"Abi bertahanlah Abi, kita sudah berada di rumah sakit jantung Jakarta." Ucap Mariam sambil menunggu abinya yang saat ini sedang memasuki ruang operasi untuk melakukan operasi jantung.
"Maaf nona!" Mungkin operasi pada ayah anda akan ditunda karena dokter bedah jantung saat ini sedang merayakan ulang tahun rumah sakit ini di aula." Ucap dokter spesialis jantung.
"Apa harus ditunda?" Ya Allah, ini tidak mungkin ayah saya sudah menjalani semua syarat untuk melakukan bypass yang sudah dijadwalkan rumah sakit ini." Ucap Mariam panik.
"Maaf nona, mungkin kalau anda sendiri yang meminta kepada dokter Rendra, beliau akan mempertimbangkannya kembali untuk menangani operasi bypass pada ayah anda." Ucap dokter Raditya.
"Di mana letak gedung aulanya?" Tanya Mariam.
Dokter Raditya menunjukkan arah aula rumah sakit tersebut pada Mariam.
"Terimakasih dokter!" Saya akan memastikan sendiri dokter Rendra akan melakukan operasi pada ayah saya malam ini juga." Ucap Mariam penuh percaya diri.
"Sebaiknya anda membawa payung nona, sepertinya sebentar lagi akan turun hujan." Ucap salah satu suster seraya menyerahkan payungnya untuk Mariam.
"Tidak usah suster!" Ucap Mariam lalu pamit kepada dokter Raditya dan suster Nengsih.
Mariam berlari ke arah aula rumah sakit untuk menemui dokter Rendra Kusuma agar bisa melakukan operasi jantung pada ayahnya saat ini juga.
Ditengah hujan yang cukup deras malam itu, membuatnya tidak mempedulikan tubuhnya yang tersiram air hujan.
Mariam berhenti sejenak menatap aula tersebut. Ia mengatur nafasnya dan berdoa memohon pertolongan Allah agar permintaannya pada dokter Rendra bisa di kabulkan Allah.
Tanpa permisi pada penjaga di depan pintu aula, Mariam nekat masuk ke dalam kerumunan para tamu sambil mencari sosok dokter Rendra.
"Itu dia, pasti dia orangnya." Gumam Mariam membatin lalu berjalan menuju ke depan.
Prankk...
Mariam menabrak salah satu pramusaji yang sedang membawa minuman ditengah pesta ulang tahun rumah sakit.
Di saat yang sama dokter Rendra Kusuma sedang berpidato menyampaikan hal yang sangat penting untuk rumah sakit miliknya di depan para tamu undangan yang berdiri sambil menikmati minuman.
Pesta ulang tahun itu digelar tanpa ada kursi di sekitarnya kecuali beberapa meja untuk tamu VIP saja.
Semua mata para tamu melihat wajah pucat Mariam yang ketakutan dan menggigil karena kehujanan.
Tanpa malu dan ragu ia berdiri di depan podium lalu berlutut di hadapan dokter Rendra Kusuma yang sedang bicara malam itu.
"Assalamualaikum tuan dokter!"
Maafkan saya! jika saya menganggu waktu anda yang sangat berharga. Tapi nyawa ayahku lebih berharga daripada acaramu ini.
Saya mohon kepada anda untuk melakukan tindakan emergency pada ayahku." Ucap Mariam dengan menahan air matanya yang hampir tumpah.
Dokter Rendra begitu geram pada Mariam yang nekat menghentikan ia bicara pada para tamunya untuk memulai acara pesta ulang tahun rumah sakit miliknya itu, namun ia juga kagum pada keberanian Mariam yang berbicara dengannya dengan suara yang cukup lantang seperti ada priwitan yang ada dalam tenggorokan gadis itu.
Kedua sekuriti yang menyadari ada tamu yang tidak diundang oleh panitia acara, mendekati Mariam yang masih bersimpuh di depan podium di mana dokter Rendra menatapnya dengan amarah yang begitu membuncah.
Dengan memberikan bahasa isyarat kepada satpam tersebut, Mariam di bawah ke ruang kerja dokter Rendra Kusuma.
"Rendra, temuilah gadis itu, biar ayah yang meneruskan acara ini." Ucap Tuan Hendra Kusuma.
"Tapi ayah."
"Nyawa pasien lebih penting nak, karena itulah kunci kesuksesan rumah sakit ini." Pinta dokter Hendra Kusuma pada putranya.
"Baik ayah!"
Dokter Rendra turun dari podium menuju ruang kerjanya menemui untuk menemui gadis pengacau tersebut.
Cek..lek
Pintu ruang kerja itu di buka dengan kasar oleh dokter Rendra dan di dalamnya sudah ada dua orang satpam sedang menemani Mariam yang sedang berzikir dengan khusu.
Mariam langsung berdiri di tempatnya, sedangkan dua satpam keluar dari ruang kerja itu dengan sopan.
"Apakah kamu sadar, bahwa perbuatanmu tadi sangat memalukan reputasiku nona, hah!" Bentak dokter Rendra kepada Mariam yang tersentak.
"Maafkan saya Tuan! saya hanya mengikuti insting ku saja karena aku sangat takut kehilangan seorang ayah yang menjadi tumpuan hidupku."
Suara Mariam tercekat menahan tangisnya.
"Baiklah, kalau begitu, apakah kamu mau membayar waktuku dengan tubuhmu itu, cantik?" Tanya dokter Rendra dengan bersikap angkuh.
"Maaf tuan dokter! mungkin anda salah target karena saya bukan seorang pelacur. Nyawa ayahku bisa diambil Allah kapan saja.
Tapi, uang dan kekuasaan yang kamu miliki tidak akan mampu menyelamatkan tubuhku dari siksaan api neraka." Ucap Mariam penuh bijak.
Wajah dokter Rendra seketika memerah menahan malu. Ia begitu terkesiap. Ia tidak menyangka kalau gadis berjilbab hitam ini menjatuhkan harga dirinya hingga ia kehilangan martabat sebagai seorang dokter bedah spesialis jantung di rumah sakit tersebut dengan jawaban menohok dari Mariam.
"Permisi Tuan dokter!" Saya ridho jika Allah mengambil nyawa ayah saya malam ini karena tidak ada lagi yang lebih berharga di dunia ini selain iman dan harga diri untuk saya.
Imanku tidak akan tergantikan dengan dunia dan seisinya, walaupun itu adalah nyawa ayahku sendiri. Aku hanya punya ikhtiar memohon pada anda untuk menolong ayah saya. Tapi, ikhtiar ku disalahgunakan oleh dokter hebat seperti anda. Kewajibanku sebagai anak cukup sampai di sini, demi Allah, aku terlalu takut akan azab Allah dari pada kehilangan seorang ayah.
Allah ku lebih kaya dokter, dari pada apa yang kamu miliki saat ini yang merupakan barang titipan dariNya dan kapan saja Allah bisa mencabut kenikmatan duniawi yang kamu rasakan saat ini, hanya dengan satu ucapanNya Kun faya Kun.
Dalam sekejap kamu tidak lebih dari bangkai yang akan dimasukkan di dalam liang lahat tanpa membawa apapun kecuali kain kafan yang tidak lebih dari dua meter.
"Assalamualaikum!"
Mariam keluar dari ruang kerja dokter Rendra lalu berlari lagi menuju ruang IGD di mana ayahnya sedang ditangani oleh dokter umum saat ini.
"Ya Allah, berilah yang terbaik untuk Abi, aku ridho dengan takdir Mu namun jangan pernah mencabut nikmat iman Islam dariku ya Rabb." Doa Mariam di tengah derasnya hujan.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Dokter Rendra menghubungi rekannya untuk menyiapkan kamar operasi untuk pasien, ayah dari Mariam.
"Siapa nama pasien yang mengalami riwayat penyakit jantung yang akan menjalani operasi saat ini?"
"Bapak Abdullah, dokter Rendra."
"Siapkan ruang operasi dalam keadaan steril. Sepuluh menit lagi aku akan tiba di kamar operasi. Malam ini kita akan melakukan operasi jantung pada pasien tersebut."
Dokter Rendra bergegas menuju kamar operasi.
Wajah Mariam yang sangat cantik tanpa polesan make up itu, membuat dokter Rendra terus memikirkan gadis itu.
Bukan hanya wajah cantik Mariam yang menyebabkan pikiran dokter Rendra terganggu malam ini, melainkan kata-kata indah dan menyejukkan hatinya serta penuh dengan nada ancaman yang membuat dokter Rendra sangat syok.
"Tidak ada gadis atau siapapun yang mengingatkan aku pada kematian dan neraka selama ini, walaupun setiap hari banyak tangis dari keluarga pasien yang aku sendiri menyaksikan kematian pasien di hadapanku sendiri."
Dokter Rendra masuk ke kamar operasi dengan mengenakan pakaian operasi dan tangan yang sudah bersih disemprot alkohol.
Baru saja ia ingin memegang pisau bedah, tiba-tiba saja alat rekam jantung atau EKG berhenti yang menandakan pasien telah meninggal dunia.
"Dokter pasien telah tiada!" Ucap dokter Emil.
"Tidak mungkin!" Coba kita lakukan dengan alat kejut jantung." Ucap dokter Rendra yang masih berharap pasien bisa diselamatkan oleh dirinya.
"Dokter, denyut nadinya sudah tidak ada dan matanya sudah tidak memiliki kehidupan." Dokter Rey mencoba menyadarkan dokter Rendra yang kekeh ingin menyelamatkan pasiennya.
"Astaga!" Bagaimana aku harus menghadapi gadis malang itu?" Gumam Dokter Rendra sedih.
Biasanya dokter Rendra hanya prihatin pada pasien yang meninggal di meja operasi saat berada dalam pengawasannya, tapi kali ini ada kesedihan yang amat mendalam yang ia rasakan begitu sakit seperti ia sedang kehilangan ayah kandungnya sendiri.
"Waktu kematian pukul 21.00. Bawa masuk putrinya ke dalam sini!" Pinta dokter Rendra pada dokter Emil.
"Baik dokter Rendra!"
"Silahkan masuk nona! mohon maaf ayah anda tidak bisa kami selamatkan." Ucap dokter Emil dengan ekspresi wajah sedih.
"Apa?" Abi... Abi meninggal?"
Mariam sangat syok mengetahui kabar duka tersebut.
Mariam masuk menemui ayahnya yang sudah tidak bernyawa itu.
Ia menghamburkan pelukannya ke dada renta ayahnya dengan terisak.
"Abi,... Abi!"
Innalilahi wa innailaihi rojiuun!"
Dokter Rendra menarik tubuh Mariam dan memeluk gadis itu erat.
Maafkan aku nona!" Aku terlambat menyelamatkan nyawanya!" Air mata dokter Rendra ikut menetes.
"Lepaskan!"
Kita bukan muhrim Tuan dokter." Mariam mendorong tubuh dokter Rendra dengan kasar.
Ia lalu keluar dari kamar operasi menunggu jenazah ayahnya yang akan dibawa pulang ke rumahnya.
Dokter Rendra meminta anak buahnya untuk mengurus prosesi pemakaman pasiennya dengan layak karena ia juga akan menemani Mariam hingga pemakaman selesai dilakukan besok pagi.
Rasa bersalahnya kepada Mariam membuatnya ingin menebus kesalahannya itu dengan melakukan hal terakhir untuk gadis itu.
Mariam ikut di dalam mobil jenazah bersama dengan dokter Rendra yang duduk di sampingnya agak sedikit menjauh dari gadis alim itu.
Maksud hati ingin memeluk sang gadis, agar kesedihan Mariam bisa berkurang, namun Mariam yang begitu menjaga akhlaknya yang tidak ingin tersentuh oleh lelaki yang bukan muhrimnya.
Mariam yang duduk di hadapan jenazah ayahnya sambil terus berdzikir tanpa henti dengan air mata yang terus menerus berderai di pipi mulusnya.
Tangisnya tak terhenti mengenang ayahnya.
"Abi selamat jalan Abi! Mariam ridho Abi kembali ke pangkuan Illahi." Ucap Mariam sambil mengusap air matanya dengan jilbab panjangnya.
Dokter Rendra mengeluarkan sapu tangan miliknya untuk Mariam agar gadis itu menggunakan untuk mengusap air matanya.
"Ada ya, gadis secantik dan sesoleha ini di jaman modern ini?" Tanya dokter Rendra dalam diamnya sambil melirik Mariam yang sedang melantunkan ayat suci Alquran.
Memasuki pekarangan rumah yang cukup luas dengan banyak pepohonan buah dan sayuran di sekitar rumah sederhana milik Mariam. Maklumlah, kediaman Mariam yang ternyata tinggal dipuncak Bogor Jawa barat tenyata memiliki perkebunan teh yang sangat luas.
Hawa dingin menusuk kulit milik gadis itu yang tidak siap dengan membawa jaket maupun mantel hangat. Sebelum turun dari mobil ambulans. Dokter Rendra membalut tubuh Mariam dengan jaket miliknya.
Karena pintu mobil ambulans sudah dibuka, Mariam tidak mampu menolaknya. Orang-orang datang mengeluarkan keranda milik rumah sakit yang terdapat jenasah ustadz Abdul Muid untuk dibawa ke dalam rumah duka.
Beberapa tetangga dan para jamaah sudah siap menyambut jenasah ustadz Abdul Muid.
"Neng Mariam, kami turut berdukacita ya sayang." Ucap para ibu-ibu yang memeluk Mariam dengan tangisan.
"Maafkan Abi saya ibu-ibu!" Ucap Mariam yang juga ikut terisak.
Rupanya ustadz Abdul Muid orang yang cukup berpengaruh di desa itu. Para tetangga dengan sukarela mau begadang sampai pagi untuk menunggu jenazah sambil melantunkan ayat suci Alquran dan dzikir untuk jenazah.
Dokter Rendra Kusuma tidak mau beranjak dari tempatnya. Ia ikut membaur dengan masyarakat setempat tanpa menyebutkan status sosialnya.
"Maaf den!" Anda siapanya neng Mariam?" Tanya salah satu warga yang merasa asing dengan wajah dokter Rendra dan beberapa orang temannya yang ikut dalam rombongan pengantar jenazah ustad Abdul Muid.
"Saya teman dekatnya Mariam." Ujar dokter Rendra spontan.
Para bawahannya saling berpandangan mendengar pengakuan dokter Rendra pada warga setempat.
"Oh, pantas baru lihat. Tapi, selama ini neng Mariam tidak pernah dekat dengan lelaki manapun dan tidak ada satu orang pun pemuda di kampung ini yang berani mendekatinya. Gadis itu sangat alim hingga setiap pemuda merasa sangat segan kepadanya.
Tapi mengapa anda mengaku sebagai teman dekatnya?" Tetangga Mariam merasa sangsi dengan pengakuan dokter Rendra dan terkesan tidak mempercayai dokter muda itu.
Rendra tampak cuek dan bangkit menjauhi para warga sambil pura-pura menerima panggilan telepon dari seseorang.
Teman-temannya mengikuti dokter Rendra dan mulai mempertanyakan pengakuan dokter Rendra barusan dengan putri pasien.
"Dokter Rendra, mengapa anda nekat mengaku teman dekat nona Mariam?" Tanya dokter Emil.
"Aku spontan saja menjawabnya dan aku harap itu menjadi kenyataan." Ujar dokter Rendra cuek.
"Apakah dokter Rendra yakin gadis itu mau menjadi pasangan dokter Rendra?" Tanya dokter Rei.
"Yakin sih nggak, tapi aku harus mendapatkan gadis itu." Ucap dokter Rendra dengan tekad yang kuat.
"Dokter, gadis itu tidak akan menyukai orang-orang seperti kita yang jauh dari agama.
Nona Mariam akan memilih lelaki Sholeh yang akan menjadi imam sholatnya, sedangkan dokter Rendra baca surat alfatihah aja masih belum hafal." Tutur temannya sambil cekikikan.
"Aku tidak peduli, aku belum pernah bertemu dengan seorang wanita manapun yang berani menasehatiku tentang surga dan neraka. Mengancamku dengan kemiskinan dan kematian." Ucap dokter Rendra yang mengisahkan kembali pertemuannya dengan Mariam yang baru sekilas terjadi hari ini.
"Gila kamu dokter Rendra, kenapa sampai nekat merayu gadis sealim dia?" Tapi kata-kata gadis itu seakan membius orang yang baru mengenalnya. Benar dokter? Anda mau mendapatkan gadis alim itu?" Yakin dia akan menerima anda?" Tanya dokter Emil.
"Cukuplah Allah yang akan membolak balikan hatinya untuk bisa menerima lamaranku." Ucap dokter Rendra penuh harap.
"Semoga saja dokter Rendra, nona Mariam tidak menolakmu pinanganmu. Ternyata kita dibawa ke sini juga, karena ada maunya, kirain merasa bersalah karena tidak tepat waktu menolong ayahnya gadis itu." Ucap dokter Raditya.
"Sudahlah bercandanya, kita lagi di rumah duka." Ucap dokter Rey.
Semuanya terdiam dan menikmati wedang jahe yang disediakan oleh tetangganya Mariam.
"Silahkan di minum tuan-tuan, biar perutnya hangat. Makin malam akan makin terasa dingin menusuk tulang." Ucap pak RT yang menghampiri dokter Rendra dan teman-temannya.
Tidak lama kemudian, seorang pelayan Mariam mengantarkan kembali jaket milik dokter Rendra dari Mariam.
Dokter memakai jaketnya kembali dan sebelumnya itu ia mencium bau parfum milik Mariam yang menempel di jaket miliknya.
"Mariam, semoga aku bisa langsung mencium harum tubuhmu suatu hari nanti jika Allah berkehendak kita berjodoh sayang," pinta dokter Rendra yang sudah memakai jaket miliknya.
Keesokan paginya, pemakaman ayahanda Mariam dilakukan dengan sangat khidmat. Ketegaran Mariam menerima takdirnya sebagai gadis yatim piatu mengundang banyak pujian dari kalangan jamaah ayahnya.
Setelah semua para pengantar jenazah pulang ke kediaman mereka masing-masing, kini hanya tinggal Mariam dan dokter Rendra Kusuma yang setia menemani gadis itu.
Walaupun Mariam tahu kehadiran dokter Rendra yang ingin menebus kesalahannya karena melalaikan tugasnya sebagai dokter hanya karena keangkuhan pria tampan itu yang merupakan CEO rumah sakit tersebut, namun gadis ini tidak goyah sedikitpun dengan kekecewaannya terhadap dokter Rendra.
Setelah cukup lama berdoa di atas pusara sang ayah, Mariam mulai melangkah dengan tenang tanpa melirik ke arah dokter Rendra. Dokter Rendra tidak begitu mempersalahkan dirinya dicuekin oleh Mariam. Justru ia ingin meminta maaf kepada gadis itu dengan cara apapun untuk menebus kesalahannya.
"Mariam!"
Dokter Rendra berusaha menghalang-halangi langkah kaki Mariam yang berjalan begitu cepat agar bisa menjauhi dokter Rendra.
"Mariam, aku mohon maaf telah melalaikan tugasku hingga membuat ayahmu meninggal."
"Yah, saya sudah memaafkan anda, sekarang pulanglah dan kembali ke tugasmu sebagai seorang dokter. Dengan kamu kembali secepatnya ke rumah sakit milikmu, itu berarti aku telah memaafkan kamu. Tebus lah dosamu itu dengan cara yang lebih mulia." Ujar Mariam bijak.
"Benarkah, anda sudah memaafkan saya, nona Mariam?" Tanya dokter Rendra yang masih kelihatan ragu atas ucapan Mariam.
"Dengan cara apa saya bisa meyakinkan anda, kalau saya saat ini sudah memaafkan anda?" Mariam menghentikan langkahnya dan menatap tajam wajah dokter Rendra yang terlihat kusut karena semalaman ia tidak tidur.
"Aku ingin kamu menjadi istriku Mariam, aku meminang kamu sekarang. Jika benar kamu sudah memaafkan aku, tolong terimalah pinanganku!"
Dokter Rendra nekat meminang Mariam dalam keadaan gadis ini masih berduka.
"Apakah anda sinting ataukah sedang kelihatan keren di depanku agar aku bisa takluk dengan niat tulus anda itu?" Tanya Mariam dengan nada sengit.
"Setidaknya, aku ingin menggantikan tempat ayahmu yang selama ini telah membesarkan dan melindungi kehormatanmu sebagai putrinya dan aku ingin merawatmu dan mencintaimu serta melindungi kehormatanmu sebagai istriku yang sholeha, apakah itu salah?" Ujar dokter Rendra.
"Tuan dokter Rendra yang baik hati, apakah saat ini kamu sedang Iba pada hidupku ataukah ingin menebus rasa bersalahmu karena kepergian ayahku?" Tanya Mariam yang masih kesal dengan dokter Rendra.
"Tidak, bukan seperti itu cara aku ingin menjadikanmu istriku, tapi ini semua ku lakukan karena aku sangat mencintaimu Mariam." Ungkap dokter Rendra membuat jantung Mariam berdegup kencang.
Deggg..
"Anda sedang kesambat ya Tuan dokter?" Bagaimana mungkin, hanya dalam waktu satu malam anda bisa mencintai aku?" Mariam berjalan lebih cepat karena sudah hampir tiba di rumahnya.
"Karena aku baru menemukan sosok gadis yang telah menyadarkan aku tentang Haq dan batil. Aku diperingatkan tentang surga dan neraka. Aku di perkenalkan tentang kekuasaan Allah tanpa batas.
Sikap keangkuhanku selama ini aku pertahankan dan tidak satupun yang berani menasehatiku dalam kebaikan sampai aku dipertemukan denganmu dalam suasana yang tidak kondusif." Ucap dokter Rendra kelihatan sangat tulus pada Mariam.
Langkah Mariam terhenti. Gadis ini membalikkan tubuhnya menatap wajah tampan Rendra sesaat lalu kembali tertunduk.
"Beri saya waktu untuk melakukan sholat istikharah tuan dokter. Jika Allah memberikan aku petunjuk, bahwa kamu adalah jodohku, insya Allah, aku akan menerima pinanganmu.
Pulanglah dokter!" Aku tidak ingin jadi bahan fitnah jika satu langkah kakimu berani masuk ke halaman rumahku." Ucap Mariam tegas dan sangat menyejukkan hati dokter Rendra.
"Subhanallah!" Maha suci Engkau ya Robby karena telah mempertemukan aku dengan bidadariku." Gumam dokter Rendra membatin.
"Assalamualaikum Mariam!"
"Semoga Allah menjadikan aku sebagai suamimu untuk dunia dan akhirat, aaamiin.
Terimakasih!" Ucap dokter Rendra penuh tawadhu.
"Waalaikumuslam Warahmatullahi wa barokatuh. Hati-hati di jalan tuan dokter." Ucap Mariam mendoakan keselamatan untuk dokter Rendra.
Mariam menutup pintu pagar rumahnya yang terbuat dari bambu yang cukup tinggi hingga dirinya tidak kelihatan dari luar pagar.
Selain dirinya yang tinggal di rumah sederhana itu, Mariam juga memiliki tiga orang pelayan yang menemaninya.
Selain itu ia juga memiliki karyawan yang mengurus perkebunan teh dan sayuran yang selama ini biasa diawasi langsung oleh abinya.
"Neng!" Apakah itu tuan dokter yang merawat ustadz Abdullah?"
"Iya bibi."
"Ih, ganteng pisan, baik lagi. Ko ada ya dokter sebaik itu mau antar sendiri jenasah pasiennya." Ujar bibi Nur.
"Entahlah bibi."
Mariam masuk ke kamarnya dan mengambil wudhu untuk melakukan solat Dhuha.
Sementara di jalan tol menuju Jakarta, dokter Rendra terus memikirkan Mariam dengan segala pesona gadis itu.
Hatinya seakan sudah dirasuki oleh untaian kalimat indah dari lisan seorang Mariam, gadis alim berparas cantik dan sangat cerdas.
Gadis yang sudah menyelesaikan tesis S2 nya di Kairo Mesir ini, saat ini sedang mengajukan diri sebagai dosen di salah satu universitas yang ada di Jakarta.
"Mariam, mengapa baru sekarang kita dipertemukan?" Aku sangat malu padamu karena telah melecehkan kamu dengan kalimat bodohku yang menjatuhkan kehormatanmu sebagai gadis alim.
Mariam semoga Allah memilih aku menjadi suamimu walaupun aku bukan imam yang terbaik yang akan kamu miliki dan mungkin kamu idamkan." Ujar dokter Rendra lirih.
Sementara Mariam duduk di atas sajadahnya dengan terus berdzikir sambil terus mengusap air matanya.
Rasanya makin sepi hatinya ketika ditinggalkan oleh dokter Rendra yang sempat membuatnya nyaman saat berjalan berdua dari pemakaman tadi.
"Ya Allah, tentukan jodohku sesuai dengan kehendak-Mu ya Robby." Pinta Mariam dalam doanya di waktu Dhuha.
Mariam memejamkan matanya membayangkan wajah abinya yang telah membesarkan dirinya seorang diri. Alih-alih wajah abinya yang muncul dalam pejaman matanya, malah wajah dokter Rendra yang sedang bermain-main dalam pelupuk matanya.
Siang itu dokter Rendra yang juga merupakan seorang dosen di salah satu kampus sedang berbincang dengan rektor dan putri rektor kampus itu yang bernama Risma.
Risma yang sangat tergila-gila dengan dokter Rendra nampak genit di depan dokter Rendra sambil membahas kurikulum baru yang akan mereka sosialisasikan ke mahasiswa.
Usai percakapan alot itu yang dikendarai oleh rektor yang tidak sejalan dengan dokter Rendra selaku dekan fakultas kedokteran.
Tuan Zaid melirik putrinya agar putrinya itu bisa merayu dokter Rendra supaya keputusannya bisa diterima.
Dokter Rendra beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang kerja dokter Zaid menuju ruang kerjanya sendiri.
"Dokter Rendra!"
Tunggu sebentar!" Pinta ibu Isma yang juga dosen di fakultas tersebut.
"Maaf ibu Isma!" Aku banyak pekerjaan hari ini." Tolak dokter Rendra halus.
"Tapi dokter, jika anda menyetujui kesepakatan yang sudah diambil oleh ayahku, anda bisa dipromosikan sebagai wakil rektor." Ucap dokter Risma.
"Dengar anak manja!"
Aku tidak tergiur dengan jabatan seperti ayahmu yang sangat haus jabatan itu, bahkan terlihat seperti penjilat, jika kamu mau mendapatkan jabatan itu silahkan ambil saja untuk dirimu, dokter Risma karena aku sedikitpun tidak berminat untuk jabatan tidak penting itu." Dokter Rendra menarik tengkuk ibu Isma merapatkan ke keningnya dengan nada gusar.
Tepat di saat yang sama, Mariam melihat adegan itu ketika membuka pintu ruang kerja dosen yang memang ternyata sepi, hanya dokter Rendra dan ibu Isma yang berada di ruangan itu.
Keduanya menoleh melihat ke arah Mariam yang sedang melotot ke dokter Rendra.
"Mariam!" Panggil dokter Rendra lirih.
"Apakah kamu mengenali gadis itu?" Tanya Bu Isma.
"Tidak!" Aku tidak mengenalnya." Dokter Rendra menyangkal mengenal Mariam.
"Permisi!" Saya mencari ibu Hanna. Apakah beliau ada?" Tanya Mariam gugup.
Mariam kelihatan tidak mau tahu dengan hubungan dokter Rendra dan wanita yang bersama dengan dirinya.
"Maaf mbak! anda salah fakultas mbak. Ibu Hanna mengajar psikologi, jadi fakultasnya bukan disini." Ucap ibu Isma lembut lalu menggandeng tangan dokter Rendra yang nampak canggung didepan Mariam, gadis yang dilamarnya sebulan yang lalu.
"Maafkan saya!" Terimakasih."
Mariam menutup pintu kaca itu lagi dan mencari ibu Hanna di fakultas lain.
"Astaghfirullah!" Apa yang dilakukan oleh dokter Rendra di sini?" Bukankah dia adalah pemilik rumah sakit?" Mengapa dia bisa berada di sini?" Apakah dia mengajar di sini juga?"
Pertanyaan demi pertanyaan memenuhi rongga dada Mariam, namun tidak ada satupun yang ia temukan jawabannya.
Ia malah terlihat kecewa dengan dokter Rendra, lelaki yang kelihatannya begitu serius melamarnya sebulan yang lalu di hari pemakaman ayahnya.
"Kirain tulus, nggak tahunya sama saja tabiatnya seperti itu. Lebih baik lupakan saja. Semua itu hanya kisah semu yang tidak berarti." Mariam menyalakan mesin mobilnya, hendak meninggalkan kampus tersebut.
Tok...tok..tok!"
Mariam melihat dokter Rendra yang memintanya untuk menurunkan kaca mobil.
Mariam tidak peduli dengan permintaan dokter Rendra. Ia kemudian menjalankan mobilnya tanpa menghiraukan teriakan dokter Rendra. Dokter Rendra menghadang mobil Mariam. Mariam membunyikan klakson mobilnya berkali-kali agar dokter Rendra menghindar dari mobilnya.
Ketika mobil Mariam berhenti, dokter Rendra buru-buru menghampiri pintu mobil Mariam. Gadis itu menurunkan kacanya.
"Ada apa Tuan dokter?" Tolong jangan menghalangi perjalanan saya!"
Ujar Mariam dengan wajah datar.
"Mariam apa yang kamu saksikan tadi, tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku dan ibu Isma tidak memiliki hubungan kekasih. Hubungan kami hanya sebagai rekan kerja saja dan tidak lebih dari itu." Ucap dokter Rendra gugup.
"Apakah kita memiliki hubungan tuan Rendra, hingga kamu ingin mengklarifikasi hubungan kamu dengan rekan kerjamu padaku?" Apakah anda lupa bahwa tadi anda mengatakan kepada ibu Risma mu itu, kalau anda tidak mengenal saya bukan?" Buatlah diri kita tidak pernah saling kenal satu sama lainnya. Mudah bukan?"
Mariam menekan gas mobil sedikit tinggi membuat dokter Rendra tersentak dan mundur. Dalam sekejap mobil milik Mariam sudah keluar dari tempat parkir kampus tersebut.
"Ah sial!" dokter Rendra menendang ban mobil orang lain yang ada ditempat parkir tersebut dengan perasaan kesal.
Ini semua gara-gara ibu Isma hingga aku harus kehilangan kepercayaan Mariam kepadaku. Bagaimana cara aku meyakinkan lagi gadis alim itu?" Dokter mengacak pinggang sambil menengadahkan wajahnya ke atas langit, seakan meminta pertolongan Tuhan agar dimudahkan niatnya untuk mendapatkan kembali kepercayaan Mariam.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Mariam mendengus kesal. Karena takut dikuasai emosinya oleh setan, gadis ini langsung berwudhu dan sholat mut'ah dua rakaat untuk menghilangkan sakit hatinya dan memohon petunjuk Allah.
Air mata kepasrahannya ia tumpahkan kepada Tuhannya. Hatinya terasa sangat sakit karena harus melihat adegan yang cukup menegangkan tadi.
Setelah cukup baik dalam menenangkan hatinya, gadis ini melanjutkan dengan melantunkan ayat suci Alquran. Ia terus membaca hingga hatinya benar-benar kuat kembali menata hidupnya.
"Permisi neng Mariam!" Di luar ada tamu untuk neng Mariam." Ucap BI Ijah santun.
Mariam tidak menanyakan siapa tamunya, ia lantas keluar begitu saja tanpa menanggalkan mukenanya.
Dokter Rendra yang sudah berdiri di ruang tamu tanpa ingin duduk terlebih dahulu, menunggu Mariam dengan cemas.
Langkah Mariam terhenti, saat melihat siapa tamunya. Karena setan dalam dirinya sudah pergi, ia kembali tampil dengan wajah lembut nan sejuk.
Dokter Rendra yang menatap wajah cantik Mariam nampak terpesona dengan penampilan Mariam yang masih menggunakan mukenanya.
"Assalamualaikum!" Sapa Mariam untuk membuyarkan lamunan dokter Rendra.
"Waalaikumuslam, Mariam!" Jawab dokter Rendra dengan bibir bergetar karena jantungnya yang tidak bisa di ajak tenang.
"Selama ini, hatinya tidak pernah bergetar berhadapan dengan wanita cantik manapun. Tapi mengapa dengan Mariam aku jadi mati kutu begini. Kaki dan tanganku seperti terikat. Dan lidahku kelu seperti di lakban. Ada apa denganku. Mengapa pesona gadis ini telah menghisap semua keberanianku?" Pikiran dokter Rendra makin berkecamuk.
"Mau minum apa tuan?" Tanya bi Ijah sopan.
"Terserah pemilik rumah saja." Jawab dokter Rendra.
"Siapkan teh herbal saja BI Ijah, seperti yang aku ajarkan kepada kalian!" Titah Mariam pada pelayannya.
"Silahkan sampaikan tujuan anda!" Ujar Mariam tegas.
"Mariam, aku datang untuk menjelaskan duduk perkaranya tentang apa yang kamu lihat tadi siang. Aku harap kamu mempercayai perkataanku, demi Allah aku tidak melakukan hal keji pada ibu Isma.
Setelah mendengarkan penjelasan dariku, terserah kamu boleh memutuskan apa yang terbaik menurutmu." Ucap dokter Rendra tanpa melihat lagi mata jeli nan menawan milik Mariam yang setiap saat seakan menusuk langsung ke jantungnya.
"Permisi Tuan!" Tehnya." Ucap BI Ijah.
"Terimakasih bibi!" Dokter Rendra mengangguk hormat pada BI Ijah, hal yang tidak pernah ia lakukan pada pelayannya di mansionnya.
"Silakan diminum dokter!" Tawar Mariam.
"Terimakasih Mariam!" Dokter Rendra mengetahui kualitas teh hijau yang disiapkan untuknya. Teh mahal yang biasa ia minum setiap kali berkunjung ke Cina.
"Tehnya sangat enak Mariam, kualitasnya sama bagusnya dengan teh yang ada di negeri Cina untuk para bangsawan Cina atau konglomerat yang bisa menikmati teh jenis ini." Ucap Dokter Rendra.
"Aku tahu tentang itu dokter Rendra, teh milik kami sudah banyak di ekspor ke luar negeri karena nilai kualitasnya sudah diakui dunia." Ucap Mariam.
Bibirnya dokter Rendra menyunggingkan senyumnya yang sangat manis hingga memperlihatkan dua lesung pipi miliknya yang makin menambah ketampanan dokter Rendra.
Deggg..
Debar jantung Mariam seakan terhenti melihat senyum dokter Rendra yang sangat menawan. Tapi ia kembali beristighfar, takut kalau permainan setan sedang berada di antara mereka.
Dokter Rendra menceritakan kembali bagaimana kronologi antara ia dan Bu Isma saat berada di ruang dosen. Mariam mendengarnya dengan terus berzikir untuk mendapatkan kekuatan dari Allah.
"Begitulah ceritanya Mariam." Dokter Rendra mengakhiri ceritanya dengan mengusap wajahnya.
Sementara Mariam menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan dengan lembut sambil membaca taauz.
Sekarang dokter Rendra menunggu keputusan Mariam, apa yang akan diucapkan oleh gadis ini untuk menanggapi curahan hatinya.
"Bagaimana Mariam?" Tanya dokter Rendra dengan perasaan cemas.
"Apakah demi meluruskan permasalahan tadi, anda rela datang ke sini dan menjelaskan semuanya kepada saya. Untuk apa?"
Saya sendiri tidak begitu peduli dengan gaya hidup anda yang terlihat menakutkan jika anda menjadi diri anda sendiri dan melepaskan topeng kedokteran anda yang terlihat terhormat di hadapan banyak orang." Ucap Mariam yang terlihat masih kecewa dengan dokter Rendra yang mudah sekali mendekati para wanita.
"Begini Mariam, saya sangat berharap kamu mempercayai perkataanku karena saya akan tetap menjadikan anda istri saya. Itu sudah tekad dan janji saya sebagai seorang pria yang sangat mencintai kamu dan sebagai seorang pria yang telah berjanji pada almarhum ayahmu untuk menjagamu dengan segenap jiwa ragaku." Ucap dokter Rendra tanpa putus asa untuk meyakinkan Mariam.
"Kehidupan kita sangat jauh berbeda. Pendidikan, latar belakang keluarga, gaya hidup dan pandangan hidup kita sangat jauh berbeda, apakah aku sanggup menerima semua kekurangan kamu atau tidak, itu yang membuat aku takut untuk bermimpi hidup bersamamu kelak.
Jadi kalau bisa tolong cari pasangan yang sesuai dengan selera awal kamu dengan menemukan wanita yang mudah kamu ajak untuk ke tempat tidur demi menghangatkan tubuhmu, tuan dokter Rendra." Ucap Mariam sinis.
"Oh iya, aku hampir lupa latar belakang keluargaku yang tidak seperti keluarga anda yang terpandang dari sisi yang kental dengan religi.
Aku bahkan tidak bisa menyebutkan satu huruf Al-Qur'an karena orangtuaku tidak memperhatikan kebutuhan rohaniku untuk mengisi jiwaku yang hampa dengan nilai-nilai moral sehingga aku tumbuh menjadi lelaki pecandu tubuh wanita cantik manapun yang bisa memuaskan hasrat birahiku.
Maafkan saya nona Mariam, ternyata surga yang anda tawarkan kepada saya terlalu tinggi untuk saya raih karena saya bukan berasal dari golongan sesama anda sebagai orang yang berilmu tinggi dalam mengenal nilai ketakwaan."
Permisi!" Assalamualaikum."
Dokter Rendra meninggalkan Mariam yang terpaku mendengar penuturan dokter Rendra yang merendahkan martabat dirinya sebagai manusia biasa yang jauh dari agama.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!