"Haaahh...capek sekali hari ini.." keluh Marisa sambil duduk di depan pintu dan menyandarkan kepalanya. Ia melihat jam tangannya,waktu sudah menunjukan pukul tiga sore. Sebentar lagi ia harus pergi ke kampus,tapi hari ini ia merasa lelah sekali.
Mungkin karena Restoran khusus masakan khas Padang yang menjadi tempatnya bekerja sambilan tadi ramai sekali ketika jam makan siang,ato mungkin memang ia yg kelelahan karena selama berhari-hari tidak tidur sibuk menyusun skripsinya.
"Hari ini luar biasa ya, yang datang.." Lenna menepuk pundak Marisa kemudian duduk di sampingnya.
"Gara-gara diskon 20%." Marisa tertawa,membuat wajah wanita itu semakin cantik. Marisa memang cantik. rambut panjang sepunggung, bentuk alis yang sempurna, mata hitam yang berbinar-binar, bibir mungilnya yang berwarna pink alami. Semua itu terbingkai sempurna dengan kulit putih dan tubuhnya yang langsing-menjurus ke kurus sebenarnya...
"Ngomong-ngomong bagaimana dengan Pak Erwin..?" tanya Lenna dengan ekspresi nakal,dia menyengol pundak Marisa pelan.
"Sudah lah,jangan mulai lagi.."Marisa tertawa kecil. "Aku nggak ada waktu untuk hal seperti itu.Aku menggangap beliau sama seperti rekan kerja yang lain."
"Nggak ada salahnya kan mencoba..?" Lenna mencoba meyakinkan sahabatnya."Kurang apa coba Pak Erwin..?Masih muda sudah jadi Manager, wajah nya ganteng, baik, ramah dengan bawahan.Dan aku yakin, klo kau menerima nya hidupmu akan lebih baik.Setidaknya kau tidak perlu kerja sambil kuliah gini."Lenna melirik Marisa. "Bahkan sabtu-minggu pun kau gunakan untuk kerja.."Lenna menghela nafas,seolah ia yang kelelahan dengan semua itu.
"....Masih banyak hal yg ingin aku lakukan" kata Marisa setelah beberapa detik terdiam. "Aku ingin membahagiakan orang tua ku dan menyekolahkan adikku sampai dia lulus. Aku nggak ingin keluargaku di rendahkan lagi oleh sodara yang lain hanya karna kami miskin." Marisa terdiam sesaat,ia menunduk kemudian kembali mengangkat wajahnya dan memandangi Lenna. "Aku juga punya cita-cita yang ingin aku wujudkan." lanjutny sambil tersenyum. "Jika aku menerima beliau,kemudian menikah,aku harus mengubur dalam-dalam semua cita-cita dan keinginanku tersebut."
Gadis berambut ekor kuda itu terdiam memandangi Marisa, ia tersenyum berusaha mengerti pemikiran sahabatnya.
"Baiklah,tapi perhatikan juga kesehatan dan makanmu." kata Lenna sambil menepuk pundak Marisa.
Tiga tahun Lenna mengenal Marisa. Mereka bertemu ketika sama-sama mendaftar kerja di Restoran Padang ini. Melihat fisik Marisa, awalnya Lenna mengira Marisa anak orang kaya yang iseng kerja sambilan,apa lagi saat Lenna tahu kalo Marisa kuliah di Universitas Jayabaya.
Universitas yang terkenal elite di kota nya,Universitas yang tempat parkirnya selalu dipenuhi dengan mobil-mobil mewah seperti showroom,Universitas yang Alumni nya mengisi deretan Mentri,Dokter sampai Pengusaha di Negeri itu.
Tapi ternyata Lenna salah,Marisa hanya anak seorang Guru honorer bergaji rendah yang bahkan gaji nya tidak bisa mencukupi kehidupan keluarganya sehari-hari. Ibu nya hanya ibu rumah tangga biasa yang kadang kala membuat pesanan kue untuk menambah uang belanja.
Adik laki-lakiny masih duduk di bangku SMA yang setiap saat memilih untuk berhenti sekolah saja dan bekerja karena dia tidak mau Kakak perempuannya bekerja terlalu keras untuk membiayai sekolahnya yang setiap tahun selalu naik.
Jujur Lenna kagum dengan Marisa,dia bisa saja memanfaatkan wajahnya sekedar untuk mendapat "uang tambahan" tanpa perlu bersusah payah. Tapi sahabatnya itu tidak mau, bahkan jijik dengan wanita yang mau-mau nya melakukan hal memalukan seperti itu hanya demi uang.
"Nggak sampai tidur bareng." Suatu kali Lenna pernah menyarankannya. "Hanya menemani sambil menuangkan minum. Lumayan,satu kali nya bisa sampai 500 ribu. Klo kau mau di pegang-pegang sedikit, kau bisa dapat uang lebih. Semalam 2 juta bukan hal yang mustahil." Lenna menyakinkan.
"Nggak Len," tolak Marisa. "Aku memang butuh uang, tapi aku juga punya harga diri. Setidaknya harga diri itu lah satu-satu nya barang mahal yang aku punya." lanjut Marisa sambil kembali mengangkat kursi-kursi untuk kemudian di letakakan di atas meja.
Saat itu Restoran Padang itu telah tutup dan mereka berdua bertugas menyapu, mengepel dan merapikan meja serta kursi.
Lenna menjadi malu sendri. Mungkin sejak itu lah Lenna yang biasanya punya "sampingan" di Klab Malam mulai berubah. Ia meninggalkan itu semua dan mulai serius bekerja dengan pekerjaan yang sekarng. Ia menjadi lebih tekun dan dalam waktu 1 tahun gajinya naik.
Yah,sebenarnya naik pun tidak seberapa di bandingkan dengan pekerjaan "sampingannya" tersebut.Tapi melihat Marisa, Lenna mejadi lebih bersyukur dengan apa yang dia dapat. Di samping itu ia juga menjadi lebih kreatif dalam menghasilkan uang. Selain bekerja di Restoran Padang, Lenna sekarang juga merangkap berjualan baju dan aksesoris secara online.
Lumayan keuntungannya, karena dia memakai sistem drop ship jadi ia tidak perlu modal. Hanya berbekal ponsel dan ia tinggal membuat akun medsos yang berisi baju dan aksesoris yang ia jual,segala pengiriman di lakukan oleh resellernya. Sehingga ia masih bisa tetap fokus pada pekerjaan utamanya di Restoran Padang ini.
Marisa tidak pernah tahu, tapi bagi Lenna, kata-kata Marisa lah yang menyelamatkannya dari lembah dosa itu. Lenna tidak tahu apa yang akan terjadi padanya, klo saja dia tidak bertemu dengan Marisa. Terbukti banyak dari teman-teman Lenna sekarang terjerumus menjadi *******.
Semua berawal dari cuma sekedar menemani menuangkan minum kemudian bersedia di pegang-pegang dengan iming-iming mendapat uang lebih. Sampai akhirnya berakhir di tempt tidur dan terjebak dalam dunia portitusi.
Sejak itu Lenna berjanji pada dirinya sendri akan selalu membantu dan mendukung Marisa. Tidak akan Lenna biarkan seorang pun menyakiti Marisa, ia berjanji akan menjadi sahabat terbaik Marisa. Tempat di mana Marisa bisa mencurahkan semua beban hidupnya.
Tapi sampai 3 tahun berlalu pun Marisa tetaplah menjadi orang yang tertutup,ia lebih suka mendengarkan cerita beban hidup orang lain dari pada menceritakan tentang beban hidup nya sendiri.
Seperti sekarang,Marisa di sukai Manager di Restoran tempat ia bekerja ini. Mungkin wanita lain akan menjadi salah tingkah dan sudah mengobral gosip tentang dirinya dengan Pak Manager, atau bahkan memanfaatkan situasi dengan berlagak menjadi Bos.
Tapi Marisa lain,ia tetap diam dan bekerja seperti biasa,seolah tak terjadi apa pun.Padahal banyak yang iri padanya karena mendapat perhatian lebih dari Managernya yang tampan dan baik itu.
"Harusnya kau merasa beruntung Sa.." kata Lenna lagi sambil bertopang dagu. "Aku penasaran tipe laki-laki seperti apa yang nanti bisa menaklukan hatimu." lanjutnya dan di sambut tawa kecil Marisa.
"Entah lah Len.." Marisa bangkit dari dudukny. "Sudah jam segini, aku harus berangkat kuliah." katanya sambil melihat jam di tanganya.
"Hati-hati,yaa.." Lenna tersenyum sambil melambaikan tangannya.
Marisa segera masuk ke ruangan khusus karyawan, kemudian membuka lokernya untuk mengambil baju dan mengantinya dengan celana jeans dan baju kasul warna hijau. Mencuci wajahnya di wasbak, kemudian menyisir dan mengucir rambut panjangnya.
Marisa tidak ada waktu untuk mandi, ia hanya menyemprotkan minyak wangi murah yang di belinya di Indom*rt beberapa kali ke tubuhnya, melihat kembali buku-buku yang sudah dia siapkan semalam kemudian memesan Ojek Online.
Hari menjelang petang ketika Marisa selesai dengan kelasnya. Setengah berlari ia menuju kantin kampus yang jaraknya tidak terlalu jauh dengan kelasnya sore itu. Perutnya terasa lapar, baru ia ingat kalau ia belum makan siang. Segera ia memesan nasi goreng dan es teh, kemudian duduk di bangku paling pojok.
Sambil menunggu pesananya datang, Marisa memilih mendengarkan lagu di ponsel nya dengan menggunakan headset. Lagu jadul dari Westlife yang berjudul Beautifull in white mengalun lembut di telinganya.
Marisa memandang sekeliling kantin yang masih ramai dengan anak-anak kampus, rata-rata mereka bergerombol sambil bergosip, dan entah apa yang mereka bicarakan sampai bisa tertawa terbahak-bahak seperti itu.
Kantin kampus ini memang lebih mirip Cafe di Mall dari pada kantin tempat makan anak kuliah yang biasanya sederhana dengan bangku kayu atau plastik. Di tiap sudut kantin itu di desain minimalis modern dengan warna dominan coklat kayu, dari ujung ke ujung berjajar stand-stand makanan dan minuman dari yang tradisional seperti, nasi goreng dan minuman seperti es teh manis, sampai makanan cepat saji seperti KFC dan minuman kekinian seperti janji jiwa,lain hati dan sejenisnya.
Kantin tersebut juga menyediakan beragam menu sehat bagi mahasiswanya yang sedang diet. Marisa terkekeh ketika mengingat itu. Ia merasa cuma kantin di kampusnya ini satu-satunya yang begitu memperhatikan mahasiswanya sampai yang sedang diet.
"Silahkan Mbak, nasi goreng dan teh manis nya." Seorang pelayan laki-laki berkaos putih menaruh piring berisi nasi goreng dan gelas berisi teh manis hangat di meja Marisa.
"Terimakasih Mas." Marisa tersenyum ramah pada si pelayan yang membuatnya tersipu.
"Sama-sama Mbak." Pelayan itu menunduk malu sambil berlalu pergi.
Marisa menyimpan ponsel dan headset ny ke dalam tas, kemudian segera melahap nasi goreng miliknya. Ia benar-benar kelaparan,seharian ia bekerja di Restoran tapi untuk makan pun kadang ia tidak sempat. Bukannya Restoran khas Padang tempat Marisa bekerja tidak membolehkan karyawannya makan. Tapi Marisa sendri lah yang sering lupa dengan diri nya sendri. Jika waktu istirahat tiba, Marisa akan sibuk dengan buku-buku pelajarannya, dan tiba-tiba saja waktu istirahat sudah habis dan ia hanya akan sempat minum air putih satu gelas untuk kemudian kembali bekerja.
"Kalian tahu siapa yang akan menggantikan Bu Fina yang cuti melahirkan..?"
Tak sengaja Marisa mendengar seorang mahasiswi berambut pendek yang di cat pirang berkata kepada kedua teman wanitanya yang duduk di depannya.
"Siapa..?" tanya temannya yang berambut lurus panjang ogah-ogahan sambil tetap menikmati bakso kuahnya.
"Paling Pak Joni..." kata yang bertopi sambil tertawa. "Dosen yang mengajar ekonomi bisnis kan yaa cm dia.." lanjutnya.
"Bukan..!" wanita berambut pendek di cat pirang itu mengibaskan tangannya gemas.Dia tertawa tertahan sambil melirik kanan dan kiri nya.
Marisa menunduk berusaha mengabaikan hal yang bukan urusannya, ia mempercepat makannya. Di liriknya jam tangannya sdh hampir setengah delapan malam.
Marisa baru berdiri dan akan melangkah pergi ketika ketiga mahasiswi itu berteriak berbarengan, sontak Marisa terkejut dan terdiam sesaat melihat ke arah mereka.
"Aaaaahh...nggak mungkiiin...!" yang berambut panjang berteriak kegirangan.
"Info dari mana..??beneran..??" yang bertopi tidak kalah antusias.
"Papaku sendri yang bilang." kata yang berambut pendek dan di cat pirang itu sambil bersedekap. Ia tersenyum puas melihat reaksi kedua temannya. "Papaku salah satu donatur Kampus ini, dan masih ada hubungan bisnis dengan keluarga Martadinata. Nadi tidak mungkin klo info nya salah."
Mau tidak mau Marisa jadi mendengar pembicaraan mereka bertiga. Marisa tahu siapa mereka, karena mereka satu angkatan dengannya. Gank populer atau entah lah, mereka menyebut diri mereka sendri apa.Marisa tak terlalu memperhatikan nama kelompoknya.
Yang memakai topi coklat dengan motif LV bernama Aurel, yang berambut panjang lurus bernama Lucy. Ketua nya Jesica yang berambut pendek dan di cat pirang. Setahu Marisa keluarganya merupakan pemilik Hotel bintang lima yang tidak saja terkenal di kotanya tapi juga di luar negeri.
"Heh, siapa yang suruh nguping..?!" hardik Jesica mengagetkan Marisa.
Tanpa Marisa sadari ketiga mahasiswi itu sudah melihatnya dengan pandangan tidak suka. Marisa tergagab, jarak mereka memang dekat. Hanya di pisahkan satu meja-kursi saja.
"Aah,maaf..aku tidak..." Marisa masih belum menguasai keadaan. Ketiga mahasiswi itu sudah berdiri dan berjalan ke arahnya.
"Siapa dia..?" tanya Aurel dengan pandangan meremehkan. Di pandanginya Marisa dari atas sampai bawah. "Memang di sini ada yaa mahasiswanya yang berpenampilan gembel seperti ini..?" lanjutnya.
Lucy terkikik mendengar kata-kata Aurel.
"Kalau tidak salah kau murid beasiswa kan..?" kata Jesica tersenyum mengejek. Ia bersedekap,matanya memperhatikan Marisa dari atas smpk bawah. Begitulah cara ia mengintimidasi orang-orang di bawahnya.
"Murid beasiswa...?!" Aurel dan Lucy terkejut dengan gaya berlebihannya.
"Harusnya aku tidak sok-sok an ingin tahu pembicaraan mereka." kata Marisa dalam hati, ia menunduk sambil mengigit bibirnya.
Orang-orang yang berada di kantin mulai berbisik dan memperhatikan mereka.
"Harusnya orang sepertimu cukup datang ke kampus untuk belajar dan tidak coba-coba mendengarkan apa yang semestinya tidak kau dengar." Jesica berjalan memutar meneliti apa yang di kenakan Marisa,dan ia semakin meremehkannya.
"Apa menurutmu Kak Andre akan tertarik dengan orang sepertimu?" Aurel ikut menimpali.
"Aku tidak yakin orang seperti dia mengenal Kak Andre." Lucy tertawa. "Dunia mereka kan berbeda."
Mendengarnya ketiganya tertawa bersamaan.
"Benar,aku tidak tahu apa yang kalian bicarakan." kata Marisa akhirnya. Ia berusah bersikap tenang,walau sebenarnya malu di perhatikan banyak orang. "Aku minta maaf nggak sengaja mendengar pembicaraan kalian,tapi sungguh aku nggak paham dan nggak tertarik dengan apa yang kalian bicarakan tadi."
"Baguslah kalau memang kau tau diri dengan posisimu." kata Jesica congkak. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Marisa. Kemudian berkata ,"Semoga kau tetap tau diri dan ingat siapa dirimu.Kau di terima di sini hanya untuk mengisi bangku yang kosong.Kau tidak sederajad dengan kami."
Marisa terdiam mendengar kata-kata Jesica. Sampai ketiga orang itu pergi pun Marisa masih berdiri mematung untuk beberapa detik sampai akhirnya ia tersadar dan segera pergi meninggalkan kantin dengan perasaan tertekan.
"Sabarlah Marisa, tinggal sebentar lagi." katanya dalam hati. ia berjalan menunduk sambil meremas tali tas nya. "Kau harus lulus lebih cepat,supaya nggan perlu lagi berurusan dengan orang kaya sombong sperti mereka, yang bahkan nggak tahu bagaiman susahnya orang tua mereka mendapatkan kekayaan yang sekarang bisa mereka nikmati."
Tanpa sadar air mata Marisa menetes, bagaimanapun Marisa hanya manusia biasa. Walaupun ia lebih banyak bersabar dengan diam. Sebenarnya ka juga sakit hati. Tapi dengan memikirkan keluarga dan beasiswa yang susah payah ia dapatkanlah yang mampu membuatnya bisa bertahan dengan semua ini.
"Mbak,bangun..!" kata seorang anak laki-laki berumur kisaran 17 tahunan. Ia Marvin, adik Marisa yang tahun ini kelas 2 SMA. Ia mengetuk pintu kamar Marisa lagi. "Mbaak,sudah di tunggu Ayah dan Ibu untuk sarapan bareng..!" panggilnya dengan suara yang di keraskan.
Perlahan-lahan Marisa membuka matanya, ia meringis sambil memegangi kepalanya.
"Aduuh...anemia ku selertinya kambuh.." keluhnya. Di dengarny suara Marvin yang terus memanggilnya sambil mengetuk-ngetuk pintu kamarnya.
Marisa segera bangkit dari tidurnya, berjalan perlahan ke arah pintu dan membukanya.Tampak raut cemas Marvin.
"Mbak nggak apa-apa..?" tanyanya.
"Memang aku kenapa?" Marisa tersenyum sambil merapika rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya.
"Nggak biasanya Mbak bangun terlambat, biasanya matahari belum muncul Mbak sudah bangun."
"Aku lupa menyetel alarm."
Marvin mengkerutkan keningnya tak percaya. Kakaknya bukan tipe orang yang pelupa.
"Hari Minggu ini Mbak juga kerja..?" tanyanya.
"iyah..." jawab Marisa sambil menguap." Yaa sudah sana..!" usir nya sambil mendorong tubuh Marvin pelan, menyuruhnya berbalik pergi. "Aku mau mandi dulu, nanti aku susul. Kalian sarapan saja dulu."
Sebelum Marvin sempat berkata, Marisa sudah menutup pintu kamarnya.
Marisa menghela nafas panjang sambil menyandarkan diri di pintu. Ia melirik ke arah jam dinding di kamarny yang sudah menunjukan pukul 07.30 pagi. Seketika Marisa lupa akan sakit kepalanya dan bergegas mandi.
Di hari Minggu pun Marisa tidak membiarkan tubuhnya beristirahat. Kampus memang libur, tapi ia harus tetap berangkat bekerja. Restoran Padang tempatnya bekerja memang tidak mengijinkan karyawannya libur di hari Minggu, karena biasanya di hari Minggu itu lah ramai-ramainya orang makan di sana. Sebagai gantinya, mereka akan mendapat uang lembur seratus ribu rupiah bagi yang mau berangkat pagi sampai malam. Dan Marisa yang sangat membutuhkan uang tambahan tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Padahal dengan kondisinya saat ini, bisa saja ia ijin setengah hari atau pulang sore. Bahkan tidak berangkat pun pasti ia di ijinkan, karena selama 3 tahun Marisa bekerja di situ hampir ia tidak pernah ijin libur kecuali libur yang memang menjadi hak nya.
Beberapa saat kemudian Marisa sudah duduk bersama keluarganya di meja makan yang bergabung satu ruangan dengan dapur di rumah sederhana tapi nyaman milik mereka.
"Kau agak pucat Marisa?" tanya Indira Ibu Marisa, di perhatikannha wajah putrinya.
Marisa tersenyum kaku, "Aah...cuma kurang tidur." Jawabnya perlahan. Ia tidak berani memandang wajah ibunya.
"Benar kan kau sakit." Marvin langsung berkomentar. "Libur lah Mbak.." lanjutnya khawatir.
"Kau sendri hari minggu malah kerja di bengkel." Marisa memasang wajah sebal. "Lebih baik kau main futsal bersama teman-temanmu."
"Kerja ku kan memang hari Minggu. Itu pun cuma sekedar bantu-bantu di bengkel Om Evan. Beda dengan Mbak yang full dari senin ketemu senin sibuk dengan kampus dan kerja sambilan." Marvin mulai ngomel.
Anak ini memang suka sekali bicara. Lagaknya sudah seperti orang tua, kadang Marisa gemas sekali dengannya. Tapi Marisa juga tahu Marvin seperti itu karena khawatir padanya.
"Maaf yaa anak-anak..."Agung,Ayah Marisa berkata perlahan. Seketika Marisa dan Marvin berhenti berdebat dan memandang Ayah mereka. "Andai saja Ayah punya pekerjaan yang lebih baik.." tunduknya.
"Ayah..."Indira memegangi tangan suaminya.
"Ayah bicara apa? Pekerjaan Ayah adalah pekerjaan yang mulia." kata Marisa emosi. Ia tidak suka Ayahnya bersikap sepeti itu. Marisa tahu susah payahnya dulu Ayahnya membesarkannya dan Marvin.
"Tidak Nak, terkadang Ayah hanya kasian denganmu dan Marvin. Anak-anak seusia kalian harusnya menikmati masa muda. Bukan memikirkan beban hidup." kata Agung sedih.
"Ayah, harusnya Ayah bangga dengan anak-anak kita." Indira mengenggam lebih erat tangan suaminya. "Mereka anak-anak yang mandiri." Indira memandang Marisa dan Marvin bergantian. "Ayah lah yang mendidik mereka seperti ini. Anak-anak baik yang tidak pernah menyusahkan kedua orang tua nya." lanjutnya sambil tersenyum.
"Benar kata ibu ,Ayah..." Marisa bangkit berdiri dan memeluk Ayahnya dari belakang. Di rasakannya tubuh Agung yang semakin rapuh. Marisa tahu, Ayahnya selalu memikirkan semua dalam diamnya.
"Kami sudah dewasa Ayah, meskipun sedikit. Kami juga ingin membantu Ayah." kata Marvin menimpali.
"Beruntungnya Ayah memiliki kalian..." mata Agung berkaca-kaca dan di sambut pelukan istrin dan anak perempuannya.
"Ayo kita makan, aku sudah lapar..!" kata Marvin mencairkan suasana. Dia mengelus-elus perutnya pura-pura kelaparan.
"Hahahahahahaha..."Agung,Indira dan Marisa tertawa bersamaan.
"iyaah, ini sudah bukan sarapan lagi kurasa." kata Marisa di sela tawanya.
"Ayo,Ayah pimpin doa." Indira tersenyum pada suaminya. Agung balas tersenyum dan memegang mengecup tangan istrinya. Marisa ikut tersenyum sambil kembali duduk di samping Marvin.
Begitulah romantisnya kedua orang tua Marisa..Di usia pernikahan yang sudah tidak muda lagi dan dalam keadaan pas-pas an sekali pun mereka tetap saling menyayangi dan melengkapi.
Agung mengangkat kedua tangannya di ikuti Indira dan kedua anaknya berbarengan..Serayak mengucap syukur karena hari ini masih di berikan nikmat hidup dan makanan yang cukup untuk keluarga mereka.
Ini lah keluarga Marisa yang ia sangat sayangi. Keluarga sederhana dengan seorang Ayah yang bijak, ibu yang penyayang, Adik yang jahil tapi pengertian. Merekalah penyemangat Marisa.
"Ayo Nak,makan yang banyak." Agung meletakan tempe goreng di piring Marisa.
"Yaa,Ayah..."Marisa tersenyum lebar dan makan dengan lahap.
Hari minggu itu jalanan begitu ramai dengan kendaraan pribadi. Marisa berboncengan motor dengan Marvin membelah jalan raya yang padat.
"Dek, bisa cepat sedikit..?" kata Marisa di telingan Marvin. "Aku sudah terlambat." lanjutnya dengan suara di kerasakan. Maklum suara kendaraan lain dan angin membuat suara Marisa terdengar pelan.
Marvin memberi kode jempol tangan ke arah Marisa, kemudian melaju dengan kecepatan tinggi. Marisa mendekap erat punggung adiknya, sebenarnya ia agak takut ketika motor Vario type lama Marvin berjalan dengan kecepatan tinggi, tapi ia lebih takut terlambat bekerja.
Di sebuah belokan dari arah berlawanan, melaju sebuah mobil Fortuner TRD warna putih.
"Sudah banyak berubah yaa daerah sini." Seorang laki-laki yang duduk di kursi belakang berkata.
Matanya yang di bingkai kacamata hitam memandang jalanan yang di lalui.
"Tentu saja sudah banyak perubahan di sini Tuan." kata si Sopir sambil tersenyum memperhatikan Tuan nya dari kaca spion tengah. "Selama 5 tahun Tuan muda hampir tidak pernah pulang." lanjut pria yang sudah terlihat tua tapi masih terlihat bersemangat itu lagi.
"Untuk apa aku pulang..?" Laki-laki yang di panggil Tuan Muda itu melengos. Dia bertopang dagu sambil kembali melihat jalanan. Laki-laki dengan tinggi tidak kurang dari 185cm itu penampilannya sangat menawan, dengan hanya kemeja lengan panjang warna putih yang di lipat sampai siku, bawahan celana jeans hitam dan di pundaknya tersampir sweater rajut warna hitam. kacamata hitam melengkapi penampilan dan mempertegas garis wajahnya yang tampan dengan hidung mancung dan bibir bawahnya yang tipis membuat wanita manapun akan berpaling sekedar mengagumi fisiknya.
"Tuan mau langsung pulang atau mampir dulu ke Restoran Padang langganan Tuan dulu ?" si Sopir yang tahu Tuannya agak kesal mencoba mengalihkan pembicaraan. Seketika raut wajah laki-laki itu menjadi cerah.
"Tentu saja kita mampir dulu ke sana..!" laki-laki itu tampak antusias.
Si sopir tersenyum lebar mendengarnya.
"Siap Tuan!" ucapnya sambil sesaat melihat ke belakang.
"Pak kirman, AWAASS...!!" Mata laki-laki itu membulat ketika tiba-tiba dari arah depan ada sebuah motor yang melaju kencang.
Seketika Pak Kirman banting stir,mobil Fortuner itu sampai naik ke trotoan dan berhenti tepat sebelum menabrak pohon. Kepala laki-laki itu terbentur pinggiran pintu mobil. Ia mengerang kesakitan.
Sebaliknya motor yang ternyata di naiki Marisa dan Adiknya sudah terjatuh. Marvin terpental ke rerumputan tapi kaki Marisa terluka tertimpa motor.
Ia meringis menahan sakit sambil berusaha mengeluarkan kakinya dari bawah motor.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!