Zaline Haena Cruise harus melanjutkan pendidikannya setelah lulus SMA. Di usianya yang baru menginjak 18 tahun, ia harus berangkat ke Inggris untuk mengambil kuliah jurusan bisnis. Zaline memang tidak menolaknya walaupun harus jauh dari keluarga yang paling ia cintai. Itu ia lakukan karena tanggung jawabnya kelak yang akan menjadi seorang Presdir pengganti ayahnya di perusahaan PT. Cruise Kontruksi.
Disaat ia kuliah di Inggris, gadis cantik itu memutuskan untuk tidak pulang ke negara asalnya. Sudah 7 tahun ia berada di Inggris dan selama itu hanya orang tuanya yang justru menjenguknya. Kini saatnya ia kembali setelah berhasil menyelesaikan kuliahnya.
Ilustrasi Zaline 👇🏻👇🏻👇🏻
*****
Pesawat dari Inggris akhirnya mendarat dengan selamat di kota D. Seorang gadis cantik turun dari pesawat, ia menatap matahari yang menyinari siang itu dengan kacamata hitamnya.
"Akhirnya aku pulang..." ucap gadis itu sambil tersenyum lebar.
Suara ketukan high heels nya terdengar nyaring saat berjalan di lantai bandara. Wanita itu menatap kesana kemari mencari keluarganya.
"Ciiiih... sepertinya tak ada yang menyambut kepulanganku." gumamnya kesal.
Ia mengambil ponselnya sambil mendorong troli kopernya, ia terus mengeluh dalam hati sambil melihat layar ponselnya.
"Kalian tidak merindukan aku, bahkan tak ada satu pesan pun..."
Belum selesai ia bergumam, ia ditabrak oleh seseorang dengan keras hingga ponselnya jatuh ke lantai bandara. Wanita itu geram, ia melihat ponselnya yang berantakan di lantai. Dengan kesal ia mengambil ponselnya itu sambil mengumpat.
"Apa kau tidak punya mata?" bentaknya sambil mendongakkan kepalanya.
Seorang pria tampan menatapnya dengan tajam. "Kaulah yang tidak punya mata." jawab pria itu sambil meninggalkannya begitu saja.
Wanita itu terbelalak, alih-alih minta maaf justru pria itu mengejeknya dan pergi begitu saja.
"Yeaaahhh...!!!" teriaknya.
Namun pria tersebut sama sekali tidak menoleh ke belakang, ia terus saja berjalan meninggalkannya. Dengan geram wanita itu melepaskan salah satu high heels nya. Ia sudah mengambil ancang ancang untuk melemparkannya pada pria itu.
"Kau rasakan ini...!!!" teriaknya lagi.
Namun seketika tangannya ditahan oleh seseorang. Wanita itu menolehkan kepalanya, emosinya seketika mereda saat melihat sosok itu.
"Baru saja kembali, apakah kau berniat membunuh orang nona cantik?"
"Bang Zi..." teriaknya sambil memeluk Zionel dengan erat.
"Oh ya Tuhan, gadis nakal... Abang merindukanmu." ucap Zionel.
"Aku bukan gadis nakal lagi bang, aku sudah besar. Aku pikir tidak ada yang menyambutku pulang." kata Zaline cemberut.
"Siapa bilang? Kami semua menjemputmu." sahut Stevani dari belakang Zionel.
"Kakak...!!!" teriak Zaline sambil melepaskan pelukannya dari Zionel lalu memeluk Stevani.
"Kau tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik sayang." ujar Stevani.
"Tentu saja, aku akan membuat pria manapun bertekuk lutut di kakiku." jawab Zaline seraya terkekeh.
"Tapi hanya pria tadi yang mengabaikan aku, pria brengsek." pikirnya kesal.
Pundak Zaline di tepuk berkali-kali, wanita itu seketika melepaskan pelukannya lalu menoleh ke belakang. Ia terbelalak saat melihat sosok anak laki laki berusia 12 tahun sedang menatapnya. Anak tampan yang sangat mirip dengan Zionel.
"Yoooo.... siapa pria tampan ini? Aku seperti pernah melihatnya." ejek Zaline.
"Ante... Ini Zeze..." jawabnya kesal.
Zaline seketika tertawa lalu memeluk keponakannya yang hampir tiap hari melakukan video call dengannya.
"Tentu saja aku tahu siapa kau Ze. Bagaimana aku bisa melupakan anak tampan ini?" ujar Zaline sambil mencubit pipi Zeze dengan gemas.
Siapa sangka Zeze langsung melepaskan tangan Zaline dari pipinya. "Aku sudah besar, jadi panggil aku Zeze saja bukan anak tampan. Dan jangan mencubit pipiku seperti melakukannya pada anak bayi." pinta Zeze.
Zaline terbelalak seraya melepaskan tawanya. "Oke baiklah... sesuai permintaanmu. Astaga, aku sungguh terkejut dengan putramu kak."
Stevani terkekeh geli.
"Hem... setelah menjadi wanita dewasa, apakah keusilanmu tidak berubah?" tanya Falera.
"Mommy..." teriak Zaline setelah mendengar suara ibunya.
Zaline memeluk ibunya dengan erat, walaupun ibu dan ayahnya nyaris sebulan sekali mengunjunginya, tapi rasa rindu itu terus ia rasakan. Zaline melepaskan pelukannya lalu mencari keberadaan ayahnya.
"Dimana daddy?" tanya Zaline.
"Daddy tidak bisa ikut, kau sudah tahu bagaimana kesehatannya. Daddy menunggumu di rumah bersama yang lain. Ya Tuhan... mommy sangat merindukanmu." kata Falera.
"Bukankah mommy baru bertemu dengannya sebulan yang lalu." ujar Zionel.
"Tetap saja mommy merindukannya." jawab Falera.
Zionel menggelengkan kepalanya. "Kita bisa melanjutkan pertemuan ini di rumah. Ayo kita pulang sekarang sebelum semakin sore." ajak Zionel.
Zaline dan semuanya menganggukkan kepalanya. Mereka meninggalkan bandara, namun sebelum itu, Zaline kembali menoleh ke arah pria yang menabraknya tadi tapi sosok itu sudah tidak ada disana. Ia mengumpat dalam hati seraya menghela nafas panjang lalu merangkul pundak Zeze. Mereka mulai melangkahkan kakinya menuju parkiran bandara.
*****
Zionel mulai mengendarai mobilnya menuju rumah besar Cruise. Zeze tak henti hentinya berbicara dan bertanya pada Zaline membuat mereka berkali-kali tertawa.
"Jadi kau sudah menyukai seorang gadis?" tanya Zaline.
"Tidak... ia hanya teman saja." jawab Zeze.
"Tapi mendengar ceritamu, sepertinya kau menyukainya." goda Zaline.
"Jangan racuni keponakanmu Zaline. Ia masih kecil." ujar Zionel.
"Aku bukan anak kecil lagi pa. Aku sudah besar." jawab Zeze.
"Dengarkan itu bang."
"Tidak... kau masih anak anak. Kau tak boleh berpacaran sekarang. Kau lihat antemu, ia masih saja lajang kan?" ejek Zionel.
"Kenapa jadi aku?"
"Karena ante memang tidak laku." ejek Zeze sambil tertawa.
"Yeah... enak saja. Aku sedang memilih bukan tidak laku." jawab Zaline membuat semuanya tertawa.
"Dan pria itu harus melangkahiku dulu sebelum menjadi pacarmu." ucap Zionel.
"Dengarlah itu kak Vani, bagaimana aku bisa punya pacar jika belum apa apa sudah ditakuti seperti itu."
"Tapi abangmu benar, siapapun yang mendekatimu harus melewati kami terlebih dahulu." jawab Stevani.
"Ciiiih... aku bukan anak kecil lagi."
"Bagi kami kau tetaplah gadis kecil." celetuk Zionel. "Lalu apa yang terjadi tadi di bandara? Kau ingin melemparkan sepatumu pada siapa?" imbuhnya.
"Pria gila." jawab Zaline kesal setelah diingatkan.
"Pria gila???" tanya mereka bersamaan.
"Tentu saja pria gila. Jika ia waras, tak mungkin pergi begitu saja setelah menabrakku. Dan lihatlah hasil dari ulahnya, ia menghancurkan ponselku. Menyebalkan sekali, bahkan ia mengataiku tak punya mata." jawab Zaline semakin kesal.
"Mungkin karena kau yang salah nona." ujar Zionel.
"Walaupun Zaline yang salah, pria macam apa yang seperti itu." sahut Stevani.
"Jangan membela adikmu sayang. Zaline sejak dulu memang ceroboh."
"Ck... abang selalu membuatku kesal."
"Ante bilang akan membuat pria manapun bertekuk lutut, sepertinya tidak dengan pria itu. Ia sama sekali tidak tertarik dengan ante." ejek Zeze.
Zaline mengumpat kesal. "Ia buta, bukankah pria itu menabrakku artinya ia tidak punya mata."
Mereka kembali tertawa mendengar kekesalan Zaline.
"Kau baru saja kembali nak, lupakan kekesalanmu itu." ujar Falera.
"Jika aku bertemu dengannya lagi, aku akan membuatnya menyesal karena memperlakukan aku seperti itu." jawab Zaline.
"Kalau aku jadi ante sih, aku tidak mau bertemu dengan orang seperti itu lagi." kata Zeze.
"Dengarlah ponakanmu, ia lebih cerdas. Kau sudah dibuat malu tapi masih saja ingin bertemu dengannya." ejek Zionel.
"Aku hanya ingin memberinya pelajaran saja."
"Sudah... sudah... Zio, kau suka sekali mengejek adikmu." kata Falera.
"Abang memang suka membuatku kesal. Lihat saja, aku akan membuat abang menyesal."
"Jika kau ingin memisahkan aku dengan kakakmu, jangan harap lagi Zaline. Aku tidak akan pernah mengalah lagi."
Seketika Stevani tertawa saat ingat bagaimana Zionel pernah menerima hukuman seperti itu. Sedangkan Falera hanya bisa menggelengkan kepalanya. Begitu juga dengan Zeze yang menatap mereka satu persatu karena bingung.
"Aku akan menceritakan sesuatu yang lucu Ze. Ini tentang papa dan mamamu saat kau masih dalam kandungan." ujar Zaline.
"Itu tidak lucu Zaline." kata Zionel.
Mendengar kekesalan Zionel seketika mereka kembali tertawa. Kali ini pria itulah yang merasa mulai diejek.
*****
Happy Reading All...
Hai para Reader Miss You, ini adalah kisah lanjutan novel "Aku Bukan Wanita Murahan". Namun kisah ini khusus menceritakan Zaline Haena Cruise yang harus jatuh cinta pada pemilik perusahaan pesaing perusahaannya sendiri.
Tetap dukung karyaku ya, jangan lupa like, komen, rate 5 bintang dan gift seikhlasnya. Terima kasih.
Ilustrasi Zaline 👇🏻👇🏻👇🏻
Mereka akhirnya sampai di rumah besar Cruise. Semuanya keluar dari mobil setelah Zionel berhenti tepat di halaman rumahnya. Zaline menatap rumah yang ia tinggalkan selama kurang lebih 7 tahun. Tak ada perubahan pada rumah besar tersebut kecuali warna cat dindingnya.
"Akhirnya aku benar benar pulang kemari. Aku merindukan semuanya." pikir Zaline.
Falera menepuk pundak putrinya. "Selamat pulang ke rumah sayang."
Zaline tersenyum seraya menganggukkan kepalanya. Pintu rumah besar tersebut terbuka lebar. Keluarga besar Cruise keluar bersamaan untuk menyambut kepulangannya. Zaline seketika tersenyum lebar, ia berlari ke arah mereka lalu memeluk keluarganya satu persatu.
"Aku merindukan kalian." ucap Zaline.
"Tentu saja kami juga merindukanmu." jawab Nicholas mewakili mereka semua.
Zaline melihat kesana kemari. "Dimana musuh bebuyutanku?" tanyanya.
Mereka tertawa, yang dimaksud Zaline tentu saja Roxy. Pria itu memang tidak datang saat ini untuk menyambutnya.
"Sepertinya Roxy sedang sibuk dengan kekasihnya Zaline. Om sudah berkali-kali menghubunginya, ia tidak mengangkat ponselnya." jawab Andreaz.
"Ckckck... ia melupakanku." keluh Zaline.
"Mana mungkin ia melupakanmu, ia akan datang." jawab Aida.
"Berhentilah mengeluh, lebih baik kita masuk terlebih dahulu." ujar Falera.
Mereka pun akhirnya masuk ke dalam rumah, rasa lelah Zaline menghilang saat berbincang bincang dengan keluarga besar Cruise. Banyak sekali pertanyaan untuknya, tentu saja Zaline sudah siap dengan pertanyaan pertanyaan mereka. Ia juga mulai menceritakan kehidupannya selama 7 tahun berada di Inggris.
*****
Setelah mereka selesai berbincang, Zaline pun berpamitan pada mereka untuk beristirahat sebentar sebelum makan malam tiba. Zaline menatap kamarnya yang sama sekali tidak berubah sedikitpun. Kamar itu tetap terawat seperti biasanya, ia tersenyum seraya menghempaskan tubuhnya ke atas ranjangnya.
"Kesehatan daddy semakin tidak baik, sepertinya aku benar benar harus segera mengambil alih perusahaan. Aku tak bisa lagi bersantai seperti dulu. Sebelum kembali, bang Zio sudah mengingatkan hal ini. Kakek... mengapa kau memberikan tanggung jawab besar ini padaku." pikir Zaline sambil menatap langit langit kamarnya.
Pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk membuat Zaline terkesiap. Seorang pria tampan tertawa karena berhasil mengejutkannya.
"Nona cantik... aku datang menyambutmu." ujar Roxy sambil membentangkan kedua tangannya.
Ilustrasi Roxy👇🏻👇🏻👇🏻
Zaline mengumpat seraya melemparkan bantalnya pada pria itu. Ia seketika turun dari ranjangnya mendekati Roxy. Wanita itu mengendus-endus tubuh Roxy.
"Jangan coba coba memelukku, aroma tubuhmu bau wanita lain." ujar Zaline.
Roxy terkekeh, ia mulai membuka kancing kemejanya membuat Zaline berteriak.
"Kau sudah gila Xy." teriak Zaline.
Roxy pun akhirnya tertawa terbahak-bahak. "Bukankah kau tidak mau memelukku karena ada bau wanita lain, jadi hanya dengan melepaskan bajuku aku bisa memeluk wanita cantik yang ada di depanku ini."
"Dasar pria brengsek..." jawab Zaline sambil tertawa.
Keduanya pun seketika saling berpelukan.
"Ya Tuhan... aku merindukanmu Lin." ucap Roxy.
Lin dan Xy adalah panggilan sayang keduanya. 12 tahun yang lalu keduanya semakin dekat, kemanapun Zaline pergi selalu dijaga oleh pria itu. Saat keduanya harus berpisah, itu membuat mereka sangat sedih, namun komunikasi mereka sama sekali tidak terputus. Bahkan siapa saja wanita yang dekat dengan Roxy, Zaline selalu mengetahuinya.
"Tapi aku tidak merindukanmu Xy." goda Zaline.
Roxy mengumpat seraya melepaskan pelukannya.
"Kali ini wanita yang mana?" tanya Zaline.
"Ck... tidak ada. Bagaimana kabarmu Lin?"
"Jangan mengalihkan pembicaraan, kau terlambat datang karena sedang bersama pacarmu kan?"
Roxy menghela nafasnya. "Aku sedang mempersiapkan bisnisku, bukan pacaran. Ini pasti ucapan papi dan mamiku kan?"
Zaline terkekeh. "Usiamu sudah 30 tahun, jadi kenapa jika kau sedang pacaran."
"Setelah kau pulang, apakah aku masih harus berpacaran? Tentu saja itu tidak mungkin."
"Jangan mulai lagi tuan muda, aku tidak akan menikahi sepupuku sendiri." jawab Zaline.
Roxy melepaskan tawanya lagi. "Kau terlalu percaya diri nona, kau bukan tipeku." ejeknya.
"Ciiiih... Jadi kali ini bisnis apa yang kau lakukan?" tanya Zaline.
"Aku lebih tertarik membicarakan tentangmu." jawab Roxy.
"Kabarku baik Xy, seperti yang kau lihat. Kita bahkan hampir tiap hari berbicara lewat telepon. Apalagi yang ingin kau tahu, aku selalu membicarakan kehidupanku saat di Inggris padamu."
"Kau tak pernah bicara soal pacarmu."
"Karena aku tak pernah memilikinya. Berbeda denganmu yang terus menerus berganti ganti wanita." ejek Zaline.
"Itu karena aku mencari pelampiasan setelah berpisah denganmu. Kau tumbuh menjadi wanita yang semakin cantik Lin. Jantungku selalu berdebar kencang ketika bersamamu, sama seperti saat ini." pikir Roxy.
"Hei... apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Zaline.
"Ah... tidak apa apa."
"Ciiiih... sepertinya pikiranmu sedang tidak ada disini. Kau masih memikirkan kekasihmu, lain kali bawalah wanita itu kemari, aku ingin lihat seperti apa pacar Xy ku."
"Tentu saja ia cantik. Beristirahatlah, aku akan menunggumu keluar saat makan malam."
"Tapi aku tidak yakin wanita itu bisa melebihi kecantikanku."
Roxy menghela nafas panjang. "Sayangnya kali ini ucapanmu benar, kau lebih cantik dari wanita wanita yang pernah dekat denganku."
"Ckckck... menyedihkan sekali." ejek Zaline.
"Katakan lagi." pinta Roxy mulai menggelitik pinggang Zaline.
"Tidak... aku tidak berani." jawab Zaline sambil tertawa.
"Katakan siapa yang menyedihkan?"
"Tidak... ampun Xy..."
Roxy menghentikannya. Ia menatap wajah Zaline yang memerah karena terus tertawa.
"Aku sudah gila karena menyukai sepupuku sendiri. Tapi perasaanku ini tidak bisa dikendalikan." pikir Roxy.
Roxy menarik Zaline kedalam pelukannya lagi membuat Zaline terbelalak. Tapi wanita itu membalas pelukannya karena memiliki perasaan yang tidak sama seperti yang Roxy miliki. Zaline hanya menganggap Roxy sepupunya dan rasa sayangnya sama seperti ia menyayangi keluarganya sendiri.
"Xy... mengapa kau tidak bekerja di perusahaan Cruise saja?" tanya Zaline.
"Haruskah?"
Zaline menganggukkan kepalanya. "Bagaimana jika menjadi asistenku nanti?"
Roxy melepaskan pelukannya. "Kau gila, mana mungkin tiba tiba aku menjadi asisten seorang Presdir. Kau berbeda denganku Lin."
"Apa bedanya? Aku yang memintamu menjadi asistenku nanti. Mungkin aku akan lebih nyaman memegang perusahaan saat bersamamu."
"Kau masih memiliki bang Zio untuk membantumu menangani perusahaan."
"Aku akan berbicara dengan mereka agar kau bisa membantuku."
"Jangan bercanda Lin. Selama ini aku tidak mau berurusan dengan perusahaan kakek. Jika tiba-tiba aku menjadi asistenmu, bukankah terdengar gila."
"Kau juga bisa berbisnis, kuliahmu juga jurusan manajemen. Aku rasa ide Zaline bagus." ucap Zionel seraya masuk ke dalam kamar Zaline.
"Bang Zi..." ucap keduanya bersamaan.
"Aku sedikit menguping pembicaraan kalian. Kesehatan daddy semakin tidak baik, ia harus segera pensiun dan menyerahkan perusahaan pada Zaline. Aku rasa tidak ada waktu lagi untuk mencari asisten Zaline. Kau bisa membantunya menangani perusahaan." kata Zionel seraya duduk di sofa.
"Tapi bang, aku sama sekali tidak pernah tahu soal perusahaan Cruise." kata Roxy.
"Kau sering datang saat aku panggil Roxy. Kau sedikit tahu soal perusahaan. Kau bahkan berkali-kali memberi masukan saat aku sedang berbicara dengan Alex. Aku rasa kau pasti bisa membantu Zaline."
"Jadi abang setuju jika Roxy menjadi asistenku nanti?" tanya Zaline.
Zionel menganggukkan kepalanya. "Pikirkanlah Roxy. Kau juga paling dekat dengan Zaline, kau bisa menjadi asistennya sekaligus menjaganya."
"Ayolah Xy... bantu aku." pinta Zaline.
Roxy menatap mereka bergantian. Perasaannya akan semakin sulit dikendalikan saat bersama Zaline. Tapi ia juga ingin terus menjaga Zaline seperti ini.
"Aku akan memikirkannya." jawab Roxy.
"Langsung jawab iya." pinta Zaline dengan wajah imutnya.
"Ya Tuhan... baiklah, iya." kata Roxy.
Zaline dan Zionel tersenyum lebar karena berhasil menarik Roxy ke dalam perusahaan Cruise setelah bertahun tahun Andreaz selalu membujuknya untuk bekerja di perusahaan.
*****
Happy Reading All...
Ilustrasi Roxy 👇🏻👇🏻👇🏻
Alvaro Yugosa sibuk dengan laptopnya di dalam pesawat, di usianya yang baru beranjak 26 tahun, ia sudah memiliki perusahaan konstruksi terbesar kedua di kota D. Perusahaan yang baru saja ia rintis bersama sahabatnya tersebut justru bisa cepat berkembang dan hampir menyaingi perusahaan sekelas perusahaan Cruise.
Kali ini ia harus terbang ke Jepang karena harus bertemu klien di negara tersebut. Ia tak pernah meninggalkan laptopnya walaupun sebentar saat sedang duduk seperti itu. Begitulah pria itu sangat serius dalam menangani perusahaannya hingga terkadang ia melupakan waktu makan dan istirahatnya.
Ilustrasi Alvaro 👇🏻👇🏻👇🏻
"Makanan anda belum disentuh bos." ujar Leo asistennya.
"Hm..." hanya itu jawaban yang keluar dari mulut Alvaro.
Alvaro memang memiliki sikap yang dingin dan arogan. Ia sulit diajak berbicara selain masalah pekerjaan. Ucapannya terkadang sulit dibantah oleh siapapun. Keputusan yang ia ambil tidak bisa diganggu gugat lagi.
"Bukankah anda tadi sangat keterlaluan." celetuk Leo.
Alvaro mendongakkan kepalanya seraya menatap asistennya. Pria itu menaikkan satu alisnya karena ucapan Leo yang tiba-tiba.
"Soal wanita yang anda tabrak tadi." sambung Leo.
Alvaro menutup laptopnya, ia mengambil makanan yang disediakan oleh pramugari lalu memakannya suap demi suap. Ia tak menjawab ucapan Leo yang sedang menghardiknya tentang masalah yang terjadi sebelumnya.
"Pak Al... anda..."
"Aku sedang makan Le. Apakah kau tidak lihat?" potong Alvaro datar.
Leo menghela nafas panjang seraya diam. Cukup lama keduanya tak berbicara. Leo terus bersabar menunggu atasannya menikmati makanannya. Setelah Alvaro menyelesaikan makannya, ia kembali membuka laptopnya tanpa menanggapi ucapan Leo tadi.
"Setidaknya anda tadi membantunya walaupun tidak meminta maaf." ujar Leo masih penasaran.
"Apakah itu salahku? Mengapa bukan kau yang membantunya?" tanya Alvaro.
"Aku tidak membantunya karena anda terus berjalan dengan cepat. Wanita itu benar benar kasihan, ponselnya bahkan hancur." jawab Leo.
"Cari tahu siapa wanita itu lalu kau belikan ponsel yang baru untuknya. Bukankah pekerjaanmu memang untuk menyelesaikan masalahku." celetuk Alvaro.
Leo menggertakkan giginya. Bukan masalah mengganti ponsel yang sedang ia bicarakan, tapi ia ingin atasannya sedikit memiliki hati.
"Dan berhentilah memanggilku pak Al. Aku masih belum menikah dan aku seumuran denganmu." imbuh Alvaro.
"Apakah asisten diperkenankan memanggil atasannya dengan nama." keluh Leo.
"Kau cerewet sekali hari ini Le. Kau membuatku pusing saat mendengarmu terus mengeluh." ucap Alvaro.
Pria itu kembali menutup laptopnya, ia menyenderkan tubuhnya lalu memejamkan matanya.
"Jika kau masih cerewet, aku akan melemparmu keluar dari pesawat." ancamnya.
Leo kembali menghela nafas panjang. Atasannya memang selalu bersikap dingin dan arogan. Pria itu sama sekali tak pernah mau mendengarkan ucapannya kecuali masalah pekerjaan. Tentu saja orang seperti Alvaro Yugosa tidak akan pernah meminta maaf pada siapapun, karena apa yang ia lakukan selalu ia anggap benar.
Ilustrasi Leo👇🏻👇🏻👇🏻
Satu satunya orang yang bisa mengatasi pria yang ada di sampingnya adalah sahabatnya sendiri. Alvaro yang keras kepala selalu diam dan mendengarkan apa yang diucapkan sahabatnya. Namun sayang, perjalanan mereka ke Jepang kali ini tidak bersama pria itu karena ia sedang ke Paris.
Benny Chandra adalah sahabat Alvaro Yugosa sejak ia sekolah menengah pertama, persahabatan keduanya bertahan hingga mereka pun membangun perusahaan konstruksi bersama. Hanya pria itulah yang mampu mengatasi sikap Alvaro yang selalu berbuat seenaknya.
Ilustrasi Benny Chandra 👇🏻👇🏻👇🏻
*****
Alvaro membuka matanya, ia menatap asistennya lagi.
"Apa ada lagi yang ingin kau katakan?" tanya Alvaro.
Leo menggelengkan kepalanya.
"Apa kau mengenal wanita itu?" tanya Alvaro.
Leo kembali menggelengkan kepalanya.
Jari telunjuk Alvaro memutari depan wajah Leo membentuk lingkaran. "Tapi wajahmu terlihat sangat kesal." ucapnya sambil melakukan itu.
"Aku tidak berani pak." jawab Leo.
"Kau bahkan tidak mengikuti perintahku. Berhentilah memanggilku pak pak pak. Sejak kau menjadi asistenku, bukankah aku sudah mengatakannya seperti itu. Dan kau sudah lebih dari satu tahun bekerja denganku Le. Apakah kau mau berhenti bekerja denganku?"
"Ah... tentu tidak pak... ehm... maksudku bos Al."
"Cukup Al saja."
"Mana mungkin, itu terdengar..."
Alvaro menatapnya tajam, seketika Leo menghentikan ucapannya.
"Baiklah... Al..." ucap Leo dengan terpaksa.
Alvaro menyunggingkan senyumnya. "Kau boleh formal saat ada orang lain di antara kita. Ketika kita berdua saja, cukup panggil namaku. Aku tidak ingin menjadi tua sebelum waktunya. Dan yang aku katakan tadi soal wanita itu benar benar serius, cari tahu siapa wanita itu dan beri ia ganti rugi, jika kau bisa menemuinya langsung itu lebih baik karena aku ingin menitipkan sebuah ucapan untuknya."
"Baiklah, aku akan mencari tahu tentangnya dan menyampaikan ucapan permintaan maaf anda."
Alvaro menyipitkan matanya. "Kapan aku bilang ingin minta maaf padanya?"
"Bukankah barusan anda..."
"Kau salah paham Le. Aku hanya ingin kau menyampaikan ucapanku padanya, teriakannya memekakkan telinga orang lain jadi berhentilah berteriak seperti orang hutan yang sedang kelaparan." potong Alvaro.
Mulut Leo langsung menganga karena terkejut. Atasannya justru kembali mengatai wanita itu seperti orang hutan kelaparan.
"Ya Tuhan..." hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Leo.
Alvaro menyunggingkan senyumnya, lalu kembali memejamkan matanya.
"Perjalanan kita masih 5 jam lagi, jadi berhentilah membicarakan hal yang tidak penting lagi. Jika kau berharap aku minta maaf pada wanita tadi, jangan harap Le. Dilihat dari sisi manapun, wanita itulah yang salah. Berjalan di tempat umum namun terus melihat ponselnya. Jadi ini bukan kesalahanku." ucap Alvaro.
"Baiklah, ia yang bersalah. Aku akan menutup mulutku sekarang." jawab Leo.
"Bangunkan aku setelah dua jam." pinta Alvaro.
"Baik bos."
"Ck... apa sesulit itu memanggil namaku?"
"Demi Tuhan, aku tidak nyaman pak."
Alvaro mulai menguap, ia tak ingin berdebat lagi dengan asistennya.
"Baiklah panggil aku apapun kecuali pak." ucap Alvaro.
Leo bernafas lega, setidaknya ia tidak harus memanggil atasannya dengan nama. Keduanya tidak berbicara lagi. Leo membiarkan Alvaro beristirahat sejenak. Sedangkan ia sendiri mulai mengambil tabletnya, memeriksa pekerjaan yang akan dipresentasikan pada klien nanti.
*****
Dua jam telah berlalu, Leo membangunkan atasannya. Tidak sulit membangunkan pria itu, hanya dengan sekali tepukan pelan di pundaknya saja, Alvaro langsung terbangun.
"Jam berapa ini?" tanya Alvaro tanpa membuka matanya.
"Jam 5 sore bos." jawab Leo.
Alvaro membuka matanya. Panggilan bos yang terus menerus dari mulut Leo membuatnya merasa aneh.
"Apa anda ingin makan atau minum sesuatu?" tanya Leo.
Alvaro menggelengkan kepalanya. "Bagaimana bahan presentasinya?"
Leo segera memberikan tabletnya pada atasannya. Alvaro langsung memeriksa pekerjaan asistennya, pria itu menganggukkan kepalanya berkali kali. Ia merasa puas dengan pekerjaan Leo seperti biasanya.
"Jika malam ini kita cepat selesai, kita langsung ke Paris." ujar Alvaro membuat Leo terkejut.
"Ke Paris?"
"Ben ingin aku kesana."
"Tapi perjalanan dari Jepang ke Paris sangatlah lama. Anda baru sampai ke Jepang, menangani pekerjaan lalu langsung kesana bukankah terlalu terburu-buru bos?"
"Ingin sekali aku memukulmu Le. Tentu saja kita beristirahat malam ini di Jepang. Maksudku kita bisa terbang ke Paris besok jika kita berhasil negosiasi dengan klien malam ini."
Leo menyeringai karena ia pikir harus berangkat malam ini juga.
"Baik bos, aku akan memesan tiket penerbangan ke Paris setelah melihat hasil pertemuan malam ini dengan klien." kata Leo.
Alvaro mengangguk seraya mengembalikan tablet milik Leo. "Berhentilah memanggilku bos terus menerus." pintanya. "Ya Tuhan... terserahlah kau panggil aku apa." imbuhnya.
Leo menahan tawanya seraya menganggukkan kepalanya. Alvaro kembali membuka laptopnya dan wajahnya mulai serius saat mulai bekerja lagi.
*****
Happy Reading All...
Ilustrasi Alvaro 👇🏻👇🏻👇🏻
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!