NovelToon NovelToon

Sebuah Penantian (Melepas Lajang)

Will You Marry Me?

"Will you marry me?"

Sebuah pertanyaan yang seharusnya disambut oleh Rili dengan penuh kebahagiaan karena kekasih yang telah bertahun-tahun menjalin hubungan dengannya kini melamarnya. Bukannya dia tidak mau atau dia tidak cinta. Tapi ada satu hal yang membuatnya meragu menerima lamaran itu segera.

Alvin berlutut di hadapan Rili dengan mengulurkan sebuah cincin. Berharap gadisnya berkata ya. Rili yang telah menemani perjalanan hidupnya mulai dari SMA sampai dia sukses dan memiliki sebuah cafe. Hanya dia tempat labuhan terakhir hidupnya.

"Rili, say yes please..."

Perkataan itu membuat Rili membuyarkan tatapan kosongnya. "Maksa?"

"Iya, udah pegal lutut aku." Suasana yang romantis seketika ambyar.

Rili tertawa, karena memang sedari tadi dia sibuk berkutat dengan pemikirannya sendiri. Dia kini meraih tangan Alvin lalu membantunya berdiri. "Tunggu ya, sebentar lagi. Bukannya aku gak mau tapi..."

Satu tangan kini mengusap lembut di puncak kepala Rili. "Aku tahu apa yang ada di pikiran kamu. Rasya kan? Kamu ingin Kakak kamu menikah dulu. Oke, aku akan menunggu tapi jangan sampai tua, karena aku gak mau jadi perjaka tua."

Alvin selalu saja bisa membuatnya tertawa. "Makasih ya..."

"Sama-sama. Kamu aja bisa nunggu aku sampai 4 tahun waktu aku tinggal kuliah diluar negri, masak aku nunggu kamu gak bisa." Alvin meraih jemari Rili lalu memakaikan cincin itu. "Cincinnya kamu pakai saja. Karena pernikahan kita hanya menunggu waktu bukan karena penolakan dari kamu."

Rili tersenyum lalu menatap cincin indah yang kini telah melekat di jari manisnya.

"I love you..." Alvin meraih tubuh itu dalam peluknya.

"I love you too." Rili membalas pelukan Alvin dengan erat.

Meski telah berpacaran hampir 8 tahun, rasa itu masih tetap sama. Bahkan terasa semakin besar. Seiring berjalannya waktu dengan berbagai rintangan yang mereka lalui membuat hubungan itu semakin kuat dan tentu pikiran mereka semakin dewasa.

"Rasya, kenalin sama teman kuliah kamu gitu, biar es kutub mencair."

"Udah, tapi tetap aja dingin kayak gitu. Udah hampir 8 tahun Kak Rasya masih belum bisa move on dari Dara."

"Memang berat melupakan seseorang apalagi..." Alvin menghentikan perkataannya, dia teringat lagi kejadian tragis itu, dimana Dara menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan Rasya.

"Iya, memang sulit melupakan semua itu."

"Hmm, apa Rasya gak tahu kalau adiknya ini udah kebelet kawin?"

"Ih, siapa yang kebelet kawin. Mas Alvin kali."

"Benar 200 persen. Biar gak lakuin khilaf yang disengaja kayak gini." Alvin menatap kedua netra Rili begitu dalam.

Selalu saja Rili tersihir dengan tatapan itu. Tatapan yang seperti magnet yang mampu menariknya untuk semakin mendekat.

Sudah tidak ada jarak di antara kedua wajah mereka. Kedua bibir yang menyatu dengan lembut menghantarkan sebuah rasa cinta yang teramat besar.

"Bos, ada apa katanya mang...." Kedatangan Aksa yang tiba-tiba ke taman cafe membuat bos yang sedang memagut cinta itu menjauh.

"Aksa!! Kan aku udah bilang kalau aku sama Rili di taman cafe jangan ada yang masuk termasuk kamu." Walau sebagai bos muda, tapi dia sangat tegas mengatur anak buahnya. Termasuk dalam hal ini, yah, tanda kutip sih sebenarnya. Dia hanya tidak mau privasinya diganggu. Apalagi sama Aksa, anak buah paruh waktunya yang sangat pecicilan dan terkenal playboy. Meski demikian dia andalan Alvin di music corner yang sangat pintar bermain piano.

"I-iya bos, maaf." Aksa menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. Ternyata Adit sengaja mengerjainya. Adit bilang padanya kalau Alvin memanggilnya. Bodohnya dia dengan polosnya mempercayai hal itu. "Tadi Mas Adit yang nyuruh saya ke sini katanya dipanggil bos. Kalau gitu saya permisi. Bos lanjut aja adegannya."

Alvin menghela napas panjang. Melanjutkan adegan? Sudah tidak mood. "Kamu main piano aja disitu, kita mau dansa." Mungkin itulah hukuman yang pantas untuk Aksa, menjadikannya obat nyamuk.

"Maukah kamu berdansa denganku?" tanyanya bak seorang pangeran sambil mengulurkan tangannya.

Rili hanya tersenyum lalu meraih tangan itu.

Kedua tangan Alvin kini berada di pinggang langsing Rili. Sedangkan kedua tangan Rili berada di pundak Alvin. Mereka mulai bergerak pelan mengikuti indahnya alunan nada yang tercipta dari gerakan jari Aksa di atas piano. Saling bertatapan lekat dan penuh cinta.

"Mas, masak Aksa ganteng gitu sering kamu marahi sih."

"Meskipun ganteng kalau salah ya tetap dimarahi. Lagian kamu dari dulu selalu muji kegantengan Aksa. Emang aku sama Aksa ganteng mana?"

Rili tersenyum sambil menatap wajah yang telah berhasil membuatnya tak pernah berpaling. "Ganteng Mas Alvin soalnya aku sudah dibutakan oleh cintamu." Rili menyandarkan dirinya di dada Alvin menyembunyikan wajah malunya.

"Berarti aslinya jelek dong."

"Bukan aku yang bilang ya."

Alvin tersenyum lalu satu kecupan mendarat di puncak kepala Rili. Kaki mereka masih bergerak pelan mengikuti alunan musik dengan tubuh yang saling menempel tanpa jarak.

Mereka bikin envy aja, untung bos. Rupanya nyala obat nyamuk semakin terang saja.

...***...

Setiap Momen

Sebuah lagu dari Stevan Pasaribu yang berjudul "Belum Siap Kehilangan" terdengar dari sebuah ponsel milik Rasya. Dia sedang serius menatap layar laptopnya, meski terkadang pikirannya melayang jauh entah kemana.

klik!!

Rili masuk ke dalam kamar Rasya yang memang telah terbuka dan langsung mematikan alunan lagu baper dari ponsel Rasya.

Seketika Rasya mengalihkan pandangannya dari laptop dan menatap adiknya yang kini sedang melipat tangannya.

"Rili udah pulang?"

Rili hanya menghela napas panjang lalu duduk di samping Kakaknya. "Stop dengerin lagu baper lagi."

"Cuma denger aja. Kenapa gak boleh?" Rasya kembali menatap layar laptopnya melanjutkan pekerjaannya.

"Biar Kak Rasya bisa move on. Ayolah, Kak Rasya sudah saatnya membuka hati untuk orang lain."

Rasya hanya tersenyum kecil. "Belum nemu aja yang pas."

"Itu, Nana masih ngejar Kak Rasya sampai sekarang."

"Nana udah aku anggap kayak adik sendiri. Sama kayak kamu."

Rili hanya menyebikkan bibirnya. Ada saja alasan Kakaknya itu.

"Udah, kamu jangan bingung mikirin aku. I'm fine." Rasya kini menutup laptopnya dan beralih menatap adiknya yang masih duduk dengan anteng di sampingnya. Dia tersenyum melihat cincin yang kini telah terpakai di jari manis Rili. "Alvin udah melamar kamu?"

Rili bisa menangkap arah pandangan mata Rasya. Seketika dia menyembunyikan cincinnya. "Bukan, ini cuma dikasih aja. Belum dilamar."

Satu cubitan kini mendarat di pipi Rili. "Gak usah bohong. Tadi waktu Alvin jemput kamu, dia bilang sama aku kalau mau melamar kamu."

"Ih.." Rili mengelak cubitan dari Rasya meski masih tetap kena.

"Gimana? Kapan rencana menikah?"

"Kak Rasya dulu yang menikah."

"Loh, kenapa aku? Udah cepat kamu sah kan hubungan kalian. Jangan mikirin aku." Rasya menangkup kedua pipi Rili meyakinkan adik yang terkadang keras kepala itu. "Kamu juga harus bisa memikirkan perasaan Alvin. Masa depannya sudah matang demi kamu. Dia udah ngebet loh mau nikah sama kamu."

"Alvin masih bisa nunggu kok."

Rasya tertawa lalu melepas tangannya. Dia berdiri dan meletakkan laptopnya di meja. "Kamu itu gak perlu nungguin aku. Cowok butuh kepastian dengan cepat. Nanti kalau Alvin kabur jangan nyesel loh."

"Ih, Kak Rasya kok ngomong gitu sih. Do'a Kak Rasya jelek!!" Seketika Rili berdiri dan menghentakkan kakinya. Melangkah dengan kasar menuju kamarnya.

Mendengar perkataan Rasya, Rili menjadi gelisah. Apa keputusannya itu salah. Dia melakukan ini karena dia sangat sayang dengan Rasya. Dia tidak mau menambah kesedihan hati Rasya. Meskipun dia mengerti, Rasya pasti akan bahagia jika melihat kebahagiaannya tapi tidak ada yang bisa membaca isi hati seseorang, bukan? Mungkin saja jauh di dalam hati Rasya, dia nelangsa meratapi hidupnya.

...***...

"Sya, sudah dapat sekretaris barunya?" tanya Papi Rizal pada putranya saat sarapan di pagi hari itu. Seperti biasanya mereka selalu mengobrol hal-hal kecil saat akan bersantap.

"Sudah Pi, nanti Doni yang akan mengurusnya."

"Kenapa Doni? Kamu interview sendiri biar tahu beneran klop gak cara kerjanya sama kamu. Siapa tahu hatinya juga klop," godanya pada Rasya, karena sebenarnya Papi Rizal tahu persis kalau Rasya masih menutup hatinya pada gadis lain.

Rasya hanya tersenyum kecil.

Sedangkan Rili sedari tadi hanya duduk menopang kepalanya sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya.

"Anak gadis Mami kenapa?" tanya Papi Rizal pada istrinya.

"Gak tahu, dari tadi pagi udah galau gitu."

"Habis dilamar kok galau," celetuk Rasya sambil menyantap makanannya.

Rili hanya melirik kesal pada Rasya. Kakak dinginnya itu memang terkadang mengesalkan.

"Oo, habis dilamar. Kapan orang tua Alvin mau ke sini?" tanya Papi Rizal.

Rili menegakkan duduknya lalu menggelengkan kepalanya. Apakah mereka tidak mengerti keinginan mulianya? Apa dia harus egois saja memikirkan kebahagiannya sendiri?

Rili mulai memakan sarapannya. Sambil tetap berdiam diri.

"Rili, kamu ke toko dulu ya. Nanti Mami susul."

Setelah lulus kuliah, Rili dan Maminya mempunyai sebuah toko pakaian yang lumayan besar. Dengan bantuan modal dari Papinya tentunya. Perkembangan yang cukup pesat dalam satu tahun karena tidak hanya buka secara offline tapi juga secara online di beberapa aplikasi ternama seperti aplikasi berwarna orange, hijau, pink, dan lainnya. Dia juga memiliki 3 anak buah yang membantunya bekerja.

"Iya Mi." tidak seperti biasanya yang harus berdebat dulu dengan Maminya ketika dia berangkat ke toko terlebih dahulu. Kali ini Rili seolah menjadi anak penurut dan manis.

Tanpa ada suara, ketika mereka semua mulai menghabiskan sarapan.

Rasya selalu selesai terlebih dahulu. Sebagai bos besar yang telah menggantikan Papinya di perusahaan properti selama satu tahun ini, Rasya sangat disiplin dalam hal waktu. Meskipun sudah menjadi seorang bos dia masih saja memiliki sifat introvert.

Rasya berpamitan kepada kedua orang tuanya yang beberapa detik kemudian disusul oleh Rili.

"Sepi ya, Mi." Rizal menggeser kursinya hingga berdekatan dengan istrinya yang masih setia menemaninya selama 25 tahun pernikahan.

"Iya, anak-anak sudah besar semua. Dan... Mami masih gak nyangka aja selama lima tahun terakhir ini kita kehilangan orang tua kita secara berurutan." Lisa menghela napas panjang. Dia teringat, ketika Mamanya tiba-tiba jatuh sakit lalu pergi meninggalkannya untuk selamanya, satu tahun kemudian disusul oleh Ayahnya dan tahun-tahun berikutnya mereka juga kehilangan Mama Ela dan Papa Alan.

Rizal merengkuh tubuh istrinya dan mengusap bahu itu dengan lembut. "Kita do'akan mereka ya. Semoga mereka mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah."

"Amin..."

"Rili, kenapa Mi? Dia ada cerita sama kamu?"

Lisa menghela napas panjang. "Sepertinya dia ingin melihat Rasya menikah terlebih dahulu sebelum dirinya."

"Aku juga sebenarnya masih mikirin Rasya, tapi Rili tidak perlu melakukan ini. Kasihan Alvin kalau harus nunggu Rili tanpa kepastian. Nanti biar aku coba bicarakan sama Pak Iwan tentang masalah ini."

"Iya, biar langsung sat set sat set gitu." Lisa berdiri dan membereskan meja makan. Menumpuk piring kotor lalu segera mencucinya.

Rizal beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati Lisa yang sedang mencuci piring lalu melingkarkan tangannya di pinggang Lisa. "Sat set sat set kayak Papi ya, Mi."

"Ih, Papi ingat umur. Udah tua."

Rizal justru mengendus dalam tengkuk leher Lisa yang masih tetap menjadi aroma favoritnya. "Belum juga kepala lima."

"Bentar lagi udah kepala lima."

"Yang penting masih kuat, Mi."

Setelah Lisa selesai mencuci piring, tiba-tiba suami yang semakin berumur semakin nakal itu mengangkat tubuhnya ala bridal style.

"Tuh kan, masih kuat Mi."

"Ih, Papi turunin."

Rizal tersenyum menggoda. Meski sudah berumur 48 tahun tapi wajah itu masih tetap tampan dengan guratan keriput yang halus tersamar.

"Iya, nanti Papi turunin di kamar."

"Papi, makin tua makin menjadi ya."

Rizal tak menggubris cicitan Lisa yang semakin hari semakin bawel. Wajah yang masih tetap cantik meski telah berumur 46 tahun itu tak akan bisa membuat Rizal berpaling sejak puluhan tahun yang lalu.

Lisa terdiam saat rasa hangat dan basah menyapu bibirnya sesaat.

"I love you..."

"I love you too..."

💞💞💞

Dia Siapa?

Seperti hari-hari sebelumnya, Rasya selalu disibukkan dengan berbagai berkas pengurusan proyek-proyek yang sedang berjalan. Kacamata minus yang terpasang di telinganya saat di kantor tidak membuat ketampanannya semakin berkurang tapi justru ketampanan itu bertambah berkali-kali lipat.

Tok! Tok Tok!

Sebuah ketukan pintu membuat Rasya menegakkan kepalanya. "Iya, masuk!"

Nana masuk sambil tersenyum dengan manis berharap Rasya kali ini tersihir oleh senyum manisnya. Nana, sahabat Rili semenjak SMP yang sangat menyukai Rasya akhirnya bisa bekerja sebagai bendahara di perusahaan itu sejak Rasya menjabat sebagai bos. Selain karena Nana adalah lulusan sarjana ekonomi, tentu dia bisa masuk perusahaan itu karena bujuk rayu dari Rili.

"Ini Pak, laporan keuangan bulan ini. Kalau ada yang masih salah atau ada yang perlu diperbaiki saya siap memperbaikinya."

Rasya meraih sebendel kertas yang telah berisi laporan keuangan kantor. Rasya melihatnya sekilas. Kerjanya cukup rapi dan yang paling penting Nana tidak mungkin terlibat kasus korupsi uang perusahaan seperti bendahara sebelumnya.

"Oke, bagus. Terima kasih ya.."

"Sama-sama Pak." Nana tak juga keluar. Dia kini duduk di depan Rasya yang berseberangan dengan meja. "Pak, gimana urusan hati?"

"Hati? Hati siapa?" Rasya kini memandang Nana yang masih saja berusaha menggodanya.

"Hati Pak Rasya. Bisa gitu mencair dikit biar ada sedikit celah untuk saya masuk ke dalamnya."

Rasya hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Dari dulu Nana memang tidak pernah berubah. Meski terkadang Rasya merasa risih juga, tapi dia sudah menganggap Nana seperti adiknya sendiri.

"Pak," Doni yang menjabat sebagai asisten pribadi Rasya masuk ke dalam ruangan Rasya. "Calon sekretaris yang akan bapak interview sudah datang."

"Kamu saja yang interview ya."

Doni menggaruk kepalanya. Dia sendiri bingung spesifikasi seperti apa yang diinginkan oleh Rasya sebagai atasannya. "Aduh, anu Pak, saya tidak berpengalaman dalam hal interview. Nanti cocok di saya kalau tidak cocok di Pak Rasya gimana?"

"Ya kalau menurut kamu cocok ya sudah terima saja. Besok bisa langsung kerja."

Doni menganggukkan kepalanya. "Kalau dari figurnya sih cocok Pak. Cantik lagi. Apa saya suruh masuk saja."

Nana melebarkan matanya. Perkataan Doni seperti seorang yang sedang mempromosikan barang. "Kak Doni, kualitas itu gak bisa dilihat dari casing."

"Sudah, sudah, kamu tunjukkan saja tempat dan cara kerja menjadi sekretaris di perusahaan ini. Nanti CV dan lamarannya kamu berikan pada saya."

Doni mengangguk paham. "Baik Pak." Lalu dia keluar menuju ruangan sekretaris yang berada di dekat ruangan Rasya.

"Saya terlalu cepat melamar ya Pak. Tahu gitu saya jadi sekretaris aja daripada bendahara. Kan sekretaris bisa ikut Pak Rasya kemana-mana kalau ketemu sama client dan cek lokasi."

Sebenarnya lama-lama kepala Rasya menjadi pusing mendengar suara Nana yang seperti kereta api berjalan.

"Tapi kata Kak Doni dia cantik. Wah, gawat. Coba aku lihat aja." Nana berdiri dan segera melangkahkan kakinya keluar.

Rasya hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat tingkah laku anak buahnya itu.

"Aaa, hantuuu!!!!"

Terdengar suara teriakan dari Nana yang cukup keras. Seketika Rasya berdiri dan keluar dari ruangannya.

"Ada apa?" tanya Rasya yang melihat Nana terduduk dengan lemas di ruang sekretaris.

"Tadi, saat Nana berpapasan dengan sekretaris baru itu, tiba-tiba dia teriak hantu. Karena kaget sekretaris baru itu langsung pulang."

Rasya mengernyitkan dahinya tak mengerti.

Setelah meminum air mineral baru Nana bisa berbicara dengan Rasya untuk memberikan penjelasan tentang apa yang baru saja dia lihat.

"Pak, jangan terima sekretaris baru itu. Dia itu arwah penasaran Pak. Jangan-jangan dia mau mencelakai saya atau Pak Rasya."

"Husstt, cewek cantik kok dibilang arwah penasaran." Doni tak setuju dengan tuduhan Nana. Jelas-jelas dia yang mewancarai gadis itu dan menjawab selayaknya manusia pintar.

"Doni, mana lihat CV nya."

Doni menyerahkan amplop berwarna coklat itu pada Rasya.

Setelah amplop coklat itu berada di tangan Rasya, dia membuka benang merah yang melingkar.

Matanya membulat bahkan jantung Rasya seolah berhenti beberapa saat ketika melihat pas foto yang berukuran 4x6 dengan background biru itu menampilkan seseorang yang sangat dia kenal dan yang tak mungkin bisa dia lihat lagi di dunia nyata.

"Gak mungkin!!!" Napas Rasya semakin cepat, dia membaca curriculum vitae nya sesaat. "Mana mungkin!!!" Rasya kembali memasukkan surat lamaran itu.

"Dia kemana?" tanya Rasya dengan panik.

"Barusan saya suruh pulang dan mulai bekerja besok."

Rasya segera berlari menuju pintu lift. Namun pintu lift masih juga tertutup. Dia tekan berulang kali tapi tidak juga terbuka. Rasya sudah tidak sabaran. Dia memutar langkahnya menuju tangga darurat tapi urung saat pintu lift itu terbuka. Lalu Rasya segera masuk ke dalam lift.

Beberapa karyawan yang berada di dalam lift menatap Rasya bingung. Karena wajah Rasya yang terlihat panik dan tegang.

Setelah pintu lift terbuka, Rasya segera berlari keluar dari lobi. Dia mengedarkan pandangannya ke tempat parkir. Tapi tidak ada orang sama sekali, hanya ada kendaraan yang terparkir dengan rapi. Dia memutuskan untuk bertanya pada satpam yang menjaga di pintu gerbang.

"Pak, lihat gadis yang baru saja selesai interview?"

"Baru saja keluar, Pak."

"Iya Pak. Terima kasih."

Rasya membalikkan badannya. Dia berjalan dengan lemas masuk melewati lobi lalu menuju lift dan kembali ke ruangannya.

Udah hampir 8 tahun, tapi aku gak mungkin bisa melupakan wajah itu.

Pintu lift terbuka. Dia berjalan melewati Nana dan Doni yang masih beradu argumen.

"Pak, sudah bertemu sama Dara? Dia manusia beneran atau hantu?" tanya Nana yang tidak digubris oleh Rasya.

"Udah aku bilang dia itu namanya Dira."

"Kak Doni, itu wajahnya Dara. Mantannya Pak Rasya."

"Astaga, kamu ngotot banget tadi aku tanya namanya Dira."

Rasya masuk ke dalam ruangannya dan membanting pintu cukup keras. Hal itu berhasil membuat Nana dan Doni terkejut. Seketika mereka terdiam karena mereka tahu hati bos introvert nya itu sedang tidak baik-baik saja.

Rasya duduk di kursi kebesarannya. Kembali membuka isi amplop coklat itu. Dia pandangi wajah yang benar-benar mirip dengan Dara. Kenangan buruk 8 tahun silam itu kembali terlintas di otaknya. Dara, telah pergi dalam dekapannya. Dia bukan Dara!

Rasya menghela napas panjang. Dia membaca nama asli gadis yang berada di pas foto itu.

"Dira Anggita? Dira Anggita, apa Dara memiliki saudara kembar? Alamat rumah ini, alamat rumahnya Om Dewa. Tapi kenapa Om Dewa tidak pernah cerita tentang Dira. Kemana Dira selama ini?"

Masalah itu berhasil menguras seluruh pikiran Rasya seharian. Dia bahkan tidak konsentrasi saat mengadakan meeting dengan client. Untunglah masih ada Doni yang selalu bisa diandalkan sebagai juru bicaranya.

Dia harus segera mencari jawaban dari semua pertanyaan yang ada dipikirannya.

💞💞💞

.

.

Hai, masih ada yang ingat kata-kata Dara untuk terakhir kalinya. Jawabannya ada di sini... ☺️

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!