Seorang Gadis dengan wajah sumringah memutar badannya ke kiri dan ke kanan di depan cermin. Menatap pantulan bayangan serupa dengan dirinya tanpa rasa bosan. Kekaguman berbalut syukur terpancar jelas dari sorot matanya. Tuhan memang menitipkan kecantikan dan keindahan yang luar biasa pada tubuh itu.
Deva namanya, dia sedang bersiap menghadiri undangan makan malam dari keluarga kekasih hatinya yang bernama Dave. Hati perempuan berusia dua puluh empat tahun itu sedang berbunga-bunga. Pesan singkat yang dikirim Dave agar Deva memakai gaun cantik dan datang ke sebuah ballroom hotel bintang lima, meninggikan harapan perempuan tersebut. Tujuh tahun menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, membuatnya yakin, jika malam ini, Dave akan mengajak dirinya untuk menaikkan level hubungan ke jenjang yang lebih serius.
"Sudah cantik ... berangkat yuk! Jangan sampai telat!" Deva berbicara pada dirinya sendiri sembari menyambar kontak mobil kesayangan yang dibelinya secara kredit.
***
Sampai di lobby sebuah hotel berbintang lima, Deva langsung menghubungi Dave melalui pesan singkat. Sebelum keluar dari mobil, gadis itu kembali bercermin melalui sun visor untuk memastikan penampilannya benar-benar sudah sempurna.
Deva meminta petugas valley untuk memarkirkan mobilnya. Lalu dia berjalan dengan anggun menghampiri Dave yang baru saja muncul. Pria itu menyambutnya dengan senyuman khas yang mempesona. Dengan bergandengan tangan, Deva dan Dave melangkahkan kaki menuju sebuah room yang sudah di pesan oleh keluarga Dave.
"Cantik ," puji Dave dengan suara setengah berbisik.
"Benarkah?" Deva menoleh pada Dave dengan tatapan lembut penuh cinta.
"Benar, Bee. Aku bersyukur memilikimu. Kamu tidak hanya cantik, tapi juga baik, sabar, dan selalu tegar. Aku tidak pernah bosan untuk mengagumimu." Dave mengusap punggung tangan Deva.
Keduanya memang pasangan yang selalu terlihat romantis. Hubungan berjalan manis dan dewasa. Bukannya ujian tidak pernah datang, hanya saja, kesetiaan masing-masing, memang sulit untuk digoyahkan. Mereka juga pernah cemburu, kesal, dan marah satu sama lain.
Memasuki sebuah ruangan yang lumayan luas, jantung Deva seketika berdetak kencang. Bahagia sekaligus deg-deg'an. Pandangan mata gadis itu langsung tertuju pada backdrop yang ada di tengah dinding bagian depan. Bunga Tulip putih berpadu dengan dedaunan hijau, ditata begitu apik membentuk bingkai persegi panjang ukuran besar. Tepat ditengahnya, terdapat ornamen dari kertas hias berbentuk sepasang burung merpati yang sedang menghinggapi sangkar bertuliskan 'D & D.' keyakinan Deva akan ada kejutan untuknya semakin tak terbendung.
Empat buah meja persegi, masing-masing dilengkapi bangku hanya untuk empat atau lima orang, tertata rapi dengan jarak agak saling berjauhan. Nuansa putih berpadu hijau, sungguh memberikan kesan segar, damai dan tenang.
Fira---mama Dave dan Agas---papa Dave, baru saja memasuki ruangan, keduanya langsung menghampiri dan menyapa Deva. Hangat seperti biasa. Namun, Deva merasakan sesuatu yang berbeda dari Fira dan Agas. Keduanya seperti sedang menyimpan beban.
Sesaat kemudian, Opa dan Oma dari Dave pun datang bersama kakak kandung dan kakak ipar dari Fira. Setelah menyapa Deva sekilas, mereka langsung duduk memenuhi bangku-bangku yang ada di salah satu meja yang tersedia.
Sikap opa dan oma yang biasanya sangat ramah pada Deva, mendadak terasa asing. Kedua orang tua tersebut seperti enggan menatap mata dan wajah Deva. Seperti ada yang sedang ingin mereka hindari.
Hingga delapan orang datang dengan aura yang berbeda. Tanya dibenak Deva mulai menyeruak. Begitu pun dengan Dave. Perasaan keduanya mendadak tidak enak. Di antara tamu yang baru saja datang, ada satu sosok yang menarik perhatian keduanya. Dres batik yang dikenakan oleh sosok tersebut memiliki corak dan warna yang sama persis dengan yang dikenakan Dave.
Dengan susah payah Deva menelan ludahnya sendiri. Dia mencoba untuk berpikir positif. Dave sendiri menatap tajam pada Papa dan mamanya untuk meminta sebuah penjelasan. Namun kedua orang itu seolah tidak peduli dan mengabaikan putra semata wayang mereka begitu saja. Dave semakin gelisah. Ingin rasanya dia berpindah duduk di samping Deva. Tapi tatapan sendu penuh harap dari Fira, membuat Dave segan.
Dirasa semua sudah datang dan sudah menempati meja masing-masing, munncullah seorang pembawa acara yang langsung berdiri di depan sembari memegang pengeras suara wireless. Menyapa dengan suara renyah dan menarik perhatian semua orang yang ada di sana agar fokus pada sosok tersebut.
Deva memajukan duduknya, hingga bokongnya hanya menyentuh ujung kursi yang didudukinya. Perempuan itu begitu tidak sabar menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Deva yang duduk di sebelah Fira, mencoba terus bersikap tenang. Harapan dan angannya tidak lagi melambung tinggi. Logika terus mengajak Deva berpikir akan kemungkinan-kemungkinan terburuk.
"Bapak Ibu hadirin yang berbahagia, malam ini adalah malam yang begitu istimewa. Dua orang yang mencinta, akhirnya, menyatukan rasa dalam ikatan pertunangan. Tidak berlama-lama, mari kita sambut ... yang berbahagia, Dave Sebastian dan Dira Gracella."
Bagai terhempas jatuh dari puncak gunung tertinggi. Hancur dan remuk sudah harapan Deva. Dalam waktu sekejap, harapan itu berganti duka luar biasa. Begitu sakit dan sedihnya hati, sampai bulir bening pun tak sanggup keluar dari mata. Bibir Deva mengatup rapat, tidak mampu lagi berkata-kata.
Dave bergeming, dia belum juga beranjak dari kursinya. Ingin melihat reaksi Deva, namun pria itu pun sudah tidak mempunyai daya dan kekuatan. Sama halnya seperti Deva, tulang Dave seolah terlepas dari tubuhnya. Dave memberanikan diri menatap Agas dengan tatapan penuh kebencian.
"Lakukan, Dave. Selamatkan keluarga kita dari rasa malu, selebihnya, serahkan semua pada Papa. Papa janji, Deva tidak akan pernah membencimu," Agas berbisik penuh harap. Tangannya mencengkeram lengan Dave begitu erat.
Fira menoleh ke samping, wanita itu meraih tangan Deva, sorot matanya menyiratkan rasa bersalah. Sebagai perempuan, dia tahu persis apa yang mereka lakukan malam ini sangat kejam.
Deva menggelengkan kepala dengan kuat. "Seharusnya tidak seperti ini, Ma," ucapnya begitu lirih.
Tidak sanggup menghadapi kenyataan, Deva pun akhirnya beranjak dan berlari meninggalkan ruangan itu.
Tidak ada yang mengejar Deva. Fira dan Agas memilih bicara serius dengan Dave. Angan kedua insan itu hancur lebur dalam sekejap, sungguh kenyataan jauh dari yang ada di benak dan pikiran.
Deva terus berjalan dengan langkah terburu-buru. Bisa dikatakan setengah berlari. Gadis itu berjalan sembari menyeka bulir bening yang mulai berjatuhan di pipi tanpa aba-aba.
Terlalu fokus pada kesedihan, membuat Deva tidak memperhatikan keadaan jalan yang dilalui. Akibatnya, bahu Deva menabrak lengan seseorang yang berjalan dari arah berlawanan dengan cukup keras.
"Kenapa jalan nggak lihat-lihat? Bukannya tempat ini sangat luas? Makanya kalau jalan sambil lihat jalan, jangan mainan ponsel mulu." Bukannya maaf yang diucapkan Deva, tapi malah umpatan yang membuat sosok yang ditabraknya kesal.
"Hei... kenapa jadi aku yang salah? Apa perlu kita melihat CCTV? Siapa yang berjalan terburu-buru? Siapa yang jalan menunduk seperti orang sedang mencari recehan jatuh?" Laki-laki yang di tabrak Deva memberondong dengan pertanyaan bernada sinis. Tatapan matanya menyelidik dari ujung kepala hingga ujung kaki Deva.
"Enak saja kalau ngomong. Terus ngapain lihat saya sampai segitunya?" Deva malah semakin nyolot.
"Pede sekali, kamu. Aku cuman heran, kok ada perempuan tidak punya etika seperti kamu. Kalau salah, tinggal minta maaf. Bukan malah marah-marah," timpal laki-laki di depan Deva tersebut.
"Jadi saya tidak boleh marah? Apa saya harus menerima keadaan begitu saja? Ikhlas dan pasrah ketika orang-orang mengkhianati saya? Jangan harap!"
Deva menjawab diluar permasalahan. Pikirannya memang sedang kacau. Raganya di depan orang lain, namun pikirannya ada pada Dave dan peristiwa yang baru saja meremukkan hati Deva.
Laki-laki itu semakin mengernyitkan keningnya, bahkan dia menepuk pipinya sendiri untuk memastikan bahwa apa yang didengar bukan sekedar halusinasi.
"Kamu sehat? Atau kamu sedang kehabisan obat?" Tanya laki-laki yang ditabrak Deva dengan nada yang sudah agak direndahkan.
"Sudahlah! Saya tidak punya waktu untuk meladeni Anda. Jika memang menurut Anda saya yang salah, saya minta maaf." Tanpa menunggu jawaban, Deva bergegas meninggalkan laki-laki tersebut tanpa permisi.
"Dasar tidak waras. Pasti dia baru saja memergoki kekasihnya memainkan squisy di dada perempuan lain," umpat laki-laki tadi.
Sepertinya, laki-laki yang ditabrak Deva juga belum puas dengan reaksi yang diberikan oleh perempuan tersebut. Rasa penasaran masih melintasi pikirannya. Baru kali ini dia bertemu dengan perempuan yang terguncang jiwanya begitu parah. Sampai-sampai bisa melewatkan ketampanan dan pesonanya yang membius begitu saja.
***
Walaupun dengan keterpaksaan, Dave tetap menjalankan prosesi pertunangan yang diam-diam dipersiapkan untuknya. Siapa pun yang menyaksikan acara tukar cincin, pasti akan merasakan betapa enggannya Dave saat memasang cincin di jari manis Dira.
"Aku Dira." Gadis yang baru saja resmi menjadi tunangan Dave itu mengulurkan tangannya dengan ramah. Dia mengambil kesempatan disela yang lain sedang antri mengambil makanan yang sengaja dibuat Buffet. Dave yang duduk sendirian di meja tempatnya tadi hanya diam. Dira tetap berinisiatif untuk mendekati Dave.
"Tidak perlu basa-basi, jelas kamu sudah tahu namaku. Bagaimana seorang perempuan mau bertunangan dengan laki-laki yang tidak dikenal sebelumnya? Apakah kamu tidak bisa mencari calon suami sendiri? Atau memang tidak ada laki-laki yang mau denganmu?" Tanpa menyambut uluran tangan Dira, Dave menatap perempuan di sampingnya dengan sinis.
Dira hanya tersenyum tipis mendengar serentetan pertanyaan Dave. Dia tidak ingin berdebat. Pada kenyataannya, dia yang menginginkan pertunangan ini. Maka apa pun reaksi yang diberikan Dave, sudah menjadi resikonya.
"Aku tidak keberatan jika Bang Dave ingin mengajakku keluar atau meminta nomer ponselku. Kita bisa berkenalan pelan-pelan. Tak kenal maka tak sayang. Begitu kata peribahasa. Kita hanya butuh waktu."
Dira memberikan ponselnya pada Dave. Tapi dengan tegas pria itu menolaknya. Dia tidak sudi bertukar nomer ponsel dengan Dira. Lagipula, meski sama sekali tidak mengenal sosok Dira, Dave tidak berniat sedikit pun untuk mengenal perempuan yang sudah menjadi tunangannya itu lebih jauh. Semua yang dilihatnya pada Dira, seakan tidak lebih baik dari Deva.
Ketika para tamu sudah meninggalkan ruangan, termasuk juga Dira dan keluarganya, Dave pun langsung berniat untuk ke rumah Deva. Namun Fira dan Agas menghalangi niat anaknya tersebut. Fira bersikukuh akan menemui Deva secara langsung keesokan harinya.
"Besok pagi sekali, Mama akan menemui Deva. Mama janji. Mama juga perlu meminta maaf. Jangan temui Deva sekarang. Beri Deva waktu untuk menenangkan diri," lirih Fira. Gurat kesedihan yang disebabkan rasa bersalah, jelas nampak di wajahnya.
"Tega, Mama sama Dave. Salah apa Deva sama Mama dan Papa? Kalau kalian tidak setuju atau tidak merestui hubungan kami, tidak seharusnya kalian memperlakukan Deva seperti ini," sesal Dave. Suaranya bergetar karena menahan amarah dan kekecewaan.
"Kamu tahu persis kondisi papamu, Dave. Pak Rudi menawarkan uluran tangan pada kita. Bukan syarat yang sulit. Dira sangat cantik dan terpelajar. Kamu cukup membuka diri. Cinta karena terbiasa. Sesederhana itu. Jangan merumitkan keadaan. Mama jamin, Deva akan memahami keadaan ini. Kalian masih bisa menjalin persahabatan," Fira menatap Dave dengan lembut. Kata-katanya tegas, namun sebisa mungkin tidak membuat putra satu-satunya semakin kecewa.
"Umur Papa mungkin tidak lama lagi, Dave. Apakah kamu tega membiarkan Papa menghabiskan waktu yang singkat ini, seperti Papanya Deva? Lagi pula, Papa tidak bersalah sama sekali." Agas turut memohon pada Dave.
"Papa Amar juga tidak bersalah. Beliau hanya korban dari orang-orang pengecut yang serakah," sahut Dave seraya membalas tajam tatapan Agas.
"Tapi Papa tidak mau kisah hidup Papa seperti Amar, Dav!" tegas Agas, kesabarannya sudah mulai habis.
Fira melerai suami dan putranya itu dengan suaranya yang lembut. "Kita pulang. Kita bicarakan nanti di rumah."
Dave dan papa mamanya meninggalkan room, melangkah tenang tanpa suara menuju beranda lobby. Mobil Lexus hitam dengan Agus sebagai drivernya sudah menunggu di sana. Ketiganya langsung naik ke dalam mobil tersebut. Perlahan Agus mengendarai mobilnya meninggalkan halaman hotel bintang lima tersebut dengan kecepatan sedang.
***
Tanpa membersihkan wajah dan mengganti bajunya terlebih dahulu, Deva langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Dia menumpahkan air matanya di atas bantal. Tangannya tidak henti memukul-mukul pada guling yang menjadi pelampiasan kekesalan dan sakit hati yang sedang dirasakan.
Di tengah isak tangisnya, lirih suara Deva tidak henti mengucap istighfar. Tidak ada orang lain yang bisa diandalkan untuk menghibur lara hatinya. Deva benar-benar merasa sendiri sekarang.
"Ma ... Deva kangen sama mama. Beri tahu Deva, ma. Kenapa harus berakhir seperti ini? Apa memang Deva tidak pantas bahagia?" Deva memeluk tubuhnya sendiri. Tidak ada suara lain yang terdengar selain isak tangisnya.
Setelah puas menangis dan menumpahkan kekesalan, Deva beringsut turun dari ranjang dan melangkah ke kamar mandi. Gadis itu membasuh wajahnya agar sedikit segar.
Deva memperhatikan bayangan dirinya yang terpantul di cermin toilet. Memang tidak ada yang pasti dalam kehidupan ini. Segalanya bisa terjadi dengan cepat, tanpa rencana dan tanpa bisa diduga sebelumnya. Jangankan dalam hitungan jam, dalam hitungan detik sekali pun, Tuhan bisa membolak balik peristiwa yang terjadi dengan begitu mudah sesuai kehendak-Nya.
Seperti yang terjadi pada Deva. Dua jam yang lalu, dia masih tersenyum lepas dan begitu optimis. Namun sekarang? Senyuman itu memudar, dan berganti dengan tangisan. Harapan akan masa depan sebuah hubungan pun kandas tiba-tiba. Tanpa alasan, apalagi penjelasan yang pasti.
Deva mengunci pintu rumahnya sedikit terburu-buru. Pagi ini, dia ingin datang lebih awal di kantornya. Beberapa hari ke depan, akan terjadi pergantian CEO. Dia tidak mau sampai menjadi sasaran empuk disalah-salahkan, jika ada pekerjaan tertunda atau tidak jelas. Sebagai asisten pribadi CEO lama, tentu dialah yang akan menjadi tempat bertanya atau bahkan sangat mungkin menjadi sasaran kemarahan dari CEO baru. Pasalnya, satu bulan terakhir ini, perusahaan mengalami kerugian yang cukup dratis.
"Boleh Mama berbicara sebentar, Dev?"
Deva seketika memutar badan ke arah sumber suara yang terdengar sangat familiar di telinganya. Dia pun menarik napas berat. Terlanjur bertemu, dan didatangi pula. Walaupun dengan berbagai alasan, menolak dan menghindar bukanlah hal yang sopan.
"Mama tahu kamu pasti akan berangkat kerja. Hanya sebentar, Dev. Mama janji." Fira mengulang sekali lagi permintaannya.
"Silahkan, Ma."
Deva berniat membuka pintu rumahnya kembali, namun Fira menahan tangan gadis tersebut agar tidak memasukkan anak kunci ke lubangnya.
"Kita duduk di sana saja," Fira menunjuk kursi ukiran kayu di sisi kiri beranda rumah Deva.
Fira menggandeng tangan Deva, mengajak mantan kekasih anaknya itu duduk di kursi terpanjang.
"Langsung saja, ya. Sepertinya kamu juga terburu-buru. Mama mau minta maaf sama kamu, Dev. Mama dan papa terpaksa menerima tawaran orangtua Dira untuk menjodohkan Dave dengan Dira. Papa Agas mengalami masalah yang kurang lebih sama dengan papamu. Kamu tahu sendiri, kesehatan papa sudah sangat menurun akhir-akhir ini. Kalau pun Tuhan tidak memberikan umur panjang, setidaknya papa tidak berakhir di bui." Fira menjeda penjelasannya sebentar.
Deva bisa melihat dengan jelas wajah Fira yang sendu dan menyembunyikan beban. Namun dia tetap memilih untuk tidak memberikan reaksi apa pun. Menunggu penjelasan Fira lebih lanjut adalah pilihannya.
"Mama tidak mau melihat papa menderita di dalam ruangan sempit dan pengap. Kejadian mamamu cukup memberi pelajaran pada kami. Mamamu yang hebat saja tidak kuat, Dev. Apalagi Mama yang lemah ini. Tolong maafkan Mama dan papa! Jangan membenci kami atau pun Dave. Kalian masih bisa bersahabat bukan? Atau bahkan menjadi saudara. Jangan jauhi Dave. Jika kamu menjauh terlalu cepat, Dave pun akan hancur."
Deva menarik dua ujung bibirnya ke atas, membentuk garis senyuman tipis yang sepertinya sedikit dipaksa. Dia meraih tangan Fira dan menggenggam tangan itu dengan memberikan rasa sayang yang masih tersimpan utuh untuk calon mertuanya yang gagal itu.
"Deva butuh waktu, Ma. Deva bukan malaikat yang bisa menerima keadaan begitu saja tanpa rasa sakit hati. Deva dan Bang Dave menjalin hubungan yang tidak sebentar. Kalau Deva bisa menerima keadaan ini begitu saja, lalu apa arti hubungan kami selama ini?"
Fira mengangguk dan membalas senyum Deva tak kalah lembut. "Mama tahu, Dev. Setidaknya, Mama sudah menjelaskan pada kamu. Jika jodoh, pasti jalan kalian dimudahkan. Mungkin apa yang dialami Papa Agas adalah pertanda, jika kalian memang tidak bisa bersama."
Deva melepaskan genggaman tangannya dari tangan Fira. Menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Deva sedang berusaha meredam emosi kesedihan yang sebenarnya sudah membuncah. Sebagai manusia biasa, tentu dirinya ingin sekali mengeluarkan sumpah serampahnya pada kehidupan yang semakin lama semakin jelas tidak adil padanya.
Papa Deva--Amar--sebelumnya menjabat sebagai Direktur Utama salah satu perusahaan milik negara, di vonis sembilan tahun penjara karena kesalahan kebijakan yang dibuatnya. Di mana kebijakan itu dinyatakan merugikan negara dengan nominal yang fantastis. Tidak ada satu barang bukti atau saksi yang bisa meringankan Amar dari tuntutannya. Jangankan seratus ribu, padahal seperak pun Amar tidak menikmati uang yang dimaksud dalam tuntutan.
"Deva harus berangkat, Ma. Deva takut kesiangan. Maaf." Tanpa bermaksud tidak sopan, Deva berpamitan pada Fira. Dia mencium punggung tangan Mama Dave tersebut, lalu bergegas masuk dan langsung mengendarai mobil Honda Jazz hitam miliknya dengan perlahan. Dari spion tengah, Deva bisa melihat sosok Fira masih mematung menatap mobilnya dengan tatapan kosong.
***
Deva memelankan laju kendaraannya begitu dia sudah mendekati gedung perusahaan tempatnya bekerja. Namun tiba-tiba dia merasakan mobilnya terdorong ke depan hingga jarak beberapa meter, disertai suara benturan keras antar besi di bagian belakang mobilnya.
Dengan sigap, Deva menarik hand rem dan menginjak rem mobilnya. Setelah memastikan kendaraan lain yang akan melewatinya masih jauh, dia pun segera keluar dari mobilnya.
Pandangan matanya langsung fokus pada bagian depan kendaraan sedan hitam yang tergolong premium menempel sempurna di bumper belakang mobilnya.
Deva mempercepat langkah kakinya. Tidak sabar ingin memastikan apa yang menjadi dugaannya tidaklah salah. Bersamaan dengannya, pengemudi dari mobil yang menabraknya pun berjalan mendekati objek yang sama.
"Astaga!" Deva langsung memegangi lampu sein belakang kirinya yang pecah. Meneliti lebih jauh, bumper di dekat sein pun penyok.
"Kamu lagi, kamu lagi. Setiap bertemu kamu, aku selalu terkena sial," dengus si penabrak sembari menatap Deva yang tidak juga membalas tatapannya.
"Saya? Sepertinya Anda salah orang." Deva melirik sekilas laki-laki tampan yang mengajaknya bicara. Lalu kembali mengambil foto mobilnya yang mengalami kerusakan menggunakan kamera ponsel.
"Wah, bener-bener. Semalam kamu baru saja menabrakku di lobby hotel. Sekarang kamu pura-pura lupa."
Deva mengernyitkan keningnya. Pura-pura mengingat-ingat sembari menatap pria di depannya dengan tatapan menyelidik.
"Sepertinya Anda salah orang, saya tidak pernah mengenal Anda," Deva kembali berjalan menuju pintu mobilnya.
"Tunggu dulu! Kamu tidak sopan sekali. Bukankah mobilku menabrak mobilmu?" Si Penabrak mengejar Deva.
"Terus?" Deva menghentikan langkahnya tanpa menoleh.
Laki-laki itu menambah langkahnya ke depan, hingga dia bisa berhadapan dan beradu pandang dengan Deva.
"Apa kamu tidak normal? Seharusnya kamu meminta ganti rugi padaku. Atau setidaknya kamu marah-marah sedikit."
Deva menggelengkan kepala seraya tersenyum sinis pada si lelaki penabrak. Terlihat begitu santai. Hingga membuat pria tersebut menjadi penasaran, kesal sekaligus keki.
"Saya sangat normal. Saya tidak akan meminta ganti rugi pada Anda. Urusan kita selesai sampai di sini."
Deva hendak membuka pintu mobilnya. Tapi pria tadi ternyata bergerak lebih gesit. Dia dengan santai bersandar di pintu mobil Deva.
"Apa lagi? Bukankah saya sudah mengatakan urusan kita selesai?" Deva melirik jam di pergelangan tangannya. Sepuluh menit lagi, dia akan terlambat absensi.
Si penabrak menyodorkan kartu nama pada Deva. "Berapa pun yang kamu habiskan untuk memperbaiki mobilmu. Silahkan hubungi aku. Seumur hidup, aku tidak pernah melalaikan tanggung jawab pada kesalahan atau kekacauan yang aku buat. Jadi jangan menjadikanku pengecut untuk pertama kali,"
Deva menerima kartu nama itu, membaca sekilas, lebih tepatnya, hanya nama saja yang dia baca.
"Saya pikir merogoh dompet untuk memberi uang, ternyata hanya memberi kartu nama. Bilang saja mau kenalan. Modus pria berkemeja memang sangat halus. Tapi maaf, saya punya asuransi untuk mengcover kerusakan mobil saya. Saya tidak mau memperpanjang urusan kita, Pak Dewa. Terimakasih atas niat baiknya, permisi."
Deva mendorong sedikit tubuh Dewa agar menyingkir dari pintu mobilnya. Lalu dia segera masuk dan menjalankan mobilnya dengan kecepatan lumayan tinggi.
"What? Siapa dia? Sombong sekali! Apa dia tidak melihat ketampanan di wajahku? Dia harusnya juga tahu level kemapananku dari kartu nama tadi. Sepertinya dia memang sedang depresi." laki-laki yang memang bernama Dewa itu mengumpat sendiri seperti orang yang tidak waras.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!