Di sisi langit barat, banyak awan yang menggantung berkerumun. Abu-abu warnanya. Matahari yang tadi seakan menyeringai panas, kini tertutup awan yang mungkin saja membawa kabar akan datangnya badai malam ini. Angin bertambah kencang. Membuat daun-daun melambai-lambai. Serta suara angin yang berhembus sedikit terdengar menyeramkan di sekitar Cafe bernuansa alam yang kini sedang dikunjungi oleh sepasang manusia yang punya status sebagai Paman dan kemenakan.
Mereka adalah Bimo Agung Ramadhan Siregar dan Rara Putri Assegaf. Kedua manusia ini tak punya hubungan darah. Tapi, Rara memanggil pria itu dengan tutur Paman. Karena pria itu usianya terpaut jauh darinya. Rara kini berusia 18 tahun dan Bimo yang sering dipanggilnya paman 36 tahun, dan sebutan paman cocok untuk pria itu.
"Kita pulang!" Bimo bangkit dari lesehan yang dari tadi didudukinya.
"Tapi, paman kita baru sampai dan makanan yang dipesan belum habis ku makan." Sahut gadis belia yang bermanik biru itu dengan raut wajah masamnya.
Ia baru saja keluar dari rumah sakit. Dan saat ini, ia sedang sangat berselerah makan. Masih enak-enaknya makan, malah disuruh pulang.
"Makanya makan yang cepat. Jangan kamu tanyain itu nasi, mau gak masuk ke mulut mu!" ujar Bimo dengan kesal, menunjuk ke arah piringnya Rara.
"Ya ampun dari tadi kerjaannya marah terus. Marah......terus... !" keluh Rara dengan menekuk bibirnya. Ia pun akhirnya mengakhiri acara makannya. Padahal ia masih ingin makan.
"Ya marah lah, kamu gak lihat, hujan sudah turun. Gak kamu rasakan angin yang bertiup kencang itu. Dan lihat langit sudah gelap sekali."
Rara menoleh ke langit yang gelap, hujan telah turun.
" Bisa-bisa kita terjebak di jalan nanti, macet karena banjir." Ujar Bimo merepet panjang seperti rel kereta api.
Rara menaikkan sebelah bibirnya dengan tatapan bengisnya. Nyesel sudah ia mengajak Bimo jalan-jalan ke tempat ini.
"Paman Bimo kenapa sih? kenapa jadi bersikap kasar gitu? mana paman Bimo yang penuh kasih sayang dan perhatian extra itu?" Rara bermonolog, memperhatikan Bimo yang kini berjalan menuju kasir Cafe itu.
Rara yang mendumel menyeret langkahnya ke beranda cafe itu. Ia memilih menunggu Bimo di luar, memperhatikan rintik hujan yang jatuh dari genteng. Ia sangat suka hujan.
"Cepat naik..!"
Suara keras dan tegasnya Bimo, mengejutkan wanita yang lagi mengkhayal itu. Ternyata mobil mereka sudah ada di hadapannya.
"I, iya." Dengan tergopoh-gopoh Rara naik ke mobil itu, duduk di jok belakang supir. Ia terkesiap, karena tadi ia sedang melamun.
Mobil pun meninggalkan pekarangan cafe yang jauh dari pusat kota itu. Ya cafe yang mereka datangi ini, jauh dari pusat kota. Masih ada kebun dan sawah yang terlihat di sepanjang jalan, dan rumah masih terbilang sepi.
Suasana di dalam mobil kembali hening, seperti di kuburan. Tak ada suara. Bahkan suara musik pun tak terdengar. Rara takut untuk bicara dengan pamannya itu. Takut kena semprot. Dari pada sakit hati, lebih baik diam di tempat, mengunci mulut dan membuka lebar mata menatap sekitar yang mulai gelap, karena sedang hujan dan memang waktu sudah menunjukkan pukul 17.35 Wib.
"Paman, paman, berhenti..!"
Kiikkk..
Mobil berhenti tiba-tiba. Tentu saja Bimo yang ngerem mendadak membuat tubuh Rara terdorong ke depan dan kembali terhempas ke belakang.
"Ihh.. Paman sakit tahu!" keluhnya punggungnya terasa sakit, karena terbentur ke badan kursi mobil itu.
"Ada apa? kenapa minta berhenti?"
Ceklek
Tak mau mendengarkan Omelan sang paman. Rara berlari ke luar dari mobil. Menjauh dari mobil itu, merentangkan kedua tangannya. Menengadahkan wajahnya, menikmati tetesan hujan yang masih deras menerpa wajah pucatnya. Wajah cantiknya seperti dipijat-pijat oleh tetesan air hujan.
Pergelangan tangannya yang belum kering, bekas dijahit, tak dipedulikannya.
Rara berputar-putar dengan tangan masih terentang, berteriak penuh kepuasan. Sudah lama ia tak mandi hujan. Gadis itu sangat menyukai hujan.
"Astaghfirullah.... Apa yang ada di otaknya. Ia baru saja keluar dari rumah sakit. Apa masih mau masuk rumah sakit lagi?" Bimo bicara sendiri dari dalam mobil, memperhatikan lekat Rara yang main hujan. Darahnya sudah mendidih naik ke ubun - ubun. Kenapa harus mandi hujan, sebentar lagi magrib.
Dasar.... Anak gak punya otak. Umpat Bimo.
"Paman.... Sini dong..! kita mandi hujan, ini tempat nya bagus banget paman." Teriak Rara, masih berputar-putar dan berlari dengan ceria nya di bawah guyuran hujan itu.
Ya saat ini mereka sedang berada di sebuah tempat hiburan, seperti taman yang ada di pinggir jalan lintas gitu. Ada hamparan rumput manis yang membuat sangat asyik berlarian di tempat itu. Mana banyak bunga- unga yang sedang bermekaran.
Huuufftt
Bimo yang kesal dengan ulah Rara, akhirnya menepikan mobilnya. Setelah itu, pria itu turun dari mobilnya, berlari cepat ke bagasi. Mengambil payung dalam bagasi. Setelah itu pria itu menghampiri Rara yang sedang asyik mandi dan tak menghiraukan sekitar.
"Loh kok tiba-tiba berhenti?" ujarnya Bingung, hujannya tiba-tiba reda. Ia pun memutar tubuhnya. Ternyata Bimo sudah memayungi dirinya.
"Pulang...!" wajah Bimo terlihat menakutkan.
Rara menggeleng.." Gak, masih mau mandi hujan. Lihat tempatnya bagus, gak ada becek." Memperhatikan sekitar dengan ceriahnya.
"Tak mau pulang?"
"Gak!"
Rara menggeleng dan cemberut. Tingkahnya Benar-benar seperti anak TK.
"Baiklah, jangan menyesal, jika aku meninggalkanmu di sini." Ancam Bimo, ia tak main - main dengan ucapannya.
Bimo melangkah kakinya cepat menuju mobilnya.
Rara dengan wajah berlipatnya menatap tajam Bimo yang kini sudah dekat ke mobil mereka. Seperti nya pamannya itu serius dengan ucapannya.
Ia akan meninggalkanku? tidak... Paaman.... Tunggu..!
Rara berlari mengejar mobilnya Bimo.
" Tunggu... " Rara sudah ngos-ngosan. Ia memegangi dadanya sambil berlari kencang.
"Tunggu...! paman...!" teriak Rara lagi. Ia terus mempercepat langkahnya mengejar mobil yang dikendarai Bimo.
TBC
Like, coment dan Vote say.
DiFavorit kan ya!❤️😘🙏
" Tunggu... " Rara sudah ngos-ngosan. Ia memegangi dadanya sambil berlari kencang.
"Tunggu...! paman...!" teriak Rara lagi. Ia terus mempercepat langkahnya mengejar mobil yang dikendarai Bimo. Tapi, kakinya sepertinya tak bisa diajak berlari dengan cepat.
"PAMAN...!"
Bruggkk..
Rara terjatuh, karena kakinya tersandung batu.
Tin
Tin
"Mau mati kamu? mau cari uang perdamaian..?" umpat pengendara mobil yang melintas yang hampir menabrak Rara, saat Rara tersungkur di aspal itu.
Rara yang kesal, menoleh ke arah mobil di mana penumpangnya baru saja memarahinya.
"Iya, iya aku mau mati..!" teriaknya.
"Dasar sinting,!" mobil itu pun melaju cepat, setelah memakai Rara.
"Aku benci... Benci.... Iya, sebaiknya aku mati saja. Mati....!" teriaknya di tengah jalan seperti orang gila.
Tin
Tin
Tin
Masih ada satu dua mobil yang melintas. Mngklakson Rara, agar menepi, tapi wanita itu tetap bergeming di tempat. Coba kalau pas ramai. Mungkin Rara sudah cepat ke alam ghaib. Dilindas seperti adonan bakso.
Mati kena tabrak.
"RARA....!"
Ia merasakan tubuhnya ditarik dengan sangat kuat. Tepatnya bagian lengannya. Sangat kuat nya ia meras melayang.
Brugkk
Tubuhnya terhempas ke rumput manis yang ada di tepi jalan lintas itu. Siapa lagi yang melempar tubuh lemasnya kalau bukan sang paman, yang kembali menjemputnya.
Awwuuuhhh
Rara mengasuh kesakitan, disaat bokongnya mendarat tidak sempurna di atas rumputan itu.
"Kalau mau mati, jangan buat susah orang. Kalau kamu tertabrak tadi. Kamu itu akan merepotkan semua orang."
Rara geram mendengar ucapan penuh amarahnya Bimo. Ia yang masih duduk tertunduk, menahan emosinya agar tak meledak. Karena, ia sadar, kalau ia melawan pamannya ini. Ia akan semakin diperlakukan dengan tak baik, pamannya itu ternyata begitu membencinya.
"Kenapa paman meninggalkanku?" ucapnya lirih, air mata kini mengucur deras. Tak sebanding dengan hujan yang sudah reda.
"Siapa yang meninggalkanmu? bukannya kamu yang tak mau pulang?" cecar Bimo, bicara dengan kesalnya pada Rara.
Pria itu sedang banyak pikiran. Lamarannya ditolak pujaan hatinya. Jadi, ia sedang sensitif saat ini.
Rara terdiam, bener yang dikatakan Bimo. Tadi, paman nya itu sudah mengajaknya pulang. Tapi kan ia meminta waktu sebentar lagi untuk main hujan. Eehh.. Langsung ditinggal.
"Cepat masuk, kita pulang!" titah Bimo, nada bicara meninggi tak terbantahkan.
Rara mencoba untuk bangkit. Ia yang syok dengan kejadian hampir ditabrak mobil. Membuat kakinya terasa layu, gak bertenaga. Ia bahkan tak bisa untuk berdiri.
Bimo memperhatikan lekat Rara, yang kesusahan untuk bangkit itu. Sama sekali, Rars tak bisa berdiri.
"Kamu kenapa?" Bimo mulai takut dan khawatir. Apa saat ia menarik kuat tubuh Rara hingga terhempas membuat tukang gadis itu patah?
"Aku gak bisa berdiri, kakiku terasa beku. Kebas, ngilu dan sakit paman." Ucapnya dengan wajah menahan sakit, meringis sudah gadis itu. Rasa sakitnya kompleks.
Bimo menatap datar pada Rara. Dalam satu gerakan, tubuh mungil menggigil gadis itu sudah ada dalam gendongannya.
"Makanya jangan bandel, pakai otak. Mana ada orang yang waras mau mandi hujan di jalan lintas." Merepet sambil membopong Rara menuju mobil. "Kamu gak tahu, ini sudah jelang magrib." Mendudukkkan tubuhnya Rara di jok baris kedua
Syur.....
Angin berhembus kencang, membuat Rara memeluk tubuh nya yang kedinginan.
Setelah memastikan Rara duduk dengan nyaman. Bimo menutup pintu mobil itu.
Plaakk..
Rara memegangi dadanya yang berdebar kuat itu. Bisa mati kena serangan jantung ia, dibuat pamannya ini. Pintu mobil itu di tutup dengan sangat kuat.
Rara yang kedinginan memperhatikan Bimo yang melap wajah nya dengan tisu dari tempat nya duduk. Dan pamannya itu terlihat sedang siap-siap untuk mengemudi.
Ia harus mengatakan yang ia mau. Ia tak tahan dengan tubuhnya yang menggigil kedinginan ini. Ia harus ganti pakaiannya.
"Eemmm... Paman, aku kedinginan." Ucapnya pelan dan terdengar memelas.
TBC
Like, coment dan Vote say.
Favorit kan ya!❤️😘🙏
Ia harus mengatakan yang ia mau. Ia tak tahan dengan tubuhnya yang menggigil kedinginan ini. Ia harus ganti pakaiannya.
"Eemmm... Paman, aku kedinginan." Ucapnya pelan dan terdengar memelas.
Ia harus ganti baju. Ia kan punya baju ganti, saat dirawat di umah sakit.
Ia yang takut diomelin, menutup kedua matanya. Tak sanggup nanti, melihat tatapan bengis sang paman.
Bimo yang hendak menghidupkan mesin mobil. Menghentikan aksinya, ia memutar lehernya menoleh ke arah Rara, yang terlihat ketakutan dan menutup mata.
"Cepat ganti bajumu! Ku beri waktu lima menit." Bimo keluar dari dalam mobil itu, syukur hujan sudah reda. Jadi, ia tak harus di dalam mobil, saat Rara ingin berganti pakaian. Tapi, hawa dingin masih terasa. Bimo memasukkan kedua tangannya ke saku celananya. Ia sungguh kedinginan. Karena ia tak memakai jaket.
"Paman, koperku di mana?" ujar Rara, membuka jendela kaca mobilnya.
Bimo yang hendak menjauh dari mobil itu menghentikan langkahnya. Menoleh ke asal suara. Terlihat wajah nya Rara sudah pucat. Bibirnya yang biasanya merah Cherry, kini mulai membiru. Melihat itu, ada rasa ibah di hatinya Bimo.
Tadinya ia ingin marah, dan meminta Rara mengambil kopernya sendiri di bagasi. Tapi, melihat Rara memang butuh bantuan. Akhirnya ia mengambil kopernya Rara dibagasi.
Rara dengan cepat membuka pintu mobil, saat Bimo sudah ada di dekat pintu mobil.
"Terimakasih paman!" ujarnya dengan bibir yang bergetar karena kedinginan.
Bbrrrrr
Ya, saat main hujan, gak akan terasa dingin. Tapi, disaat kita sudah tidak main hujan dan memakai pakaian yang basah, itu dingin nya pool seperti di kutub Utara.
Rara mulai mencoba membuka bajunya. Ia pun kesusahan, ia tak bisa melepaskan bajunya sendiri. Karena, tangannya terasa sangat sakit saat berusaha melepas baju itu. Ia pun tersadar, kalau ia sedang menggunakan blouse bahan katun dan tidak busui, hanya ada dua kancing di dekat leher baju, agar kepala bisa masuk, saat hendak memakai baju itu. Jadi baju itu harus ditarik ke atas. Dan ia tak bisa melakukannya. Bajunya ngepas di badan, dan karena basah, jadi menempel kuat di tubuhnya.
Hufftt...
Rara hampir mati kehabisan oksigen. Saat ia berusaha keras menarik baju nya ke atas dan baju nya nyangkut di bahu. Ia yang tak bisa bernafas, kembali menurunkan bajunya. Karena ia tak bisa melepaskan baju itu dari tubuhnya.
"Bu... Ibu, kenapa begitu susah membuka baju ini? Si Alan....!" ia mulai panik, waktu yang diberikan Bimo, untuk mengganti baju sudah habis. Yang jasa dilakukannya hanya menangis dengan meratapi dirinya yang malang.
Tak seharusnya tadi ia mengajak Bimo ke tempat itu. Tak seharusnya ia mencari angin seger. Harusnya keluar dari rumah sakit. Ia langsung ke rumah. Di rumah juga ada taman yang indah. Kalau mau makan sesuatu, bisa minta dimasakin oleh koki
Hiks
Hiks
Hiks
Zahra menangis, dinginnya tubuh sudah menusuk ke tulang. Ia merasa tak punya tenaga lagi.
Ceklek...
Ia terkejut, memegangi dadanya yang bedebar kuat. Jantungnya rasanya mau copot. Bimo sudah masuk ke dalam mobil dan duduk di jok kemudi.
Rara yang sedih dan tak berdaya menundukkan kepalanya. Tak sanggup menatap ke arah Bimo.
"Kenapa belum ganti baju?" Bimo menatap tajam Rara dari spion.
"Aku gak bisa membuka bajunya. Tanganku sakit, pergelangan tanganku sakit. Bahuku juga sakit, aku tadi terhempas sangat kuat."
Hua hua hua... Rara menangis dengan sedihnya. Kenapa ia sial sekali. Ditambah pamannya itu menakutkan.
"Parah, payah,... buka baju saja gak bisa. Apa yang kau bisa? buka paha? itu kamu bisa kan?"
Duarr
Ucapan Bimo sangat menyakitkan. Ia pun terdiam. Gak ada gunanya lagi bicara, semuanya salah.
Hening....
Hanya suara isakan menyayatnya Rara yang terdengar pelan. Bahkan wanita itu tak sanggup menangis dengan kuat lagi. Biarlah ia mati membeku.
Huffft....
Bimo membuang napas kasar. Ia kesal dengan semua yang terjadi hari ini. Benar - benar buang waktu.
Pria yang lagi galau itu turun dari mobil, kemudian membuka pintu mobil di jok yang diduduki Rara. Menatap Rara yang wajahnya sudah pucat dengan bibir membiru.
Seandainya ada toilet di tempat itu, ia akan meminta Rara berganti pakaian di toilet.
Rara terkejut, saat Bimo naik ke dalam mobil itu. Duduk di bangku sebelahnya.
"Tutup matamu?!" titah Bimo menatap tajam Rara.
"Tutup mata? kenapa?" tanya Rara bingung
Kenapa dengan pamannya itu? tiba-tiba saja duduk di sebelahnya dan memintanya menutup mata.
"Aku akan membantumu membuka bajumu, tutup matamu!" Bimo mengulang perintah nya
"Koq aku yang tutup mata. Gak salah?" ujar Rara bingung. Masih memeluk tubuhnya sendiri yang kedinginan.
"Ya saya juga akan tutup mata, dan kamu juga." jelas Bimo lagi.
"Kalau aku ikut tutup mata. Mana kutahu, bajuku bisa dilepas atau tidak."
"Kamu masih punya indera lainnya. Ada kulitmu yang bisa meraba. Ada otakmu yang jasa kamu gunakan, apa bajumu sudah terlepas atau tidak." Bimo mulai emosi, ia kesal. Ucapannya gak dituruti.
"Aneh saja, takutnya paman nanti yang buka mata. Sedangkan aku disuruh tutup mata. Mau ngintip ya?!"
"Mau dibantuin tidak..?" Bimo terpojok, ia tak ada niat mengintip atau melihat tubuh nya Rara. Ia hanya malu saja, ia tak pernah melakukan hal seperti ini. Membuka pakaian wanita. Ia malu pada Rara. Makanya ia ingin Rara menutup matanya dan ia pun akan menutup matanya juga.
"Iya, baiklah." Mereka pun sama-sama menutup kedua matanya. Tangannya Bimo bergetar hendak menjamah pakaiannya Rara. Ia merasa telah melakukan hal yang salah. Seperti sedang melucuti pakaian keponakannya sendiri.
"Uwuuuuooow..!" Aduh Rara, ia terkejut, tangan nya Bimo menyenggol aset gunung kembarnya.
Huufftt
Bimo menghela napas, masih dengan mata terpejam. Ia juga merasakan tangan kekarnya menyenggol gundukan lembut dan kenyal.
TBC
Like, coment positif, vote hadiahnya dong🤭❤️🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!