Hallo semuanya, selamat datang di cerita Mommy yang ke - 21🙈
Semoga suka yah, dan sebelum membaca ini, di sarankan untuk membaca kisah remaja seorang Langit Gaharu di, “Langit Biru” agar lebih nyambung.
Jangan lupa like, komen dan vote nya yah, terimakasih 🥰🥰🥰
...🍁Happy reading🍁...
...*...
...*...
...*...
Di tengah rintik hujan. Seorang gadis yang bertubuh mungil dan berambut panjang yang di ikat ekor kuda, tengah menatap marah pada sebuah makam yang tak bersalah. Tangan nya mengepal dengan sangat erat, dirinya belum pernah bertemu atau mengenal siapa yang terbaring di dalam makam tersebut, namun rasa iri dan benci begitu memenuhi relung hati nya.
“Kenapa bukan aku aja sih yang jadi anak pertama? Kenapa bukan aku aja yang mati lebih dulu? Kenapa bukan aku yang ada di posisi kamu?”
“Aku tidak mengenal mu, bahkan bertemu dengan mu pun aku belum pernah. Tapi kenapa aku harus seperti mu? Kenapa?”
“Aku capek Kak, aku capek!” pekik nya frustasi sambil memukul mukul sebuah makam yang sejak tadi ia jadikan pelampiasan kemarahan nya.
Dialah Jingga Alesha Syarif, adik kandung dari Azura Septiana Syarif (Biru). Setiap kali ia marah dengan keadaan, pasti ia akan melampiaskan nya kepada sang kakak yang sudah lama tiada. Bahkan, kakak nya meninggal di saat dirinya belum lahir ke dunia. Memang tidak akan ada gunanya, namun ia merasa setelah melampiaskan kemarahan nya, maka hatinya akan merasa lebih lega dari sebelum nya.
“Aku benci sama kamu, aku benciii!” teriaknya lagi dan kini ia semakin brutal, hingga tiba tiba ia merasa bahwa tangan nya di cengkram kuat oleh seseorang.
“Apa yang kau lakukan, hah!” sentak seorang laki laki yang entah sejak kapan berada di belakang nya.
“Siapa kamu?” Seru Jingga berusaha melepaskan cekalan tangan pria itu.
“Harusnya aku yang menanyakan ini, siapa kamu. Dan untuk apa kamu bersikap seperti itu disini? Apakah kau pasien rumah sakit jiwa, hah!”
“Bukan urusan kamu!” Sentak Jingga lalu segera mendorong tubuh laki laki itu dengan sekuat tenaga, “Lepasin gak!” serunya lagi ketika laki laki itu malah semakin mencengkram tangan nya dan enggan untuk melepaskan.
Rahang laki laki itu mengeras hingga guratan guratan nadinya terlihat dengan sangat jelas, menandakan bagaimana marah nya laki laki itu. Namun Jingga tidak memperdulikan nya ..
Bug!
“Damtt!” pekik laki laki itu langsung melepaskan tangan Jingga ketika ia merasakan sakit luar biasa di area selatan nya.
Ya, jurus jitu yang Jingga keluarkan yaitu kekuatan lutut. Meskipun Jingga perempuan, tapi dirinya sedikit tahu tentang cara melepaskan diri dari orang jahat. Dan kelemahan seorang laki laki hanya pada area selatan nya, tentu saja Jingga tahu itu. Melihat lawan nya mengaduh kesakitan, Jingga memanfaatkan nya untuk kabur dan berlari kembali ke mobil nya.
“Tunggu! Auuwhh! Siall!” Jingga hanya tersenyum sinis ketika masih mendengar teriakan laki laki tersebut, setelah sampai di mobil, ia segera melajukan mobil nya untuk pulang sebelum laki laki itu kembali mengejar nya.
“Untung dulu, Ayah ngajarin aku bela diri, ya walaupun gak begitu ahli, setidaknya sedikit berfungsi dalam keadaan seperti ini. Cih dasar om om gila!” cetus nya berdecak kesal.
“Huuhh, rasanya males banget untuk pulang ke rumah. Tapi aku mau kemana? Ini udah sore, emmmttt... “ Jingga berfikir sambil mengetuk ngetuk setir mobil nya ketika di lampu merah.
“Ah, gimana kalau kita ke kosan Nadin dulu.” Jingga segera memutar setir nya dan menuju kosan sahabat nya.
Hanya tempat itu yang menurut Jingga adalah tempat paling aman dan nyaman, dirinya tidak harus bertemu dengan orang rumah nya yang akan membuatnya kembali stres dan tertekan.
Nadin, adalah gadis yatim piatu yang merantau dan bersekolah sambil bekerja. Sesekali Jingga akan membantunya meminjamkan uang untuk membayar Kos. Tapi Jingga tidak pernah mau di kembalikan, ia selalu mengatakan itu sebagai uang patungan karena dirinya sering menginap di kosan Nadin.
Sempat terpikir di benak Jingga untuk hidup sendiri juga, namun niat itu ia urungkan karena tidak tega dengan orang tuanya. Walau pun ia kesal dan marah, dengan bunda nya, namun ia juga tidak mau menjadi anak durhaka. Karena kini hanya dirinya lah, anak satu satunya orang yang bunda miliki.
...*...
...*...
...🍁🍁🍁...
“Habis sunat lagi kamu, Lang?” tanya Maxim ketika melihat kedatangan sahabat lama nya di kantor nya.
“Diam!” bentak Langit dan langsung mendudukkan dirinya di sebuah sofa.
Gerry dan Maxim berusaha sekuat tenaga untuk menahan tawa nya, namun nyatanya keduanya tidak bisa, ketika dimana mereka melihat Langit yang begitu kesusahan untuk duduk.
“Hahahaha, kamu kenapa sih? Kebanyakan? Atau malah jadi impotent?” tanya Gerry yang sudah melepaskan tawa nya.
“Sialan kalian berdua!” Langit langsung melemparkan botol minum yang ada di meja ke arah Gery dan Maxim.
“Eits!” Beruntung Maxim berhasil menangkap botol minum tersebut sebelum mengenai wajah nya, “Lagian kamu kenapa? Datang datang jalan begitu, kaya orang habis sunat.”
“Atau mungkin sebelum kamu kemari, kamu main dulu sama cewek—“
“Aku bilang diam, ya diam!” geram Langit dan kini ia melemparkan bantal sofa ke arah wajah Gerry.
“Tadi aku ke makam Biru, aku lihat ada cewke gila di sana yang lagi nangis dan marah marah. Ya aku kesel, pas aku marah malah dia nendang ini—“ ucap nya sambil melirik ke arah bawah.
Bukan prihatin, Gerry dan Maxim malah semakin tak bisa menahan tawa nya. Bagaimana tidak, Langit, sudah lama meninggalkan Indonesia, sekali pulang dirinya langsung mendapatkan sambutan untuk adik kecil nya.
“Makanya Lang, buruan nikah. Mau sampai kapan coba di anggurin? Gak kasihan? Udah karatan terus kena tendangan, ckck, astaga. Aku gak bisa bayangin nya,” kata Maxim bergidik ngeri.
“Sialan kalian berdua!” pekik Langit lagi lagi malah semakin kesal.
Memang benar, sejak kepergian sang kekasih tujuh belas tahun yang lalu, hingga kini Langit tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun. Apalagi untuk emnikah? Sama sekali belum terfikirkan dalam kamus besar nya, walau pun para sahabat nya sudah pada menikah bahkan sudah ada yang memiliki anak. Namun Langit masih betah dengan kesendirian nya, di hatinya nama Biru masih melekat indah tertanam di sana.
Mawar putih masih selalu ia bawa kemana pun, bahkan di rumah barunya kini di penuhi oleh tanaman tersebut. Setelah tujuh belas tahun ia meninggalkan Indonesia, baru tadi pagi ia menginjakkan kaki di tanah air kembali, dan tujuan utama yang ia datangi ialah makam kekasih nya. Namun, pemandangan dimana ia melihat seorang gadis yang mengamuk di makam Biru tadi, membuat mood nya marah dan berantakan.
“Tapi BTW, siapa cewek itu? Cantik gak? Mungkin aja itu jodoh mu,” kata Gerry yang langsung di balas anggukan kepala oleh Maxim.
“Ngaco!” sungut Langit langsung menggelengkan kepala nya, “Masih kecil, kayaknya bocah SMP. Gayanya bar bar kaya preman!”
“Bocah SMP?” Gerry dan Maxim bergumam seolah berfikir siapa gadis yang di maksud oleh Langit.
“Sudahlah, gak usah bahas itu lagi. Jadi gimana?” tanya Langit langsung menatap serius kepada dua sahabat nya.
“Kamu yakin akan menetap di Indonesia lagi?” tanya Maxim tanpa menjawab pertanyaan Langit.
“Dan gimana soal wanita yang di jodohkan dengan mu di sana? Kamu yakin akan melepas perusahaan itu dan—“
“Aku sudah yakin!” jawab Langit dengan cepat, “Cih laki laki tua itu, dia pikir aku tidak bisa berdiri sendiri. Dia lupa siapa aku,” cetus Langit dengan senyum menyeringai di wajah nya.
Alasan lain kepulangan Langit kali ini adalah untuk menghindari perjodohan yang sudah ke berapa kalinya dari sang ayah. Langit masih belum bisa melepaskan Biru walaupun sudah belasan tahun. Langit di ancam bila kali ini menolak perjodohan maka dirinya akan di usir dan semua kekayaan dari ayah nya akan di bekukan.
Langit tidak perduli akan itu, karena selama ini ia bekerja ia tidak pernah menghamburkan uang. Tanpa sepengetahuan ayah dan kakek nya, Langit sudah mendirikan perusahaan sendiri di Indonesia, dan selama ini Maxim lah yang mengurus perusahaan itu dengan menggunakan nama Maxim, agar ayah dari Langit tidak bisa mengetahui nya.
“Jingga! Ka—kamu ngapain disini?” pekik Nadin ketika melihat kedatangan sahabat nya sudah di depan pintu kamar kost.
“Aku lagi kesel, mau nginep sini lagi, boleh yah?” pinta Jingga dengan wajah memelas.
“Maaf Jingga, tapi kayak nya gak bisa. Besok aja gimana?”
“Emang kenapa?” tanya Jingga langsung mengerutkan dahi nya menatap Nadin.
“Eng—enggak papa sih, cuma ... ja—jangan sekarang yah, plis ... “
“Kamu ngumpetin cowok yah?” tebak Jingga dan langsung menunjuk wajah Nadin.
Glek!
Jingga bisa melihat dengan jelas bagaimana Nadin bersusah payah menelan saliva nya, “Yaelah, hahahaha muka kamu biasa aja Nad, ya udah kalau kamu lagi sibuk sama doi. Aku pulang, bye bye.”
Jingga terkekeh melihat wajah Nadin yang terlihat begitu tegang, sementara Nadin langsung menghela nafas nya lega ketiak Jingga sudah pergi dari kost-an nya.
‘Hampir saja,’ gumam Nadin, lalu ia segera masuk ke dalam kamar dan mengunci nya.
Dengan terpaksa, Jingga akhirnya pulang ke rumah karena tidak memiliki pilihan lain. Rumah mewah dan megah yang seharusnya terlihat indah dan nyaman, kini terasa begitu mencengkram untuk seorang Jingga ketika sang ayah tidak berada di rumah.
Sebelum masuk ke dalam rumah, ia menarik nafas nya dengan cukup dalam, lalu perlahan ia membuka pintu dan berharap tidak bertemu dengan bunda nya.
“Kamu dari mana?”
Deg!
Tubuh Jingga langsung terasa kaku ketika mendengar suara wanita paruh baya yang kini ternyata sudah menunggu nya di sofa ruang tamu.
“Bu—bunda ... “ gumam Jingga terbata.
“Kenapa jam segini kamu baru pulang hem? Kamu gak tahu gimana bunda khawatir nyariin kamu? Kalau kamu kenapa kenapa gimana? Ingat sayang, kamu ini anak perempuan, banyak orang jahat di luar sana.” Ucap bunda Elsa langsung memeluk tubuh Jingga.
“Maaf Bunda, tadi Jingga ke rumah Nadin dulu untuk menanyakan tugas besok.” Ucap Jingga sedikit gugup.
“Nadin?” bunda langsung mengerutkan dahi nya, “Siapa Nadin?”
“Bu—bunda sudah minum vitamin bunda?” tanya Jingga sedikit takut.
“Vitamin apa? Bunda gapapa kenapa harus minum vitamin? Yang harusnya tanya begitu itu Bunda, Sayang. Kamu sudah meminum obat dan vitamin kamu hem?” tanya bunda tersenyum menatap Jingga.
“U—udah Bunda. JI—Jingga udah minum tadi,” jawab Jingga dengan cepat.
“Bohong!” teriak bunda Elsa tiba tiba yang membuat tubuh Jingga semakin bergetar.
“Bunda, Jingga mau ke kamar dulu, Jingga--- aaahhhhh! Bunda sakiittt!” pekik Jingga yang merasakan sebuah jambakan di rambut nya dari sang bunda.
“Kamu belum minum obat Sayang, bunda dari tadi nungguin kamu. Ayo, sekarang kita minum obat kamu dulu. Bunda gak mau kamu kenapa kenapa, bunda gak mau kamu tinggal lagi, bunda gak mau.”
“Bunda hiks hiks Jingga gak akan kemana mana lagi. Jingga gak akan pergi, hiks hiks lepasin Jingga Bunda,” ucap Jingga penuh permohonan.
“Biru, Sayang ... nama kamu Biru bukan Jingga. Oke, jangan buat Bunda khawatir lagi,” kata bunda Elsa begitu lirih.
“I—iya Bunda, Bi—Biru gak akan buat Bunda khawatir lagi. To—tolong lepasin rambut Biru, Bunda. Sakit hiks hiks hiks.”
Melihat putrinya terisak, sontak bunda Elsa langsung melepaskan cekalan tangan nya dan langsung menatap Jingga dengan tatapan penuh rasa bersalah.
“Maafin Bunda, sayang. Maafin Bunda,” ia langsung memeluk Jingga dan menumpahkan tangis penyesalan nya.
Sejak kepergian Biru, bunda Elsa mengalami depresi yang cukup parah. Dan saat itu, dokter baru mengatakan bahwa Elsa tengah hamil dan kehamilan itu sudah memasuki bulan ke empat. Itu berarti, sejak Biru masih ada, Elsa sudah hamil hanya saja tidak di ketahui.
Setelah melahirkan Jingga, keadaan Elsa sudah lebih baik, hanya saja sesekali akan ada dimana dirinya kembali terpuruk dan menganggap bahwa Jingga adalah Biru.
Hal yang membuat Jingga begitu membenci Biru, ialah keadaan sang bunda yang terus menganggap dirinya sebagai Biru. Bahkan, tak jarang bunda Elsa memaksa Jingga untuk meminum obat obatan Biru dulu. Beruntung, fisik Jingga jauh lebih kuat dari Biru, hingga ia bisa bertahan hingga kini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!