Dua prajurit penjaga tahanan langit membuka pintu megah berwarna putih dengan ukiran pada masing-masing permukaan pintu.
Ruangan ini merupakan penjara bagi para pejabat langit. Tak seperti penjara pada umumnya yang memiliki jeruji besi. Ruangan ini justru hanya menampakkan ruangan putih luas.
Ruangan putih luas ini merupakan hukum paling tinggi di langit, penjara yang dikhususkan bagi para dewa yang melakukan kesalahan paling fatal.
Di dalam sana sudah terdapat seorang dewa yang tengah berbaring, menjadikannya pusat dari warna putih di dalam ruangan.
Kedua prajurit mendekati
ke arah dewa yang masih terbaring. Tepat setelah keduanya mendekat, kelopak mata dewa itupun mulai bergerak pelan hingga mata hijau zamrud menatap dua penjaga di depannya.
Dewa itu segera bangkit berdiri di depan kedua penjaga. Seakan tubuhnya sudah paham dengan maksud kedatangan mereka.
"Silahkan ikut kami."
Dewa itu patuh berjalan keluar mengikuti kedua prajurit. Matanya tak henti meneliti sekeliling.
Sudah 700 tahun lamanya dan tidak ada yang berubah sedikitpun dari tempat ini.
Semuanya masih sama. Dinding dan pintu masih berwarna putih dengan ukiran bunga disetiap permukaannya.
Di tengah bangunan masih terdapat air mancur yang juga berwarna putih dan taman bunga warna-warni yang membuat mereka sangat mencolok dan menjadi pusat keindahan.
Pria itu menatap beberapa pejabat langit yang tengah bersantai di taman sambil bersenda gurau.
Dia memberikan senyum terbaik pada mereka. Mencoba untuk beramah tamah, tapi mereka hanya saling berbisik tanpa membalasnya.
Melihat bagaimana reaksi mereka, dewa itu hanya tersenyum pahit. Benar, tidak hanya bangunan. Bahkan setelah 700 tahun lamanya para dewa langit masih tak menyukainya.
Sejak dulu sampai sekarang tak ada yang berubah. Tidak pernah ada pejabat langit yang bisa menerima keberadaannya.
Dewa itu menghela nafas berat kemudian tersenyum lembut. Mau bagaimana lagi? Dia terlahir dengan pandangan seperti itu. Apa yang bisa dia lakukan?
Bahkan sebelum mencari tahu apa kesalahannya, dia harus tertidur 700 tahun lamanya. Dia berharap setelah ini hidupnya bisa berjalan lebih baik.
Pria itu dibimbing ke arah ruangan dengan pintu putih besar lain. Terlihat dua penjaga berdiri di antara pintu. Pintu besar terbuka dengan sendirinya.
Dewa itu menatap sekeliling ruangan yang berada di balik pintu. Siapa yang mengira bahwa hari kebangkitannya akan menjadi rapat besar.
Dewa itu menghela nafas untuk sekian kalinya. Apa yang dia harapkan? Tentu saja di dalamnya juga masih sama. Para petinggi itu masih saja orang yang sama.
Dia tersenyum saat memasuki ruangan terbesar dalam istana langit ini.
Ruangan yang menjadi singgasana dewa agung sekaligus tempat rapat dan berkumpulnya para pejabat langit.
Di sebelah kiri berdiri para dewa penjaga dari ketujuh langit dan sebelah kanan berdiri para pejabat dan ketua prajurit yang jadi kepercayaan dewa agung.
Sedangkan dikursi utama merupakan singgasana dari dewa agung Dewa tertinggi dari langit, bumi bahkan iblis pun patuh padanya.
Dewa pencipta serta hakim dari segala hakim dari tiga alam.
Para dewa penjaga ke tujuh langit menatap remeh Shin saat memasuki ruangan.
Energi mananya jelas terkikis habis setelah dihukum tidur selama 700 tahun lamanya. Bisa dipastikan semua posisi mereka akan aman.
Dengan kekuatan seperti sekarang, mereka berpikir Shin takkan bisa menjadi dewa langit lagi.
Bahkan manusia saja telah mampu mengasah energi mana mereka dan telah mampu menandingi Shin yang sekarang.
Sebenarnya Shin hanya mendapat hukuman 100 tahun dari dewa agung. Dikarenakan tujuh langit merasa itu terlalu ringan dan perbuatan Shin meresahkan ke tujuh langit. Mereka bertujuh sepakat menjatuhkan hukuman 700 tahun.
"Hamba memberi hormat pada dewa agung."
Pria bernama Shin tersenyum ramah. Menurunkan tubuh dan kepalanya sedikit memberi hormat pada dewa agung.
Tak lupa Shin juga memberi hormat pada para dewa dan pejabat langit yang lain. Walaupun tentu saja tak ada yang membalas ramah tamahnya.
Tatapan penuh mencemooh selalu ditunjukkan padanya. Shin hanya bisa tersenyum mendengar desas-desus mereka menggunjing tepat didepan matanya.
"Selamat datang kembali, anakku, " ucap dewa agung membuat Shin tersenyum penuh hormat.
"Tujuh ratus tahun lamanya, kamu telah menebus kesalahanmu di masa sebelumnya. Kembalilah menjadi dewa yang mulia, langit akan menjaga dan merestuimu kebangkitanmu. "
"Maaf yang mulia, jika hamba tidak sopan," ucap seorang pemimpin salah satu langit.
"Katakanlah wahai anakku. "
"Tidakah yang mulia berpikir bahwa hukuman yang diterima Shin selama ini tak sebanding dengan apa yang telah dia perbuat?"
"Benar yang mulia, hamba juga berpendapat sama. Membebaskan Aresh merupakan dosa yang sangat besar mengingat apa yang telah iblis itu lakukan pada ketiga alam," tambah beberapa dari yang lain.
"Dosa ini sangat fatal, bahkan langit pun enggan untuk dapat mengampuni kesalahannya."
"Tidakah dunia bawah menjadi penerima para pendosa dari langit dan bumi?"
"Tapi dengan tidak adanya raja iblis membuat tiga alam menjadi tak seimbang. "
"Benar yang mulia. Belum lagi setelah 700 tahun tertidur kekuatan Dewa Shin tak sebanding dengan apa yang ada di langit. Apakah pantas untuk langit dapat menerimanya kembali?"
Ucap mereka semua saling menyahut yang pada intinya tidak ingin Shin kembali diangkat menjadi dewa.
"Lalu apa yang menurut kalian sepadan agar Shin dapat menebusnya?" tanya dewa agung.
"Mohon maaf yang mulia, kami sepakat mengusulkan Shin diturunkan ke alam fana untuk menangkap para iblis termasuk Aresh. Mengembalikan mereka ke dunia bawah agar ketiga alam dapat kembali seimbang seperti sedia kala."
"Benar yang mulia. Iblis itu begitu kejam dan sombong, tak seharusnya bebas diluaran sana. Demi keseimbangan ketiga alam, hamba juga setuju jika mereka ditangkap kembali."
Dewa agung menatap Shin yang masih tersenyum kepadanya. Tak ada sanggahan sedikitpun dari Shin. Wajah Shin tak menunjukkan adanya keberatan dari usulan para dewa. Dia hanya tersenyum tenang sama seperti yang diharapkan.
"Bagaimana menurutmu, Nak?" tanya dewa agung meminta pendapat dari Shin.
"Jika menurut para dewa keputusan itu yang terbaik dan hamba dapat berguna, maka hamba tidak keberatan yang mulai."
Dewa agung berpikir sejenak. Dia tak merasa ini mustahil bagi Shin. Shin lebih dari sekedar mampu untuk membawa kembali kedelapan iblis tingkat atas yang tengah bebas. Dialah yang telah menciptakan Shin, maka takkan ada yang meragukan ciptaannya selain dirinya sendiri.
"Kemarilah anakku."
Shin bangkit dan mendekat ke arah dewa agung. Dewa agung memberikan sebuah kendi putih berbahan keramik pada Shin.
"Bawalah, ini akan berguna dalam perjalananmu."
"Terimakasih yang mulia."
"Dengan ini aku memutuskan mengutusmu ke alam fana untuk menangkap iblis tingkat tinggi. Kembalilah kepada langit saat tugasmu selesai dan kamu akan diterima dengan hormat tanpa pengecualian apapun."
"Terimakasih yang mulia. Hamba menerima dengan senang hati dan berjanji untuk melaksanakan tugas dengan seluruh kemampuan hamba."
"Pergilah anakku. Para penjaga akan mengantarmu."
"Baik yang mulia, hamba undur diri."
Dewa penjaga langit berserta seluruh pejabatnya tersenyum puas melihat kepergian Shin dari langit. Mereka yakin Shin takkan bisa kembali lagi ke langit.
Lagi pula siapa yang bisa membujuk para iblis itu kembali. Apalagi iblis yang bernama Aresh. Bahkan ketujuh dari para dewa sudah ditantangnya berduel satu lawan satu dan tak ada yang berhasil mengalahkannya. Bermimpi untuk seimbang saja mereka tak mampu.
Kedua prajurit datang mendekat ke arah Shin, mengawalnya keluar dari ruangan utama. Shin bernafas lega saat dapat keluar dari ruangan yang membuatnya sesak.
Dia tersenyum senang saat melangkah pergi. Shin tak merasa keberatan sedikitpun dengan keputusan dewa agung. Jika dirinya tak diterima di langit maka Shin akan membuktikan keberadaannya layak untuk diakui.
###
Di depan Shin sudah terlihat jurang pintu menuju alam fana, tapi matanya justru teralihkan pada cahaya biru dari celah batu besar.
Dia tersenyum tipis, sudah 700 tahun lamanya dan cahaya itu masih saja menyapanya untuk singgah seperti dulu.
"Bisakah aku ke lembah itu sebentar?" tanya Shin pada kedua prajurit yang mengawalnya.
Kedua prajurit saling memandang mendengar pertanyaan Shin.
"Bisakah?" ulangnya sambil tersenyum ramah hingga matanya menyipit menampakan bulu mata lentik panjang.
Salah satu yang membuat para dewa iri adalah kesempurnaan dalam diri Shin. Dewa agung begitu memberi kesempurnaan rupa, tubuh, sifat dan kekuatan yang tak dimiliki dewa lain padanya. Tapi apakah semua itu layak menjadi alasannya untuk dibenci?
Kedua prajurit itu mengangguk menyetujui permintaan Shin, membuat si penanya tersenyum kegirangan.
"Terima kasih banyak."
Shin berlari kecil memasuki lembah yang berdominan dengan warna biru gelap dan bercahaya ini.
Benar juga. Selain taman langit masih ada lembah ini yang memang begitu mencolok. Tak terkejut sudah kedua kalinya Shin ditarik masuk ke tempat ini.
"Apakah tempat ini memiliki nama?" tanya Shin pada prajurit yang masih mengikutinya di belakang.
"Lembah Aresh."
'Bahkan tempat ini memiliki namanya', pikir Shin.
Shin berjalan mendekat ke arah jeruji besi yang menempel pada dinding batu. Di dalamnya masih ada empat rantai besar yang dulu pernah dipakai untuk membelenggu seseorang.
Gambaran masa lalu berputar di kepalanya seperti baru terjadi kemarin.
Matanya masih menangkap sosok yang sebelumnya terbelenggu di balik jeruji.
Ini adalah tempat pertama kali dia dan Aresh bertemu. Bahkan setelah 700 tahun lamanya Shin baru mengetahui nama teman mengobrolnya itu.
Tepat dimana hari dia diciptakan, Shin merasa sangat diasingkan oleh para penghuni langit.
Semua dewa langit menghindarinya bak hama. Pejabat langit terlalu sibuk untuk sekedar mengobrol. Sedangkan prajurit langit, mereka seperti tidak dianjurkan untuk berbicara.
Shin hanya memeliki dewa agung sebagai satu-satunya teman mengobrol.Tapi dia juga tak nyaman ditatap tajam oleh dewa lain saat berada didekat dewa agung.
Dia memilih mencari teman mengobrol lain di langit yang luas ini.
Mengasingkan diri sejenak dari langit utama. Toh Shin memang belum memiliki tugas penting seperti dewa lainnya.
Hingga dia akhirnya bertemu dengan Aresh dalam keadaan teramat miris.
Kedua kaki dan tangannya diikat rantai besi. Sekujur tubuhnya penuh luka dan saat itu Aresh tak berhenti meraung marah.
Entah keberanian apa yang didapat Shin kala itu. Dia bahkan tak merasa takut sedikitpun pada Aresh.
Perasaan sakit melihat seluruh luka pada tubuh Aresh lebih besar daripada rasa takut Shin kepadanya.
"Siapa yang telah melukaimu?" tanya Shin menatap pilu Aresh dari balik jeruji.
Di dalam sana Aresh tersenyum. "Tidak ada yang bisa melukaiku selain diriku sendiri, " jawabnya tersenyum angkuh.
"Apa yang dilakukan pejabat langit di tempat kumuh seperti ini?" tanya Aresh tersenyum simpul.
Shin menatap baju putihnya. Dia menyadari bahwa pria itu benar. Bajunya memang terlalu mencolok di lembah yang cenderung gelap ini.
"Apa aku tidak diterima di sini?"
Aresh tertawa lepas, nyaring suaranya menggema di lembah. "Siapa yang berani melarangmu? Kau bisa pergi kemanapun kau mau."
"Itu bagus. Aku sangat bosan di ruang utama dan hanya ingin berjalan-jalan sejenak."
"Kau tak takut padaku?"
"Apa aku harus takut padamu?"
"Bahkan tiga alam takut padaku."
Shin tak begitu paham dengan ucapan orang di depannya. Dia memiliki keingintahuan lain.
"Bolehkah aku bertanya?"
"Tak ada yang melarangmu bertanya. Bahkan aku sama sekali tak menghentikanmu sebelumnya."
Shin mengangguk, benar juga. Dia sudah begitu banyak bertanya dan baru sekarang meminta izin.
"Apa yang membuatmu dikurung disini?"
"Tidak ada. Aku hanya iblis yang tidak bisa mereka tangani."
"Kamu iblis?" tanya Shin heran. Shin baru tahu iblis bisa berada di langit. Tentu saja raja iblis menjadi pengecualian.
Raja iblis seperti jembatan bagi alam atas dan bawah. Dewa agung pernah memberitahunya bahwa iblis tidak akan bisa keluar masuk dunia atas dan tidak ada satupun dari dunia atas yang ingin menginjakan kaki di dunia bawah.
Lalu bagaimana bisa seorang iblis yang bukan raja maupun memiliki kedudukan penting bisa berada di langit?
Shin merasa sangat penasaran, tanpa sadar dia menyentuh salah satu jeruji dan hal ajaib pun terjadi. Jeruji yang awalnya tanpa pintu kini muncul sebuah pintu tepat dimana dia menyentuh.
Tidak hanya Shin yang terkejut disini. Iblis itu juga tampak tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
Bagaimana bisa belenggu yang diciptakan sendiri oleh dewa agung digagalkan? Bahkan ketujuh dewa penjaga langit takkan sanggup melakukannya.
Shin membuka pintu jeruji itu dan memberanikan diri mendekat ke arah si iblis.
Saat Shin baru mendekat selangkah, dia baru sadar bahwa mata biru shaphire milik si iblis menatapnya begitu tajam.
Mata yang layak dimiliki si iblis. Warnanya benar-benar selaras dengan tempat ini.
Tidak hanya mata. Bahkan baju dan keseluruhan tempat ini benar-benar mencerminkan si iblis.
"Tanyakan apa yang ada di kepalamu."
Shin menatap tak percaya pada iblis di depannya. Apa iblis ini memiliki kekuatan membaca pikiran orang atau sejenisnya?
"Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Wajahmu tidak bisa berbohong."
"Baiklah aku menyerah. Aku hanya penasaran apa dari awal lembah ini memang gelap? Yang kutahu langit selalu berwarna putih terang."
"Tidak."
"Siapa yang membuatnya seperti ini. Apa kamu yang sudah melakukannya? "
"Siapa lagi? Keberatan?"
Shin memggeleng kuat, "ini indah. Bukankah warna gelap membuat langit lebih bervariasi?"
Iblis itu memicingkan sebelah alisnya, 'dasar dewa langit aneh', pikirnya.
Semakin Shin mendekat, semakin iblis itu bisa merasakan besarnya energi mana yang Shin miliki.
Hanya saja sekuat apapun orang di depannya, si iblis tidak akan pernah merasa lemah atau ketakutan dihadapan orang lain.
Sebelum Shin masuk ke lembah pun si iblis sebenarnya sudah bisa merasakan energi mana yang amat besar.
Bahkan dia sempat berpikir ada sekumpulan dewa langit marah tengah mendatanginya. Tapi sekarang yang ada di depannya hanyalah seorang dewa bodoh.
"Tidakah ini menyakitkan?"
Shin meraba permukaan luka kecil dilengan si iblis. Begitu pelan bahkan tak sampai untuk menyentuhnya, Shin tak ingin luka itu menjadi lebih dalam karena ulahnya.
"Tidak sakit."
Shin tersenyum getir ke arah si iblis. Tentu saja luka-luka itu menyakitkan.
Shin duduk di sebelah rantai si iblis. Dia tidak bisa lebih dekat dari itu. Rantai-rantai belenggu yang teramat besar begitu menghalangi.
Si iblis tersenyum simpul, "kau benar-benar tak takut padaku."
Shin hanya membalasnya sambil tersenyum.
"Di langit ke berapa?"
"Hm?"
"Di langit keberapa kau bertugas?"
Shin menggeleng, "aku baru diciptakan hari ini dan belum memiliki posisi. "
"Hari ini?" tanya si iblis tak percaya.
Shin mengangguk lagi.
Iblis itu menatap Shin heran. Dewa bodih ini baru saja diciptakan tapi sudah memiliki energi mana yang melimpah.
"Hahaha... pasti dewa agung sangat menyayangimu. Beruntungnya dirimu diciptakan sebagai seorang dewa," komentarnya.
Shin mengamati sekeliling dan menatap takjub sang iblis. Hanya karena dia tertawa saja beberapa batuan runtuh.
"Kamu pasti sangat kuat, " puji Shin.
"Sudah kubilang tak ada yang bisa menyakitiku selain diriku sendiri, " jelas si iblis.
"Siapa namamu?" tanya si iblis pada Shin yang masih terlihat takjub padanya.
"Shin."
Iblis itu tersenyum saat Shin tak takut dan dengan mudahnya menyebutkan namanya.
"Jangan lakukan lagi."
"Apa?"
"Menyebutkan namamu di depan iblis. Tubuhmu bisa diambil alih."
"Woah... iblis bisa melakukan itu? benar-benar luar biasa?"
Iblis itu hanya menggeleng dan tersenyum, 'orang di sebelahnya ini memang benar-benar aneh', pikirnya.
"Apa setelah tahu namaku kamu akan merasukiku?"
Iblis itu mendengus, "apa gunanya aku merasuki dewa bodoh sepertimu?"
"Baguslah," gumam Shin lega.
"Pasti menyenangkan kalau aku memiliki teman mengobrol sepertimu di langit utama," tambah Shin antusias.
"Mudah, kau bisa bebaskan aku maka aku bisa ikut denganmu ke langit utama."
"Benar juga, itu ide yang bagus," jawab Shin antusias.
Shin menyentuh seluruh besi yang ada pada pergelangan tangan dan kaki si iblis. Seketika semua rantai terlepas dengan mudahnya.
"Dengan begini kamu bisa ke langit utama dan juga tidak akan kesakitan lagi," ujar Shin tersenyum girang.
Shin berdiri bangga dengan apa yang dia perbuat. Kini iblis itu juga sudah bisa berdiri dihadapan Shin.
"Kau yakin?" tanya sang iblis memastikan apa yang sedang diperbuat dewa bodoh di depannya.
Shin mengangguk bersemangat.
Si iblis semakin tak mengerti jalan pikiran Shin. Pada awalnya dia memang ada rencana untuk menghasut Shin agar dirinya dapat bebas, tapi siapa sangka bahwa hal itu terjadi begitu mudah.
Saking mudahnya, bahkan dia enggan untuk keluar dari penjara besi ini begitu saja.
"Kau akan menyesal setelah ini."
"Tidak akan. Kamu tidak bersalah, tidak seharusnya mereka menghukummu seperti ini."
"Tapi bagaimana jika aku bersalah?"
"Aku akan berjanji menangkapmu dengan tanganku sendiri."
Iblis itu tersenyum sebelum angin kencang melintas. Membuat Shin harus menutup wajah dengan lengannya akibat kencangnya angin. Tepat setelah angin itu hilang si iblis ikut menghilang dari hadapannya.
Shin merasa lega rantai-rantai besar ini tak lagi membelenggu si iblis. Bahkan setelah 700 tahun lamanya Shin tak pernah menyesal dengan apa yang dia perbuat.
Shin berbalik menatap kedua prajurit yang mengawalnya. Shin bersedia ke alam fana bukan karena keinginan para dewa langit, melainkan hanya karena ingin menepati janjinya pada seseorang.
"Mari bawa aku ke dunia fana."
Kedua prajurit itu menatap satu sama lain tak mengerti dengan jalan pikir dewa di depan mereka.
Selama mereka bertugas tak pernah ada seorangpun dewa yang tersenyum bahagia saat diturunkan ke dunia fana seperti Shin.
Shin membuka matanya perlahan. Kedua prajurit sudah tak ada di sisinya.
Warna hijau dedaunan menjadi hal pertama yang menyapa matanya. Warna yang terlihat begitu asing tapi juga indah dipandang. Shin tak pernah merasa sesenang ini melihat warna selain putih.
"Awasssssss!!! Tolong minggir!!!"
Tubuh Shin berbalik ke arah suara teriakan.
Diatas bukit tepat dimana Shin berdiri, terlihat seorang pria tengah mengejar gerobak yang meluncur cepat ke arahnya.
Tanpa merasa panik. Shin mencoba menghentikan laju gerobak dengan kedua tangannya, berharap bahwa akan ada mana yang keluar namun ternyata gagal.
Shin tak menduga mananya berkurang banyak setelah dia tertidur.
Lebih buruknya lagi, di belakang Shin terdapat jurang yang cukup dalam. Bagaimana ini? Haruskah dia berakhir seperti ini?
Apakah dia akan terdorong gerobak ke jurang saat pertama kali menginjakan kaki di bumi? Bahkan sebelum Shin sempat bertemu dengan salah satu iblis.
Setelah ini Shin harus puas jika dia menjadi bahan tertawaan seluruh langit.
Shin hanya bisa menutupi dirinya dengan kedua lengan. Dia menutup mata dan memalingkan wajah. Merasa pasrah dengan apa yang akan terjadi.
BRAK.
"Setidaknya berusahalah menghindar." Suara berat seseorang membuat Shin membuka kedua matanya.
Mendongak. Shin melihat seseorang membantunya menahan gerobak dengan satu tangan.
Pria itu tersenyum. Dengan tubuh beberapa senti lebih tinggi darinya. Si pria sedikit menunduk saat menatap ke arah Shin.
"Terimakasih, terimakasih tuan. Anda benar-benar menolong saya." Pria paruh baya berbadan dempal itu berlari menuruni bukit sambil Tergopoh.
Pria berkumis putih itu menatap sendu pada kedua orang di depannya yang selamat. Bukan hanya itu, bahkan gerobak kesayangannya juga masih utuh dan tidak jadi hancur.
Dia hampir saja menangis dan tak tahu apa yang harus dikatakan pada istrinya saat pulang ke rumah nanti.
Bisa-bisa dia yang dimasak sang istri untuk makan malam jika sampai satu-satunya alat pencari rejeki mereka hancur.
Padahal sang istri tak sekalipun lupa mengingatkan untuk mengganjal roda gerobak jika sang suami akan meninggalkan gerobak itu di suatu tempat. Tapi apa daya, umurnya sudah tak muda lagi.
Apalagi jika tadi gerobaknya tidak hanya hancur, melainkan melukai orang lain juga. Jelas dia takkan berani pulang ke rumah malam ini.
"Saya harus berterima kasih, benar-benar berterima kasih. Apakah tuan berdua baik-baik saja?"
Shin mengangguk pada pria pemilik gerobak. Tidak lupa tersenyum ramah menandakan bahwa dia baik-baik saja.
Shin melihat pria di sebelahnya telah menghilang. Matanya tanpa sadar langsung mencari keberadaan pria itu. Tidak dia tidak pergi. Ternyata pria itu sedang menepikan gerobak ke permukaan yang lebih datar.
Betapa terkejut nya Shin melihat pria itu memindahkan gerobak dengan mudah. Apakah gerobak kayu terlihat seringan itu? Seingatnya, dia menahan gerobak yang cukup berat.
"Apakah tuan berdua ini seorang pendekar?" tanya pria pemilik gerobak.
Pria itu mengangguk sambil tersenyum, "saya sedang berburu untuk makan malam dan kebetulan melewati bukit ini."
Mata Shin mengarah ke anak panah dibahu si pria. Tangan kiri pria itu tengah memegang busurnya. Pantas saja dia hanya menahan gerobak tadi hanya dengan satu tangan.
Jika pria ini bisa menahan gerobak dengan satu tangan, bukankah sekarang kekuatan Shin tidak lebih dari manusia biasa?
Shin menghela nafas berat. Sepertinya Shin tak ada harapan untuk kembali ke langit.
"Sebagai permintaan maaf serta rasa berterima kasih saya, jika tuan tidak keberatan silahkan mampir ke gubuk saya di desa."
Wajah pak tua itu memelas penuh permohonan. Siapa yang akan menolak permintaan dengan wajah seperti itu.
Sebenarnya Shin sempat akan tertawa melihat wajah pemilik gerobak, tapi dengan sekuat tenaga dia tahan. Dia tak menyangka ternyata manusia begitu jenaka.
"Dengan senang hati kami akan menerima tawaran baik tuan jika tidak merepotkan, " jawab pria tadi. Pria itu merangkul Shin ramah.
Shin tak keberatan dengan rangkulannya, hanya saja tidakah ini terlalu berlebihan? Mereka bahkan tak saling mengenal nama satu sama lain.
Pada akhirnya Shin hanya membiarkan. Setidaknya berkat pria ini dia bisa membaur dengan manusia lebih cepat tanpa harus berpikir bagaimana caranya memulai.
"Tidak, tentu saja saya tidak keberatan sama sekali. Tuan berdua telah menolong saya, sangat tidak sopan jika saya membiarkan tuan-tuan pergi begitu saja."
"Cukup panggil aku Khun dan temanku ini... " Khun menjeda kalimatnya menatap Shin tanpa melepas rangkulannya.
"Shen, cukup panggil saya Shen."
Entah kenapa Shin menyamarkan namanya. Apa yang dia takutkan?Entahlah. Dia hanya teringat seseorang saat pria paruh baya itu menanyakan namanya.
"Anda bisa memanggil saya Aphoi."
Aphoi pamit mengambil kerbaunya yang masih diatas bukit, sebelum memasang dan mengendarai gerobak untuk kembali ke desa.
Sesampainya di desa, mata Shin dimanjakan oleh pemandangan baru. Banyak orang begitu beramah tamah, saling menyapa dan sangat ramai.
Mereka sahut menyahut berbicara, tertawa, marah dan bahkan ada anak kecil yang menangis. Tentu saja hal itu tak pernah terjadi di langit.
"Ramai sekali, kan?"
Shin mengalihkan pandangannya ke Khun saat pria itu bertanya.
Bukankah ini aneh? Shin belum pernah bertemu dengan Khun, tapi kenapa Shin merasa mereka tampak begitu akrab.
Bahkan Khun tak segan berbicara informal padanya. Shin juga tak merasa keberatan sama sekali saat Khun melakukannya.
"Apa yang mereka tukarkan dengan buah-buahan itu?"
"Yang mana?" Khun mendekat ke arah Shin. Memusatkan mata pada arah tangan Shin menunjuk.
"Ohh, itu perak. Mereka melakukan jual beli dengan logam mulia seperti emas, perak dan perunggu," jelas Khun.
Shin hanya mengangguk mendengar penjelasan dari Khun, sedangkan pria itu hanya terus tersenyum ke arah Shin.
Shin jadi bingung. Apa yang sebenarnya Khun tertawakan darinya. Apakah ada yang aneh dari penampilannya?
Belum sempat Shin bertanya, suara Aphoi membuat Shin teralihkan.
"Anda bisa turun, Tuan. Gubuk saya sangat sederhana tapi saya berharap dapat menjamu tuan-tuan dengan baik. Apa tuan memiliki makanan yang tidak disukai?"
Khun menggeleng, "saya makan apapun."
"Saya juga bukan pemilih soal makanan."
"Sungguh mulia, silahkan duduk. Saya akan menyuruh istri saya untuk segera menyiapkan makan malam."
Mereka berdua mengangguk sambil duduk di ruang depan. Ruang terluas yang berada di rumah itu.
Istri Aphoi tampak mengintip mereka sebentar sebelum kembali ke dalam dapur sambil tersenyum senang.
Shin tak begitu mengerti kenapa wanita tadi bersikap seperti itu.
"Dia melakukan itu karena kau tampan," celetuk Khun.
Shin menatap Khun terkejut. Bagaimana bisa orang di sebelahnya ini tahu apa yang sedang Shin pikirkan? Sedangkan yang ditatap hanya tersenyum ramah seperti sebelumnya.
"Apa ada sesuatu di wajahku?"
"Sudah kubilang kau tampan, kan."
"Kamu terus tersenyum ke arahku karena aku tampan?" tanya Shin tak mengerti.
"Tidak juga. Aku hanya merasa terhibur."
"Terhibur karena?"
"Tidakah kau merasa disini menyenangkan? Aku hanya mudah merasa bosan dan disini sangat menyenangkan."
Shin menatap Khun tak semakin bingung dengan penjelasannya. Apa dia yang bodoh atau memang perkataan Khun yang sulit dimengerti? Kenapa pria ini sangat membingungkan.
"Makan malam sudah siap tuan-tuan. Silahkan masuk ke dalam."
Istri Aphoi menyambut mereka dengan gembira. Belum pernah dia menjamu tamu yang begitu rupawan seperti keduanya.
Dia memasak semua bahan makanan yang ada di rumah mereka. Tak peduli dengan suaminya yang terus memelas agar menyisakan beberapa untuk kedepannya.
"Tuan berdua benar-benar sangat rupawan? Apakah tuan-tuan ini seorang pendekar?"
Khun tersenyum, dia mengunyah makanan di mulutnya sambil mengangguk sebagai jawaban.
Wanita itu menatap Khun terkejut. Dia tak menyangka dapat bertemu seorang pendekar di desanya.
Dia baru sadar, kemungkinan alasan daerah ini masih aman dari serangan mayat hidup adalah keberadaan dari mereka berdua.
Seorang pendekar adalah manusia terpilih. Mereka dapat mengengbangkan dan berlatih energi mana yang ada pada diri mereka.
Sudah beberapa ratus tahun yang lalu. Manusia mulai berkembang dan mencari cara untuk melawan mayat hidup.
Bahkan negara-negara besar sudah memiliki perguruan yang membantu orang-orang terpilih untuk belajar dan mengembangkan energi mana.
Pendekar sangat dihormati oleh para penduduk karena sangat berjasa bagi mereka. Tentu saja siapa yang ingin berakhir dimakan oleh mayat hidup dan hantu.
Agar desa bisa damai dan aman. Setidaknya harus ada beberapa orang pendekar yang tinggal di sebuah desa.
Sayangnya sudah lama desa ini tak memiliki seorang pendekar. Walaupun begitu desa ini cukup aman untuk ditinggali. Namun tak sedikit juga penduduk desa yang berpindah karena tak ingin ambil resiko.
"Apakah tuan sudah lama menseterilkan daerah sini?" tanya istri Aphoi penasaran.
"Tidak, saya hanya kebetulan lewat saat berburu makan malam."
Suami-istri itu mengangguk mengerti.
"Desa kami begitu damai. Sepertinya daerah kami tidak banyak mayat hidup yang berkeliaran, bukankah begitu?" tanya istri Aphoi memastikan. Karena seharusnya kedua tamunya pasti lebih tahu daripada dirinya.
"Tidak juga. Menurutku desa ini ditinggali seorang iblis yang tidak bisa mereka lawan. Jadi, itu alasan yang membuat semua mayat hidup itu tak berani mendekat."
"Di desa ini ada iblis?" Kini giliran Shin yang bertanya.
Sepasang suami istri itu juga merasa terkejut dan ketakutan.
"Tenang saja, iblis itu hanya tinggal dan tidak akan menggangu. Bukankah itu bagus, lagipula desa ini tidak memiliki seorang pendekar."
"Tapi apakah hal itu bisa terjadi. Maksud saya, apa kita bisa mempercayai seorang iblis?"
"Ungkapan jangan pernah percaya pada iblis itu memang benar, tapi kalian bisa percaya dengan yang satu ini. Aku sudah bertemu dengannya dan dia hanya ingin tinggal, tidak lebih. "
Akhirnya mereka makan malam dalam diam. Sepertinya setelah ini kedua pasangan itu akan memutuskan pindah. Lagipula bagaimana bisa mereka percaya pada seorang iblis? Bahkan mahkluk itu lebih mengerikan dari pada mayat hidup yang tak berakal.
...oOo...
Setelah keluar dari rumah kedua pasangan tadi, Shin memutuskan untuk kembali ke hutan. Jika apa yang dikatakan Khun benar, maka dia harus bertemu dengan iblis itu.
Shin tak begitu mengerti tentang iblis, tapi saat melihat reaksi ketakutan kedua pasangan tadi, tentu mereka tidak akan mudah untuk ditangani.
Shin melirik Khun yang bersiul sambil berjalan di sebelahnya. Sejak keluar dari desa Khun terus saja mengikutinya.
Sebenarnya Shin tak keberatan. Tentu dia sangat terbantu dengan adanya orang yang paham tentang iblis.
Hanya saja Shin merasa ada yang aneh tentang Khun. Dari awal Khun menghentikan gerobak, Shin berpikir apakah manusia biasa bisa menahannya dengan satu tangan?
Apa memang manusia sudah berevolusi menjadi kuat atau hanya dirinya saja yang berubah menjadi sangat lemah?
"Apa yang sedang kau pikiran di kepalamu itu?" tanya Khun pada akhirnya.
"Apa kamu sedang mengikutiku atau memang arah jalan kita yang sama?"
"Apa aku akan diusir?"
Shin menggeleng cepat. Bagaimana bisa dia mengusir orang yang telah membantunya.
"Mengusir dari mana? Bahkan hutan ini bukan milikku."
Khun tersenyum, tangannya yang membawa lentera dia arahkan pada pohon besar di depannya.
"Mau istirahat di sini? kurasa tempat ini tidak buruk."
Shin menatap pohon di depannya. Tingginya dapat membuat mereka terhindar dari hewan buas dan banyaknya dahan memudahkan mereka untuk tidur.
Tanpa menunggu jawaban dari Shin, Khun sudah terbang memanjat pohon dengan lihai membuat Shin terpana. Sungguh, apa benar manusia biasa bisa melakukan itu?
Dengan sigap Khun memasang dua utas tali di atas sana.
"Tidak ingin naik?"
Shin akhirnya terbang naik bersebelahan dengan Khun dan menempati salah satu tali yang sudah terikat.
"Darimana kamu belajar semua ini?"
"Hmm? Oh, aku diajari guruku saat pertama kali berburu malam. Tidur ditali tak begitu buruk, apa kau keberatan?"
"Bukan soal tali, maksudku belajar memanjat seperti tadi. "
"Melompat maksudmu?"
Melompat? Bagaimana bisa terbang disamakan dengan melompat?
"Aku belajar dari perguruan."
"Perguruan? Apa yang mereka ajarkan? Apa mereka juga mengajarkan cara mengembangkan energi mana?"
Khun mengangguk.
Shin menatap Khun tak percaya. Sudah 700 tahun lamanya. Siapa sangka manusia telah berkembang begitu pesatnya.
Lalu apa bedanya dewa dengan manusia, jika manusia saja sudah memiliki kemampuan layaknya seorang dewa?
"Apa kau tidak istirahat?" tanya Khun karena Shin masih saja terduduk, tak lekas berbaring.
Sebenarnya masih banyak hal yang ingin Shin tanyakan pada Khun soal perguruan dan tentu saja soal iblis.
Sepertinya Khun merupakan murid perguruan yang cerdas. Dia pasti menjadi murid yang selalu diandalkan teman-temannya.
"Tolonggggggg..."
###
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!