Hari itu cuaca cerah. Sebuah kereta listrik melaju dengan kecepatan sedang. Nampak di dalam kereta seorang pemuda sedang fokus menatap ke arah luar jendela, dengan tangan kiri yang menopang dagunya, seperti sedang menikmati pesona pemandangan yang ada di depannya.
Kereta memang sedang melewati area persawahan. Dapat dilihat hamparan padi hijau kekuningan dipayungi langit biru. Tampak juga beberapa bapak tani dan ibu tani sedang bekerja disana. Sungguh pemandangan yang cantik dan membawa perasaan damai. Tapi ternyata pemandangan tersebut tidaklah berpengaruh apa-apa untuk si pemuda. Pikirannya berkelana, semrawut ....
Ia sedang memikirkan apa yang terjadi sebelumnya dan rencana apa yang akan dilakukannya ke depannya. Wueitsss .... Jangan salah. Rencana ke depannya ini bukan rencana jangka panjang seperti tentang cita-cita, kehidupan, dsb. Tidak sekeren itu .... Tapi untuk apa yang akan ia lakukan beberapa jam ke depan, jika kereta sudah sampai di kota yang ia tuju, ITU SAJA IA TIDAK TAHU!!!
Ia tidak yakin dengan apa yang dilakukannya. Ia hanya mengikuti kata hatinya. Lebih tepatnya perasaan yang selalu membebani hatinya satu tahun ini. Benarkah apa yang dilakukannya? Apakah ia tidak sedang menambah masalah sendiri? Arggghhh ... pusing ...!!
Sekarang pandangannya beralih pada kertas yang bertuliskan alamat, yang dari tadi selalu digenggamnya. Tertera di sana nama Keluarga Adipratama, dilanjutkan sebuah nama jalan, berikut blok, dan nomor rumah.
Adipratama ... Dion Adipratama .... Ia teringat dengan nama teman satu kamarnya di asrama dulu. Hampir 3 tahun lamanya mereka tinggal bersama.
Apakah mereka dekat? Tidak juga. Ia tidak benar-benar mengenal Dion. Banyak hal mengenai Dion yang tidak ia ketahui. Okelah, ia tahu mereka seumuran. Dion mengambil jurusan kesenian dan pintar menggambar. Bahkan dia mendapat beasiswa dari Universitas untuk bakatnya itu.
Dion adalah anak yang ceria, rajin dan supel. Hampir berkebalikan dengan dirinya yang cenderung pendiam, sering tidak punya tujuan dan tidak mudah bergaul. Kebanyakan waktunya ia habiskan di kamar sambil bermain game di gadget.
Tapi malangnya Dion ini berumur pendek. Tahun lalu ia meninggal akibat tertabrak mobil untuk menyelamatkan seorang anak kecil. Benar-benar aksi heroik yang cocok dengannya. Sudahlah pintar, supel, parasnya tampan, hidupnya pun ditutup dengan aksi yang membuat orang terkagum. Banyak teman yang sedih karena kematiannya. Tidak terkecuali pihak universitas yang kehilangan mahasiswa berbakatnya.
Tolong jaga adikku, James ...
Itulah pesan terakhir Dion untuknya sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Dion memang punya adik perempuan yang cukup jauh jarak umurnya dengannya. Berapa jarak tepatnya, ia sudah lupa. Ia cuma pernah bertemu dua kali dengan Si Adik, itu pun yang terakhir di pemakaman kakaknya.
Nah ... masalahnya ... kenapa harus gua, Di??!!! Kenapa gua yang lo pilih buat jagain adek lo?? Kita ga sedekat itu, wooiii!! Selain itu ... Dijagain itu maksudnya gua harus ngapain??!! Kan udah ada keluarga lo yang jagain dia di rumahnya! Jadi, gua harus ngapain lagi dong ?
Satu tahun sudah ia mengabaikan pesan itu. Selain karena ia sungguh tidak tahu apa yang harus ia perbuat, ia juga disibukkan dengan skripsi. Tapi hati memang tidak bisa dibohongi. Ia dikejar perasaan bersalah karena buta sama sekali dengan kabar terakhir Si Adik.
Dan ... di sinilah ia sekarang, mencoba mengikuti kata hatinya. Ia pergi ke keluarga Adipratama untuk menemui Si Adik. Yah ... minimal memastikan kalau Si Adik baik-baik, sehingga ia bisa terlepas dari perasaan bersalah yang membebani hatinya.
...****************...
Kereta sekarang sedang berhenti sementara di sebuah stasiun. Ada beberapa orang yang bergantian keluar-masuk lewat pintu kereta.
"Hai, di sini kosong?" tanya seorang pemuda menanyakan tempat duduk di depan James.
"Kosong, kok. Duduk aja, Bang," sahut James.
Pemuda itu pun duduk tanpa ragu-ragu.
"Mau turun di mana, Bang?" tanya pemuda itu lagi kepada James.
James yang cuma memandang Si Pemuda dengan alis bekernyit, membuat Si Pemuda melanjutkan kalimatnya, "Sorry, gua lupa. Kenalin dulu, nama gua Anto. Daripada bengong sendirian, mending cari temen ngobrol kan, Bang? Itung-itung buang waktu, biar ga bosen," cerocos Si Pemuda yang ternyata bernama Anto.
"Nama gua James. Gua turun di Stasiun X."
"Kalo gua di stasiun Y. Berarti kita bisa ngobrol bareng kira-kira 2 jam. Itu pun kalo lo ga keberatan ngobrol ama gua, Bro ... wkwkwk," lanjut Anto sambil tertawa.
Tipe gini nih yang agak-agak bikin gua alergi. SKSD banget sih. James berkata dalam hatinya.
Tiba-tiba Ia teringat pertemuan pertamanya dengan Dion. Kejadian dan kesan pertama yang hampir serupa. Tanpa sadar senyum sedih terbentuk di wajah James. Kembali pikirannya mengembara tanpa memperdulikan Babang Anto yang mengoceh entah apa.
...****************...
James, seorang pemuda berusia 18 tahun yang baru saja lulus SMU. Namun sampai hari-hari di mana beberapa universitas mulai menutup pendaftaran mahasiswa baru, dirinya didapati belum mendaftar ke universitas dan fakultas manapun. Tentu saja hal ini membuat kedua orang tuanya resah. Karena alasan itulah, hari ini kedua orang tuanya mengadakan persidangan untuk kasus James tersebut.
"Kamu ini sebenarnya mau kuliah apa kerja, James?" tanya Papa Heru mulai membuka persidangan.
"Maunya sih kuliah, Pa. Kalo mau kerja, mau kerja apa? Lulusan SMU mah siapa yang mau terima?" jawab James santai.
"Nah ... itu tau. Tapi kenapa sampai sekarang belum mendaftar kuliah di manapun, Sayanggggg???" sambung Mama Ratna gemas sambil mencubit ginjal anak bungsunya.
" Awww .... Sakit, Ma .... Lepasin dulu, baru bisa James jelasin," kata James yang segera dituruti oleh Sang Mama.
"Gini lo, Ma, Pa .... Masalahnya James ga tau mau ambil jurusan apa?" James mulai menjelaskan.
" Lah .... Gimana toh? Kamu cita-citanya apa?" sambung papanya.
"Ga tau," jawab James sekedarnya.
"Apa pelajaran yang kamu senangi atau yang nilainya menonjol di antara temanmu selama ini di sekolah?" Mama Ratna ikut menginterogasi.
" Ga ada. Semua biasa aja," jawab James yang membuat orang tuanya mendadak sakit kepala.
Bukan maksud James untuk sengaja membuat orang tuanya khawatir. Tetapi memang demikianlah adanya.
James anak yang biasa saja, tidak menonjol di kelas. Temannya pun bisa dihitung dengan jari. Berbeda dengan abangnya, Alex, yang sekarang ini hampir lulus dari perkuliahan dengan nilai IPK tiap semester selalu di atas 3,5. Waktu abangnya SMU pun, Alex adalah siswa populer yang mendapat kepercayaan sebagai ketua OSIS dan kapten tim basket.
Hal ini sedikit-banyak membuat James minder, walaupun orang tuanya tidak pernah membandingkan kedua anaknya. Ia sadar diri betapa jauh berbedanya ia dengan Sang Abang.
Entahlah waktu mamanya mengandung Alex, mamanya ngidam apaan. Tapi waktu mengandung James, mamanya ngidam nonton seluruh episode James Bond. Itulah sebabnya ia dinamai James. Alasan yang epic sekali, bukan? Tapi sayang, kehebatan Sang Jagoan tidak sedikitpun menular padanya, sekalipun nama depan mereka sama.
"Oke! Karena kamu mau kuliah, tapi ga jelas mau jadi apa, biar Papa yang pilihkan! Kamu ikuti saja jejak kami, menjadi seorang guru! Itu sudah menjadi profesi turun-temurun keluarga besar Wijaya." Akhirnya Papa Heru yang memutuskan, Mama Ratna pun mengangguk-angguk tanda setuju.
Kedua orang tua James memang berprofesi sebagai pengajar. Papa Heru adalah seorang dosen di Fakultas Teknik. Mama Ratna seorang guru les privat yang mengajar Bahasa Inggris. Kakeknya James bahkan pernah menjabat sebagai dekan di Fakultas Ekonomi sebelum beliau pensiun.
"Tapi James ga punya bakat dan minat mengajar, Pa, Ma .... James juga ga tau mau ngajar apa, pilih universitasnya gimana, jurusan dan fakultas apa. James ga ngerti istilah-istilah perkuliahan. Dan yang paling penting, jadi guru itu ga ada keren-kerennya!" sanggah James.
"Eh .... Nih anak kurang ajar!! Ga keren katanya!! Ga tau apa kalau guru adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?!" Mama Ratna langsung menjewer kuping anaknya ketika mendengar kalimat terakhir James.
"Kalau kamu ga ngerti istilah-istilah perkuliahan, pertimbangan dalam memilih universitas dan program studi, dsb., cari taulah sendiri di internet! Googling sono! Jangan cuma main game mulu makanya!" lanjutnya lagi.
"Pokoknya Papa dan Mama ga mau tau! 2 hari dari sekarang, Papa taunya kamu sudah mendaftar di Fakultas Ilmu Pendidikan! Terserah kamu mau sekolah di universitas apa dan mengambil prodi apa. Yang penting alasanmu jelas! Papa tunggu laporan kamu!" Papa Heru memberi ultimatum.
Demikianlah akhirnya persidangan ditutup. Papa Heru dan Mama Ratna segera meninggalkan lokasi. Tinggallah James sendirian yang masih mengelus kupingnya yang masih panas akibat jeweran Si Emak.
...****************...
Di sinilah akhirnya keluarga Wijaya berkumpul sekarang. Mereka berada di sebuah terminal bus, mengantar si anak bungsu yang akan meninggalkan kota kelahirannya.
"Baik-baik di sana ya, Nak. Sering-sering kasih kabar," nasihat Mama Ratna untuk kesekian kalinya.
"Iya, Ma ..." sahut James untuk kesekian kalinya juga. Sudah lelah dia menjawab mamanya.
"Tenang, Ma .... Jarak kota kita ke tempat James hanya 2 jam dengan mobil, kok. Kapanpun kita bisa mengunjunginya," kata Papa Heru menenangkan istrinya.
"Kenapa juga sih kamu memilih universitas di luar kota? Memangnya di kota kita tidak ada universitas dengan Fakultas Ilmu Pendidikan yang cukup baik di matamu?" kembali Mama Ratna membombardir James dengan keluhannya.
"Mau menjauh dari rumah, dong .... Masa Mama ga tau modusnya James?" jawab Alex mewakili James tanpa diminta yang bersangkutan.
James hanya diam sambil melotot pada Alex yang pura-pura bego.
"Sudahlah, Ma .... Kita kan sudah dengar alasan James memilih universitas ini kemarin. Menurut penilaian Papa, universitasnya cukup bagus kok. Ada asramanya pula. Lagian waktu pendaftaran uda mepet, Ma .... Pilihan universitas sudah tidak banyak. Jangan didebat lagi!" sahut Papa Heru mengingatkan istrinya.
"Ting Tong Teng Tong .... Bus 3212 dengan jurusan kota S akan segera berangkat!" Terdengar suara pemberitahuan keberangkatan dari speaker terminal yang memutus pembicaraan mereka.
"Itu nomor bus James, Pa, Ma. James naik bus dulu ya .... Bye bye Pa, Ma, Bang ..." kata James lega bisa mengakhiri pembicaraan dan buru-buru mengangkat barang bawaannya serta berpamitan pada keluarganya.
" Ya .... Hati-hati .... Kasih kabar jika sudah sampai ya, Nak ..." kata Mama Ratna lagi, diikuti anggukan dan lambaian semua anggota keluarganya yang lain.
James cuma memberi kode Oke dengan tangannya, lalu menaiki bus. Setelah sampai di tempat duduknya, ia melihat ke luar jendela mencari keluarganya. Tampak orang tua dan abangnya masih melambaikan tangan kepadanya. Tidak lama kemudian, bus pun berangkat meninggalkan sosok keluarganya di belakang.
Awal baru. Kota baru. Suasana baru. Dengan perasaan campur sari James merenungi pilihan yang sudah diambilnya.
Tentu saja sedikit-banyak ada perasaan gugup berkecambuk di dadanya untuk menjalani hal-hal baru di depannya. Tapi, perkataan Alex tadi juga tidak sepenuhnya salah. Jujur saja, ada perasaan lega di dalam hatinya. Mungkin di kota yang baru ia bisa terlepas dari keberadaan Alex yang menekan jiwanya.
...****************...
James berdiri di depan sebuah pintu kayu. Di sana sudah tergantung sebuah papan nama yang bertuliskan Dion Adipratama dan James Wijaya di bawahnya.
"Ini kunci kamarmu. Teman sekamarmu sudah datang dan sudah Bapak berikan kunci yang sama. Semua penghuni baru diharapkan berkumpul di ruang tengah pukul 1 siang nanti. Di sana akan dibacakan peraturan tata tertib yang harus dipatuhi oleh segenap penghuni asrama. Ada lagi yang diperlukan atau ingin ditanyakan?" kata Pak Simon yang merupakan penanggung jawab asrama pria tersebut.
" Tidak, Pak. Terima kasih," sahut James.
"Kalau begitu, Bapak pergi dulu ya .... Jika nanti muncul pertanyaan, kamu bisa mencari kepala asrama. Nanti dialah yang akan menjelaskan padamu ke depannya," kata Pak Simon lagi.
"Baik, Pak. Saya mengerti," jawab James sopan.
Setelah Pak Simon pergi, James memutar kunci dan memasuki kamar asramanya. Tampaklah di depannya kamar berukuran 4m x 4m, dengan dinding bernuansa putih, dilengkapi 2 buah single bed, sebuah lemari kayu 2 pintu, dan sebuah meja belajar. Kamar yang sederhana namun terasa hangat.
Di atas salah satu ranjang tersebut, sudah bertengger sebuah tas ransel berwarna hitam. Karenanya, James memilih ranjang sebelahnya yang masih kosong untuk ia duduki.
Lumayan juga kamar ini. Kasurnya cukup empuk. Hahhhhh .... Enaknya .... James menghela napas panjang dan mulai membaringkan badannya.
Matanya menerawang menatap langit-langit kamar. Di sinilah aku akan tinggal selama 4 tahun ke depan kalau betah.Yah ....Semoga saja betah, biar ga ribet cari-cari tempat tinggal lain. Semoga teman sekamarku yang bernama Dion itu orang yang cukup asyik. Semoga juga ...
Tok tok tok .... "Permisi ...."
Terdengar suara ketukan pintu dibarengi suara pria yang memutus lamunan James. James pun segera bangkit dan mencari si pemilik suara tersebut.
Tampak di depannya sosok pemuda yang cukup cocok jika disandingkan dengan idol-idol K-pop. Ya, meskipun mereka sama-sama berjenis kelamin laki-laki, James harus mengakui sosok di depannya ini tergolong tampan, dengan kulit putih bersih dan hidung mancung.
"Hai .... Kenalkan .... Namaku Dion. Kamu teman sekamarku yang bernama James?" sahut Si Pemuda memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya.
"Ya, aku James." James menjabat uluran tangan tersebut.
"Aku baru saja berkeliling dan berkenalan dengan beberapa orang dan kakak-kakak senior. Rupanya di asrama ini tinggal mahasiswa dengan berbagai jurusan. Asyik sekali, bukan? Aku mahasiswa baru Fakultas Seni Rupa, kalau kamu?" tanya Dion.
"Aku Fakultas Ilmu Pendidikan," jawab James pendek.
"Wahh .... Calon Guru rupanya .... Hebat ...." Dion berkata sambil mengacungkan jempolnya.
"Apanya yang hebat? Kamu nyindir?"
"Eh? Aku tidak menyindir. Aku serius. Aku salut sama orang-orang yang mendedikasikan hidupnya untuk orang lain, seperti guru."
"Motivasiku tidak sebaik itu."
"Apapun motivasinya, yang jelas ketika bekerja nanti, itu yang dilakukan seorang guru, kan?"
"Terserahlah," sahut James malas melanjutkan perdebatan tak berguna itu.
Hening sejenak di antara mereka. Kecanggungan mulai meliputi suasana di kamar tersebut.
"Kamu sudah makan siang? Nanti jam 1, kita diminta berkumpul di ruang tengah lo .... Sudah tau?" tanya Dion berusaha memperbaiki suasana.
"Hmm ...." James bergumam, yang membuat Dion terdiam, menunggu, siapa tau ada kalimat James berikutnya.
"Kamu ... terbiasa dengan bahasa yang kaku dan sok sopan seperti ini?" lanjut James ragu-ragu.
"Maksudnya?"
"Kamu memang biasa ber-aku-kamu begini kalo ngomong dengan temanmu?" jelas James mulai tidak sabar.
Senyum iseng Dion muncul di wajahnya yang tampan.
"Maksud lo, kita ber-gua-elo aja, bro ?" tanya Dion memastikan.
" Menurut gua sih ... enak begitu," jawab James canggung dan mengalihkan pandangannya.
"Ashiaappp, bosss ..." jawab Dion sambil tertawa. Dion menyadari, dengan memprotes gaya bicara mereka sebelumnya, secara tidak langsung, James juga sedang berusaha akrab dan menjadikan dirinya sebagai teman.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!