Di pagi hari yang cerah ini, seorang laki-laki sibuk berkaca di depan cermin mengenakan seragam barunya. Hari ini dia resmi pindah ke sekolah incaran siswa seluruh negeri setelah tiba-tiba mendapatkan sebuah beasiswa dari suatu perusahaan elektronik terbesar di negara.
Paginya dimulai dengan damai, jalanan yang tak terlalu ramai, udara yang sejuk dan bahkan bus yang tak terlalu penuh hingga harus berdesakan.
Dia berhenti di depan gerbang masuk yang sudah dipenuhi murid murid, menatap bangunan didepannya dengan tatapan kagum dan melangkahkan kaki untuk pertama kalinya ke bangunan itu.
...****************...
"Anak-anak, diam... Kalian punya teman baru," ucap sang guru yang masuk kelas diikuti laki-laki itu dibelakangnya.
Guru wali kelas yang sering disapa Bu Indri itu menatapnya, menyuruhnya memperkenalkan diri.
"Hai, gue Arshaka Pratama, salam kenal ya."
"Kamu bisa duduk di kursi kosong sebelah sana." Bu Indri menunjuk sebuah kursi kosong di baris kedua dari belakang yang sedang diduduki seorang perempuan yang menyembunyikan wajahnya di antara lengannya, mungkin sedang tidur?
Jam pelajaran pun dimulai setelah Bu Indri selesai mengabsen. Dan perempuan disebelahnya sama sekali tak bangun dan Bu Indri juga tampaknya tak mempermasalahkan hal itu.
Bel istirahat pun berbunyi. Beberapa orang murid menghampiri meja Arshaka dan memperkenalkan diri satu sama lain, bercanda dan menanyainya berbagai hal.
"Gue masuk di pertengahan semester karena tiba-tiba gue dapet beasiswa." jawabnya.
"Di tengah semester? Wah, lo pasti pinter banget dong,"
"Nggak kok, biasa aja." Arshaka menggelengkan kepalanya.
"Btw, gue Brian, panggil aja Ian." ucapnya sambil mengulurkan tangan dan langsung diraih oleh Arshaka.
"Lo bisa panggil gue Raka."
"Oke, kita berteman ya."
Ditengah itu, seorang pria tinggi masuk bersama dengan Zaki, si ketua kelas.
"Hey, dengerin sini." ucapnya sambil mengetuk papan tulis dengan penggaris yang dipegangnya, dan semua murid dikelas tampak fokus untuk mendengarkan.
"Sebentar lagi UTS dimulai, jangan malas-malasan dan belajarlah dengan giat. Setelah UTS berakhir nanti, festival olahraga akan diadakan dua hari setelahnya. Ini daftar perlombaannya dan setiap kelas wajib berpartisipasi, bentuk tim dan kumpulkan semuanya ke Zaki, deadline nya satu hari sebelum UTS berakhir." jelasnya tegas dan langsung keluar setelah menepuk bahu Zaki sekali.
Semua murid tampak senang dan menantikannya, mendiskusikan perlombaan apa yang akan mereka ikuti.
"Wah, festival olahraga pasti seru ya?" Raka menatap Ian di sebelahnya.
"Seru, selain banyak lomba, banyak juga stan unik yang dibuka beberapa kelas. Pokoknya lihat aja nanti." jawab Ian.
Tiba-tiba, meja Raka bergetar dan itu berasal dari ponsel perempuan yang masih tidur di sampingnya. Perempuan itu dengan malas meraih ponselnya di laci meja dan menjawabnya dengan suara serak khas bangun tidur.
"Hm?... Selesaikan sendiri atau aku yang menyelesaikan hidupmu."
Tak berlama-lama, perempuan itu memutus sambungan teleponnya dan mengangkat kepalanya. Rambutnya sedikit berantakan dan dia menatap Raka dengan mata menyipit.
"Siapa kau?" tanya nya sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Ah, gue Arshaka. Baru pindah hari ini, salam kenal..." Raka mengulurkan tangannya.
Perempuan itu hanya menatap tangannya yang terulur tanpa meraihnya.
"Tetap tutup mulutmu jika kau menjadi teman sebangku ku, aku tak suka keributan di waktu tidurku." ucapnya dingin lalu berdiri dan pergi.
Gue hanya menatapnya dan berkedip beberapa kali hingga disadarkan Ian yang menepuk punggung gue.
"Oi, ayo keliling sekolah, gue pandu."
"Oh, gue akan berterima kasih banget."
Raka dan Ian keluar dari kelas dan Ian pun memandu Raka berkeliling sekolah.
"Yah, ada 3 gedung utama. Gedung A untuk jurusan IPA dan gedung B untuk IPS. Masing masing ada 3 lantai sesuai tingkat kelas. Itu gedung utama, disana ada ruang guru, uks, perpustakaan dan fasilitas sekolah lainnya." jelasnya.
"Disini juga banyak klub yang aktif, dimulai dari klub olahraga, isinya basket, voli, sepak bola, tenis, bulu tangkis dan cheerleader. Terus klub lain seperti, klub memasak, theater, klub bahasa bahkan klub catur pun ada loh kalau lo minat." sambungnya.
Ian membawa Raka ke area dalam sekolah melewati lapangan luas tempat upacara ataupun apel pagi, dan melewati taman dengan air mancur dan pohon yang rindang.
"Ini gedung olahraga, tempat klub basket, dan tenis, klub tenis ada di lantai 2." Ian menunjuk area terbuka di lantai 2.
Gedung olahraga ini luas dengan lapangan basket dan kursi penonton yang berbaris rapi.
"Eh iya, ngomong-ngomong lo asalnya sekolah dimana?" tanya Ian penasaran.
"Ah, di SMK Swasta Pragamuda di kota sebelah."
"Oh, serius?"
Raka hanya mengangguk.
"Terus lo pindah kesini karena beasiswa karena nilai lo atau prestasi segala macem?"
"Nggak kok, gue gak tahu alasan gue dapet beasiswa buat sekolah disini."
Ian mengerutkan alisnya. "Loh terus?"
"Katanya sih, ayah gue udah lama daftarin gue."
"Oh ya? Seharusnya lo masuk saat kelas satu, kenapa baru masuk sekarang di kelas dua? Itupun di tengah semester."
"Gue aja gak tahu gue punya beasiswa, perusahaannya tiba-tiba telepon gue dan bilang begitu."
"Hm? Perusahaan apa?"
"Itu..." Raka berpikir sejenak. "Kalo gak salah MH Grup deh."
"MH Grup?"
Raka mengangguk. "Iya, MH Grup."
"Ayah lo kerja di perusahaan itu?"
"Nggak."
"Loh terus?"
"Ya gue juga gak tahu."
"Wah, hoki banget dong lo, temen gue aja gabisa masuk karena nilai rata-ratanya lebih rendah satu poin dari gue."
"Eh? Seketat itu?"
Ian mengangguk.
"Ayo pergi ke kantin, jam makan siang sebentar lagi berakhir, gue juga belum tunjukin kantinnya dimana kan?"
Ian menyeret Raka pergi ke kantin yang dipenuhi murid kelas satu sampai kelas tiga dari berbagai jurusan.
"Seperti yang lo lihat, ini selalu penuh." Raka mengikutinya berbaris di antrian yang tak terlalu panjang.
"Di sebelah sana ada toko juga, lumayan lengkap untuk ukuran toko di dalam sekolah, harganya juga ramah di kantong pelajar." Ian menunjuk toko yang ramai juga di sisi lain kantin.
Setelah mengantri agak lama dan mengambil makanan, Ian dan Raka mendapatkan tempat duduk di dekat jendela.
Di taman yang terlihat dari balik jendela, terlihat perempuan teman sebangkunya dan seorang pria tinggi duduk bersebelahan. Pria itu yang tadi memberikan pengumuman di depan kelas, dan dia sibuk dengan ponselnya, lalu perempuan itu memakan rotinya sambil membaca buku.
Ian yang menyadari arah tatapannya langsung berbicara.
"Dia Kak Rangga, mantan ketua OSIS dan kapten tim basket. Walau begitu, dia masih dipercaya guru-guru untuk mengurus OSIS." Jelasnya.
"Oh... Kalau dia mantan ketua OSIS, berarti udah kelas tiga ya? Jurusan apa?"
"IPA, kelasnya ada di lantai atas kelas kita."
Raka hanya mengangguk.
"Terus temen sebangku lo namanya Queensha, panggilannya Sasha. Mereka akrab banget sampai ada rumor kalau mereka pacaran."
"Jadi mereka gak pacaran?"
"Yah, mereka bilang nggak. Ah, dan Sasha juga putri sulung presdir MH Grup."
Raka tersedak minumannya.
"Putri sulung? Maksudnya pewaris misterius yang sering di bahas di internet itu?"
Ian mengangguk. "Iya, dan lo jangan terlalu akrab dengan dia ya, bahaya."
"Bahaya kenapa?" Raka menaikkan alisnya penasaran.
"Bahaya aja."
Setelah sekolah berakhir, Raka pulang ke rumah kost nya yang dia sewa dengan harga yang murah. Kamar kost nya berada di lantai dua, sedangkan pemiliknya menempati lantai satu. Dan entah kenapa Raka tak pernah melihat pemilik kost nya, hanya beberapa pria berbadan besar yang kadang keluar masuk rumah dibawahnya.
Kamar kost yang Raka tempati merupakan area rooftop yang terbuka dengan satu kamar lagi di depannya yang dihuni seorang mahasiswa kedokteran, dan satu bangunan lagi yang masih dalam tahap pengecatan.
Kamar kost nya tidak terlalu luas, ada ruangan utama yang berisi tempat tidur ganda, sebuah sofa dan meja serta sepasang kursi, lalu di ruangan sebelahnya ada dapur kecil lengkap dengan kulkas dan kompor, mesin cuci dan juga kamar mandi.
Rumah di bawah yang biasanya ramai entah kenapa kali ini terasa hening dan hanya ada suara samar kursi yang ditarik atau pintu yang dibuka, dan terkadang terdengar suara jeritan seorang pria yang juga samar, tapi suara itu ditutupi dengan alunan musik klasik yang di putar di lantai bawah.
...****************...
Keesokan paginya. Raka menjemur baju-bajunya di rooftop dan sebuah mobil van hitam memasuki area depan rumah. Seorang pria berbadan besar turun diikuti seorang perempuan berambut panjang yang tak lain dan tak bukan adalah Queensha, teman sebangkunya.
Sasha melihat pergerakan di rooftop dan menatap pria di sampingnya.
"Kenapa dia ada disini?"
"Ah, dia penghuni baru di lantai dua."
"Penghuni baru? Aku tak menerima laporan tentang itu." Sasha menatapnya dingin.
"Maaf, aku akan menanyakannya pada yang bertanggung jawab."
Sasha hanya menghela nafas.
"Sudahlah, panggil Bagas ke ruanganku dan berikan aku dokumen tentang penghuni baru itu." Sasha memasuki rumah itu tanpa menatap kebelakang, dan pria yang diperintahnya langsung menurut lalu mengikutinya dari belakang.
Setelah memasuki rumah itu, beberapa orang yang sedang berada disana langsung berdiri dan membungkukkan badan mereka ketika melihat Sasha masuk.
Sasha masuk ke ruangannya dan tak lama kemudian, pria itu masuk membawa Bagas dan dokumen yang diminta.
Sasha duduk di kursinya dan membaca dokumennya dengan teliti.
"Aku tak menerima laporan apapun darimu mengenai penghuni baru itu." suara dinginnya menggema di seluruh sudut ruangan, membuat Bagas merasa tegang.
"Maaf ketua, karena urusan beberapa geng sekitar, saya jadi menundanya dan akhirnya melupakannya."
"Syukurlah dia hanya anak SMA biasa, bagaimana kalau dia seorang polisi?"
"Saya akan menerima hukuman apapun."
"Ck, lupakan saja, lagipula tak ada gunanya aku menghukummu. Yah, justru ini akan membuat semuanya semakin mudah."
"Ya?"
"Kau ingat Lyodra pernah menawarkan suatu 'barang' padaku kan?"
Bagas membulatkan matanya. "Jangan-jangan..."
"Iya, anak itu 'barang' yang dia maksud."
"Berarti, dia akan menjadi bagian dari kita?"
"Entahlah, aku masih memikirkannya, jika kemampuannya bisa melebihi Rafel, mungkin aku akan memasukannya."
Bagas terdiam, bagaimanapun juga, Rafel adalah anggota yang paling diakui oleh Sasha dalam hal kekuatan, walau dia hanya setahun lebih tua dari Sasha. Tapi aura Rafel layaknya seorang pembunuh berantai.
"Bagaimana introgasinya malam tadi?" suara Sasha memecah lamunan Bagas.
"Ah benar, Dion adalah mata-mata yang dikirim geng Black Dragon, dan dia sudah mengakui semuanya malam tadi."
"Mayatnya?"
"Sudah diurus Gilang." jawab Bagas.
"Bagus, kumpulkan anak-anak nanti malam." Sasha berdiri dari kursinya.
"Baik, ketua." Bagas membungkukkan badannya saat Sasha pergi meninggalkan ruangan.
...****************...
Jam makan siang.
Raka dan Ian duduk berhadapan menikmati makan siangnya di kantin. Mereka tampak asik mengobrol sampai tiba-tiba terdengar suara nampan dan alat makan yang jatuh, semua mata tertuju pada sumber suara.
Sasha berdiri dengan baju yang kotor dan basah, dan seorang perempuan berdiri di depannya sambil menunduk.
"Maaf, gue gak tahu lo ada disana."
Sasha hanya menghela nafas. "Jika kau tahu apa semuanya akan berubah?"
"Apa?"
"Sudahlah, apa yang akan kau lakukan dengan seragamku?"
"Um... Aku akan mencucinya dan mengembalikannya padamu sebelum sekolah berakhir."
"Lalu selama itu apa yang kupakai?"
Perempuan itu terdiam.
"Aku bertanya." suara dingin Sasha terdengar menusuk.
"Aku... Aku bisa meminjamkan jaket ku."
Kerumunan itu terbelah ketika Rangga masuk dengan baju basketnya yang basah karena keringat.
"Loh, baju lo kenapa?" Rangga menghampiri Sasha.
"Menurutmu kenapa?" jawab Sasha dingin dan ketus.
"Jangan galak sama gue." Rangga menyentil dahi Sasha yang langsung diberikan tatapan tajam oleh gadis didepannya.
"Iya iya, gue tahu gue ganteng. Ayo pergi, jangan buat keributan." Rangga menyeret Sasha keluar kantin, dan Sasha hanya memutar matanya malas.
...****************...
Setelah kejadian itu, Sasha tidak kembali ke kelas sampai pelajaran terakhir. Tas dan semua barangnya bahkan Rangga yang membawanya.
Rangga masuk ke mobilnya, Sasha duduk disampingnya sibuk dengan ponselnya yang langsung Rangga ambil dan lemparkan ke kursi belakang.
"Kau mau mati ya?" ketusnya.
"Udah dibilang jangan galak sama gue."
"Cih, kau beruntung aku sedang berbaik hati hari ini."
Rangga hanya menghiraukannya dan mengendarai mobilnya.
"Mau makan dulu?"
"Aku tak lapar."
"Gue lapar, lo mau makan apa?"
"Ugh... ramen." jawab Sasha singkat.
"Gue maunya sushi."
"Terus kenapa bertanya?"
"Bercanda, kita makan ramen."
Sasha diam sepanjang perjalanan, menatap jalanan dari balik jendela dengan wajah kesal.
"Gue denger lo punya mainan baru." Rangga memecah keheningan
"Zaki yang bilang?"
"Iya, siapa?"
"Bukan seseorang yang penting."
"Itu bukan jawaban, Sha."
"Ck, memang apa hubungannya denganmu?"
"Gak ada, gue cuma penasaran. Jadi siapa?"
"Anak baru di kelasku."
"Ada anak baru di kelas lo?"
"Ada, namanya... Siapa ya..." Sasha berpikir sejenak, "Raka atau Neraka, aku lupa."
"Kali ini dari siapa?"
"Lyodra."
"Ah, kalau dia seumuran lo, apa bakal lo jadiin pacar?"
Sasha menatap Rangga tajam.
"Itu hal teraneh yang pernah kudengar dari mulutmu."
"Kenapa tidak? Siswi SMA biasanya lagi ada di masa-masa kasmaran."
"Itu tidak berlaku untukku."
"Jangan terlalu sibuk dengan organisasi, lo punya kehidupan sendiri."
"Jangan sok menceramahiku saat kau juga tak jauh berbeda denganku."
"Jangan membalikkan ucapan gue. Lo beruntung gue lagi nyetir."
Sasha hanya mendengus malas dan memutar matanya.
"Malam ini lo sibuk?"
"Yah, ada satu dua misi, kenapa?"
"Ini sudah dua minggu."
"Tidak, aku sedang datang bulan."
"Apanya?" Rangga menatap Sasha bingung.
"Bukan itu?"
"Bukan, apa pikiran lo isinya cuma hal mesum semua?"
"Lalu apa?"
"Misi terakhir kali, ini sudah dua minggu dan gue belum nerima laporan apapun tentang itu."
"Ah, penjualannya sukses, aku akan memberikan bagianmu nanti."
...****************...
Beberapa hari kemudian, di akhir sabtu yang mendung.
Raka memasuki gerbang rumah kost nya setelah kembali dari supermarket untuk membeli makanan dan camilan. Dan secara kebetulan juga, Sasha keluar dari rumah utama dan menatap Raka yang terkejut melihatnya disana.
"Tunggu, lo tinggal disini?" tanya nya sambil menunjuk Sasha.
"Hm? Rumah ini milikku."
"Eh? Apa?"
"Aku yakin kau tak tuli."
"Maksud gue, lo tinggal disini sama om-om berbadan besar itu? Dia ayah lo?"
"Penghinaan macam apa itu?" ucapnya dengan wajah kesal, dan pria yang Raka maksud pun berdiri tak jauh di belakang Sasha.
Sasha menghela nafasnya dan menatap Raka.
"Ikut aku." Sasha berjalan meninggalkannya dan naik ke lantai dua.
Raka hanya mengikutinya dengan diam, dan setelah Sasha berdiri di depan pintu kamarnya, Raka dengan segera membuka kuncinya dan membiarkannya masuk.
Sasha masuk dan langsung duduk di sofa sambil bersandar.
"Duduk." Raka duduk di ranjangnya di depannya.
Sasha merogoh tas nya dan mengeluarkan map kuning lalu memberikannya pada Raka.
"Jadi, kau putra Andika Wijaya?"
Raka menerima map itu dan membukanya.
"Iya, lo kok tahu." Sedetik kemudian, Raka membulatkan matanya saat melihat semua informasi tentangnya dan seluruh keluarganya dan juga sebuah surat yang ditanda tangani oleh ayahnya.
"Ini... Maksudnya apa?"
"Tertulis disana, kau sudah kubeli."
"Apa?"
"Bukankah ayahmu kecanduan judi dan memiliki banyak hutang? Menurutmu bagaimana dia bisa melunasi semuanya padahal dia hanya bekerja sebaga kuli bangunan dan gajinya tak seberapa."
"Maksudnya... Lo yang bayarin?"
"Bukan."
Raka langsung dibuat bingung dengan perkataan Sasha yang tak konsisten.
"Ayahmu menjualmu ke Lyodra, kau tau dia siapa?"
Raka hanya menggelengkan kepalanya.
"Dia mafia terkaya nomor 3 di negeri ini. Singkatnya, Ayahmu menjualmu padanya dan dia menjualmu padaku. Jadi sekarang kau milikku."
"Tunggu... Gak mungkin ayah gue jual gue gitu aja, itu pun sama seorang mafia."
"Lalu apa yang ingin kau percaya? Bagaimana kau menjelaskan situasimu saat ibumu kabur dan ayahmu tiba-tiba menghilang 4 tahun lalu?"
Raka terdiam, mengetahui kalau dia juga tak memiliki alasan dan tak mengetahui keberadaan ayahnya saat ini.
"Ayah gue lagi kerja di luar kota."
"Dimana?"
"Um... Di luar kota."
"Lihat, kau saja tak tahu dimana keberadaan ayahmu. Intinya, sekarang kau milikku. Kau hanya punya dua pilihan, hidup sebagai budakku atau bayar aku kembali untuk kebebasanmu."
Perkataan Sasha kemarin malam terus menggema di kepalanya.
"Hidup sebagai budakku atau bayar aku kembali untuk kebebasanmu."
Raka menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong. Walau sekilas, dia sempat melihat nominal uang di surat dokumen itu, dan itu jumlahnya bukan main-main. Kalaupun dia bekerja, butuh puluhan bahkan ratusan tahun untuk mengumpulkan uang sebanyak itu agar dia bisa bebas.
Sebenarnya kenapa ayahnya begitu tega menjualnya, bukan pada sembarang orang tapi seorang mafia nomor 3 di negara ini. Itukah sebabnya ayahnya tak bisa dihubungi 4 tahun lalu setelah beralasan akan bekerja ke luar kota?
Selama ini Raka hanya hidup dengan tabungan yang diberikan ayahnya dan terkadang dia harus bekerja paruh waktu untuk menambah uang jajannya, itupun sudah menipis dengan biaya sewa kamar kost dan biaya makannya.
Haruskah dia mencari pekerjaan paruh waktu setelah sekolah selesai?
Raka hanya menghela nafas dan bangun dari ranjangnya lalu keluar untuk mencari udara segar.
Raka berlari kecil di sepanjang trotoar, cuaca pagi ini cerah dan hangat sehingga memungkinkan untuknya berolahraga walau dia jarang sekali melakukannya.
Raka beristirahat di sebuah mini market dan membeli sebotol air dan roti lapis tuna.
...****************...
Sore harinya, hujan turun dengan begitu deras. Suara petir bahkan menggelegar memekakkan telinga.
Suara ketukan di pintunya terdengar, dan tak berlama-lama, Raka membukanya dan figur seorang pria tinggi dan putih berdiri disana sambil memegang payung berwarna kuning.
"Ketua... Maksud nya, Sasha mau bertemu lo." ucapnya.
"Gue? Kenapa?"
"Apa menurut lo, gue tahu?" jawabnya ketus dan langsung pergi, Raka pun mengikutinya dan menumpang sepayung dengannya.
Setelah memasuki rumah di lantai bawah, walau dari luar terlihat tidak terlalu besar, ternyata dalamnya sangatlah luas. Meja panjang dan banyak kursi diletakkan di ruang tengah, di belakangnya terdapat TV dan game konsol, disisi lain terdapat dapur kecil, toilet dan juga ruangan yang memiliki simbol tertentu, sepertinya itu ruangannya Sasha.
Pria tinggi itu mengetuk pintu yang memiliki ukiran simbol itu dan membukanya setelah sebuah jawaban terdengar dari dalam.
"Udah gue bawa, sekarang gue boleh pergi kan?" tanya nya dengan nada arogan.
"Tidak, diam disini beberapa jam lagi." jawab Sasha tak kalah dingin.
"Duduklah, Arshaka."
Raka yang berada di tengah-tengah ketegangan antara mereka, hanya duduk dengan tenang di depan Sasha.
"Rafel, kau juga duduklah."
Pria yang dipanggil Rafel itu menghela nafas dan duduk di sebuah sofa.
Sasha lalu menatap Raka dengan lekat.
"Kau bisa berkelahi?"
Pertanyaan itu membuat Raka terkejut, dan sedetik kemudian Raka langsung menggeleng.
"Hm? Tidak bisa?" Sasha menaikkan sebelah alisnya.
"Tidak."
Sasha memijat pelipisnya dan bersandar di kursinya.
"Lyodra... Bajingan itu menipuku..." gumamnya
Raka hanya terdiam, sama sekali tak tahu harus berbuat apa.
"Yah, satu-satunya yang bisa dibanggakan darimu hanyalah wajahmu."
Sasha berdiri dari kursinya.
"Yah, untuk sementara kau akan masuk tim Rafel, turuti apa perkataanya."
Rafel terkejut mendengarnya dan ikut berdiri dari sofa.
"Tunggu, maksud lo apa?" protesnya.
"Kau memprotesku?"
"Iya."
Sasha menghela nafas dan menatap Rafel dengan lekat.
"Tim gue udah penuh, gue gak mau ngajarin anak ingusan ini semua hal."
"Komisi mu akan kutambah 20%."
Rafel menyilangkan lengannya di depan dadanya dan berdiri membelakangi pintu.
"25%, gue akan setuju."
"Ugh... Iya, 25%."
Rafel tersenyum menang dan langsung mengajak Raka keluar dari ruangan itu.
Dan sejak saat itu, Raka menjalani hari-hari melelahkan di bawah bimbingan Rafel. Setiap hari setelah dia kembali ke kost nya setelah sekolah, Rafel langsung menemuinya dan memulai sesi 'latihan' nya, walau Raka tak tahu untuk apa sebenarnya dia melakukan hal ini.
...****************...
Dan hari ini, rumah di lantai bawah tampak sangat ramai dipenuhi banyak laki-laki yang belum pernah Raka lihat.
Rafel melambaikan tangan padanya menyuruhnya untuk turun dan Raka langsung turun tak lama kemudian.
"Ada apa?" Tanya Raka penasaran.
"Apa lagi? Kita akan rapat 30 menit lagi."
"Rapat? Rapat apa?"
"Lihat aja nanti, dan ini akan jadi penugasan pertama lo."
Raka hanya diam mendengarkan, banyak pertanyaan yang melintas di kepalanya.
Seorang laki-laki tinggi, putih dengan rambut terangkat memperlihatkan dahinya keluar dari rumah itu, dan wajahnya terlihat familiar di mata Raka.
"Ketua dan wakil divisi masuk, sisanya tunggu di van." ucapnya dengan nada perintah yang langsung dituruti mereka semua.
"Tunggu di van 3." Rafel menepuk bahu Raka sebelum masuk ke dalam rumah ditemani satu orang lagi.
Rafel duduk di kursinya dan tak lama kemudian, Sasha keluar dari ruangannya dan duduk di kursinya di ujung meja. Suasana di ruang rapat itu seketika menjadi tegang, suara laki-laki di sampingnya menjadi pemecah suasana tegang.
"Kalian tahu kan kalau organisasi pusat kita ada di Rusia? Pagi ini, sepupu gue dan Sasha nelepon gue. Dan kerjaan kali ini termasuk 'red case', sangat penting." tegasnya.
Suasana di meja semakin tegang setelah mendengar kata 'red case'. Mereka tahu betapa berbahayanya misi kali ini.
"Intel kita sudah mendapat informasi kalau 'dia' ada di negara ini dan sedang menyamar, jadwalnya teratur dan setiap jam 6 sore, dia akan datang ke tempat kasino lalu pulang setiap jam 2 pagi." sambungnya.
"Wah, bajingan ini maniak judi." ucap Rafel menggelengkan kepalanya.
"Kalau misi ini selesai, lo akan kasih gue liburan ke Jepang kan?" Tanya Gilang menatap Sasha.
"Nathan, sebenarnya darimana kau membawa bajingan ini?" Sasha menatap laki-laki di sampingnya yang sedang sibuk menjelaskan.
"Lo sendiri yang merekrutnya." jawab Nathan.
"Misi yang lalu kan sudah kubayari liburanmu ke Jerman." Sasha menatap Gilang kesal.
"Itu kan Eropa, lagian ke Jepang gak semahal ke Jerman."
Sasha menghela nafas dan menatap Gilang sambil tersenyum.
"Boleh, setelah melewati ruang putih."
Gilang menelan ludah dan menatap Sasha tanpa berkedip. Ruang putih berarti rumah sakit, itu artinya perempuan psikopat di depannya ini akan menjual salah satu organnya. "Jadi, bagaimana rencananya?" Gilang kembali menatap Nathan.
...****************...
Sisa rapat berjalan dengan lancar, membahas rencana keseluruhan tentang misi kali ini. Setelah melalui ketegangan yang berlangsung sekitar 45 menit ini, mereka akhirnya keluar dan masuk ke van tim masing-masing.
Sasha dan Nathan masuk ke mobil berbeda, dengan salah satu anggotanya yang menyupirinya.
Rafel masuk ke van 3 dan menjelaskan ulang rencana yang akan dijalankan, seluruh tim nya mendengarkan dengan baik dan mereka langsung memakai earpiece mereka setelah Rafel selesai.
Perjalanan menuju gedung 'Casino core' diselimuti suasana tegang. Sepertinya tempat yang di tuju berada di luar kota, mengingat betapa panjangnya perjalanan ini membuat Raka mengantuk dan Rafel yang duduk di depannya menyadari hal itu dan menyenggol kaki Raka dengan kakinya.
"Jangan tidur, 5 menit lagi sampai." ucapnya membuat Raka membenarkan posisi duduknya, dan tak lama kemudian mobil berhenti di pinggir hutan yang gelap.
"Loh, bukannya kita pergi ke gedung kasino?" tanya Raka yang dipenuhi tanda tanya.
"Itu tugas Gilang dan anggotanya. Kita disini karena lo masih pemula."
"Ah, tugas kita ngapain?"
Rafel membuka bagasi mobil van dan di dalamnya banyak kapak dan gergaji. Rafel memberikan satu kapak kepada Raka, dan Raka menerimanya dengan tatapan penasaran.
"Lo gabisa berkelahi, tapi manjat pohon bisa kan?" tanya nya dan Raka hanya mengangguk pelan.
"Kalau begitu sana pergi, panjat pohon dan potong dahan yang sudah diikat kain putih." ucapnya.
Beberapa anggotanya membawa kapak dan gergajinya lalu memanjat beberapa pohon dan menebang beberapa dahan atau daun.
Rafel menyalakan laser ke langit dan mengedipkannya dua kali, di kejauhan terlihat cahaya laser merah yang merespon.
Rafel mengangguk dan menatap semua anggota tim nya.
"Kita pergi ke titik A, sisanya bereskan disini." ucapnya dan langsung dibalas anggukan oleh beberapa anggotanya.
Raka, Rafel dan beberapa anggotanya memasuki mobil lalu pergi ke lokasi selanjutnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!