NovelToon NovelToon

Terpaksa Jodoh

the end

***

Hiasan serba putih menghiasi ruangan rumah.  Ibu-ibu tampak sibuk mengatur perlengkapan makan dan kue-kue untuk besok. Sementara bapak-bapak sebagian sibuk di belakang rumah mengatur kursi untuk pesta taman yang menjadi konsep pernikahan Ayu.

Ayu mengangkat nampan berisi kue kering dan teh. Dia membawanya menuju ibu-ibu yang sibuk memotong sayuran. Sekilas dia bisa mendengar gosip demi gosip Mereka, mengenai Bu Dina yang katanya lahiran anak ke-empatnya, juga Pak Darto yang menceraikan isterinya karena daun muda.

"Eh, calon mempelai, makin cantik," puji Bu RT saat Ayu meletakkan secangkir teh di depannya.

Dia tersipu malu. "Bu RT bisa saja, diminum ya, Bu."

Usai membagi teh pada masing-masing ibu-ibu, Ayu masuk menuju kamarnya karena gawai yang dikantongi bergetar beberapa kali. Mungkin saja dari kantor dan sangat penting.

Dia membuka pesan whatsapp yang dikiranya dari kantor, pesan itu dari calon suaminya, Arya. Lelaki yang telah menjadi kekasihnya sejak di bangku kuliah.

[Aku tunggu di Maximm]

Keningnya berkerut membacanya. Mereka sedang masa pingit, di mana mereka tidak diperbolehkan bertemu. Ini hari terakhir, besok mereka akan bertemu saat akad berlangsung setelah dipingit selama seminggu.

Ah, Arya pasti sudah merindukannya, seperti dia yang juga sangat merindukannya. Bibir wanita itu tersungging, ada rasa plong di dadanya. Mengingat Arya saja, membuat jantungnya berdegup sangat kencang.

Lirikan Ayu terarah pada kebaya putih yang tergantung tidak jauh dari ranjang. Besok, kebaya itu akan mengantarnya pada lembaran baru kehidupannya, menjadi isteri lelaki yang sangat dia cintai.

[Okay]

Balasan Ayu singkat, dia bingung harus membalas apa. Ada rasa canggung dan kikuk dalam dirinya.

***

Maximm cafe, tempat itu adalah tempat pertama kali mereka bertemu. Hari itu Arya sedang mengikuti acara talkshow di lantai dua Maximm cafe, sementara Ayu sedang mengerjakan tugas kampusnya yang menumpuk. Selain nyaman, tempat itu memiliki free wi-fi dan letaknya dekat dengan rumah Ayu. Tidak heran jika perasaan de javu menghampirinya setiap kali ke tempat ini.

"Silahkan, Mbak!" Seorang pegawai cafe menyambut Ayu dengan ramah sambil membuka pintu untuknya.

Entah karena rasa bahagia atau pengaruh totok wajah kemarin yang membuat senyumnya tidak pudar, bisa jadi juga karena keduanya.

Suasana Cafe tidak begitu ramai, mungkin karena masih pagi dan ini jam kerja. Pandangan Ayu mengedar ke penjuru cafe, dia mendapati Arya sedang duduk di pojok ruangan. Tempat itu adalah tempat favorit mereka, di sudut ruangan tanpa ada meja lain di sampingnya, lebih tenang katanya.

Arya terlonjak kaget saat Ayu menyapa sambil menyentuh pundaknya. Lelaki itu menarik sudut bibirnya.

"Udah lama, ya?" tanya Ayu sembari duduk di kursi di depan Arya.

Lelaki itu menggeleng pelan.

Mereka terdiam, hanya ada suara pelayan yang mengantarkan dua gelas minuman untuk mereka. Ayu sempat tersenyum dan berterima kasih pada gadis berseragam cokelat krem itu. Biasanya, Arya yang paling semangat dan ramah berinteraksi dengan pegawai-pegawai cafe itu, namun kini dia lebih tertarik pada tangannya yang menggenggam tangan Ayu.

Sesekali lelaki itu mengelus pelan punggung tangan Ayu, seakan dia menenangkan Ayu, atau justru dirinya sendiri. Awalnya Ayu menganggap kediaman calon suaminya itu karena canggung mengingat pernikahan mereka akan berlangsung besok. Namun, tingkah lelaki itu aneh.

Tiba-tiba Arya menarik tangan Ayu dan menempelkannya ke bibir lalu pipinya.

Arya meletakkan tangan Ayu di meja dan menggenggamnya erat. "Kamu percaya kan, kalo aku sangat mencintai kamu, Yang?"

Ayu mengangguk pelan. Dia tidak mungkin meragukan cinta Arya, mengingat lelaki itu sudah membuktikan bahwa mereka akan menikah.

"Kamu tau kalo aku akan melakukan apapun untuk kamu?"

Ayu mengangguk lagi. Dia tersenyum mengingat hal-hal yang dilakukan Arya atas permintaannya, misalnya berhenti merokok dan keluar dari kelompok pecinta alamnya. Bukannya, Ayu tidak mencintai alam, namun dia benci jika harus bertanya-tanya mengenai keadaan Arya.

"Aku sepertinya tidak bisa melakukan keinginanmu," kata Arya lemah, "aku takut hanya akan menyakitimu."

Ayu tertawa pelan. "Kamu tuh ya, kebiasaan kalo bercanda suka keterlaluan. Nggak lucu!"

"Aku serius, Yu!"

"Acaranya besok, Arya. Jangan gila!"

Arya mengacak-acak rambutnya dengan kasar. "Sayang, aku minta maaf. Aku rasa kita harus membatalkan pernikahan ini, aku--aku tidak mau berakhir menyakitimu."

"Kamu melakukannya sekarang." Air mata Ayu mulai menetes di pipinya.

"Aku belum siap, kita bisa menunggu beberapa tahun lagi. Kita bisa tetap pacaran saja dulu," kata Arya memberi saran.

"Besok, atau tidak sama sekali!" tekan Ayu.

Ayu bangkit dan mendorong kasar kursinya, dia melangkah meninggalkan lelaki yang dicintainya di meja bergelut dengan pikirannya sendiri. Dia berbalik setelah tangannya diraih oleh Arya.

"Dengar dulu, Yang. Aku tidak mau kita pisah, kita bisa tunggu sampai aku sudah benar-benar siap."

Ayu menggeleng dan menarik tangannya. Dia tahu bahwa Arya memang sangat takut pada pernikahan, kenyataan itu yang membuatnya senang bukan kepalang setelah dilamar. Uh, untuk apa lelaki itu melamarnya jika pada akhirnya dia menarik kembali.

"Aku tunggu besok!" Ayu memberi tekanan pada setiap kata.

***

Invitation

Ayu P.O.V

***

Dua tahun aku berusaha untuk melupakan semuanya, mengubur kenangan manis dan pahit bersama Arya. Dia mangkir, hari yang seharusnya menjadi hari bahagiaku menjadi petaka yang membuat keluargaku hilang muka.

Ayah bahkan jatuh sakit, dia sangat menyukai Arya, son in-law material menurutnya. Gurat kecewa di wajahnya masih jelas sampai saat ini, hanya berusaha kuat agar aku juga kuat . Dia pun sudah jarang keluar rumah untuk bersosialisasi, sama halnya dengan Ibu.

Selama dua tahun mereka dan kakak-kakakku berusaha keras untuk mengabaikan bisik-bisik tetangga yang tiada habisnya. Para biang gosip itu hanya tahu menebar kabar burung yang tak jelas.

Mereka mengatakan bahwa Arya memiliki wanita lain. Ada juga yang mengatakan kalau aku yang berselingkuh. Yang paling parah, gosip itu melebar, membuatku menjadi seorang perempuan yang sangat hina, katanya aku berpura-pura hamil demi dinikahi. Sehingga, setelah sadar bahwa aku hanya menjebaknya, dia membatalkan pernikahan kami.

Ah, banyak sekali cerita yang berkembang di lingkungan rumah orang tuaku. Itu sebabnya aku sangat jarang berkunjung ke sana meskipun jaraknya tidak begitu jauh dari apartemenku

"Cepat sekali pulangnya, Dede?" Mas Panji mengelus puncak kepalaku.

"Ada urusan mendadak di salah satu toko, Mas."

"Udah pamit sama Ibu sama Ayah?"

"Udah, dong. Aku pergi dulu, bilang sama Mas Bima ole-olenya digo-jekin aja, sekalian sama kleponnya Ibu!"

"Alah, kamu kalo makanan paling cepet."

Aku tertawa pelan pada Mas Pandu yang terus mencibirku. Setiap saat aku selalu bersikap ceria di depan keluarga, seakan perpisahan dengan Arya bukan apa-apa. Namun, mereka pasti tahu kalau senyum itu hanya topeng semata.

Seperti Mas Pandu, kami kadang kala bersenda gurau layaknya anak kecil. Namun, di matanya aku tahu dia iba kepadaku. Tatapan iba itu lebih menyakitkan daripada tatapan penyebar hoax di kompleks ini.

***

Aku memakai hairnet sebelum memasuki backoffice salah satu toko yang kubawahi. Sebagai seorang Area Manager, aku bertugas untuk memastikan segala sesuatu berjalan dengan baik di beberapa toko franchise makanan khas italy ini.

Kuambil sepotong Pizza yang dipenuhi keju mozarella, kuhirup aromanya. Seketika aku menajuhkan menu utama itu. Ada aroma yang berbeda yang menguar dari Pizza itu, aroma chemical.

"Jangan digunakan lagi, semuanya simpan saja di freezer. Pastikan semua crew sudah menjalankan SOP dengan baik." Aku mulai membuka hairnetku karena sudah keluar di area dine in.

"Nanti di share di grup, siapa tau ada store yang mengalami masalah yang sama." Aku terus menjelaskan langkah-langkah yang harus Bu Dania jalankan.

"Pak Burhan menyarankan untuk menghubungi pihak gudang, Bu!"

Aku menggeleng menolak. "Tidak bisa langsung mencari kesalahan gudang, pastikan store aman terlebih dahulu. Kalo gegabah, pihak gudang bisa balik menyalahkan Ibu dan Crew yang lain."

"Baik, Bu!"

"Nah, besok pagi ada meeting antara Manager, AM dan gudang. Sekalian bisa diangkat di sana, yang penting yakinkan dulu kesalahannya bukan di store."

Bu Dania mengangguk sekilas. Tatapanku mengedar ke penjuru restoran, memastikan semua area tertata rapi.

Beberapa karyawan di front line tersenyum ramah padaku.

"Kalo begitu saya pulang dulu!" Aku pamit pada Bu Dania yang mengangguk dan menunduk singkat dengan tangan  kiri di bahu kanannya, gerakan itu adalah sapaan wajib saat bertemu atau akan berpisah di perusahaan kami, khususnya di bagian operasional.

Aku menyempatkan tersenyum ramah dan menyambut pelanggan yang baru saja masuk ke restoran saat aku hendak keluar. Kalau tidak mengingat malam ini adalah ulang tahun Tamara, aku masih akan tinggal di restoran untuk memantau jalannya operasional.

***

Mobil Karin terparkir di depan pagar rumah mungilku. Aku berlari kecil menuju mobil Mercy silver itu. Dalam hati aku berharap si Joker Merah tidak mencak-mencak karena sudah menunggu lama.

Karin berdiri di samping mobil sambil menikmati sebatang rokok. Rambutnya terurai, dia tampak seksi dengan Sequine mini dress-nya yang berwarna gold. Tubuh semampai disempurnakan dengan wajah latindo.

(Penampakan si Karin, model darah Indonesia-Brazil)

"Lelet banget!" gerutu Karin sembari melempar asal puntung rokoknya.

"Sorry, ada urusan mendadak tadi." Aku cengengesan.

"Dasar jaim!" ejek Karin memperhatikan pakaianku, " si Brengsek itu nggak bakal datang protes kalo bajumu terbuka sedikit."

Aku mengenakan crop top dan high waisted pant, ini sudah termasuk baju yang cukup terbuka menurutku.

Aku tahu siapa si Brengsek yang disebut oleh Karin. Dia membuatku mengingatnya lagi. Mungkin aku membutuhkan waktu seumur hidup untuk melupakan Arya yang terlanjur merebut hatiku.

"Bisa kita berangkat sekarang?" Aku mengalihkan perhatian Karin yang masih protes dengan pakaianku.

Kami masuk ke dalam mobil. Mobil Karin melaju santai di jalan ibu kota. Ulang tahun Tamara diadakan di sebuah club di hotel berbintang. Pesta megah ala horang kaya.

Kata orang aku pandai mencari teman, karena Karin dan Tamara bukan orang sembarang. Orang tua Karin adalah seorang dokter yang juga memiliki Rumah Sakit swasta, meskipun begitu dia lebih memilih menjadi seorang model dan pengusaha di bidang fashion.

Tamara sendiri adalah anak dari pengusaha kelas kakap. Orang tuanya adalah pemilik Husada Group yang membawahi banyak jenis usaha, misalnya; properti, chemical, elektronik, bahkan otomotif. Darah pengusaha itu menurun dalam dirinya, dia membuka sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kontruksi.

Hal itu yang sering kali membuatku sedikit merendah. Aku tidak berasal dari keluarga terpandang, pekerjaanku juga tidak sehebat mereka. Namun, Tamara dan Karin tidak pernah mempedulikan hal itu sehingga sangat nyaman berada di samping keduanya.

"Yu, Ayu!"

Suara Karin membuatku kembali pada kenyataan. Aku memang punya kebiasaan buruk membandingkan diriku dengan Orang lain, termasuk dengan kedua sahabatku.

"Hp-mu dari tadi getar-getar terus." Karin melirik pada Hp-lintang berada di dashboard.

Kubaca setiap pesan WA dan telegram yang masuk. Hanya laporan penjualan mingguan, mengingat hari ini adalah hari minggu di mana setiap toko harus mengirimkan laporan penjualan dan membandingkannya dengan penjualan tahun lalu dan target yang diberikan.

"Pinjam charger dong, udah mau lowbat," mintaku pada Karin setelah melihat daya baterai telepon selulerku hanya 15 persen. Layar persegi ini tidak boleh kehabisan daya, harus stand by 24 jam untuk urusan pekerjaan.

Karin melirik ke jok belakang. "Cari di  sana!"

Kubuka seat belt dan meraba-raba, sialnya aku menjatuhkan kabel pengantar daya itu. Kunyalakan lampu dan mulai mencari, mataku memicing saat melihat sebuah undangan di samping charger.

"Undangan siapa?" tanyaku setelah memungut undangan dan charger Karin.

Karin menghela napas panjang. "Shit! Simpan!"

Aku tertawa pelan. "Undangan mantan, ya? Takut amat!"

"Demi Tuhan, simpan atau buang!"

"Okay, aku simpan." Aku menenangkan Karin yang mulai hilang kendali pada kemudinya. Namun, aku seperti anak kecil, semakin dilarang semakin aku lakukan.

Aku tertawa jahat saat melirik Karin sibuk menatap jalanan yang padat. Kubuka undangan yang tampak megah berwarna silver dan gold. Kutarik pita emasnya, kugunakan cahaya layar ponsel untuk membaca nama si pengirim.

'Dirgantara Arya Pahlevi'

Nama yang tidak asing. Ada sebuah foto kedua calon mempelai di sampul dan di dalam undangan, namun tidak jelas karena minim pencahayaan.

Hanya nama, banyak nama yang mirip. Kupaksa senyum di bibirku. Sebagian diriku mengutuk kenaifanku, sebagian lagi menenangkanku.

Kunyalakan lampu yang ada di atas. Sontak Karin berbalik ke arahku.

"Ayu! Kamu ... astaga!" Dia terdengar frustrasi.

Aku tersenyum padanya. "Kenapa dirahasiakan? Ini kabar bahagia."

Mobil Karin berhenti. Dia menggenggam erat kemudi mobil.

"Kamu bebal banget, Yu!" Suara Karin naik beberapa oktaf.

Aku tertawa meski mataku mulai memanas. "Kenapa marah? Aku senang, kok."

Kutatap foto di undangan itu. Sepasang calon pengantin itu saling menatap dengan kedua tangan saling berpegang di depan dada seakan membuat janji. Ah, mereka tampak serasi.

Arya terlihat bahagia menatap calon pengantinnya. Senyum yang dulu kupikir hanya untukku, tangan yang kusangka hanya akan menggenggam tanganku. Lelaki itu dulu berjanji akan menjadikanku satu-satunya di hidupnya.

BULLSHIT!

"Dia bilang dia takut menyakitiku, seperti ayahnya menyakiti ibunya. Dia tidak mau setelah kami menikah dia hanya akan menjadi monster yang membuatku hancur." Aku bergumam dengan tatapan tertuju di luar jendela.

Karin diam.

"Aku harap dia tidak kabur lagi sekarang."

Suasana mobil hening sejenak.

"Cukup, Yu! Sudah saatnya kamu buang si Brengsek itu!" Bentak Karin.

Ini salah satu sifatnya, dia tidak tahu menghibur yang baik. Berbeda dengan Tamara. Karin memilih membangunkan seseorang dalam kenyataan daripada membuainya dengan ilusi, meski kasar namun niatnya baik.

"Itu sakit, Rin. Sakit banget!" Aku tidak bisa menahan tangisku lagi.

"Udah deh, nggak usah nangis! Dia bisa bahagia dengan orang lain, masa kamu nggak bisa!" Karin mulai menneramahiku dengan suara keras khasnya.

"Enak di dianya kalo gitu!" lanjutnya sinis.

Aku mengambil tisu dan menghapus air mataku.

"Tamara udah nunggu," kataku pelan seusai memperbaiki riasanku.

***

Aku dan Karin berlari pelan menuju Tamara yang sedang melambai kepada kami. Pesta ini sangat meriah, musik dari DJ menghentak-hentak.

"Happy birthday!" teriakku dan Karin bersamaan sambil memeluk Tamara yang tampil sempurna dengan Sequine gold rose dan kalung yang menggelantung indah di leher jenjangnya.

"Kalian telat!" todong Tamara.

"Bilang sama teman kamu yang cengeng ini." Karin menyalahkanku.

Tamara dan Karin saling menatap, memberi kode satu sama lain. Dari tadi aku berusaha untuk menghilangkan rasa sakit hatiku. Melihat ekspresi kedua sahabatku yang sepertinya sudah mengetahui kabar pernikahan Arya membuatku kecewa, meski tak sekecewa mengetahui kabar pernikahan lelaki yang sangat kucintai itu.

"Sorry, Yu. Aku cuma takut kamu sedih," kata Tamara berusaha menghibur.

"Tonight is your birthday, how can I being sad?" teriakku dengan sangat ceria, "let's get party, yeyy!" Aku memutar tangan di udara seakan memutar roda.

"Yeah!!" Karin dan Tamara mengikuti langkahku.

"Banyak cowok ganteng yang aku undang khusus buat kamu, pick up one, girl!" Tamara membisikiku sebelum naik ke sebuah panggung memenuhi panggilan kekasihnya, Richard.

Aku mengangguk. "Aku mau dua, satu tidak akan cukup, tau."

Bisa aku dengar tawa Tamara saat menjauh meninggalkanku.

Richard berdiri di depan Tamara sambil memegang tangan wanita itu. Senyum di bibir Tamara sangat indah.

"Happy birthday my love!" Richard mencium punggung tangan Tamara.

Dadaku terasa sesak. Aku pernah tersenyum indah seperti Tamara setiap kali Arya mengucapkan selamatkan tahun, juga mengecup keningku

"I know sometime I did wrong, im not perfect," aku Richard, "but I feel perfect when Iam with you ... so, my love! Will you be my wife and make me feel perfect every second of my life?"

Mulut Tamara terbuka, dia pasti tidak menyangka akan dilamar di hari ulang tahunnya di depan banyak orang. Beberapa minggu yang lalu dia pernah berkata bahwa Richard adalah suami idamannya. Tamara pastilah sangat bahagia, aku pernah merasakannya.

Aku masih ingat jelas saat Arya berlutut menyodorkan cincin. Dadaku mengembang, rasanya ingin terbang ke langit dan merasakan awan yang lembut. Sial, untuk apa semua itu kalau hanya akan menjatuhkanku ke jurang berkali-kali mengingatnya.

Suara sorakan bergema saat Tamara berkata, "I do."

Karin yang berada di sampingku teriak girang sambil meremas lenganku. Aku juga senang atas kebahagiaan Tamara. Namun tak bisa dipungkiri, ada yang hancur berkali-kali di hatiku.

Temanku itu tampak sempurna. Dia memiliki segalanya, uang, kekuasaan, tampilan bagai dewi, dan seorang pasangan yang sempurna. Ah, aku seperti butiran debu di tempat ini.

"Jangan pedulikan aku, pergi! enjoy the party!" kataku pada Karin yang mengajakku turun ke lantai dansa.

Aku duduk di bar memesan minuman yang belum pernah kuminum sebelumnya. Kata orang minuman ini bisa menghilangkan stress, mungkin ini juga bisa menghilangkan tekanan demi tekanan di diriku.

"Vodka please!" Aku memesan setelah berpikir beberapa saat, segelas kecil alkohol tak mungkin membuatku tumbang.

Cara meminum vodka adalah dengan memutar-mutar gelasnya terlebih dahulu, kemudian menghirup aromanya. Aku belajar dari Karin, dia penggemar minuman ini. Seringkali dia memadu dengan rasa yang berbeda, aku tidak begitu mengerti.

Aku menatap cairan bening itu, sekilas mirip air putih biasa. Vodka memiliki bau yang kuat, dan aku tidak suka mencium aroma alkohol. Hanya malam ini, aku sangat membutuhkan cairan ini untuk menghilangkan semua gelisah di hatiku.

Kuteguk minumanku dalam sekali tuang. Ada rasa panas dan perih ia yang mengalir di tenggorokanku sampai ke kerongkongan.

Aku mengangkat telunjukku membentuk angka satu sebagai tanda untuk menambah.

Kuraih minuman itu dan bangkit. Namun kepalaku terasa berdengung-dengung, tubuhku terasa ringan dan melayang-layang. Suara teriakan dan tawa terdengar aneh, aku tidak mengerti, aku butuh angin segar.

Sialnya, tubuhku menubruk sesuatu yang keras.

Shit! Vodka-ku tumpah, meskipun ini gratis tetap saja sayang.

Aku mengangkat wajah dan mendapati seorang lelaki. Mataku memicing mencoba mengenali lelaki itu.

"Are you okay?"

Kusunggingkan bibirku. Baik-baik saja? Setelah dia meninggalkanku dan sekarang akan menikah dengan wanita lain dalam waktu singkat, aku sangat tidak baik-baik saja.

"Dasar brengsek!" Kupukul lelaki itu berkali-kali.

Aku akan menyakitinya seperti dia menyakitiku. Lelaki itu harus merasakan sakit yang kurasakan. Argh! Aku benci karena mencintainya.

***

***

Whisperer

Alex P.O.V

"Alex, aku kira kamu nggak datang," ucap Tamara tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.

Dia memeluk singkat teman masa kecilnya itu, sembari menempelkan pipi kanan dan kiri di pipi lelaki yang dia panggil Alex.

"Mana mungkin aku nggak datang, waktu masih di Amrik saja aku bela-belain bolos kuliah buat sekadar bawa kue ke rumah kamu, apalagi sekarang," jawab Alex dengan bangga.

"Habisnya kamu sibuk sekali akhir-akhir ini, tau! Kerja terus." Tamara mencibir.

Alex meletakkan kedua tangannya di pipi Tamara, "nggak ada kata sibuk kalo buat kamu, Tammy."

"Stop calling me Tammy!" Tamara protes namun bibirnya menyunggingkan senyum yang indah.

Suara deheman membuat kedua orang itu berbalik. Richard berdiri menampilkan wajah tak suka dengan kedekatan wanitanya dengan lelaki lain.

"Masih banyak tamu lain," bisik Richard.

Tamara mengangguk singkat. "Aku ke sana dulu," pamitnya pada Alex.

Alex memberi senyum kepada pasangan yang tampak serasi. Dia  menatap keduanya berlalu sambil berpegangan tangan. Senyum di bibir Alex menghilang bersama harapan untuk menggenggam tangan wanita itu.

Tamara adalah teman masa kecil Alex. Mereka harus berpisah karena Alex pindah di negara Ayahnya, hal itu tidak memutus pertemanan mereka. Wajah cantik dan penuh ketulusan, hal itu yang membuat Alex jatuh hati pada sahabatnya itu.

Friendzone, itu kata yang tepat untuk menggambarkan mereka. Alex sering kali mengingatkan diri sendiri bahwa kebahagiaan Tamara adalah yang utama, namun tidak bisa dia sembunyikan bahwa ada rasa cemburu setiap kali melihatnya bersama dengan lelaki lain.

Tidak banyak yang Alex kenal dalam pesta itu, dia lebih banyak menetap di Singapura karena pekerjaannya ada di sana. Sehingga dia memilih duduk dan menikmati beberapa gelas wisky.

Semakin malam musik DJ semakin menghentak-hentak. Banyak sekali undangan yang bersorak sambil bergoyang di lantai dansa. Senyum di bibir Alex tersungging, dia sangat suka menggila di lantai itu, namun malam ini dia kehilangan semangatnya.

Tiba-tiba musik berhenti dan semua mata tertuju pada pasangan yang sedang berdiri di tengah-tengah panggung. Si empu pesta berdiri berdampingan dengan kekasihnya, lampu sorot tepat di atas mereka. Musik lembut mengiringi gerak lelaki yang langsung berlutut.

Sebuah benda tajam seakan menghujam dada Alex. Cepat atau lambat, dia pasti akan menyaksikan hal itu. Meski pikiran sudah berusaha mengontrol sakit di hatinya, tetap saja ada sakit dan tidak terima. Sedikit sesal karena tidak berani mengambil langkah untu mendapatkan hati Tamara.

" I know sometime I did wrong, im not perfect," aku Richard.

Mata Alex tertuju pada Tamara yang sedang tersenyum bahagia. Momen itu pasti sangat ditunggu-tunggu olehnya. Apalagi jika mengingat keinginan masa kecil wanita itu adalah menjadi seorang Ibu.

"Al, kalo besar kamu mau jadi apa?" Rambut dark blonde Tamara kecil terurai. Mata hazelnya yang bening mantap Alex dalam.

Alex yang salah satu giginya baru tanggal memiringkan kepala, tampak berpikir keras. "Aku mau jadi superman. Tidak, tidak! Aku mau jadi Batman," katanya bimbang, "atau mungkin Flash." Alex kecil melanjutkan dengan wajah tampak bimbang.

Tamara terkikik. "Al si Superhero, aku suka superhero."

"Bukannya Tammy suka sama boneka barbie?"

"Aku juga suka superhero, apalagi superheronya itu Al."

Alex tidak bisa menyembunyikan senyumnya, gigi ompongnya terlihat sangat lucu.

"Kalo Tammy mau jadi apa?"

"Aku mau jadi Supermom," jawab Tamara mantap,"lihat!" Dia meraih boneka bayinya dan menggendongnya.

Wajah Alex jadi sendu. "Kamu harus jadi ibu yang baik, ya, Tammy."

Mengingat masa kecil mereka membuat Alex semakin kecewa. Harapan untuk menjadikan Tamara sebagai miliknya hanya akan menjadi angan belaka.

"but I feel perfect when Iam with you ... so, my love! Will you be my wife and make me feel perfect every second of my life?" Richard melanjutkan lamaran romantisnya.

Alex memalingkan wajah, dia memesan minum lagi pada bartender. Segelas wisky mengliri tenggorokannya bersamaan dengan sorakan gembira tamu undangan Tamara, setelah perempuan itu menerima lamaran Richard.

Bidadarinya benar-benar akan menikah dengan orang lain, dia kehilangan cinta seumur hidup yang dipujanya.

Musik lembut terus mengalun, pesta berlanjut. Sementara orang lain menikmati pesta, Alex asyik menikmati alkohol di sofa. Merasa tak cukup dengan liquor-nya, dia kembali ke meja bar untuk mengambil gelas selanjutnya.

Baru saja dia sampai di depan bar, seorang perempuan dengan langkah sempoyongan-- menabrak Alex. Bajunya terkena tumpahan minuman yang dibawa oleh perempuan itu. Dalam hati dia mengumpati kecerobohan penabraknya itu, namun dia tetap tak bisa menyampingkan pedulinya.

"Are you okay?" Alex menahan pundak perempuan yang tidak bisa menguasai tubuhnya.

Sebuah senyum tersungging di bibir wanita berambut panjang itu. Alex bernapas lega -- sepertinya dia baik-baik saja.

"Dasar brengsek!" umpat si Perempuan sambil memukul-mukul Alex. "Kamu mau nikahi wanita lain, setelah dulu kamu bilang takut. Brengsek! Bajingan!" lanjutnya -- membuat Alex ternganga tak mengerti.

Beberapa mata memandang ke arah mereka, orang-orang itu pasti menganggap Alex brengsek seperti tuduhan si Perempuan. Dia menggeleng-geleng sebagai sangkalan.

"Aku nggak bakal biarin kamu menikahi perempuan itu!" ancamnya.

'Mungkin perempuan ini mantan pacar Richard?' Alex membatin.

Alex menggeleng-geleng, dia tidak akan membiarkan perempuan itu mengacau di pesta Tamara, apalagi menghancurkan kebahagiaan Tamara. Dia meraih pundak perempuan yang terus meracau tak jelas.

"Lepaskan! Nggak usah sok baik!" teriak si Perempuan, saat mereka telah keluar dari Bar yang berada di salah satu hotel berbintang.

Alex kini kebingungan akan dia apakan perempuan pemabuk itu. Dia tidak tahu harus mengantarnya di mana, dan dia juga tidak tega meninggalkannya dipinggir jalan. Ah, tidak ada pilihan lain, Alex memutuskan untuk membawanya kamar yang telah dia booking.

Dia melempar asal perempuan itu di ranjang.

"Eh, mau kemana?" Alex setengah berteriak saat wanita itu berusaha bangkit dan beranjak dari tempat tidur.

"Jangan sentuh aku, Brengsek!" Wanita itu masih memiliki tenaga untuk berteriak, padahal tubuhnya sekonyong-konyong akan ambruk kalo saja Alex tidak menahannya.

"Aku bi ... ehm ... huek!"

Mata Alex membulat, dia mematung merasakan panas dan lengket yang baru saja mengenai sebagian wajahnya. Dia benar-benar ingin mencekik wanita mabuk itu kalo saja tidak mengingat dia masih memiliki hati. Dengan sigap dia memapah dan mengantar wanita itu ke westafle, lantas menepuk-nepuk punggungnya.

Alex menatap pantulan wajahnya di cermin dengan perasaan jijik, kini gantian dia yang mual dan hampir muntah karena aroma dan sisa cairan yang berwarna cokelat dan krim di pipinya. Dia mengalihkan pandangan pada wanita yang sedang duduk bersandar di samping westafle.

"Kalo tidak bisa minum, kenapa minum. Untung kamu tidak bertemu dengan preman, bisa-bisa kamu di jual!" omel Alex saat membantu wanita itu kembali ke ranjang.

Dia membaringkan wanita itu dengan lembut, tidak melemparnya lagi karena takut dia akan muntah lagi. Setelah menutupi tubuhnya dengan selimut, Alex mengendus aroma tubuhnya yang masih bau akibat muntah wanita tadi.

Setelah membersihkan diri, Alex keluar dari kamar mandi. Dia sudah mengganti pakaiannya dengan kaos dan celana bahan selutut bermotif kotak. Dia akan meninggalkan wanita itu di kamarnya, sementara dia sendiri akan memesan kamar lain.

'Sekarang urus dirimu sendiri, Pemabuk!' umpat batin Alex.

Sayang, rencana hanya rencana. Rasa iba menyerangnya saat melihat wanita itu duduk memeluk lutut di ranjang. Semakin dekat, Alex bisa mendengar isakan wanita berambut panjang itu. Dia mendesah kasar sebelum mendekat dan duduk di samping wanita yang tampak menyedihkan itu. Di mengelus pundaknya.

"It's okay, just cry!"

Suara tangisan wanita itu menjadi-jadi, lantas menyenderkan kepalanya di pundak Alex. Alex yang terlanjur kasihan membiarkannya saja, meskipun aroma muntah yang masih ada.  Entah kenapa dia merasa terhubung dengan wanita itu, mungkin karena mereka sama-sama diabaikan. Mereka sama-sama kehilangan orang yang dicintai karena akan menikahi orang lain. Dia terus mengelus rambut wanita itu untuk menenangkannya.

"Jangan pergi!" ungkap wanita itu di tengah-tengah tangisannya,

"kamu bilang cinta, kenapa menikahnya sama perempuan itu!"

lanjutnya sambil melingkarkan kedua tangannya pada Alex.

Mata Alex terpejam sambil menelan ludahnya, dia menegang. 'Oh, Shit Lucifer, stop whispering me!'

...

Tbc😂

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!