Semua orang mengatakan waktu akan membuatku melupakanmu,
Waktu akan menyembuhkanku.
Namun nyatanya waktu semakin membuatku larut dalam kenangan bersamamu.
Seandainya ku bisa memutar waktu, akan ku ubah cerita tentang kita.
Namun waktu terlalu jumawa, tak ingin melangkah mundur walau hanya sesaat.
Pergi kemanapun kamu mau pergi,
Lakukan apapun yang mau kamu lakukan.
Ketika kamu sudah mulai merasa lelah dan ingin kembali,
Lihatlah ke atas langit.
Selama bintang utara masih bersinar
Ikuti sinarnya … Polaris akan menuntunmu untuk kembali padaku.
(Asoka Danubrata)
****
Arunika menengadah menatap langit malam.
Di sana! Polaris masih bersinar, tetap setia menemaninya selama lebih dari seribu malam.
Ada perasaan hangat bercampur dengan kerinduan yang mendera, hingga dadanya terasa sesak setiap melihat bintang yang tetap bersinar menemaninya seolah mengingatkan untuk tak berpaling pada yang lain, karena ada seseorang nun jauh di sana yang menunggunya pulang.
Namun kali ini ada yang berbeda ketika Polaris bersinar lebih dekat dan lebih terang dari biasanya. Jantungnya berdebar kencang bahkan tangannya sedikit gemetar hingga berkeringat dingin. Beberapa kali dia menghela napas berusaha menenangkan diri sendiri.
Polarisnya terlalu dekat, terlalu bersinar terang, hingga membuatnya lupa untuk kembali berlari dan bersembunyi.
Di dalam mengalun lembut lagu it’s you milik Sezairi yang dinyanyikan kembali oleh salah satu penyanyi jebolan salah satu ajang pencarian bakat di dalam negri. Di sekelilingnya para tamu undangan duduk di kursi dengan meja-meja bundar yang telah ditutup kain satin putih dengan aksen merah muda, di setiap meja terdapat sebuah rangkaian bunga yang dibentuk setengah lingkaran, perpaduan antara bunga baby breath dan mawar merah yang menemani para tamu bercengkrama sambil menikmati makanan hasil racikan chef hotel bintang lima.
Di satu sisi ballroom hotel yang menampung seribu undangan terdapat pelaminan yang dihias elegan denga bunga berwarna-warni yang menguarkan harum ke segala penjuru ruangan. Sepasang pengantin diapit oleh kedua orangtua yang tersenyum bahagia setiap menerima ucapan selamat dari para tamu yang hadir malam ini.
Arunika terlihat cantik dengan kebaya modern berwarna rose gold model sabrina yang memerlihatkan kulit putih mulus pundak dan leher jenjangnya. Rambutnya ditata sederhana begitupun dengan make upnya yang terkesan natural, hanya dipertegas dibagian mata saja yang membuat matanya terlihat semakin indah. Dengan kecantikan seperti itu seharusnya dia berada di dalam ruangan berbaur dengan saudara, kerabat juga tamu undangan yang mengenakan pakaian terbaik mereka.
Namun di sinilah Arunika berada, di balkon yang sepi dan dingin bertemankan semilir angin malam, bersembunyi dari seseorang yang dia tinggalkan empat tahun lalu, seseorang yang membuatnya merasakan cinta pada pandangan pertama. Asoka Danubra, sang Polaris.
Empat tahun sudah Arunika melarikan diri, empat tahun sudah dia bersembunyi, empat tahun sudah dia mencoba menahan rindu, empat tahun sudah dia berusaha menahan diri untuk tidak pulang dan berlari ke dalam pelukannya, empat tahun sudah dia mencoba berdiri di kakinya sendiri, berusaha sekuat tenaga memantaskan diri.
Dan sekarang dia sudah kembali. Namun … apakah semua sudah terlambat? Apakah Oka telah melupakannya? Apakah Polaris telah menjadi petunjuk jalan pulang bagi perempuan lain?
Arunika masih berdiri, berselimut kegelapan malam, seolah menjadi bayangan dalam gemerlapnya pesta di dalam ruangan yang hanya dibatasi pintu kaca, di mana kini Oka berada.
Ya, jarak yang memisahkan dirinya dengan Oka kini bukan lautan dan benua, hanya sebatas pintu kaca namun rasanya begitu sulit untuk ditembus. Kakinya terpaku di sana dengan jantung berdegup kencang, matanya tak bisa lepas dari sosok yang dirinya rindukan selama ini.
Oka masih terlihat sama seperti saat pertama Arunika melihatnya dan masih memberi efek yang sama bagi jantung Arunika yang selalu berdebar lebih cepat setiap melihatnya. Sosok pria yang dia rindukan selama ini kini terlihat semakin dewasa, tubuhnya tak sekurus dulu membuatnya terlihat semakin gagah juga luar biasa tampan dengan aura maskulin yang menguar kuat. Wajahnya masih saja irit senyum, walaupun terlihat sesekali dia tersenyum sambil menatap perempuan yang berdiri di sampingnya.
Arunika terus memerhatikan Oka di tempat persembunyiannya, bibirnya ikut tersenyum ketika melihat Oka tersenyum. Sesekali Oka terlihat menyisir seisi ruangan, memerhatikan para tamu undangan yang hadir, sampai akhirnya mata mereka saling mengunci.
Hening … tiba-tiba ruangan itu terasa hening bagi keduanya yang tak berani untuk memutus pandangan, takut salah satu dari mereka akan kembali menghilang.
***
Beberapa bulan sebelum PROLOG
Oka pikir dunia kerja akan menyenangkan, minimal sedikit lebih santai daripada saat kuliah. Terbebas dari tugas yang menumpuk juga dosen killer yang menyebalkan. Tapi ternyata sama saja, atau bahkan lebih parah.
Tugas? Ya, namanya juga kerja pastilah ada saja dong kerjaan, bedanya adalah kalau kuliah kita salah hitung saat mengerjakan tugas, paling dapat nilai C, D, atau bahkan mungkin juga E, tapi itu tidak sampai membahayakan hidup orang lain.
Dalam hal ini pekerjaan Oka yang berkecimpung dalam dunia bangun membangun gedung maupun infrastruktur maka salah hitung sedikit saja, atau bahan yang digunakan tidak sesuai maka nyawa orang lain jadi taruhannya, karena bangunan bisa saja roboh dan menimpa orang-orang di dalamnya bahkan di sekelilingya. Kalau jembatan, ya jembatannya bisa ambruk. Atau bisa saja kita menyebabkan kerugian bagi perusahaan, yang berdampak bagi semua karyawaan bahkan kelangsungan perusahaan itu sendiri.
Itu dari sisi tugas dan tanggung jawab, sekarang dari sisi atasan. Lupakan dosen killer, itu tidak ada apa-apanya! Maksudnya, tidak setiap hari kita bertemu dengan dosen killer, bukan? Kalau ada jadwal kuliah saja dan itu paling satu, dua jam saja setelah itu ya sudah. Beda dengan atasan yang kita bertemu, berhubungannya setiap hari, dari pagi sampai sore, bahkan sampai malam kalau lembur. Dan itu sangat menyebalkan!
Atasan Oka menyebalkan? Ya, dia sangat menyebalkan. Bukan atasan yang galak layaknya dosen killer, bukan. Hanya tipe penjilat ulung yang bikin muak.
Namun untung saja identitas Oka sebagai anak pemilik perusahaan masih belum diketahui siapapun, kalau tidak, bisa dibayangkan mungkin Ananta akan menempel kepada Oka seperti yang dia lakukan kepada Riko, keponakan Hadi, direktur sekaligus salah satu orang kepercayaan Andi Santoso.
Sialnya bagi Oka karena Riko berada di divisi yang sama dengannya, yang artinya Riko adalah salah satu staff Oka. Kalau seandainya Riko memang mumpuni tidak akan jadi masalah bagi Oka dan yang lainnya, tapi kemampuan Riko berada di bawah rata-rata, dan itu sering membuat kesal rekan-rekan yang lainnya termasuk Oka sebagai supervisornya.
“Riko itu masih baru, kamu sebagai seniornya yang harusnya bisa membimbing dan memberi tahu dia.”
“Dia sudah bekerja di sini hampir setahun, seharusnya dia sudah paham bagaimana membedakan perhitungan satuan unit dengan satuan luas.”
Bagaimana Oka tidak kesal karena kesalahan Riko kali ini cukup fatal dalam membuat anggaran biaya proyek yang bisa menyebabkan kerugian besar bagi perusahaan.
“Bukan salah Riko, tapi salah kamu sebagai supervisornya yang tidak bisa mengajarinya.”
Lihat? Menyebalkan sekali bukan, ketika sebuah kesalahan dimaklumi karena latar belakang status.
Sebagai supervisor tentu saja Oka tahu tanggung jawabnya, dan dia paham jika kesalahan Riko akan menjadi tanggung jawabnya juga. Yang Oka tidak terima adalah ketika dia menegur Riko dan Ananta mengetahui hal itu, Ananta tanpa ragu menegur Oka langsung tanpa mencari tahu duduk perkaranya terlebih dahulu.
“Sudahlah, Ka, ini bukan pertama kali juga kan lo ditegur si Mail gara-gara anak itu,” ucap Kemal sambil menghembuskan asap rokok.
Saat ini Oka, Kemal, dan Hendra berada di depan parkiran motor, duduk di pinggir trotoar sambil merokok. Tidak, Oka bukan perokok berat seperti kedua temannya, hanya saja sesekali Oka akan membakar zat nikotin itu untuk menyalurkan emosinya.
“Karena sudah terlalu sering makanya kesabaran gue sudah habis, dan tadi itu terlalu fatal untuk dimaklumi. BUMI bisa mengalami kerugian besar.”
“Hahaha, itu baru keponakan H.I, kebayang tidak sih kalau si Riko itu anaknya A.S? Si Mail sudah mengkultuskan dia kali ya?” Hendra berkata sambil menjentikkan abu rokoknya.
H.I adalah Hadi Iskandar, Direktur untuk wilayah Jakarta dan Jawa Barat, sedangkan A.S tidak lain tidak bukan adalah Andi Santoso. Untuk beberapa level atas para karyawan memanggilnya dengan singkatan nama, sedangkan khusus untuk Ananta mereka memanggilnya dengan panggilan Mail karena memang manager departemen project itu sangat mirip dengan salah satu tokoh kartun buatan Negri Jiran. Dari mulai rambut, wajahnya yang selalu terlihat cemberut, tidak ketinggalan sifat matrenya juga sama.
“Kalau misalnya anaknya A.S kerja di sini bagaimana ya?” Hendra bertanya yang membuat Kemal tersedak, sedangkan Oka terlihat santai menghisap rokoknya. “Terus dia sama begonya kayak si tuan muda.”
“Hahaha.” Tawa Kemal semakin menjadi ketika mendengar ucapan Hendra yang menyamakan Oka dengan Riko, berbeda dengan Oka yang hanya tersenyum sambil mengembuskan asap rokok.
“Gue serius!” Hendra berusaha meyakinkan kedua rekannya yang malah menertawakannya. “Gue pernah dengar A.S punya anak cowok yang katanya bakal mewarisi BUMI, secara kedua kakaknya perempuan dan tidak ada yang terjun di bisnis property, sedangkan yang cowok ini katanya sih anak teknik jadi bisa dipastikan kalau dia sudah disiapkan buat gantiin A.S.”
Sambil berusaha menahan tawa Kemal mengangguk-anggukkan kepala, sedangkan Oka masih terlihat santai.
“Ya, mudah-mudahan saja dia tidak bego.”
Tawa Kemal meledak mendengar Oka yang berkata dengan santai sambil membuang puntung rokok.
“Minimal dia bisa membedakan satuan unit sama satuan luas ya, Ka, biar perusahaan tidak bangkrut,” ucap Kemal dengan senyum jahil.
“Iya.” Oka berdiri kemudian menginjak puntung rokoknya. “Balik yuk!”
Kemal dan Hendra mengikuti Oka dari belakang sambil terus bercerita tentang sang pewaris BUMI.
“Kalau anaknya A.S kerja di sini, dia bagian apa ya? Tapi kayaknya sih langsung ke lantai atas ya secara kan pewaris.” Hendra masih terdengar penasaran.
“Gue harap sih dia masuk divisi gue biar bisa deketin, siapa tahu gue bisa naik ke lantai atas juga. Iya kan, Ka?” Ujar Kemal dengan senyum jahil.
“Yoi!” Oka memakai helmnya kemudian naik ke atas si bujang, motor kesayangannya.
“Tinggal deketin saja tuh si Riko.” Hendra bersiap menaiki motornya yang terparkir tak jauh dari motor Oka dan Kemal.
“Tipe gue Rika bukan Riko!” Seru Oka sambil menyalakan mesin motor.
“Hahaha.”
“Duluan ya, assalamualaikum!”
Oka melajukan si bujang meninggalkan kedua rekan sedepartemennya.
Tiga tahun sudah Oka bekerja di BUMI dan menjabat sebagai estimator supervisor, begitu pula dengan Kemal yang menjadi drafter supervisor, sedangkan Hendra adalah senior arsitek. Selain meraka bertiga ada juga Doni dan Angga. Mereka berlima akan berkumpul disaat istirahat atau sore setelah shalat ashar, mereka biasanya merokok dulu sebatang sebelum kembali bekerja. Dan biasanya untuk mengindari kemacetan jam pulang kerja, mereka berlima akan shalat magrib di kantor lanjut nongkrong sebentar sebelum sekitar jam 7 atau 8 mereka pulang ke rumah masing-masing.
Bagi Hendra dan Doni yang sudah menikah, atau Angga yang masih tinggal bersama keluarganya, mungkin pulang ke rumah merupakan hal yang dinantikan karena ada senyuman keluarga yang menyambut mereka ketika sampai rumah, dengan masakan hangat untuk makan malam, atau hanya secangkir kopi.
Berbeda dengan Oka yang selama ini tinggal sendiri, tak ada sambutan dari keluarga apalagi istri. Yang menyambutnya hanyalah rumah gelap nan sepi.
Empat tahun sudah perempuan yang dahulu biasa mengisi hari-harinya pergi entah ke mana, meninggalkan dirinya tanpa kabar berita.
Oka tidak bodoh yang hanya menanti dalam ketidak pastian, dia sudah memutuskan batas waktu untuk menunggu. Dan kini batas waktu itu telah terlewat jauh.
“3 tahun. Waktunya sudah habis bukan?” Kemal bertanya sambil mengambil emping goreng yang dibungkus plastik, membuka, kemudian memakannya.
“Kira-kira siapa yang berhasil menjadi kekasih pangeran BUMI setelah 3 tahun menjomblo?” tanya Wempi dengan senyum mengembang dengan mulut penuh emping goreng.
“Memangnya ada yang mau? Gue sih curiga sekarang cewek-cewek pada kabur tiap lihat lo, Ka.” Mantir ikut membuka plastik emping dan mulai memakannya seperti teman-temannya.
“Belum tahu dia. Kasih tahu, Ke!” Oka terlihat santai sambil mengunyah emping goreng milik Mantir.
Malam itu, setahun yang lalu empat sekawan itu tengah berada di tenda nasi goreng si Jenggot yang mangkal di depan ruko yang disewa Oka untuk menjadi kantor POLARIS, sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang kontruksi.
Awalnya keempatnya hanya membangun komunitas untuk membantu perbaikan fasilitas umum yang telalu lambat pemerintah tangani, terutama di daerah pelosok. Komunitas yang awalnya dibangun karena miris melihat keadaan di sekeliling mereka dimana banyak anak-anak bersekolah di bangunan yang hampir rubuh, jembatan penghubung antar desa yang tak layak dan bisa saja membahayakan nyawa orang yang melintasinya.
Bermodalkan ilmu yang mereka dapat dari bangku kuliah juga tabungan pribadi Oka, mereka mulai membuat sebuah komunitas yang diberi nama POLARIS, berharap komunitas itu akan menjadi cahaya dalam kegelapan bagi semua orang.
Setahun yang lalu mereka memutuskan menjadikan POLARIS sebagai perusahaan kontruksi dan mulai mengikuti beberapa tender. Dengan pengalaman Oka bekerja di bagian estimator, POLARIS berhasil memenangkan tender walaupun masih tender kecil-kecilan. Setidaknya kini POLARIS telah memiliki pemasukan yang keuntungannya selain untuk gaji, mereka sisihkan untuk tetap membantu membangun fasilitas umum di pelosok. Minimal dengan seperti itu, modal bukan hanya diambil dari tabungan pribadi Oka saja, yang kadang membuat ketiga temannya tak enak hati karena tidak bisa membantu dalam hal finansial.
“Yang suka sama dia itu ada,” ucap Kemal setelah menerima sepiring nasi goreng miliknya. “Cuma … ya tahu sendiri kan raja jomblo kita ini, sok jual mahal kalau depan cewek.”
“Bukan sok jual mahal, tapi memang belum ada yang sreg saja.” Oka memberi alasan sambil menyendok mie kuahnya.
“Bagaimana tahu cocok atau tidak kalau belum apa-apa sudah kau tolak.” Wempi berkata dengan mulut penuh nasi goreng.
“Nah sekarang sudah tiga tahun, sudah saatnya lupakan dia. Buka lowongan lagi buat hati lo, lakukan interview dulu, kalau cocok, ya bolehlah lo kasih kesempatan dengan masa percobaan 3 bulan.”
“Lo kira cari karyawan.” Oka terkekeh mendengar ucapan Kemal.
“Tapi gue setuju sama si bang Ke. Nikmatin masa muda kita, kawan!” Ujar Mantir setelah menelan kwetiau gorengnya. “Di dunia ini, perempuan itu bukan hanya satu, masih banyak perempuan yang cantik, bahkan jauh lebih cantik, juga lebih baik.”
“Tuhan sudah menciptakan perempuan sebegitu indahnya, jangan disia-siakan anugerah itu.”
“Betul!”
“Nah, dengerin tuh petuah playboy cap kampak kita itu, Ka. Walaupun mereka sering ditolak, diputusin, diselingkuhin, tapi mereka tidak pernah menyerah.”
“Jangan diingatkan lagi kalau kami sering ditolak dan diselingkuhin.”
“Aaah, dasar bang Ke, bikin mood gue anjlok saja nih.”
“Sudah, tidak usah kau dengarkan si Kemal ini. Dia sama saja nasibnya sama kita, sering diputusin dan ditolak.”
“Sialan!” Kemal melempar Wempi dengan potongan acar timun dari nasi gorengnya.
“Tapi minimal kita pernah merasakan punya ayang, iya kan?”
“Betul!”
Mereka bertiga tertawa sambil kembali meneruskan makan.
“Kita ini sudah semakin dewasa, ya kalau tidak mau dibilang semakin tua,” ucap Oka setelah menelan mie kuahnya. “Kalau mencari pasangan, pikiran kita kan sudah bukan untuk main-main lagi, yang hanya pacaran terus putus. Umur 25 tahun, cukuplah untuk kita mulai berpikir soal menikah dan memiliki keluarga.”
Semua mengangguk setuju.
“Gue itu bukannya tidak mau menjalin hubungan, hanya saja gue berpikir panjang dalam mencari pasangan. Karena maunya sekalinya dapat, itu untuk selamanya. Gue tidak mau menghabiskan waktu cuma buat pacaran dengan perempuan yang belum tentu jadi jodoh kita. Mending kita persiapkan diri kita, jadi kalau waktunya ketemu jodoh kita sudah siap lahir batin, bukan hanya modal cinta doang. Karena sejatinya PLN, PERTAMINA, sekolah, pasar, tidak akan mau dibayar pakai cinta.”
“Kalau soal itu gue setuju,” Kemal menyendok nasi goreng sambil menganggukkan kepala. “Tapi bukan berati kita harus menutup hati dan diri kita hanya untuk menunggu yang tidak pasti.”
“Benar itu. Yang sudah di depan mata saja belum tentu jodoh kita, apalagi ini yang sudah tahunan hilang tak tahu ke mana,” ujar Mantir sambil mengaduk-aduk kwetiaunya.
“Curhat, Bos.”
“Hahaha.”
“Ya kalian tahu sendiri bukan, bagaimana bodohnya dulu gue menganggap kalau Nadia itu bakal jadi jodoh gue sampai gue ribut sama keluarga karena menolak perempuan yang sudah mereka pilih, tapi ternyata Nadia malah selingkuhin gue.”
“Itu karena Nadia sama gadis Dayak itu bukan jodoh lo, Tir.”
“Nah maksud gue tuh yang sudah dijodohkan sama orangtua kita dari kita kecil, atau perempuan yang kita yakin akan menjadi jodoh kita, tapi kalau kata Tuhan bukan, ya sudah … tamat! Apalagi untuk kasus lo, Ka, yang tak pernah ada status mengikat apapun di antara kalian.”
“Iya, bisa saja di luar sana dia berkencan dengan pria lain, atau bahkan sudah menikah. Kita kan tidak tahu.”
“Kita bertiga minta lo lupain dia bukan karena kita tidak suka lo sama dia, bukan. Tapi karena kita peduli sama lo, Ka.”
“Kita mau lihat lo bahagia, bisa nikmatin hidup seperti kami bertiga, tidak terikat di cerita masa lalu yang belum usai.”
Oka mengingat percakapan dengan ketiga sahabatnya hampir setahun yang lalu, saat itu Oka menyadari begitu banyak orang-orang di sekelilingnya yang mengkhawatirkan tentang perjalanan kisah cintanya.
Setelah malam itu Oka menutup lembaran masa lalunya, berusaha melupakannya dan mulai membuka hati kembali.
Denting piano dari intro lagu 13 ragdoll milik Maroon 5 yang dijadikan nada panggilan mengalun mengisi malam yang sepi, mengembalikan Oka pada masa sekarang. Dia tersenyum menatap nama si penelpon yang hanya sebuah logo hati berwarna ungu, membuatnya langsung mengangkatnya karena tak ingin membuatnya khawatir.
“Wa’alaikumsalam. Iya, ini sudah di rumah, tadi mandi dulu terus sholat. Iya nanti makan …”
Di luar langit terlihat lebih gelap dari biasanya hanya ada bulan di temani setitik cahaya kecil dari bintang utara … polaris, yang tetap bersinar walaupun tak sebenderang dulu.
*****
Note :
*Assalamualaikum, halo semuanya apa kabar?
CuMa mau tanya, ingatkan kapan Arunika pergi*?
Iya, ketika Oka masih PKL, jadi anggap saja setahun sebelum Oka kerja.
Ingat juga kan ya, lulus kuliah Oka langsung kerja. Jadi kalau Oka sudah bekerja selama 3 tahun, berarti Arunika sudah pergi selama 4 tahun.
Mudah-mudahan paham ya sama perhitungan tahun Arunika pergi itu setahun lebih dulu daripada masa kerja Oka 😊
Oh iya, saya terharu banget lihat dukungan dari teman-teman semuanya, terima kasih banyak untuk dukungannya sama si abang yang masih galau ini. Sekali lagi terimakasih banyak, hatur nuhun, matur nuwun, thank you, lope-lope pokoknya mah 😍😘😘
Insyaallah Polaris up seperti biasa ya, 2 hari sekali, jam 19.00 wib.
Sekali lagi terimakasih banyak untuk semuanya yang masih setia dan selalu dukung bang Tarjo dan keluarga BUMI.
Love 😘
A.K
Bekerja sebagai karyawan yang berkantor di Jakarta Selatan sedangkan tinggal di pinggiran timur Jakarta yang berbatasan dengan Jawa Barat, tentu saja perjuangan menuju kantor setiap paginya penuh perjuangan. Selain jarak tempuh yang cukup jauh, kemacetan Jakarta di pagi hari boleh dibilang parah. Berebut jalanan dengan metro mini dan angkot, para pencari nafkah, ditambah pelajar yang berangkat sekolah menambah sesak jalanan Ibu Kota, membuat Oka harus pergi lebih pagi kalau tidak ingin terlambat.
Seperti biasanya dari jalan Gatot Subroto yang padat dengan kendaraan juga gedung-gedung tinggi yang membuat cuaca semakin terasa menyengat walaupun pagi hari, Oka membelokkan si bujang ke arah kiri, dimana kini jalanan mulai terasa teduh dengan banyak pepohonan dengan rumah-rumah besar berpagar tinggi dan penjagaan ketat. Komplek rumah para Mentri yang biasa dipakai oleh sebagaian orang untuk memotong jalan menuju jalan Jendral Sudirman seperti halnya yang Oka lakukan setiap pagi. Setelah berbelok kiri tak lama kemudian Oka kembali membelokan motornya memasuki area perkantoran elit di daerah Jakarta Selatan.
Gedung-gedung pencakar langit berjajar memenuhi area itu, dari mulai gedung perkantoran, bursa efek Jakarta, apartemen-apartemen mewah sampai dengan mall kelas atas, temasuk E-World, tempat Kirana dulu sempat bekerja yang merupakan salah satu retail terbesar di Indonesia milik group Mahesa.
Oka memarkirkan si bujang di parkiran motor E-World yang gedungnya berada di seberang gedung BUMI berada. Kantor BUMI menempati 3 lantai di salah satu gedung perkantoran berlantai 30 yang berada di SCBD. Tak seperti E-World yang memiliki area parkir motor untuk para karyawannya, gedung tempat BUMI berada tidak menyediakan tempat parkir untuk motor seperti gedung-gedung lainnya di SCBD.
Para karyawan maupun pengunjung SCBD yang menggunakan motor biasanya memarkirkan motornya di underpass SCBD yang memuat lebih dari 2000 motor, namun jarak yang lumayan jauh dari kantor membuat Oka malas untuk memarkirkan motornya di sana.
Dengan kekuatan koneksi kekerabatan dengan sang pemilik E-World, maka Oka pun diperbolehkan parkir di E-World menggunakan abudemen parkir layaknya karyawan E-World lainnya, dan karena pertemanan yang erat, atau lebih tepatnya karena ancaman dari Kemal yang mengancam akan membongkar status Oka kalau dia tidak dapat tempat parkir di E-World juga, maka akhirnya Oka kembali merayu sang kakak untuk memberi izin parkir untuk Kemal, dan karena faktor kasihan Oka pun memberikan fasilitas itu kepada Hendra.
“Kopi hitam buat Mas Oka.”
“Makasih, Den.”
Setiap pagi ketika sampai di mejanya, Deden akan langsung datang dengan secangkir kopi hitam untuk Oka.
“Buat nemenin ngopi.” Deden menyerahkan tempat makan dengan senyum lebar.
“Apa nih?” Oka membuka tempat makan yang ternyata berisi bakwan dan tahu isi. “Enak, beli dimana?” tanya Oka setelah mengigit bakwan yang masih hangat.
“Istri yang bikin, Mas.”
“Enak, bisa buat jualan ini.”
“Beneran, Mas?”
“Iya.”
“Apa yang enak?” Secepat kilat Kemal mengambil tahu isi dan mulai memakannya. “Iya enak, Den.”
“Apalagi gratis,” ujar Oka sambil menyuap potongan bakwan.
“Itu yang penting!”
“Hehehe, nanti saya bilangin istri deh biar dia titipin gorengan ke mpok Nimih yang jual nasi uduk.”
“Nah, cakep tuh idenya.”
“Kenapa tidak jualan nasi uduk sekalian, Den,” ujar Kemal sambil kembali mengambil bakwan dan memakannya.
“Waaaah, bisa habis istri saya diomelin keluarganya mpok Nimih, Bang.”
“Kenapa?” tanya Oka dengan pipi menggembung karena tahu isi.
“Saya kasih tahu, Mas, persaingan bisnis itu bukan hanya terjadi di perusahan besar seperti BUMI saja, tapi persaingan penjual nasi uduk dan gorengan juga ngeri, Mas, bisa tawuran masal sekampung itu gara-gara rebutan pelanggan.”
“Hahaha.”
“Selamat pagi, Mas Oka, Bang Kemal,” sapa seorang gadis mungil dengan senyum cerah.
“Pagi, Tiara.”
Tiara, staff administrasi Oka, berwajah bulat dengan kulit sawo matang berbalut hijab membuatnya terlihat cantik, pemilik senyum ramah yang membuat hati Kemal ketar-ketir setiap berada di dekatnya, seperti saat ini Kemal langsung kabur ke mejanya yang berada di bagian kiri di mana tim drafter berada, Deden pun kembali ke pantry setelah Kemal membisikan secangkir kopi ketika kabur tadi.
“Mas, jangan lupa jam 10 ada meeting proyek Kalimalang ya,” ucap Tiara sambil duduk di mejanya yang berada tak jauh dari Oka.
“Sip!” Oka menyalakan PC nya. “Gus, MTO buat Kalimalang sudah selesai kan?”
“Sudah, Mas, saya kirim ke email Mas Oka sekarang.”
“Print saja, Gus, buat meeting nanti.”
“Siap!” Seru Agus, salah satu staff Oka dari mejanya.
Itulah keseharian Oka yang dikenal sebagai seorang hard worker, walau terkesan santai namun para staffnya sangat menghormati Oka bukan hanya karena jabatannya, tapi karena kemampuan juga kepribadiannya yang humble.
Selain karena ketampanan dan kemampuannya, Oka juga dikenal karena tidak suka dipanggil abang oleh siapapun. Dia membebaskan semua orang memanggilnya dengan panggilan mas, kakak, aa, akang, atau hanya nama saja, tidak jadi masalah baginya, kecuali abang. Dan itu sempat menjadi misteri bagi semua karyawati BUMI.
“Cukuplah Kemal yang dipanggil bang Ke, jangan sampai saya juga dipanggil bang Ka, saya masih muda bukan orangtua, apalagi mie ayam.”
“Hahaha, tua bangka.”
“Nah kan, masa masih muda dan ganteng gini dipanggil bang Ka.”
“Tapi mie ayam bangka enak lho, Mas … jadi pengen,” ucap Tiara dengan mata menerawang membayangkan mie ayam bangka yang nikmat.
Hari itu Oka menjelaskan alasannya kepada Tiara, dan seperti yang dia duga dalam sekejap semua karyawan tahu alasan kenapa Oka tidak suka dipanggil abang. Pengalaman memiliki seorang ibu dan dua kakak perempuan cukup mengajarinya kalau kekuatan gossip perempuan itu lebih cepat daripada sinyal 5G. Tapi ternyata gossip laki-laki soal perempuan cantikpun tak kalah cepatnya dari 4G.
Para karyawan di gedung itu sedang dihebohkan dengan penghuni baru di lantai 14, kantor sebuah perusahaan perhiasan ternama dunia yang berkantor pusat di Austria.
“Gila, bukan hanya perhiasannya saja yang cakep, karyawannya saja cakep-cakep, Bro.” Angga berkata dengan heboh.
Seperti biasa ketika makan siang Oka, Kemal, Hendra, Angga dan Doni akan makan di food court yang berada di lantai B1.
“Kayak yang pernah bertemu saja,” ujar Kemal sambil menyuap nasi dengan ayam bakar, sambal dan lalapan.
“Gue pernah pulang dari proyek terus satu lift sama mereka. Beuh, cantik, wangi, pokoknya … beuh!”
Yang lain hanya tertawa mendengar kehebohan Angga dengan bahasa yang hanya dimengerti dirinya sendiri.
“Itu-itu!”
Mereka berlima menatap ke arah beberapa perempuan yang berjalan dengan nampan di masing-masing tangannya. Seperti yang dikatakan Angga, mereka memang cantik, terlihat berkelas, mungkin karena mereka bekerja di perusahaan perhiasan dunia, jadi selain skill, penampilan juga diutamakan. Entahlah.
“Kalau karyawan BUMI seperti itu betah deh lembur di kantor,” ucap Angga sambil kembali melanjutkan makannya.
“BUMI juga tidak kalah sama mereka, cuma depertemen kita saja yang gersang.”
“Hahaha.”
“Nasib gini amat ya, waktu kuliah dulu jurusan teknik, mayoritas cowok, sekarang kerja di operasional sama saja, isinya laki semua.”
“Sekalinya ada cewek lumayan cakep, eh elo nya mendadak jadi gagap, Ke,” ujar Oka sambil meneguk air mineral, membuat keempat temannya tertawa. Sudah menjadi rahasia mereka berlima kalau Kemal menyukai Tiara.
“Gue nggak ngerti, kenapa setiap ketemu dia, gue mendadak gugup ya.”
“Yaelah, Ke, kayak yang pertama jatuh cinta saja, lo!”
“Sama yang dulu-dulu kayak gini juga?” tanya Dody penasaran.
“Sama yang dulu-dulu mah dia lancar, kayak rapper kalau ngomong, eh kecuali sama Kayas deh. Lo juga mendadak gagu kalau ketemu Kayas.”
“Hahaha.”
“Nah, aneh kan gue?”
“Lo memang aneh dari dulu juga, Ke.”
“Hahaha, sialan!”
“Stt, Ka! Tania tuh.”
Mereka berlima kini menatap ke arah tiga orang perempuan yang baru saja memasuki area food court, mereka adalah para sekretaris direksi dan salah satunya adalah Tania, perempuan yang cukup terkenal di antara karyawan BUMI.
“Hei!” Sapa Tania setelah berpisah dengan kedua temannya.
“Baru turun?” tanya Oka yang membuat Tania tersenyum.
“Tidak, tadi diajakin makan pak Hadi sama yang lainnya di PP. Pak Hadi ulang tahun.”
“Mantap deh, yang habis makan enak,” ujar Angga membuat Tania tertawa.
“Lumayan, gratis lagi.”
“Nah, itu yang penting, gratis, apa lagi tanggal tua seperti sekarang,””
“Betul!”
Tania tertawa mendengar para pria itu.
“Duduk, Ta!” Oka hendak berdiri tapi bahunya di tahan Tania.
“Tidak usah, cuma mau nyapa saja kok sambil nunggu Dewi sama Elsa.”
“Ehm! Senangnya disapa sama mantan finalis Abang None,” ujar Angga membuat Tania kembali terkekeh.
“Bukan nyapa elo!” seru Kemal.
“Bukan nyapa elo juga!”
“Yang jelas bukan nyapa kita berempat.”
“Hahaha.”
“Nyapa semuanya kok!”
“Aseeeeek, hahaha.”
“Ya sudah, aku ke atas duluan ya, Dewi sama Elsa sudah selesai tuh.”
Oka mengangguk sambil tersenyum.
“Bye!”
“Bye, Tania!” Seru Angga dan Kemal sambil dadah-dadah dan kiss bye, membuat Tania tertawa sambil menggelengkan kepala.
“Ka, yakin tidak mau sama Tania?” tanya Hendra tak percaya.
“Iya, Ka, mau nyari yang bagaimana lagi sih? Tania lho ini, Tania!” ujar Doni yang membuat Oka tersenyum.
“Gue jadi curiga, Ka … lo … suka sama cewek kan bukan?” tanya Angga yang langsung mendapat lemparan tisu bekas dari Oka.
Bersamaan dengan itu terdengarnya nada panggilan dari ponsel Oka. Tak ada nama yang muncul di layar ponsel, hanya sebuah hati berwarna ungu.
“Assalamualaikum. Sudah ... iya, hahaha, wa’alaikumsalam.”
Oka mengakhiri panggilannya dengan senyum masih menghiasi wajahnya.
“Siapa?” tanya Kemal penasaran begitu pula dengan yang lainnya yang menatap Oka sama penasarannya.
Oka hanya tersenyum sambil menaik turunkan alisnya yang membuat teman-temannya semakin penasaran dengan sosok si hati berwarna ungu.
****
*MTO (Material Take Off): Daftar bahan dengan jumlah dan jenis yang diperlukan untuk membangun struktur bangunan yang dirancang.
** PP (Pacific Place): Mall yang berada tak jauh dari gedung BUMI berada.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!