mencemaskanku, okay? Aku mau mandi dulu lalu tidur. Supaya nanti malam bisa memberikan penampilan terbaik”

Hannah masih memandangi punggung Judith dengan tatapan cemas ketika perempuan itu masuk ke kamarnya.

*

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!