NovelToon NovelToon

Princess'S Handsome Bodyguard

Berdamai Dengan Keadaan

"I'm in (Aku masuk)." Ucap seorang gadis berwajah Asia dengan rambut panjang tergerai melalui ear piece-nya.

"Everything ready in 3 minutes (semuanya siap dalam 3 menit)." Jawab seseorang dari ujung sana.

Gadis itu pikir akan lebih mudah untuk keluar dari bandara ini. Mengingat bandara ini bukanlah wilayah dari negaranya. Dia akhirnya bisa mengecoh pengawalnya dan berhasil keluar dari negaranya sendiri. Setelah ikut penyebarangan dengan kapal ferry dari terminal penyeberangan di wilayah utara negaranya.

"Everything is ready. You can come in now." Kembali seseorang berucap dari

ujung sana.

(Semua siap. Kamu bisa masuk sekarang)

Tanpa menjawab. Gadis itu melangkah masuk ke bandara itu dengan percaya diri. Mata coklatnya berkilat sesaat, kala melewati pemindaian retina.

"Clear."

Notifikasi terdengar dari mesin pemindai retina itu. Membuat si gadis tersenyum. Senyum yang sudah lama tidak terukir diwajah cantiknya. Sejak kematian kedua orang tuanya setahun yang lalu. Tidak ada senyum yang terbit di bibir gadis cantik itu. Kalaupun dia tersenyum. Itu hanyalah senyum palsu. Kamuflase untuk menyembunyikan semua kesedihan yang ada dihatinya.

Setelah seluruh pemeriksaan dokumen selesai dilaluinya. Gadis itu langsung masuk ke ruang tunggu. Dimana dia akan menunggu lebih kurang setengah jam lagi. Menunggu untuk bisa terbang menuju kebebasan yang selama ini sangat dia inginkan.

"Have a safe flight, Baby." Kembali seseorang di ujung sana berucap. Ketika gadis itu berkata sudah waktunya masuk pesawat. Kembali gadis itu tersenyum. Lantas mematikan earpiece-nya.

***

Dua Minggu sebelumnya,

Di sebuah rumah mewah. Di pinggiran kota Paris. Seorang pria tampan berwajah oriental, nampak kesal bukan main. Duduk menghadap sang Papa.

"Are you kidding me?" tanya pria itu pada sang Papa.

"No Adrian. Papa serius. Sangat serius," jawab sang Papa.

"Nggak sekalian Papa bunuh saja aku atau Papa kirim Adrian ke Sahara. Sekalian disana nggak ada apa-apa. Ke sana? Yang benar saja Pa." Adrian merengek kepada sang Papa.

"Apa salahnya pergi ke "sana"?" tanya Papa Adrian.

"Pa, disana tidak ada cewek seksi. No Bugatti. No Lamborghini dan teman-teman lainnya," gerutu Adrian.

"Belum juga dicoba. Masak sudah kalah duluan," cibir sang Papa.

"Kenapa Papa tidak kirim aku ke Jakarta saja?" pinta Adrian.

"Supaya kamu bisa senang-senang sama geng kamu itu?" sindir Papa Adrian.

"Mereka tidak seburuk yang Papa kira. Lagipula Lee Joon dan Kai sudah menikah. Dua-duanya nikah aku tidak datang," bela Adrian.

"Alah alasan saja kamu," sahut papa Adrian ketus.

"Oh come Pa. Adrian janji deh. Nggak bakalan main sama cewek-cewek seksi itu lagi. Plus Adrian bakal stop beli mobil sport. Nggak boros lagi deh pokoknya," tawar Adrian.

"No kompromi!" tegas Papanya.

Adrian merosot dari duduknya.

"Pa...emang apa salah Adrian sih. Sampai Papa tega ngirim Adrian ke sana," omel Adrian kesal.

"Masih nanya kamu?" si Papa balik bertanya.

"Kan Adrian cuma main-main sama mereka. Nggak pernah serius. Adrian sumpah masih perjaka. Belum pernah dicelupin kemanapun." Ujar Adrian lesu.

"Bohong!" uji sang Papa.

"Sumpah Pa. Perjakanya Adrian cuma diambil sama sabun di kamar Adrian," papa Adrian mendelik mendengar perkataan putranya.

Si Mama hampir meledakkan tawanya mendengar pengakuan putra tunggalnya.

"Aduh pusing Ma, aku dengar omongan anakmu ini," keluh sang Papa.

"Sudahlah Ad, ikuti saja kemauan Papamu. Mama punya feeling kalau kamu bakal temukan sesuatu yang spesial di sana. Lebih dari cewek seksi dan Bugatti-mu itu," bujuk sang Mama.

"Yang bener Ma, apa Papa disana nyiapin cewek cantik dan seksi?" tanya Adrian sumringah.

Mendengar ucapan sang putra. Sebuah bantal sofa melayang ke arah Adrian.

"Kenapa sih pikiranmu nggak bisa jauh dari cewek seksi atau mobil sport," heran papa Adrian.

Adrian hanya nyengir mendengar gerutuan sang Papa.

"Sudah settingan dari sononya, Pa," sahut Adrian asal. Hal itu membuat sang Papa kembali melempar bantal sofa ke arah Adrian.

"Aduh, Pa. Kenapa dilempar lagi sih? Bisa berkurang kadar ketampanan Adrian kalau lecet sedikit saja," kembali sang anak menjawab asal.

"Astaga, Ma. Kenapa juga aku bisa punya anak seperti dia," keluh papa Adrian sambil memijat pelipisnya pelan. Pusing tiba-tiba menyerang kepalanya.

"La siapa suruh cuma punya aku," kekeh Adrian.

"Ya ampun Ma, kalau begini caranya bisa-bisa kita nggak bakal dapat cucu. Coba pikir deh. Mana ada wanita yang tahan dengan mulut asal nyablak begitu," keluh Papa Adrian lagi.

"Sabar Pa. Sabar...." mama Adrian mencoba menenangkan sang suami.

"Adrian juga heran, ada nggak ya cewek yang bisa bikin Adrian betah gitu sama dia," Adrian ikut curhat.

"Makanya cari yang bener. Jangan sampai kita beneran nggak dapat cucu dari kamu," ancam sang Papa.

"Ini juga sudah nyari, pakai bener lagi. Sampai tak tes satu-satu tahu, Pa," jawab Adrian asal.

"Ya kalau kamu nyarinya di tempat begituan ya nggak bakalan ketemu. Kamu tu nggak beneran nyari. Kamu tu cuma seneng-seneng sama tu cewek-cewek"

Adrian nyengir lagi.

"Salah siapa kecebong Papa cuma jadi satu. Coba kalau jadi banyak. Kan Papa nggak perlu repot mau punya cucu dari siapa," sahut Adrian santai.

Kali ini, emosi papa Adrian sampai di ubun-ubun. Namun pria itu hanya bisa exhale dan inhale. Menghadapi putra tunggalnya yang terkenal somplak itu, benar-benar membuatnya darah tinggi.

"Papa rasa darah tinggi Papa kumat deh, Ma." Keluh Papa Adrian.

"Sabar Pa, sabar...." kembali sang Mama menenangkan sambil mengusap pelan lengan sang suami.

"Iya Pa, sabar. Orang sabar itunya besar." Seloroh Adrian tanpa dosa.

"Adrian..." pekik sang Papa.

"Iya...Pa..iya"

"Pokoknya dua minggu lagi kamu berangkat ke Johor Bahru. Dan Iz akan jadi asistenmu selama kamu berada di sana," perintah Papa Adrian tanpa ingin dibantah.

"Ha? Dua minggu lagi? Johor Bahru? Dengan Iz? Oh my God, mimpi apa aku semalam?" keluh Adrian.

***

Adrian menghela nafasnya berat. Setelah menempuh perjalanan panjang Prancis-Kuala Lumpur International Airport (KLIA), transit disana sebentar. Lantas sambung penerbangan lokal ke Senai International Airport. Akhirnya dia tiba juga di Johor Bahru.

Kota paling ujung di Semenanjung Malaysia. Berbatasan langsung dengan Singapura. Adrian benar-benar harus menekan egonya kali ini. Karena sang Papa mengancam akan mengambil seluruh fasilitas yang Adrian punya. Jika pria itu menolak pergi ke Johor Bahru. Termasuk deretan black card yang dia miliki.

"Selamat siang, Bang," sapa seorang pria berparas Melayu dengan logat khas Melayu yang kental.

"Siang Iz. Seriously, kamu panggil aku Abang?" protes Adrian.

"Lalu Abang maunya dipanggil apa? Cik? Tuan? Sir? Pak? Mr?" jawab Iz menyebutkan semua nama panggilan yang dia tahu.

"Terserahlah. Asal jangan panggil "yobo" atau "liebe" aja," seloroh Adrian.

(Keduanya berarti sayang dalam bahasa Korea dan Jerman)

"Nggaklah Bang. Saya masih normal," jawab Iz datar setengah bercanda.

Adrian mengikuti langkah Iz menuju parkiran. Dirinya langsung mengerutkan dahinya.

"Kita pulang naik ini, Iz?" tanya Adrian.

"Iya, Bang. Ada masalah?" tanya Iz balik.

"Besok ganti mobilnya. Paling nggak Honda, Toyota, Daihatsu pokoknya setara itu," perintah Adrian.

"Baik, Bang," Iz mengiyakan saja perintah bos barunya itu.

Pilihan apalagi yang dia punya. Meski dia tahu. Prosesnya akan sedikit rumit di negaranya ini. Tapi setidaknya, bos barunya itu tidak minta didatangkan Bugatti Veyron kesayangannya. Bisa berabe dia ngurusnya.

Walau Iz juga tahu. Kalau sampai Adrian meminta itu. Bos Besarnya yang akan turun langsung menanganinya.

"Aku tinggal dimana Iz?" tanya Adrian.

"Tinggal di kondominium (apartement),Bang. Ada permintaan?" tanya Iz.

"Terserahlah, yang penting nyaman. Kamu tahu aku kan?" nawab Iz.

"Siap, Bang" timpal Iz.

Iz sendiri yang mengemudikan mobilnya. Mobil itu membelah jalanan kota Johor yang boleh dibilang tenang. Arus lalu lintasnya begitu teratur. Dan jauh dari kata macet. Kotanya masih berudara segar karena dikelilingi oleh hutan juga perkebunan kelapa sawit yang terhampar luas.

Di JB, sebutan keren untuk Johor Bahru. Sebagian penduduknya bekerja di sektor industri. Karena JB terkenal dengan kawasan industrinya. Banyak pabrik atau kilang berbagai jenis ada di kota ini. Sehingga menarik banyak penduduk dari wilayah lain untuk merantau ke JB.

Jadi jangan heran jika di JB, kita akan menemukan berbagai macam ras bangsa yang tinggal di sana. Mulai dari penduduk asli Melayu, Cina, India juga para pendatang dari negara lain. Yang sering disebut tenaga kerja asing.

Di JB, tenaga kerja asing di dominasi oleh orang Indonesia, Thailand, Vietnam, juga Bangladesh.

Adrian sejenak menikmati perjalanannya menuju kondo tempat tinggalnya. Cukup suka dengan keadaan JB yang tenang dan hijau. Bisa mengusir stresnya kalau begini. Pikir Adrian sambil menarik nafasnya.

Adrian pikir apa yang bisa dia temukan dan lakukan di kota ini selain bekerja. Hal lain tidak ada yang menarik untuknya.

"Kita sampai, Bang" Ucap Iz membuyarkan lamunan Adrian.

Mereka berdiri di depan sebuah bangunan yang menjulang tinggi. Membuat Adrian sedikit heran. Ada juga bangunan pencakar langitnya.

"Jom (ayo) masuk," ajak Iz.

Adrian hanya mengekor langkah Iz. Mengikuti asistennya itu membawanya menuju tempat tinggalnya.

"Lantai 30 ya, Bang?" info Iz.

"Hemmm," jawab Adrian datar.

"Kumat deh dingin sama ketusnya," batin Iz.

Iz pikir dia harus punya stock sabar yang unlimited, untuk menghadapi bos barunya, yang terkenal punya kepribadian ganda. Kadang dia judes, ketus, dingin. Tapi kadang dia bisa orang paling somplak sedunia. Ya...ya.., Iz akan coba nikmati pekerjaannya kali ini.

Berpikiran sama dengan Iz, pada akhirnya Adrian mencoba berdamai dengan keadaan. Siapa tahu apa yang diprediksikan Mamanya benar. Ada hal menarik di kota ini yang menunggunya.

Dua orang dengan pikiran hampir sama itu, akhirnya menaiki lift menuju lantai 30 dalam diam. Satu pikiran, mencoba berdamai dengan keadaan.

***

Hai readers, author hadir dengan karya baru nih. Cerita tentang Hans dan Ve 🤗🤗🤗

Bukan Vi ya...Vi otewe tamat soalnya 😁

Semoga kalian suka, happy reading ya guys....

****

The Guardian From The West

Bersamaan dengan Adrian yang juga keluar dari bandara itu. Seorang gadis berparas Asia juga keluar dari sana. Sejenak menunggu. Hingga dilihatnya dua orang dengan seragam (uniform) dari pabrik tempatnya bekerja.

Gadis itu perlahan mendekat.

"Maaf mengganggu. Anda dari kilang (pabrik) XXX." Tanya gadis itu. Berusaha ramah. Padahal nada yang keluar tetaplah dingin dan datar.

Sejenak kedua orang itu saling pandang. Lalu mengangguk.

"Dengan Veronika." Seorang dari keduanya bertanya.

"Betul." Ve menjawab singkat. Keluar sudah sifat aslinya.

"Jadi Miss...."

"Ve panggil saja Ve," pinta gadis yang bernama Ve itu dingin.

Lagi, dua orang itu saling berpandangan.

"Jadi boleh (bisa) kita pulang sekarang, Ve" Tanya seorang dari mereka yang wanita.

Ve mengangguk. Mengekor dua penjemputnya itu. Menuju ke parkiran. Lantas masuk ke sebuah mobil. Tak berapa lama. Mobil itu melaju meninggalkan bandara itu.

"Makan dulu, boleh (bisa)?" kembali wanita itu bertanya.

Ve mengangguk pelan. Dia mencoba menikmati suasana di sepanjang perjalanan mereka. Ve seolah liburan ke daerah pedesaan. Tak berapa lama, mobil itu masuk ke sebuah restoran.

"Boleh makan masakan sini?"

Ve lagi-lagi mengangguk. Makanan Malaysia, Ve beberapa kali pernah mencobanya. Cukup bisa diterima di lidahnya. Tak lama, makanan datang. Ketiganya mulai menikmati makanan masing-masing. Meski Ve, pada awalnya terlihat ragu. Ya, standar urusan makannya cukup tinggi. Namun kali ini dia harus mencoba bertoleransi, mengingat dia bukan di istana.

Hari menjelang malam. Ketika mobil mereka masuk ke sebuah rumah. Yang Ve duga akan jadi tempat tinggalnya selama dia melarikan diri dari kakaknya.

"Ini tempat tinggal awak (kamu)," info wanita itu ramah.

Membawa Ve masuk ke rumah itu. Lumayanlah. Begitu kesan pertama yang Ve dapat. Meski rumah itu mungkin hanya sebesar kamarnya di rumahnya.

"Lebih kurang ada 8 orang yang tinggal di sini. Semua masih belum pulang. Mereka ada overtime (lembur)," tambah wanita itu lagi.

Berjalan menaiki tangga. Menuju lantai dua. Berhenti di sebuah kamar.

"Ini kamar awak (kamu). Awak ada satu member (teman). Nama dia Azlyn."

Ve hanya diam mendengarkan penjelasan wanita tadi.

"Ini kuncinya. Awak akan mula bekerja esok. Bas (bus) pekerja akan ambil awak sekitar pukul 7.30. Nanti kalau ada yang kurang jelas. Bisa awak tanya pada member awak. Oke. Selamat berehat (istirahat). Jumpa lagi esok kat kilang (pabrik)," pamit wanita itu.

Ve ikut mengantar wanita itu ke bawah. Tak lama dua orang itu pun pergi dari hadapan Ve. Membuat Ve menarik nafasnya lega.Dia tidak bisa berpura-pura ramah pada orang lain terlalu lama.

Perlahan Ve menyeret koper kecilnya. Koper yang hanya berisi beberapa pakaian "rumahan". Itupun Fao, sang sahabat yang menyiapkan. Yang jelas isi dalam koper itu adalah pakaian dalamnya. Kulitnya begitu sensitif, hingga tidak membolehkan dia menggunakan sembarang kain. Hanya kain dari brand VS yang bisa Ve gunakan. Lain tidak.

Ceklek, Ve membuka pintu kamarnya. Dan dia langsung melongo. Kamarnya memang kamar utama. Tapi didalamnya hanya ada dua kasur single yang entahlah. Ve harus berkata apa soal tempat tidurnya. Lalu mencoba membuka pintu yang ia duga kamar mandi. Dan benar itu kamar mandi. Lagi-lagi dia melongo.

Ada bathup. Tapi jangan harap sama dengan bathup miliknya. No shower. Bisa dipastikan tidak ada air panas di sana. Seketika kepala Ve serasa mau meledak.

"Oh my God," guman Ve pelan.

Gadis itu lantas dengan cepat meraih ponselnya. Terserah soal ponsel. Dia tidak mau menggantinya sesuai saran Fao. Hingga bisa dipastikan sekali lihat. Sudah terlihat betapa mahalnya ponsel Ve, menghidupkannya. Lantas langsung menghubungi Fao melalui saluran yang sudah disiapkan oleh Fao. Agar tidak ada orang lain yang bisa melacaknya.

"Yes, my princess," sahut Fao diujung sana sebelum Ve buka suara.

"Are kidding me? Are you trying to kill me?" ucap Ve menggebu.

(Kamu sedang bercanda denganku? Mau mencoba membunuhku)

Ini kalau Fao ada di depan Ve. Sudah habis dia dibejeg-bejeg sama Ve.

"Hei...hei...calm down Baby. Dengar tidak ada yang gratis di dunia ini. Bahkan untuk sekelas puteri sepertimu," balas Fao santai.

Nampaknya hanya pria bernama Fao ini yang bisa menghandle emosi Ve. Terbukti detik berikutnya gadis itu tidak lagi berteriak. Membuka pintu di sisi kirinya. Nampak ada sebuah balkon. Ve keluar, dan matanya langsung disambut jemuran beranekaragam khas perempuan.

"Oh my God!" Pekik Ve dalam hati.

"So...what now?" Sambar Ve cepat.

Fao menarik sudut bibirnya diujung sana.

"Dengar baik-baik princess...."

"Jangan panggil seperti itu. Aku tidak suka," Potong Ve langsung.

"Oke Ve. Sementara memang seperti itu tempatnya. Percayalah, harga kebebasanmu sangatlah mahal. Tapi aku rasa worth it-lah Jadi nikmati saja harimu. Dan nikmati kejutan-kejutan lain yang mungkin akan muncul," balas Fao lagi.

"Masalahnya kenapa kau tidak beritahu aku sejak awal jika tempatnya seperti ini," keluh Ve seketika.

"Memangnya kau mau pergi jika kuberitahu sejak awal, jika tempatnya akan sedikit membuatmu illfeel," ledek Fao.

"Oh my Fao. Ini bukan hanya membuatku illfeel. But this already

made me sick," ujar Ve frustrasi.

(Ini sudah membuatku sakit)

Fao terkekeh di ujung sana.

"Jadi sekarang mau apa? Balik atau tetap stay disitu. Resikonya sama. Sama-sama kena marah. Juga kena hukum sama kakakmu," tawar Fao.

Ve terdiam. Dia pikir sudah sejauh ini. Mana mungkin dia kembali lagi. Dia baru saja merasakan udara kebebasannya. Masak sudah harus masuk penjara istana lagi. Oh No! hati Ve berteriak keras.

"Oke, aku akan mencobanya," Jawab Ve sambil menggigit bibir seksinya. Mencoba meyakinkan diri kalau keputusannya tidaklah salah.

"Good girl. Setidaknya tidak sia-sia aku main kucing-kucingan dengan kakakmu," Fao menjawab sekenanya.

"Apa dia sudah tahu?" Tanya Ve cepat.

"Not yet (belum). But... aku rasa dia akan tahu dalam hitungan menit dari sekarang," balas Fao tenang.

Karena monitor di depannya sudah menunjukkan tanda ada orang masuk ke rumahnya.

"Ve, aku tutup dulu. Aku akan hubungi lagi nanti. Berhati-hatilah. Dan nikmati harimu," pamit Fao lantas mematikan ponselnya. Menyimpannya di laci yang langsung terkunci otomatis begitu Fao menutupnya.

Bersamaan dengan seorang pria yang memaksa masuk ke ruang keŕjanya. Fao menekan satu tombol dibawah mejanya.

Braaakkk, suara pintu yang dibuka paksa.

"Ke mana kau mengirimnya?" Cecar pria dengan aksen bule yang begitu kental diwajahnya. Mata biru yang terlihat begitu mempesona. Juga wajah tampan dengan rahang tegas. Bibir dan alis yang tebal, menyempurnakan tampilan wajah seorang Mark Victor Emmanuel. Kakak kandung Ve.

"Maksudmu apa, Prince?" Jawab Fao santai.

"Jangan berpura-pura. Ve, kau mengirimnya kemana?" Tanya Mark to the poin. Mencengkeram kerah kemeja Fao

"Apa lagi ini? Bukannya dia ada acara dengan bagian kebudayaan di wilayah utara?" Fao pura-pura tida mengerti kondisinya.

"Jangan bohong padaku. Dia lolos dari pengawalan Richard kemarin. Dan tidak ada jejaknya sama sekali. Jika bukan kau pelakunya siapa lagi" Todong Mark.

"Oh come on Prince. Jangan menuduhku seperti itu. Seperti kau tidak tahu Ve saja. Bukankah dia sangat ingin keluar, tapi kau selalu melarangnya. Jadi begini akibatnya. Ada kesempatan ya dia kaburlah," sindir Fao.

"Kau menyalahkanku?" Mark mulai marah.

"Aku hanya bicara fakta. Kau tahu dia begitu tertekan sejak kematian ayah dan ibunya. Tapi kau seolah tidak peduli akan hal itu. Kau tahu rasa bersalahnya begitu besar. Hingga dia berulangkali berpikir untuk bunuh diri. Apa kau tahu itu?" serang Fao.

Mark tertegun. Dia baru tahu fakta ini. Mark akui. Dia kurang memperhatikan Ve akhir-akhir ini. Ada begitu banyak hal yang harus dia kerjakan sejak tampuk kepemimpinan dilimpahkan padanya. Sejak ayah dan ibunya ditemukan meninggal di kastil wilayah selatan saat sedang liburan.

Sebuah kejadian yang memukul telak dirinya dan Ve. Sejak saat itu Ve mengalami depresi berat.

Perlahan Mark melepaskan cengkeramannya pada kemeja Fao.

"Jadi bukan kau yang mengirimnya," tanya Mark memastikan.

"Of course not," jawab Fao yakin, menatap manik biru milik Mark yang tengah memindainya penuh selidik.

Fao tahu jelas. Hanya tinggal menunggu waktu. Sampai Mark tahu keterlibatannya soal kaburnya Ve dari pengawalan Richard. Bodyguard yang terkenal dengan skillnya yang luar biasa.

"Oke, aku melepaskanmu kali ini. Tapi jika aku menemukan bukti bahwa kau terlibat dalam hal ini. Tidak peduli kau Letnan Fao. Pemimpin tertinggi angkatan perangku. Aku tidak segan-segan akan menghajarmu," ancam Mark lantas berbalik keluar dari ruang kerja Fao.

"Aku tidak takut kalau cuma kau hajar," ledek Fao.

Mark mendengus kesal mendengar teriakan Fao. Tahu benar jika dia tidak bisa menghukum Fao lebih dari menghajarnya. Dia buat Fao marah. Bisa hancur seluruh negaranya.

Tanpa banyak yang tahu identitas Fao yang sebenarnya. Seluruh informasi penting negaranya berada di tangan Fao. Satu klik, pria itu bisa meluluhlantakkan segalanya. Karena dialah "The Guardian from The West". Hacker nomor satu di zamannya.

***

Pelan-Pelan Saja

Mark langsung memijat pelipisnya yang rasanya ingin pecah. Belum selesai masalah yang satu. Kini timbul masalah lainnya. Namun kali ini lebih berat Mark rasakan. Sebab ini menyangkut Ve. Adiknya. Satu-satunya keluarga yang dia punya setelah ayah dan ibunya meninggal setahun yang lalu.

Rasa khawatir jelas mendominasi masalah hilangnya Ve. Mark begitu takut kalau hal buruk terjadi pada adiknya. Suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian Mark.

"Ada info apa lagi, Al?" Tanya Mark pada tangan kanannya juga sahabatnya, Albert.

"Saya rasa Tuan Eduardo belum tahu soal hilangnya Ve. Jadi kita bisa bertindak lebih dulu. Agar tidak beredar rumor yang kurang sedap. Meski ya kita tahu. Rumor seperti itu tidak akan bisa kita hindari" Albert menjawab penuh pertimbangan.

Kehadiran Albert benar-benar membantu Mark. Albert, Fao, dan Sebastian. Tiga orang yang akan selalu berada di garda terdepan kala keluarga kerajaan berada dalam masalah. Sejak dulu keluarga mereka sudah terkenal akan loyalitasnya kepada kerajaan. Hingga menurun kepada generasi ketiga.

"Besok aku akan mengadakan presscon. Bisa kau aturkan untukku?" tanya Mark.

"As you wish, Your Majesty," Jawab Albert takzim.

Albert sejenak menatap Mark.

"Cemas?" Albert bertanya penuh selidik.

"Kau tahu aku kan Al. Hanya Ve yang aku punya. Dan sekarang dia menghilang," balas Mark sendu.

Hilang sudah wibawanya sebagai raja di negara M. Berganti dengan wajah cemas yang dimiliki oleh seorang kakak pada adiknya.

"Bagaimana Fao?" Tanya Albert.

"Haissh, jangan sebut namanya. Membuatku kesal saja," maki Mark.

Albert terkekeh.

"Siapa suruh adikmu itu lebih dekat dengan Fao ketimbang dirimu. Ya sudah, apa-apa Ve larinya ke Fao," tutur Albert menyindir Mark.

"Iya-iya aku tahu. Aku salah," Mark mengaku juga akhirnya.

"Temen rasa pacar," gumam Albert mengomentari kedekatan antara Fao dan Ve.

"Aku jadi heran, kenapa Rose sama sekali tidak cemburu pada Ve?" Mark bertanya heran.

"Karena mereka tahu batasannya," sahut Albert santai.

Hening sejenak.

"Ada saran?" Mark bertanya ragu.

"Coba hubungi Lee Joon," saran Albert.

Mark tersenyum.

"Apa kita satu server?" Tanya Mark.

Gantian Albert yang tersenyum. Lantas meraih pesawat telepon di sisi kiri meja Mark. Pesawat telepon dengan jalur yang sudah diamankan lebih dahulu. Hingga tidak ada seorangpun yang bisa menyadap pembicaraan mereka.

"Yes, Crown Prince Mark, can I help you?" Sapa sebuah suara diujung sana to the poin. Tahu jika pria itu tidak akan menghubunginya di jam-jam seperti ini jika tidak ada hal mendesak dan penting.

"Sibukkah?" Mark berusaha basa basi.

"Tidak juga. Ada apa?" tanya Lee Joon.

(Lee Joon dari novel author yang berjudul Cinta Dua Dunia ya guys. Dikepoin juga dong 🤗🤗)

"Ve, menghilang," Info Mark cepat.

"Ha? Bagaimana bisa Nika hilang?" Lee Joon memanggil Ve dengan nama belakangnya.

"Panjang ceritanya. Jadi bisa minta tolong. Bisa kau cari jejaknya?" Pinta Mark.

"Kenapa tidak minta tolong Fao?" Lee Joon merasa aneh akan hal ini.

"Justru karena aku curiga. Fao terlibat dalam hal ini. Kau tahu kan mereka itu teman rasa pacar," gerutu Mark, yang disambut tawa Lee Joon diujung sana.

Mark berdecih mendengar Lee Joon yang malah tertawa.

"Hei jangan menertawakanku. Aku sedang pusing ini," pinta Mark.

"Oke-oke. Sebentar aku akan melihatnya," Lee Joon mengulum bibirnya, cukup bisa membayangkan bagaimana frustrasinya seorang Mark.

Mark dan Albert menunggu. Meski kemampuan Lee Joon satu tingkat di bawah Fao. Tapi kemampuannya bisa diacungi jempol. Hening sejenak. Hanya terdengar suara kertas yang tengah Albert teliti ulang.

"Apa kau sudah melacaknya?" Lee Joon dengan jemari menari di atas keyboardnya.

"Belum. Urusan Ve adalah urusan internal. Aku tidak ingin orang luar tahu yang sebenarnya. Aku ingin tahu dimana dia. Sebelum besok aku akan mengadakan presscon soal ini. Kau tahu kan untuk mencegah gosip dan rumor yang ...you knowlah," jelas Mark panjang kali lebar.

Lee Joon kembali terkekeh. Dia tahu rumitnya urusan istana. Hening lagi.

"Oke...there you are...," ujar Lee Joon hingga membuat wajah Mark semakin serius.

"Kau menemukan sesuatu?" Mark bertanya antusias.

"Dia terbang ke KLIA. Lalu mengambil penerbangan lokal ke Senai International Airport," Jelas Lee Joon.

"Itu ada di...."

"Malaysia. Johor Bahru tepatnya. Ada jejak manifest yang dihapus...aku rasa itu ulah Fao.,.dia menggunakan nama depannya saja," tambah Lee Joon masih fokus menatap layar laptopnya.

"Malaysia? Johor Bahru? Oh God. Apa yang dia lakukan disana?" Mark berucap frustrasi.

"Liburanlah apalagi. Ooh melarikan diri darimu," tambah Lee Joon.

"Sialan kau!" Umpat Mark.

"Eiiitt, Putra Mahkota dilarang mengumpat," ledek Lee Joon.

"Terserah aku dong. Back to topic. Terus ini bagaimana. Aku tidak bisa membiarkan Ve ada disana tanpa pengawalan," keluh Mark.

"Dan kau tidak bisa memaksanya pulang sekarang. Atau Nika akan semakin sulit dikendalikan." Saran Lee Joon. Cukup tahu sifat Ve yang cenderung memberontak jika dia terus dikekang.

"Oh ****!" Umpat Mark sambil menjambak rambutnya frustrasi.

"Eeh, tapi tunggu dulu" Ucap Lee Joon. Menemukan sesuatu yang menarik.

"Ada apa?" Mark bertanya dengan kening berkerut.

"Adrian...Adrian ada disana." Ucap Lee Joon tidak percaya.

"Adrian? Yang tinggal disebelah?" Mark memastikan.

"Iyalah, siapa lagi?" Lee Joon mengkonfirmasi jawabannya.

Bisa dibayangkan bagaimana dua wajah tampan itu tersenyum bersamaan. Seolah memiliki pemikiran yang sama.

"I think you know what I think," Ucap Lee Joon.

(Aku pikir kau tahu apa yang aku pikirkan)

Mark menyeringai penuh makna.

"Of course. Thank's for your help. Hadiah nikahan menyusul," canda Mark.

(Tentu saja. Terima kasih atas bantuanmu)

Dia tahu Lee Joon akan menikah. Dan bisa dipastikan kalau dia tidak akan bisa datang.

"Yang mahal ya," pinta Lee Joon sambil menutup panggilannya.

"Adrian Hanson Lee. Dia memang berada di Johor Bahru sekarang," sahut Albert mengkonfirmasi ucapan Lee Joon.

Mark tersenyum. Sambil mengusap dagunya yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Membuat wajahnya terlihat semakin seksi. Wajah yang digilai banyak perempuan di luar sana.

"Aku akan akan menghubunginya dalam beberapa hari ke depan. Adrian Hanson Lee. Bagaimana bisa bocah rimba itu terdampar disana?" Ucap Mark heran. Menyandarkan tubuh lelahnya di kursi kebesarannya.

"Al bisa kau beritahu Sebastian. Untuk besok aku tidak ingin ada kekacauan. Juga awasi terus pergerakan Paman Eduardo. Aku rasa setelah rencananya untuk menjodohkan Ve dengan putranya, gagal. Dia akan mencari cara lain untuk bisa masuk istana," titah Mark.

"Yes, Your Highess," jawab Albert tegas.

Tanpa keduanya sadari. Seseorang diujung sana tersenyum. Mendengar semua pembicaraan Mark dan Albert juga Lee Joon.

"Everything seems going well. Enjoy your time Ve. Sebentar lagi akan ada yang puyeng menghadapaimu," Ucap orang itu dengan seringai penuh makna di bibirnya.

(Sepertinya semua berjalan lancar. Nikmati waktumu, Ve)

***

Ve baru saja menyelesaikan ritual mandinya. Yang ya, jauh dari rutinitasnya. Bayangkan, dia yang biasa berendam di bath up dengan taburan kelopak mawar merah dengan aroma minyak lavender favoritnya.

Seperti di film-film itu. Mimpi yang tiba-tiba berubah jadi realita. Ve mendengus kesal. Bagaimana bisa akhirnya dia mandi dengan air dua ember plus pakai gayung pula.

Gadis itu masih menggerutu kesal sambil menyisir rambutnya.

"Fao akan mengejekku habis-habisan jika tahu aku mandi pakai gayung."

Sesaat menatap dirinya. Di cermin besar yang ada di kamar itu. Mungkin milik roomate-nya kali. Seulas senyum tiba-tiba terbit di bibirnya. Dia sudah lama ingin memakai baju "rumahan" seperti kebanyakan anak muda sekarang.

Seperti saat ini. Kaos oblong yang tidak terlalu ketat dipadu dengan hot pants sepaha. Yang menunjukkan samar body ģoals Ve. Tubuh yang banyak diimpikan banyak gadis di luar sana. Di istana jangan harap Ve bisa memakainya.

Bersamaan dengan itu. Suara ribut terdengar di lantai bawah. Ve menduga jika itu adalah teman satu rumahnya. Dia bergegas turun. Untuk memperkenalkan dirinya. Salah satu hal yang Fao ajarkan padanya. Sebelum mengirimnya ke sini.

Suara celotehan itu terhenti ketika Ve menyapa mereka.

"Selamat malam semua," Sapa Ve berusaha menampilkan senyum terbaiknya.

"Ohh, sudah datang," Seloroh seorang gadis berwajah Melayu.

"Oh no, kenapa semua wajahnya jadi sama begitu," batin Ve dalam hati.

Melihat housematenya yang semuanya memakai penutup kepala yang biasa mereka sebut jilbab atau hijab atau apa. Entahlah Ve tidak terlalu tahu.

Ve tersenyum kikuk menanggapi pertanyaan gadis itu.

"Siapa nama?" Tanya seorang lagi.

"Ha?" Ve langsung cengo. Tidak tanggap. Otaknya mendadak "lalo", lambat loading.

"Nama? Nama kamu siapa?" Tanya satu suara yang terdengar begitu merdu terdengar di telinga Ve.

"Ah itu. Namaku Veronika. Kalian bisa memanggilku Ve," jawab Ve.

"Nama yang cantik. Macam orangnya," sambut yang lain.

Perlahan semuanya langsung mengenalkan nama masing-masing, membuat Ve bingung seketika. Menghafal semua nama orang dalam waktu singkat. Jelas tidak mungkin. Sampai wanita bersuara merdu itu kembali berbicara.

"Tidak usah terburu-buru mengingat nama kami. Pelan-pelan saja," kata wanita yang Ve tahu bernama Azlyn itu. Roomate Ve.

Ve ikut tersenyum. Melihat senyum tulus dari Azlyn dan teman satu rumahnya.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!