"Pak ... Pak Artha mau ngapain?" tanya Chalinda ketika tubuh kekar guru bahasa di sekolahnya semakin mendekat.
Chalinda semakin memundurkan tubuhnya saat tubuh Artha semakin mendekati tubuh Chalinda yang terduduk di atas sofa panjang sebuah rumah kontrakan.
Di luar sedang hujan deras dengan petir dan guntur yang menggelegar. Hal itu membuat Chalinda harus menunda kepulangannya sore ini setelah belajar bahasa Inggris dengan seorang guru tertampan dan menjadi idaman semua siswi di sekolah.
Namun hal yang tidak Chalinda duga terjadi. Kala hujan semakin deras dan menyamarkan suaranya, Artha terus mendekat ke tubuh Chalinda. Bahkan kedua tangan laki-laki itu sudah berani menyentuh bagian tubuh Chalinda.
Perempuan itu ingin sekali memberontak, tapi saat kedua tangan Artha menyentuh bagian tubuhnya yang sensitif seakan ada sebuah aliran listrik yang seketika membuat Chalinda hanya bisa diam dan mematung merasakan apa yang sedang terjadi.
"Pak, jangan, Pak!" Chalinda menolak, tapi Artha sama sekali tidak menghiraukan penolakan dari Chalinda.
Laki-laki itu terus bergerak, menggerayangi tubuh seorang gadis yang masih berusia tujuh belas tahun dan merupakan muridnya sendiri.
Nafsunya yang kian memuncak ditambah situasi dan kondisi di sekitarnya yang mendukung membuat Artha seketika buta dan tuli. Artha tidak melihat bagaimana Chalinda yang mulai memberontak dan laki-laki itu juga tidak mendengar kata penolakan yang terus terucap dari bibir mungil gadis yang masih polos itu.
Chalinda sama sekali tidak menikmati permainan Artha. Meskipun sudah berusia tujuh belas tahun, tapi Chalinda hanya tahu sedikit saja tentang hal ini. Perempuan itu sama sekali tidak tertarik untuk mempelajarinya.
Fokus Chalinda saat ini hanyalah belajar, membuat orang tuanya bangga dengan dirinya yang berhasil melanjutkan studi di perguruan tinggi yang ada di luar negeri setelah lulus dari sekolah menengah atas nanti.
Rasanya begitu aneh, sebuah rasa yang tidak pernah Chalinda rasakan sebelumnya pada beberapa bagian tubuhnya. Ada perasaan marah, kesal, emosi, tapi di sisi lain juga ada perasaan aneh yang dirasakan oleh Chalinda setiap kali Artha menyentuh bagian tubuhnya. Sebuah perasaan aneh yang tak mampu Chalinda ungkapkan.
Tiba-tiba saja, sebuah benda seakan masuk ke dalam bagian tubuhnya. Chalinda merasakannya dengan jelas. Ada rasa sakit yang teramat sangat pada bagian sensitifnya, tapi pada saat itu juga tidak ada yang bisa Chalinda lakukan selain menangis.
Ya, perempuan itu tidak sanggup lagi untuk memberikan kata penolakan. Semenjak adanya benda asing yang seolah keluar masuk dari bagian tubuhnya, Chalinda seketika merasa seakan dirinya sedang membeku.
Bibirnya kelu, tidak lagi mengatakan sepatah kata pun. Tubuhnya juga terasa seperti kehilangan seluruh tenaganya. Keringat bermunculan dan bahkan mengalir deras dari pelipis gadis itu.
Entah apa yang sedang dilakukan oleh Artha, Chalinda tidak tahu pasti. Gadis itu merasa tidak bisa lagi memberontak. Sekarang yang bisa dia lakukan adalah diam, dengan keringat dan air mata yang bercampur mengalir deras membasahi kedua pipi dan wajahnya.
Hujan yang deras akhirnya kembali reda. Bersamaan dengan berakhirnya hujan, kegiatan yang dilakukan oleh Artha terhadap tubuh Chalinda juga turut berakhir.
Gadis itu tergolek lemah di atas sofa, sementara Artha terduduk di bagian sofa yang lain dengan tubuh yang juga sama sangat kelelahan. Tapi ada kepuasan tersendiri bagi Artha karena dia bisa mencicipi tubuh seseorang yang sudah dia idamkan sejak dua tahun yang lalu.
"Chalinda, Chalinda ... bangun. Sudah hampir malam, kamu harus segera pulang."
Chalinda yang merasa namanya dipanggil segera membuka kedua matanya. Sesuatu yang dia lihat pertama kali adalah seseorang yang sudah berlaku buruk terhadapnya.
Perempuan itu segera terperanjat melihat keberadaan Artha yang berada begitu dekat di atas tubuhnya yang sedang berbaring. Chalinda merasa takut jika laki-laki itu kembali melakukan hal yang sama seperti beberapa jam yang lalu.
Dengan menggunakan kedua tangannya dan tubuh yang masih setengah terbaring di atas sofa, Chalinda mundur secara perlahan. Perempuan itu lantas meringkuk memegangi kedua lututnya.
"Chalinda ... maafkan Pak Artha ya, Pak Artha sama sekali tidak sengaja melakukannya. Lagipula kamu sih--"
Belum juga Artha menyelesaikan kata-katanya, Chalinda sudah bangkit dari sofa. Perempuan itu terlihat sangat terburu-buru. Tubuhnya sedikit bergetar dan terlihat jelas jika Chalinda sama sekali tidak bisa memfokuskan pikirannya.
Gadis itu mengambil tas yang ada di atas meja ruang tamu rumah kontrakan milik Artha, lantas berlari keluar dari rumah kontrakan dengan pintu yang sudah terbuka lebar. Berbeda dengan saat hujan deras dan Artha melakukan sesuatu pada tubuhnya.
Sepanjang perjalanan dari rumah kontrakan milik guru bahasa sekaligus walikelasnya sendiri itu, kedua netra Chalinda terus menitikkan air mata. Pada saat itu juga hujan gerimis mulai kembali turun, membuat tetesan air yang jatuh di wajah Chalinda akhirnya bercampur dengan air mata perempuan itu.
Entah apa yang akan dikatakan oleh Chalinda saat dirinya tiba di rumah nanti. Kedua orang tua Chalinda pasti akan menanyakan alasan keterlambatan gadis itu pulang ke rumah. Kalau sudah begitu, apa yang harus Chalinda katakan? Terlalu memalukan jika Chalinea harus menceritakan apa yang terjadi terhadap dirinya yang sebenarnya. Gadis itu juga merasa takut jika nantinya kedua orangtuanya tidak lagi menerima keberadaan Chalinda sebagai anak perempuan satu-satunya yang mereka punya.
Sekitar satu kilometer Chalinda terus melangkah. Tubuhnya terasa begitu lelah, kedua kakinya seakan tidak sanggup lagi untuk menopang beban tubuhnya. Beruntung pada saat itu, Chalinda sudah sampai di halaman rumahnya.
Kedua netra Chalinda kali ini begitu tidak jelas untuk melihat objek di depannya. Bukan lagi karena air mata yang terus keluar dari ujung kedua netra perempuan itu, tapi kali ini Chalinda juga merasakan kepalanya begitu pening dengan pandangan matanya yang juga berkunang-kunang.
Kaki Chalinda terasa semakin tidak mampu untuk menopang beban tubuh perempuan itu. Padahal hanya tinggal dua langkah lagi, Chalinda akan sampai dan bisa menggapai gagang pintu rumahnya.
Namun rasanya sudah sangat tidak sanggup lagi bagi Chalinda untuk meneruskan perjalanannya. Dia juga merasakan sakit dan perih pada pangkal kedua kakinya.
Tubuh Chalinda ambruk begitu saja di depan pintu rumahnya sendiri. Kedua matanya terpejam seiring dengan tubuhnya yang tergeletak lemah di atas keramik putih pelataran rumahnya.
Chalinda sudah tidak sadarkan diri, perempuan itu bahkan tidak bisa mengetahui lagi apa yang terjadi terhadap dirinya selanjutnya.
Sesuatu yang Chalinda sadari adalah, tiba-tiba saja dirinya kini sudah berada dalam ruangan yang begitu familiar dalam pandangan kedua matanya.
Ruangan dengan lampu yang bersinar meneranginya. Sebuah foto berukuran 10R dengan gambar seorang gadis berusia enam belas tahun saat dipilih menjadi seorang mayoret untuk drumband di sekolahnya terpampang pada dinding di seberang tempat tubuh Chalinda terbaring.
"Chalinda, kamu sudah bangun, Nak?"
Chalinda segera menoleh ke arah sumber suara. Rupanya di sana ibu kandung Chalinda sedang duduk di kursi tidak jauh dari tempat tidur Chalinda.
Kursi itu biasa digunakan oleh Chalinda untuk belajar di rumah. Saking sukanya belajar, gadis itu membuat tempat belajarnya senyaman mungkin.
"Ya, Ibu," jawab Chalinda dengan singkat.
Gadis itu masih saja merasakan sakit pada tubuhnya, terutama pada bagian pangkal kedua kakinya. Seakan sebuah benda asing yang beberapa jam lalu masuk itu masih tertinggal di sana dan tidak bisa dikeluarkan.
Dengan sedikit kesulitan, Chalinda merubah posisi tubuhnya menjadi setengah terbaring. Kedua kakinya diluruskan sementara kepala dan tubuhnya bersandar pada bantal yang di sandarkan pada tempat tidur.
Chalinda meringis menahan sakit saat melakukan perubahan posisi tersebut. Gadis itu bahkan melakukannya dengan begitu perlahan. Membuat Liya yang melihatnya sedikit merasa heran.
"Minum dulu, Nak." Liya memberikan secangkir teh manis yang sudah menghangat.
Jika dilihat dari kondisi cangkir tersebut, terdapat banyak bulir embun di ujungnya. Menandakan bahwa sebelumnya teh manis itu dibuat dalam keadaan panas, lantas ditutup sehingga membuat panasnya lebih tahan lama meskipun saat ini teh manis tersebut sudah semakin menghangat.
Chalinda menyesap teh dengan perlahan. Tenggorokannya yang terasa kering usai berjalan satu kilometer lebih jauhnya dan sesuatu melelahkan yang dilakukan oleh Artha membuat Chalinda langsung menghabiskan isi dalam gelas cangkir tersebut.
"Sudah, Ibu." Chalinda kembali berkata singkat.
Tangan kanannya terulur dengan cangkir kosong yang ada dalam genggamannya. Liya hanya bisa terdiam dan menerima cangkir yang sudah habis isinya dan tidak tersisa setetes pun.
"Kamu sepertinya sangat kelelahan, Chalinda. Sebenarny apa yang sudah terjadi?" Liya kembali mendekat ke arah Chalinda sesaat setelah meletakkan cangkir kosong tersebut di atas meja belajar Chalinda.
Liya mengusap rambut pelipis hingga ke rambut Chalinda. Sementara gadis perempuan itu hanya menganggukkan kepala untuk menjawab perkataan dari ibu kandungnya.
Pikiran Chalinda saat ini benar-benar hanya tertuju pada kejadian buruk sore tadi yang dilakukan oleh Artha. Sekarang gadis itu merasakan sakit di sekujur tubuh atas perbuatan laki-laki itu.
Bayangan-bayangan kejadian yang sama sekali tidak Chalinda duga itu selalu muncul dalam pikiran gadis tersebut. Membuat Chalinda kembali merasa takut dan tubuhnya sedikit bergetar.
Liya yang menyadari hal tersebut segera memperhatikan tingkah aneh anak gadisnya. Tangan kiri Liya masih saja mengusap pelipis gadis tersebut, berusaha untuk menenangkannya.
"Chalinda, kamu kenapa, Nak?"
Chalinda hanya bisa menggelengkan kepala. Beberapa detik selanjutnya, air mata kembali mengalir dari kedua ujung netranya. Jatuh dan menetes ke leher dan membasahi sebagian baju gadis tersebut.
Mungkin hanya saat tidak sadarkan diri saja Chalinda merasakan sebuah ketenangan saat ini. Seandainya gadis itu tidak terbangun dari pingsannya, pasti sekarang Chalinda masih terlelap dengan damai.
Chalinda kembali memejamkan kedua matanya. Berharap dirinya segera kembali tertidur dan melupakan kejadian itu meskipun hanya sekejap saja.
***
Dua Minggu berlalu.
Sebuah alarm membangunkan gadis yang tergolek di atas ranjang tempat tidurnya. Tangan kanan gadis itu mencari-cari sumber kebisingan di pagi hari yang mengganggu tidur lelapnya.
GAP! Ketemu!
Sebuah ponsel dengan daya yang hanya tersisa sepuluh persen saja kini berada dalam genggaman tangan Chalinda. Tangan kanan perempuan itu segera mengusap bagian tengah layar ponsel ke arah kiri, dan bersamaan dengan itu suara bising alarm pun juga terhenti.
Benda pintar yang selalu menemani kehidupan manusia itu kini sudah tergeletak lagi di atas ranjang tempat tidur Chalinda. Kali ini, gadis itu meregangkan tubuhnya, merentangkan kedua tangan ke atas sembari mulutnya terbuka lebar, menguap.
Tiba-tiba saja, ingatannya kembali membawa memori buruk tentang kejadian sore lalu, bersamaan dengan tubuhnya yang kembali terasa sakit.
Tepat pukul enam pagi, pintu kamar yang tertutup itu terbuka. Menampilkan seseorang yang begitu Chalinda kenali dan tidak lain adalah Liya, ibu kandungnya sendiri.
"Sarapan dulu yuk, Nak. Ibu buatkan nasi goreng kesukaan kamu lho," ucap Liya sembari melangkahkan kedua kakinya masuk ke dalam kamar Chalinda.
Perempuan itu juga merapikan ujung ranjang tempat tidur anak gadisnya yang terlihat sedikit menyingkap setelah dipakai tidur semalaman.
Chalinda tersenyum, lantas menganggukkan kepala. Gadis itu tidak sabar untuk segera keluar dari kamar dan duduk di meja makan. Menyantap nasi goreng buatan ibu kandungnya dengan rasa yang tidak pernah gagal.
Dengan sangat perlahan, Chalinda menyingkap selimut yang sedari kemarin malam menutupi tubuhnya. Gadis itu lantas beranjak dari ranjang meskipun sempat duduk dan terdiam di ujung tempat tidurnya itu barang beberapa detik.
Rasa sakit pada sekujur tubuh Chalinda masih jelas terasa. Namun perempuan itu dengan sebaik mungkin menyembunyikan rasa sakitnya agar tidak menimbulkan kecurigaan pada kedua orangtuanya.
"Apa kamu masih merasa sakit, Chalinda? Bagaimana kalau kamu makan di kamar saja?" tawar Liya, sebenarnya wanita itu masih merasa sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya telah terjadi pada anak gadisnya.
Chalinda menggelengkan kepala menolak tawaran dari ibunya. Terbaring di atas ranjang tempat tidurnya selama satu malam penuh membuat gadis itu juga merasa bosan. Chalinda ingin sedikit berganti suasana. Lagipula sakit yang dia rasakan saat ini tidak terlalu parah seperti pada saat sebelum gadis itu pingsan di pelataran rumahnya beberapa hari lalu.
"Aku masih bisa ke ruang makan kok, Bu." Chalinda berkata dengan tenang sembari tersenyum.
Liya hanya menganggukkan kepala, membalas senyuman dari Chalinda meskipun sedikit ragu.
Perempuan itu menyadari ada keanehan dalam anak gadis satu-satunya yang dia punya. Mulai dari Chalinda yang selalu kesakitan saat menggerakkan tubuhnya, hingga cara berjalan Chalinda yang juga begitu lambat dan pergerakan yang sedikit kaku dengan kaki yang terbuka sedikit lebih lebar dari biasanya. Seakan ada sesuatu yang mengganjal pada pangkal kedua kaki gadis itu.
Liya hanya bisa memandangi keanehan yang terjadi pada tubuh anak gadisnya. Berusaha untuk tetap berpikiran positif bahwa tidak ada sesuatu buruk yang terjadi atau dilakukan oleh Chalinda. Mungkin saja gadis itu hanya sedang mengalami menstruasi sehingga langkah kakinya sedikit terhambat karena pembalut yang dia dikenakan.
Di meja makan yang berbentuk bundar, Chalinda duduk di salah satu kursi. Gadis itu memilih untuk duduk di samping kiri tempat duduk Juna--Ayah Chalinda. Membiarkan kursi di samping kanan untuk Liya duduk dan menyisakan satu kursi kosong lain yang selalu saja tak berpenghuni.
Pagi ini, Chalinda tidak begitu nafsu untuk menyantap nasi goreng buatan ibunya. Rasanya memang seperti biasa, sangat enak dan memiliki campuran yang lengkap. Ada telur, ayam, cesim, kol, wortel dan juga potongan tomat. Semuanya sesuai dengan nasi goreng buatan Liya kesukaan Chalinda, namun kali ini entah kenapa perut Chalinda terasa mual dan tidak mau menerima makanan tersebut.
HUEEKK!!!
Chalinda segera berlari ke arah toilet yang berada tidak jauh dari dapur dan tempat makan. Di dalam saja, Chalinda mengeluarkan kembali segala makanan dan minuman yang sudah dia santap.
Tubuhnya terasa sangat lemas, kepalanya pening, meskipun perutnya sudah tidak terlalu terasa mual seperti sebelumnya. Usai membersihkan sisa-sisa makanan yang dia keluarkan, Chalinda keluar dari toilet.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya Liya begitu khawatir.
"Ibu tadi mau masuk malah toiletnya kamu kunci dari dalam," lanjut Liya.
Chalinda menggelengkan kepalanya. "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit meriang."
Liya memperhatikan Chalinda yang berjalan begitu saja meninggalkan dirinya.
"Apa kamu mau tetap berangkat?" tanya Liya lagi saat perempuan itu melihat anak perempuan tunggalnya mulai menggendong tas sekolah.
"Iya, Bu. Chalinda baik-baik saja, kok. Hanya sedikit meriang, masih bisa ditahan. Hari ini ada ulangan, jadi Chalinda nggak bisa absen begitu aja," jelas Chalinda.
"Oh, begitu. Ya sudah, kalau ada apa-apa kamu langsung telepon ke Ayah atau Ibu, ya. Biar kita bisa langsung menjemput kamu."
Chalinda menganggukkan kepalanya. Murid perempuan yang rajin itu lantas mencium punggung tangan ayah dan ibunya sembari berpamitan.
Sepanjang langkah kakinya dari rumah hingga jalanan, Chalinda merasakan pening di kepalanya semakin terasa. Berkali-kali Chalinda memejamkan kedua mata dan berhenti melangkah. Berharap pening di kepalanya menghilang.
Setengah jam kemudian angkutan umum yang ditumpangi oleh Chalinda berhenti tepat di seberang gerbang sekolah. Chalinda mulai turun dari angkutan umum tersebut bersama dengan murid lain yang juga menumpang dalam angkutan umum tersebut.
Jalanan cukup ramai membuat Chalinda harus berdiri sejenak di pinggir jalan menunggu jalanan sepi untuk kemudian Chalinda menyebrang.
Pukul 10.00 jam istirahat akhirnya tiba. Satu jam sebelumnya, Chalinda sudah melaksanakan ulangan. Total dari dua puluh soal, hanya ada satu soal saja yang Chalinda yakini dia menjawab dengan tepat.
"Cha, ayo ke kantin," ajak Martha, teman dekat Chalinda.
Daphnie yang merupakan teman sebangku Chalinda segera beranjak dari kursinya. Daphnie tampak semangat kali ini, mungkin karena perutnya sudah merasakan lapar dan ingin segera menyantap makanan di kantin.
Chalinda beranjak dari duduknya usai merapikan meja dan menyimpan peralatan tulis di dalam laci mejanya. Ketiga murid perempuan itu kemudian berjalan bersamaan menuju kantin sekolah.
Ada beberapa kedai yang tersedia di dalam sekolah. Masing-masing menawarkan menu makanan yang berbeda. Hal itu sengaja dilakukan agar tidak ada persaingan antara penjual kantin dalam sekolah itu.
HUEEKK ... HUEEKK ....
Chalinda menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Perutnya kembali terasa mual kala mencium aroma masakan dari dalam kantin.
"Chalinda, kamu sakit?"
"Kamu nggak papa kan, Cha?"
"Ayo kita ke toilet."
Daphnie dan Martha nampak begitu sigap dalam menghadapi Chalinda. Kedua teman baik Chalinda itu segera menuntun teman baiknya menuju toilet sekolah yang berada dekat dengan kantin.
Di dalam toilet, Chalinda kembali mengeluarkan makanan yang sudah dia telan. Sedikit Chalinda merasa baik setelah muntah-muntah.
Hanya ada Martha di sebelahnya, sementara Daphnie sedang meminta minyak kayu putih di unit kesehatan sekolah.
Martha mengantarkan Chalinda hingga kembali duduk di bangkunya. Sementara itu Daphnie juga sudah ada di dalam kelas dengan sebotol minyak kayu putih berukuran besar yang dia dapatkan dari UKS sekolah.
"Bagaimana keadaan kamu sekarang?" tanya Daphnie.
Chalinda hanya bisa menganggukkan kepalanya saja. Kepalanya kembali terasa pening kali ini dan perempuan itu meletakkan kepalanya di atas kedua tangan yang menekuk di atas meja.
Waktu terasa berlalu begitu cepat. Istirahat yang berlangsung selama tiga puluh menit terasa begitu cepat kali ini.
Kala mendengar nada bel sekolah yang berbunyi menunjukkan jam istirahat telah selesai, Chalinda kembali mengangkat kepalanya.
"Apa masih pusing?" tanya Daphnie, menatap ke arah Chalinda dengan serius.
Chalinda menggelengkan kepalanya.
"Bagaimana kalau kita ke UKS saja? Nanti aku temani kamu di sana."
Kali ini Chalinda merasa berada di UKS akan lebih baik daripada harus memaksakan diri mengikuti kelas selanjutnya. Chalinda menganggukkan kepalanya, menyetujui ajakan Daphnie.
Teman sebangku Chalinda itu segera beranjak dari kursinya. Daphnie memegangi lengan Chalinda dan menuntun teman sebangkunya menuju UKS.
"Daphnie, Chalinda, mau kemana?" tanya Martha dengan sedikit berteriak, selaku Martha adalah ketua kelas.
"Nganter Chalinda ke UKS," jawab Daphnie, perempuan itu segera melanjutkan kembali langkahnya.
Martha hanya menganggukkan kepala saja. Mengerti dengan keadaan teman baiknya saat ini yang sedang tidak enak badan.
Tidak banyak orang yang ada di dalam UKS tersebut. Hanya ada dua anggota PMR di dalam sana dan mereka berdua segera menyambut kedatangan Daphnie dan Chalinda.
"Kenapa dia?" tanya salah satu petugas PMR dengan tubuh yang sedikit berisi.
"Pusing," jawab Daphnie dengan singkat.
Kedua anggota PMR itu membantu Daphnie menuntun Chalinda ke atas matras, mereka bertiga merebahkan tubuh Chalinda di atas matras hitam dan menyelimutinya.
Chalinda segera memejamkan kedua mata, tubuhnya terasa sangat lemas saat ini seakan kehabisan tenaga. Namun untuk menyantap makanan dan menambah tenaganya, makanan yang disantap Chalinda selalu keluar kembali.
"Kamu bisa kembali ke kelas. Biar dia kami yang jaga, siapa namanya?" tanya salah satu petugas PMR yang lebih kurus, sementara temannya yang berisi itu nampak sedang membuat minuman.
"Chalinda, tapi aku juga mau menemaninya," pinta Daphnie.
"Nggak bisa, Kak. Nanti guru menyangka Kakak sengaja di sini untuk membolos jam pelajaran."
"Udah, aku di sini sama mereka aja nggak papa kok, Daphnie. Kamu tetep ke kelas, biar nanti bisa aku pinjam buku catatanmu."
Mendengar temannya dan anggota PMR yang sedang berdebat itu, Chalinda turut membuka suara.
"Ya sudah kalau gitu, Cha. Aku kembali ke kelas ya, kamu jaga diri baik-baik. Cepat sembuh, Cha."
Daphnie keluar dari ruang UKS dan berjalan kembali ke kelas. Dia meninggalkan Chalinda sendirian di ruang UKS sendirian hanya bersama dua orang anggota PMR yang tidak Chalinda kenal.
Kondisi Chalinda yang semakin memburuk membuat Chalinda hanya bisa merebahkan tubuhnya di atas matras dengan kedua netra yang terpejam.
"Siapa yang sakit?" tanya Artha, guru bahasa, wali kelas dan juga pembina PMR.
"Namanya Chalinda, Pak. Dari kelas tiga bahasa."
Mendengar nama murid perempuan yang ada dalam kelas naungannya, Artha segera mendekat ke arah matras dengan tubuh Chalinda yang berada di atasnya.
"Cha, kamu sakit?" tanya Artha.
Chalinda sangat benci mendengar suara guru laki-laki itu. Pak Artha yang dulu Chalinda puja karena kebaikan dan ketampanannya sekarang justru menjadi guru yang paling Chalinda benci.
"Aku mau ngomong sama Pak Artha berdua saja," ujar Chalinda dengan suara lirih.
Artha menoleh ke belakang, melihat dua anggota PMR yang nampak sedang memperhatikannya.
Kedua anggota PMR itu sepertinya sudah mendengar apa yang dikatakan oleh Chalinda. Mereka keluar dari ruang UKS dan menutup pintunya, meninggalkan Artha dan Chalinda di dalam ruangan berdua saja.
"Apa yang ingin kamu bicarakan, Cha?"
"Aku yakin ini bukan sakit biasa, Pak. Chalinda yakin jika Chalinda sekarang sedang mengandung anak Pak Artha."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!