Kekasih Bayaran Bagian 1
Oleh Sept
Selamat membaca karya ke-18 Sept. Agar kalian tidak bingung dengan alur ceritanya, disarankan untuk membaca "CRAZY RICH" terlebih dahulu. Karena cerita "Kekasih Bayaran" ini adalah kelanjutan dari kisah anak-anak dalam cerita "Crazy Rich"
Untuk mencari cerita tersebut, kalian bisa klik profile Sept atau ketik SEPT di kolom pencarian, pasti semua yang pernah aku tulis muncul di sana. Oke bestie.
Semoga terhibur ....
***
"Hasil rekapan data dengan Salim Group apa sudah selesai?"
Seorang wanita dengan pakaian modis dan fashionable sibuk dengan tablet di tangannya. Sembari jarinya mengeser layar touchscreen, matanya yang lentik sesekali melirik gadis yang berdiri di sampingnya sejak tadi.
"Sudah, Bu. Sudah saya email beberapa waktu yang lalu. Tinggal Ibu periksa," jawab wanita muda yang merupakan sekretaris pribadinya tersebut. Ia juga tidak kalah rapi dengan sang atasan. Kemeja kantoran dengan rok di atas lutut seperti penampilan wanita kantoran pada umumnya.
"Lalu bagaimana dengan masalah project kita yang katanya macet itu? Apa para pekerja lepas masih melakukan aksi mogok kerja?" tanya wanita yang memiliki nama Fenita tersebut. Ia meletakkan tab lalu fokus menatap sekretarisnya.
"Semua masalah sudah clear, Bu. Sudah berhasil di handle. Beberapa hari lagi project juga akan segera dilanjutkan," jawab sang sekretaris dengan wajah penuh keyakinan.
"Baiklah! Kamu boleh pergi sekarang."
"Baik, Bu. Permisi!" pamit sang sekretaris.
Wanita muda dan masih fresh itu pun kemudian berbalik, siap meninggalkan ruangan Fenita. Boss yang selama ini sudah bekerja dengannya satu tahun terakhir.
Winda Novilda Barbara, 24 tahun. Seorang sekretaris di sebuah perusahaan raksasa yang terpusat di ibu kota. Setelah keluar dari ruang kerja sang atasan, Winda kemudian bersandar di dinding, ia sedikit membungkuk dan memukul betisnya yang terasa kaku karena kram otot. Berdiri lama dengan high heel cukup membuat kakinya sakit. Tapi sejak tadi ia mencoba untuk tetap menahan dan bertahan.
Winda kemudian menatap ke sebelahnya, dia melihat pintu yang ia tutup beberapa saat lalu. Kemudian menghela napas panjang, kemudian kembali berdiri tegap lagi.
"Semangat Winda!" ucapnya lirih, mencoba memberi semangat pada diri sendiri. Ia pun beranjak dan pergi ke tempatnya selama ini mengerjakan banyak laporan.
Saat akan tiba di bilik tempatnya bekerja, ponsel wanita muda berambut panjang itu berdering. Membuat Winda berhenti untuk mengangkat telpon sejenak.
Dilihatnya nomor tidak dikenal, ingin ia abaikan, tapi tiba-tiba merasa harus mengangkat telpon itu. Akhirnya, Winda pun mengeser logo hijau.
"Hallo, selamat siang, dengan Winda di sini," sapa Winda di telpon.
"Haloo ... Mbak Winda? Ini Maria, Mbak Mar tetangga kontrakan. Ibu Mbak Winda ngamuk-ngamuk sekarang. Dia merusak semua barang-barang di dalam rumah bu RT."
Winda menahan napas panjang, ia mengusap wajah, kemudian memegangi dahi. Sepertinya ini bukan yang pertama ia mendapat kabar serupa. Tiba-tiba kepalanya tambah pusing. Masalah kantor masih banyak, ditambah ibunya yang saat ini sedang kambuh.
Ya, Winda selama ini tinggal dengan ibunya, hanya berdua saja. Ayahnya sudah menelantaran ibunya tanpa tunjangan apapun saat ia lulus SMA. Sang ayah sudah kepincut perempuan lain, yang bahkan usianya tidak jauh beda dengan Winda. Dan hal itu membuat ibunya depresi berat. Sering sekali mood sang ibu berubah, kadang tenang, kadang juga mengerikan kalau sedang kambuh, seperti sekarang ini.
"Mbak, Mar. Saya bisa minta tolong? Tolong bawa ibu saya kembali ke rumah. Satu jam lagi saya pulang."
"Iya, bisa. Tapi jangan lama-lama ya Mbak. Saya takut. Soalnya ibunya kalau marah suka melempar apa saja. Saya takut."
"Baik. Terima kasih, saya segera pulang."
"Saya tunggu jangan lama-lama."
Winda pun mematikan ponselnya, ia berbalik dan buru-buru ke ruangan sang atasan, sepertinya ia harus ijin sama Bu Fenita.
Tok tok tok
Ia ketuk pintu ruangan. Tapi tidak direspon. Sekali dua kali tidak ada tangapan. Padahal ia sudah ditunggu di rumahnya. Dengan cemas Winda mengetuk pintu. Karena tidak kunjung dijawab, Winda langsung saja memutar knop pintu. Dengan hati-hati ia masuk agar sang atasan tidak marah.
KLEK
"Astaga!" pekik Winda kaget. Gadis itu kemudian spontan berbalik. Ia memalingkan muka. Panik ketika harus melihat pemandangan yang seharusnya tidak ia lihat.
"Maaf ... Maaf Bu Feny."
Fenita mendesis jengkel, kemudian merapikan rambutnya. Ia pun meminta pria yang bersama dirinya untuk keluar.
"Keluarlah!" ucapnya lembut penuh kode alam.
Tanpa protes, sosok tersebut kemudian merapikan kemeja dan meraih laporan yang tadi ia bawa di atas meja, meja yang sama, tempat tadi ia hampir menciumm Feny. Sayang gagal karena keburu Winda datang. Padahal Feny menunggu moment tersebut.
Kini, ketikan pria itu berjalan meninggalkan ruangan, matanya sempat bertemu dengan manik mata Winda. Keduanya saling menatap meskipun hanya sekilas.
KLEK
Pria itu menutup pintu dan merapikan bajunya lagi. Agar tidak kelihatan kusut. Sambil bersiul, ia berjalan menyusuri lorong. Ketika ia berpapasan dengan beberapa pegawai, semuanya hampir tidak menatap dirinya. Pria itu tersenyum tipis, kemudian berjalan masuk ke bilik ruang kerjanya.
"Kav, gimana? Dapat tanda tangan bu Feny yang jutek itu?" tanya rekan kerja Kavi yang duduk di sebelahnya, mereka hanya terpisah bilik triplek putih. Terlihat sekali dia sangat kepo.
Dengan bangga, Kavi menunjukkan hasil kerjanya. Baginya sangat mudah. Satu kedipan, atasannya pasti akan terhipnotis. Apalagi ia tadi sempat merayu Fenita, jika ingat betapa wajah Fenita yang begitu menginginkan dirinya, Kavi hanya bisa tersenyum kecut. Orang pertama yang akan ia pecat di perusahaan Tourshine Groups, mungkin adalah Fenita.
Ya, Kavi adalah putra ke empat Gadhi dan Hanum. Kavi Arkana Mahindra, 24 tahun. Kini ia bekerja di perusahaan sang papa sebagai karyawan biasa. Kavi memang harus menjalani proses training agar lolos dari ujian yang kakaknya berikan. Arjuna sangat kejam, pria itu membuat Kavi harus menyembunyikan status selama beberapa bulan ini.
Semua tidak tahu bahwa Kavi adalah anak pemilik perusahaan. Yang mereka tahu Kavi hanya pegawai biasa yang baru bergabung di perusahaan Tourshine Groups.
"Gilaa, keren banget. Ada drama kaga? Dia kan kalau ada yang setor laporan yang tidak sesuai ... pasti main lempar!" tukas teman Kavi yang bernama Gilang tersebut.
Kavi hanya menyunggingkan senyuman penuh makna.
'Bibir perawan gue hampir aja jadi korban perawan tua itu. Untung saja ada cewek yang masuk tiba-tiba. Selamet deh gue!' jawab Kavi dalam hati.
"Lah malah melamun? Ceritanya bagaimana kok bisa mudah banget?" Gilang masih penasaran.
"Anggep aja karena gue ganteng!" cetus Kavi.
BUGH
Lengannya langsung ditonyor Gilang. Dan Kavi hanya melempar senyum lepas. Ya setidaknya hanya Gilang yang mau bicara dan menganggap dia ada.
'Kalau Gue udah duduk di kursi Presdir. Lo orang pertama yang gue naikin gaji!' janji Kavi dalam hati.
***
Di ruangan Fenita
Wanita itu menatap kesal pada Winda.
"Kamu pikir ini perusahaan kakekmu? Bisa ijin pergi begitu saja?"
"Maaf, Bu. Tapi nanti saya langsung kembali."
Fenita yang kesal karena kejadian tadi, ia melampiaskan semuanya pada Winda sekarang.
"Baik, kamu boleh pergi sekarang. Sekalian bawa semua barang-barangmu!"
DEG
Bersambung.
Winda akan dipecat gara-gara ijin mau keluar saat jam kerja atau karena mengetahui affair Feny dengan karyawan lain? Jawab di kolom komentar ya bestie. Jangan lupa like.
IG Sept_September2020
Fb Sept September
Kekasih Bayaran Bagian 2
Oleh Sept
"Hanya sebentar, Bu. Dan masalah tadi ... maaf, saya akan mengunci mulut saya rapat-rapat."
Fenita langsung murka, ia merasa Winda sedang mengancam dirinya secara halus.
"Kau mengancamku, Winda?" tanya Fenita dengan bola mata yang menatapnya tajam.
"Tidak ... tidak mungkin. Mana berani saya mengancam Ibu Feny. Sekali lagi, saya mohon ijin. Ini sangat serius. Ibu saya masuk rumah sakit," ucap Winda bohong.
Fenita menghela napas kesal, kemudian mengibas sebelah tangannya.
"Pergilah! Sebelum jam 3 kau harus kembali!"
"Baik ... baik, Bu. Terima kasih."
Winda sedikit menundukkan wajah, kemudian bergegas keluar dan mencari lift. Saat dia sudah di dalam lift, seseorang ikut masuk ke dalam bersamanya.
Winda yang sedang buru-buru, hampir tidak memperhatikan pria yang masuk bersamanya. Ia hanya melangkah mundur, memberikan ruang kosong untuk penumpang lift yang baru masuk. Ini adalah jam makan siang, maka dari itu beberapa karyawan ada yang memilih makan di luar.
Sesaat kemudian, lift pun berhenti di lantai dasar. Begitu benda itu terbuka, Winda bergegas keluar. Tidak menyadari siapa orang yang sejak tadi bersamanya. Mungkin terlalu buru-buru, sampai Winda tidak menyadari ID card miliknya jatuh.
Pria yang bersamanya, mengulurkan tangan dan memungut benda tersebut.
"Winda?" senyum tipis mengembang di wajahnya yang tampan.
"Namamu Winda rupanya? Terima kasih untuk hari ini!" gumam Kavi kemudian mengengam ID card milik Winda lalu memasukkan benda tipis itu ke dalam saku bajunya.
***
Di luar perusahaan, Winda bergegas naik taksi dan menuju rumahnya. Bukan rumah pribadinya, hanya rumah kontrakan yang cukup layak untuk ia tinggali bersama ibunya. Sepanjang jalan, ia terus saja memijit pelipisnya. Terlihat sekali kalau gadis itu banyak pikiran.
Rumah kontrakan
Tap tap tap
Winda dengan sepatu hak yang tinggi berjalan sambil setengah berlari masuk ke dalam rumah. Ia pindai seluruh ruang di rumahnya. Semua terlihat kacau, banyak benda-benda berserakan tidak pada tempatnya.
"Syukurlah Mbak Winda sudah datang, ibu Mbak Winda sudah tenang di dalam kamar. Tadi sudah diberikan obat penenang."
"Terima kasih, Mbak Maria. Maaf merepotkan terus."
"Tidak apa-apa, kalau begitu saya permisi."
Winda mengangguk, dan selepas tetangganya pergi. Winda mulai merapikan ruang tamunya yang semrawut tersebut. Ia menghela napas berat, kemudian mengambil keranjang sampah. Untuk membuang benda-benda yang sudah ibunya rusak.
Bahkan poto dirinya dan sang ibu pun pecah di atas lantai. Winda memungut potret bahagia dirinya di masa lalu, beberapa tahun silam, ketika ibunya masih sangat normal. Ketika sang ayah tidak pergi meninggalkan mereka hanya karena gila wanita. Tiba-tiba ada sesuatu yang sesak menyeruak dan membuat matanya perih.
Winda kemudian menatap jam di dinding, dia tidak bisa lama-lama. Ia pun memeriksa ibunya yang masih tidak sadarkan diri karena obat. Melihat rumahnya yang kacau, ibunya yang sakit, membuat Winda merasa beban di pundaknya terasa amat sangat berat.
Tidak mungkin hanya diam dan meratap, Winda kembali merapikan rumahnya. Dan sesaat kemudian, bu RT datang bersama anak laki-lakinya yang seusia dengan Winda.
"Bagus kamu ada di rumah!" ujar bu Risty yang merupakan korban ibunya Winda tadi pagi.
Wanita itu kemudian memperlihatkan tangannya yang dicakar oleh Rissa, ibunya Winda.
"Ini baru luka fisik! Belum lagi kerugian material yang saya alami," cetus Risty yang sepertinya minta ganti rugi.
"Maaf, Bu. Sepertinya harus ada yang dibicarakan dulu. Seperti biasanya, ibu saya tidak akan melakukan sesuatu yang extrem kalau tidak ada yang memicunya."
Winda mencoba membela ibunya. Karena setahu Winda, ibunya tidak akan menyerang brutal kalau tidak dipicu apapun.
"Lah? Jadi kamu menyalahkan saya? Ibu kamu yang gila, harusnya dirawat di rumah sakit jiwa! Kenapa malah menyalahkan orang yang jelas-jelas jadi korban? Saya tidak terima! Lihat kerusakan di dalam rumah saya! Ibumu sudah melempar batu ke mobil baru saya. Tidak hanya itu, dia bahkan merangsek masuk dan memukul perabot lain," ucap Risty mengebu-ngebu, menyalahkan ibu dari Winda.
Mendengar semua ocehan dan makian itu, Winda hanya mengepalkan tangan. Apalagi wanita yang datang marah-marah itu hampir tidak ada bedanya dengan sang ibu, sama-sama tidak bisa kontrol emosi.
"Baik ... baik! Saya akan ganti semua kerugian Ibu."
"Nah begitu, dong! Dan tolong lain kali harus ada yang mengawasi ibumu itu. Dari luar memang terlihat normal. Tapi itu dulu, sekarang ibumu sudah tidak waras," ujar Risty tanpa perasaan.
"Cukup, Ma," sela putranya yang tidak enak karena melihat wajah tidak nyaman Winda ketika ibunya terus saja bicara.
"Biarkan Mama bicara jujur dan terus terang. Karena ibu Rissa sudah meresahkan. Ini sudah tidak bisa dibiarkan."
Winda semakin tertunduk lesu, memang benar apa kata wanita di depannya. Tapi tidak mungkin baginya mengantar ibunya sendiri ke rumah sakit jiwa. Itu saran yang sangat kejam yang pernah ia dengar.
"Jika tidak ada yang ingin disampaikan, silahkan ibu meninggalkan rumah ini. Dan ini nomor ponsel saya. Silahkan kirim berapa jumlah kerugian Ibu."
Winda yang tidak mau mendengar makian atau tangapan miring tentang ibunya lagi, yang membuat hatinya sakit, memilih mengusir tamunya dengan halus. Sembari memberikan kartu nama miliknya.
"Saya tunggu itikad baiknya!" Rusty menyambar kartu nama yang diberikan Winda. Kemudian pergi bersama putranya.
Setelah semua pergi, Winda menghela napas dalam-dalam. Ia kemudian bersandar di sofa. Memejamkan mata menahan beban yang semakin lama semakin berat.
Sesaat kemudian, Winda menghubungi bu Susi. Orang yang selalu ia mintai tolong untuk menjaga ibunya jika ibunya sedang kambuh. Beruntung baginya, sesaat kemudian Susi yang baik hati itu datang bersama sang cucu.
"Ibu masih tidur. Nanti tolong obatnya seperti biasa ya, Bu. Saya harus kembali ke kantor."
Bu Susi hanya mengangguk, kemudian menurunkan cucunya dari gendongan. Anak itu sepertinya sudah biasa di sana. Karena sama sekali tidak rewel.
"Ada banyak snack untuk cucu Bu Susi. Maaf ya, Bu. Selalu merepotkan," ucap Winda yang merasa tidak enak.
"Gak usah khawatir, sudah ... kamu kembali bekerja. Ibumu biasanya kalau habis bangun tidur melihat cucu saya biasanya langsung senang. Kamu tidak usah khawatir, ibumu orang baik."
Mata Winda terasa perih. Rasanya hanya ibu Susi yang mengingat kebaikan ibunya. Sepertinya hanya wanita itu yang tidak menganggap ibunya memiliki gangguan mental akibat depresi paska perceraian.
"Makasih, Bu. Saya permisi."
Bu Susi mengangguk dan Winda pun bergegas menghampiri taksi yang sudah ia pesan online sebelumnya.
Di dalam taski. Begitu Winda menutup pintu, ia meminta pak sopir untuk melaju dengan cepat.
"Pak, saya sedang buru-buru. Biar nggak macet, Kita lewat jalan tikus, ya?"
"Baik, Mbak."
Kendaraan itu akhirnya masuk jalan besar dan setelah memiliki cela, berbelok ke jalan alternative yang akan menghemat waktu. Dan sepanjang jalan, Winda menatap jam di pergelangan tangannya yang kurus. Masih ada waktu sebelum jam tiga. Setidaknya ia tidak akan menerima kemarahan bu Fenita jika telat.
***
Global Tourshine Groups
"Terima kasih," Winda memberikan uang sesuai argo yang tertera. Ia kemudian bergegas.
Tidak hati-hati sampai heel sepatu miliknya patah.
"Ish!"
Winda mendesis kesal. Kemudian mengetok sepatunya agar heelnya kembali bersatu. Ia tersenyum lebar di balik masker, kemudian merasa bangga atas apa yang ia lakukan saat itu. Tanpa ia sadari, seorang pria menatapnya dengan senyum tipis.
"Tuan muda, Kita sudah ditunggu," ucap Olive sambil menenteng tas hitam mahal.
"Hemm!" Pria itu mengangguk pelan kemudian berjalan mendahului Olivia, sang sekretaris.
Sedangkan Olivia, putri dari pasangan sekretaris Jo dan madam Li itu menoleh sekilas. Dilihatnya Winda yang sudah melepas masker. Cantik, ada tatapan sendu saat Olive memperhatikan Winda. Kemudian Olive menatap punggung pria di depannya.
"Apa kau menyukai gadis itu, Tuan?" gumam Olive tidak bersemangat.
Karena mereka sudah ditunggu, Olive pun menggeleng keras. Dia di sana untuk bekerja, bukan untuk jatuh cinta pada tuan muda, Arjuna Trinadaru Mahindra. Sang Presdir di Global Tourshine Groups.
'Jangan mimpi Olive!' batinya menepis rasa kagum pada sosok sempurna di depannya.
Bersambung
Jangan lupa tekan like dan Komen ya. Ikuti juga GA dalam cerita ini, yang pasti ratusan ribu untuk mereka yang beruntung. Info pasti aku up di IG. Jadi cus ya ke IG Sept.
IG Sept_September2020
Fb Sept September
Kekasih Bayaran Bagian 3
Oleh Sept
Tap tap tap, derap langkahnya terdengar sangat cepat. Winda seperti sedang diburu waktu, meskipun ada masalah dengan sepatunya. Ia seolah tidak peduli, ia harus bergegas karena pasti bosnya akan marah jika dia tidak on time. Dan setelah tiba di depan ruangan bu Fenita, ia menarik napas dalam-dalam. Mengatur napas sebentar agar normal sebelum menyentuh knop pintu lalu membukanya secara perlahan.
"Kau terlambat tiga menit!" celetuk Fenita dengan muka dingin ketika Winda muncul dari balik pintu warna coklat tersebut. Seketika Winda merasa tidak enak.
"Maaf, Bu. Ini karena ... emmm." Winda memejamkan mata, mengerutkan dahi. Pasti ia akan kena amuk bosnya lagi.
"Kamu memang pintar lari dari tanggung jawab!" cetus Fenita kasar. Ia sedang menyindir Winda, sekretarisnya yang suka sekali membuat tensinya naik turun.
Tidak mau dituduh yang bukan-bukan, ingin membela diri juga, Winda kemudian melepaskan alas kakinya. Ia menjinjing heel sepatunya yang kembali copot. Sedangkan Fenita, ia pun menelan ludah. Mukanya masam tapi juga menatap miris.
"Gajimu banyak! Bahkan aku selalu memberikan bonus! Kau harus bisa menghargai dirimu sendiri!" ujar Fenita yang kesal dengan kemiskinan yang ditunjukkan oleh anak buahnya itu. Wanita tersebut kemudian mengeluarkan dompet.
Bukkk ...
Ia meletakkan uang di atas meja. "Beli sepatu merek bagus! Jangan membuat bosmu malu!"
Winda langsung sumringah. Kerja pada Fenita memang harus siap makan hati setiap saat, tapi wanita itu selalu loyal. Tidak hitung-hitungan dalam memberikan bonus.
"Makasih, Bu." Winda mengucapkan terima kasih sembari membungkuk sedikit.
"Sudah-sudah! Dan ... Minggu depan ada acara kantor. Saya mau kamu siapkan semuanya. Dan kali ini harus ikut. Saya tidak mau harus mengurus keperluan saya sendiri. Saya sudah bayar mahal."
Winda yang tadi merasa lega, kembali tegang dan gelisah. Pasalnya ia tidak bisa meninggalkan ibunya sendirian di rumah lama-lama. Makanya ia selalu menghindar dari acara-acara perusahaan yang biasanya harus menginap tersebut.
"Tapi, Bu ..."
Baru juga mau membantah, sorot mata tajam itu langsung mengarah padanya. Membuat Winda harus pasrah.
"Tahun lalu kamu sudah absen di acara tahunan seperti ini. Kalau kamu absen lagi, saya pastikan bonus kamu dipotong." Fenita malah mengancam dengan keras.
Waduh! Winda butuh uang banyak, kalau bonusnya dipotong, lalu dia sendiri yang akan kerepotan. Akhirnya ia pun mengangguk setuju.
"Baik, Bu."
***
Malam harinya.
Rumah kontrakan Winda. Wanita muda itu sedang menyiapkan makan malam yang tadi ia beli saat perjalanan pulang. Sebenarnya ibunya sudah masak, hanya saja Winda ingin makan makanan yang lain. Ia juga ingin memanjakan ibunya dengan makanan enak.
"Makan yang banyak, Bu." Winda memberikan potongan ayam bakar ke atas piring ibunya.
Ibu Rissa makan seperti biasanya, dan sepertinya ia lupa kejadian tadi pagi. Rissa terlihat normal dan sesekali tersenyum menatap Winda.
Winda pun membalas dengan senyum, sambil berbicara pada hati kecilnya.
'Ibuku tidak gila ...'
Bibir Winda tersenyum tapi sepertinya hati wanita itu menjerit. Takdir apa ini, mengapa ibunya yang terlihat baik-baik saja sebenarnya tidak demikian. Ibunya bisa meledak kapan saja, bisa menghancurkan apa saya yang ada di depannya.
'Mana mungkin aku memasukkan ibuku sendiri ke rumah sakit? Kalian tidak tahu ... hanya dia satu-satunya yang aku punya.'
Winda terus saja melamun, hinga matanya terasa perih.
"Win! Kamu kenapa?"
"Nggak, Bu. Ayo makan. Ibu mau nambah?" tanya Winda lembut pada ibunya.
"Sudah kenyang."
Winda pun mengangguk, tidak memaksa. Sebab ibunya ini tidak bisa dipaksa. Harus hati-hati sekali berkomunikasi dengan ibunya yang sekarang ini.
"Oh ya, Win ... masa tadi ibu lihat ayahmu."
Winda langsung menelan ludah, hampir saja ia tersedak.
"Di mana? Wong ayah lagi di Medan, kok!' jawab Winda agar ibunya tidak tanya-tanya pria itu lagi. Kadang ibunya Winda lupa, kalau keduanya sudah bercerai. Seperti malam ini.
"Oh ya. Ibu lupa. Ayahmu kan ada proyek di sana. Doain ya, Win. Kata ayahmu, Kita akan pindah ke rumah yang besar ... ada tamannya ... ada mobilnya juga."
Winda seketika memalingkan muka, ia merasa sesak mendadak. Hingga sampai akhirnya bulir bening itu tumpah juga.
"Iya. Winda pasti doain, Bu." Suaranya serak, menahan tangis.
Sedangkan ibu Rissa, wajahnya sumringah. Kemudian bangkit dan membereskan meja makan.
"Biar Winda aja, Bu. Ibu istirahat atau nonton TV."
"Nggak, ibu capek istirahat terus."
Akhirnya Winda mengalah, ia pun membantu ibunya membereskan makan malam mereka berdua.
***
Satu minggu kemudian
Winda sudah berkemas, dengan sebuah tas besar. Ia kemudian membuka laci. Memeriksa buku tabungan. Minggu kemarin harus keluar uang ektra untuk ganti rugi kerusakan rumah bu RT. Ternyata mahal juga, ia pun menghela napas panjang. Lalu memasukkan buku tabungan itu ke dalam laci lagi.
"Ibu ... Winda ke luar kota ya ... untuk kerja. Ibu baik-baik di rumah sama bu Susi."
Winda merasa berat meninggalkan ibunya, tapi ia juga tidak bisa lagi absen. Karena selalu tidak pernah turut serta dalam acara kantor.
Kali ini Winda meminta bu Susi tidur di rumahnya. Ia memohon sekali, untung bu Susi ini benar-benar baik. Dan ibu juga nyaman dengan wanita yang punya cucu balita tersebut. Meskipun sudah punya cucu, bu Susi masih terlihat kuat dan vit. Mungkin karena orangnya ramah, murah senyum, jadi awet muda.
"Bu Susi ... nitip ibu ya."
"Tenang saja, Mbak. Tuh kelihatan seneng main sama cucuku. Gak usah khawatir."
Winda mengangguk.
"Oh ya, usahkan ibu jangan keluar rumah jauh-jauh ya, Bu Susi."
"Baik."
"Terima kasih."
Bu Susi mengangguk kemudian menutup pintu saat Winda meninggalkan rumahnya. Winda menoleh sebentar, rasanya tidak tega meninggalkan ibunya untuk menginap.
Drett ... drett ...
Winda langsung membuka ponselnya.
"Iya, Bu. Saya sedang di jalan."
Wanita itu buru-buru menghentikan taksi. Apes bagi Winda, ia malah kejebak macet.
"Pak! Bisa tidak cari jalan tikus?"
"Maaf, Non. Ini Kita di tengah-tengah. Itu truck, di sebelah mobil tangki. Mana bisa?"
Winda pun hanya bisa pasrah. Apalagi bu Fenita kembali menelpon.
"Kamu di mana? Rombongan bus mau berangkat."
"Saya masih di jalan, Bu. Kejebak macet."
"Haduh! Kan sudah saya bilang, berangkat pagi. Sudah tahu Jakarta macet!" ketus Fenita.
"Maaf, Bu."
"Saya tunggu 15 menit! Kalau kamu belum tiba ... saya gak mau tahu. Pokoknya kamu harus susul ke tempat acara."
Tut Tut Tut
Ponsel terputus.
***
30 menit kemudian.
Winda baru turun dari taksi dan berlari menuju halaman perusahaan. Ia ngos-ngosan, percuma ia lari-lari. Bis rombongan sudah pergi beberapa menit yang lalu. Ia mendesis, kemudian duduk dengan pasrah.
Sesaat kemudian, sebuah mobil berhenti di samping Winda.
"Apa kamu karyawan yang ketinggalan rombongan?" tanya Kavi sambil membuka kaca mobil tengah. Ia duduk di tengah bersama karyawan yang lain.
Sedangkan Winda, ditanya bukannya menjawab. Wajahnya sinis saat melihat siapa yang muncul dari dalam mobil.
'Pegawai mesummm!' batin Winda yang ingat saat Kavi berduaan dengan Fenita tempo hari.
"Hei!! Mau naik tidak? Kami juga menuju ke sana," seru Gilang yang duduk di balik kemudi.
KLEK
Kavi langsung membuka pintu dan turun. Ia kemudian mengambil tas Winda lalu memasukkan ke dalam bagasi mobil besar yang mereka tumpangi.
"Eh!" Winda mau protes. Masalahnya di dalam mobil itu isinya ternyata karyawan pria semua. Total ada 5 orang.
"Udah. Nanti keburu macet dan hujan!" cetus Kavi sambil memaksa Winda masuk.
Sebenarnya ini kesempatan bagus, akhirnya Winda pun duduk dengan tenang di sisi Kavi. Sepanjang jalan pria-pria itu malah menyanyi tidak jelas. Karena lelah, Winda malah tertidur.
'Astaga ... baru satu jam kenapa dia bisa tidur?' batin Kavi menatap Winda yang menutupi wajahnya dengan topi.
Harusnya perjalan cuma 2 sampai 3 jam, tapi karena weekend, perjalanan molor menjadi 4 jam.
***
Puncak
Rombongan bus sampai lebih dulu, kemudian disusul oleh rombongan Kavi yang terbatas itu.
"Terima kasih!" Winda mengucapkan terima kasih pada Gilang karena sudah mau memberikan tumpangan.
Ia kemudian mengambil tasnya dan langsung pergi menemui rombongannya sendiri.
"Dia tidak berterima kasih padaku?" gumam Kavi yang merasa Winda menjaga jarak sekali padanya.
Ia pun mendesis kesal, "Apa gara-gara gue karyawan biasa? Dasar matre!"
Kavi mengumpat sendiri, marah-marah tidak jelas. Padahal Winda menghindar dari pria tersebut karena tidak mau terlibat, Kavi kan ada scandal dengan Fenita, bos Winda.
"Nah ... kamu akhirnya ikut juga!" celetuk Fenita, ia kemudian memberikan tasnya untuk dibawa Winda.
Mereka semua kemudian menerima pembagian kamar dari kepala Tim. Kebetulan Fenita minta satu kamar dengan Winda sekretarisnya.
Sambil menuju kamar di salah satu villa terbaik di kawasan puncak, Fenita memainkan ponselnya. Membiarkan Winda membawa dua tas dengan susah payah.
KLEK
Akhirnya mereka tiba di kamar, cukup luas dan bersih.
"Taruh situ ya, saya mau keluar dulu."
"Baik, Bu."
Winda akhirnya hanya di kamar seorang diri. Sampai akhirnya beberapa karyawan menghampiri dirinya untuk bergabung.
****
Beberapa waktu kemudian
Semuanya masih istirahat sebentar, sebelum acara outbound dimulai. Winda terlihat berdiri sendirian. Padahal teman-temannya sedang mengerombol. Wanita muda itu malah fokus menatap panorama alam yang memanjakan mata.
"Lihat apa, Bro?" tanya Gilang penasaran dengan tatapan Kavi.
Kavi langsung berbalik, kemudian menggandeng temannya pergi.
"Bukan apa-apa!"
Di lantai lima, dari atas balkon. sepasang mata juga tertuju pada sosok gadis yang sedang menikmati indahnya alam puncak yang segar dan hijau tersebut.
"Tuan, acaranya akan segera dimulai."
Arjuna menoleh, ia mengangguk pada Olive. Kemudian memakai jaket yang sudah di siapkan oleh sekretarisnya itu. Udara di sana sangat dingin, menjelang siang, kabut mulai turun.
Saat Arjuna beranjak, Olive malah melihat ke bawah. Dia penasaran, apa yang membuat bosnya tertegun cukup lama.
"Dia lagi?" gumam Olive sendu.
BERSAMBUNG
IG Sept_September2020
FB Sept September
Terima kasih bestie.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!