Pram berlari-lari tunggang langgang menuruni undakan berumput tebal di belakang rumahnya setelah melihat mobil Avanza hitam memasuki lahan parkir di depan rumah. Pram melompati mesin pemotong rumput sambil mengumpat seraya mendorong pintu untuk bersembunyi di gudang.
"Mampus gue, Mak pasti nagih mantu lagi!" rutuk Pram sambil meringkuk dan berlindung di balik tumpukan pakan ikan yang berbau khas. Jantungnya berdetak tak keruan, napasnya terengah-engah bak habis di kejar kuntilanak nakal.
"Gue ngeri, gue gak mau nikah!" racaunya yang kian membuatnya tak tenang.
Sementara itu. Di depan rumah semi kayu berlantai dua, Asih mengetuk-ngetuk pintu bercat biru.
"Pramoedya Aji, anak emak, sulungku paling ngeyel. Buka pintunya." kalem perempuan berusia nyaris enam puluh lima tahun itu mengetuk pintu. Ia mengenakan gamis batik, berlipstik jingga, dan berparas lumayan.
Di belakangnya, Bagyo sang suami berpakaian rapi jali sambil menenteng tas belanja dari anyaman plastik berisi sayur-sayuran dan buah-buahan. Oleh-oleh untuk Pramoedya Aji yang tidak pernah masak sendiri dan hobi jajan di luar.
"Pram, kami datang. Disambutlah. Jangan pura-pura tidur!" teriak Asih kehilangan kesabaran. Serangan demi serangan bringas ketukan pintu terus bersautan di dalam rumah, hingga Sum, pembantu dari kampung yang bersenadung lagu Elvi Sukaesih terpogoh-pogoh membuka pintu.
"Sabar atuh." Sum berseru sambil mengayunkan pintu. "Mak Asih, Pak Bagyo." serunya sambil tersenyum rikuh dan merapatkan diri ke tembok. Juragan empang, ternak, dan berhektar-hektar sawah di kampung itu slalu menjadi orang yang diseganinya.
"Pram dimana, Sum?" tanya Asih tak sabaran. Dengan nyalang ia mengedarkan pandangannya ke dalam rumah.
"Mas Pram? Aduh Mak, dimana ya?" tanyanya balik dengan raut wajah bingung bahkan ikut mengedarkan pandangannya. "Abdi tadi baru nyuci sambil karaokean, Mak. Abdi cari dulu yak." Sum berlalu sambil mikir.
Dengan sabar Asih dan Bagyo memilih duduk di sofa berwarna biru langit sambil menunggu.
"Sudah aku bilang, mas. Kalau Pram itu harusnya kita jodohkan saja dengan anaknya Bu Etik, siapa itu namanya yang baru saja masuk kuliah. Mak agak lupa." kata Asih lalu mengernyit.
Kerutan di wajah Bagyo semakin kentara dan terlipat tebal. Bagyo yang lebih sepuh lima tahun dari istrinya jelas-jelas tidak ingat siapa Etik.
"Etik istrinya Pak Dasim, mantan ketua RT itu lho mas." Asih menjelaskan sambil tersenyum maklum. "Sudah - sudah gak usah di bahas, nanti aku pusing sendiri." rutuknya seraya beranjak.
"Dasim bukannya sudah meninggalkan, Sih?" tanya Bagyo.
"Dasim memang sudah meninggal, tapi anaknya masih perawan mas, masih kinyis-kinyis. Cocok untuk Pram!"
Bagyo yang nampaknya sudah ingat siapa Dasim kontan menggelengkan kepala kuat-kuat sampai membuat Asih memandang ngeri suaminya.
"Awas kecetit mas!" Asih memperingatkan.
"Gak setuju aku Pram kawin sama anaknya Dasim, utangnya dia banyak Sih, nanti Pram cuma diporoti!" kata Bagyo lugas.
"Tapi anaknya cantik mas, pinter, pasti bisa menggoyahkan iman Pram!"
Bagyo lagi-lagi menggeleng tidak mau. Menikah bukan hanya perkara cantik dan pintar, menikah adalah persoalan banyak kepala yang sejatinya harus ada kata sepakat terlebih dahulu untuk masa depan yang lebih baik.
"Yang lain masih banyak, anaknya juga belum tentu mau di jodohkan dengan Pram."
Asih menghela napas. "Aku bantu Sum nyari Pram, mas. Anak itu pasti ngumpet. Kebiasaan kalau kita datang kesini."
"Kamu juga aneh Sih, anak tidak mau nikah kok di paksa-paksa." cibir Bagyo sambil mengurut lehernya. "Bukannya enak, harta dan warisan utuh!"
Asih meresponsnya sambil berkacak pinggang. "Terus kalau utuh dan gak ada yang ngurus harta kita gimana mas? Terbengkalai gitu saja dan jadi sarang hantu." Asih geleng-geleng. "Mas-mas, Pram itu anak laki-laki satu-satunya yang kita miliki, dia harus ada yang ngurus dan berkembang biak!"
Bagyo mendengus. "Diwakafkan kan bisa atau di jual. Anak gak mau nikah masih saja dipaksa terus. Kamu itu malah seperti dhedhemit, Sih, nakut-nakutin anak!"
Asih melengos pergi sambil menggerutu sendiri. "Dhedhemit, sabodo teuinglah." sahutnya dengan bahasa Sunda.
•••
"Mas Pram, Mas Pram..." teriak Sum dari balkon belakang kamar jejaka tua itu.
Suara Sum yang mirip halilintar dari langit membuat Pram terpanggil. Ia menelan salivanya dengan susah payah sambil menggaruk kakinya.
"Ya Allah, di tagih calon istri lebih kejam daripada di gigit semut merah. Gatel semua sob, panas bianget." rutuknya kesal sambil menghentakkan kakinya.
"Mas Pram, Mas Pram. Mak Asih datang, mas muncul yok. Gak usah ngumpet-ngumpet." Sum berseru lantang.
Dari dalam Asih menutup telinganya seraya mendekat.
"Suaramu itu mirip bledeg, Sum. Bikin budeg!"
Suminah nama panjangnya terkejut sendiri. "Mak!" pekiknya sambil mengangkat kedua tangan.
Asih tak menggubris. "Pram belum ketemu, Sum?"
"Belum, Mak. Sudah abdi cari di kolong kasur, meja, kamar mandi dan seluruh tempat yang bisa untuk ngumpet tapi gak ketemu mas Pramnya."
"Tapi kamu yakin Sum dia ada di rumah sebelum Mak kesini?" Asih menyipitkan mata, menelisik.
"Yakin, Mak. Mas Pram tadi baru treadmill di sini dan sewaktu Mak datang, kemungkinan mas Pram lari kocar-kacir ke - ke...," Sum berpikir keras, "gudang, iya gudang, abdi belum kesana Mak!" ucap Sum yakin.
Dengan gegas Asih langsung menuruni undakan sambil tersenyum lebar. "Kena kamu, Pram."
Belum juga Asih sampai di pintu yang terbuka sedikit itu. Pram dengan gerakan abstrak keluar dari gudang, dia menepis semut-semut yang kian membuat seluruh kakinya panas dan gatal.
"Kualat kamu, Pram. Kualat." seru Asih seraya tertawa geli.
"Terserah Mak, terserah!" Pram mengomel seraya berlari tunggang langgang ke arah pancuran air untuk membasuh kakinya.
"Apes banget gue hari ini, gak emak, gak Allah ngehukum gue. Argh..." erangnya sambil menggaruk kaki. "Salah apa gue, gak mau nikah aja sampe begini nasibnya. Pahit bener dah. Nasib-nasib!"
"Makanya nurut." sergah Asih sambil menjewer telinga Pram. "Masuk, ikut emak."
•••
To be continue and happy reading. Selamat bergabung dengan cerita jenaka ini. Semoga para pembaca terhibur ^_^
Pram terseok-seok mengikuti langkah Asih yang tak peduli dengan sakitnya dijewer, diplintir dan ditarik-tarik.
"Ikut kemana, Mak? Udah deh gak usah jewer-jewer telinga gue." protes Pram kesal, "gue bukan anak kecil lagi!"
Mendengar kata 'gue' Asih meradang, ia menambah kekuatan untuk menjewer telinga Pram.
Pram mengerang kesakitan. "Durhaka emak sama anak!" serunya.
Asih menggeser pintu. Mereka melewati dapur, berbelok ke ruang makan, menyusuri koridor kamar sepanjang lima meter sebelum berakhir di ruang tamu.
Bagyo cemberut sambil melipat koran pagi. Kacau sudah ritual membacanya, padahal ada kasus yang sedang ia ikuti. Hewan ternak seperti sapi sedang terserang penyakit mulut dan kaki. Serangan wabah itu membayanginya siang-malam, ia takut sewaktu-waktu wabah itu juga menjangkiti ternaknya. Sapi. Komoditas ketiga setelah ayam potong dan petelur.
"Gue - gue, kebanyakan gaya kamu, Pram." balas Asih galak. Bagyo mengembalikan koran ke bawah meja seraya bersedekap memandang peperangan yang akan terjadi.
"Emak sudah baik-baik minta kamu nikah. Emak bebaskan kamu mencari wanita yang penting bukan wanita malam. Lah kamu, lihat..., Lihat kelakuanmu! Bocah. Bukannya nyambut emak dan bapak baik-baik kamu malah ngumpet. Malu Pram sama usiamu." cerocosnya sambil menghenyakkan tubuh di sofa.
Pram mendongkak sambil menggaruk kakinya. "Lah itu Mak tau aku masih bocah, kenapa masih di suruh kawin. Emak gimana sih, kasian ntar cewek yang aku nikahin. Ngurus bocah!" sindirnya telak.
Asih berdecak sambil menarik lagi telinga Pram dengan gemas. Rahangnya mengeras dan dengan kesal ia membetulkan kerudungnya.
"Ya Allah, jangan engkau jadikan aku ibu durhaka!" ucap Asih sungguh-sungguh. "Hamba sahaya hanya tidak ingin Pramoedya Aji, arjunaku menjadi lajang separuh baya!"
Sum terkekeh-kekeh sambil menaruh es jeruk dan ubi goreng di meja.
"Budak kasep, di suruh nikah saja tidak mau, aneh bener." kata Sum turut protes. "Kawin itu enak, mas. Mbok saja sampai punya lima anak." akunya gamblang. Sum meringis senang.
Pram terus menggaruk-garuk sampai kulitnya nyaris lecet. Asih, walau kesal dan pegal melihat tingkah laku anaknya, dia merogoh tas tentengannya. Botol minyak kayu putih, benda ajaib yang wajib dia bawa kemana saja setelah menyandang gelar sebagai lansia baru.
"Tiga puluh lima tahun itu bukan bocah lagi, Pram. Usia itu sudah layak membangun rumah tangga." kata Asih perhatian.
Dalam keadaan normal obralan seperti itu seharusnya Pram yang memijat kaki ibunya sambil merayu untuk merestuinya menikah. Tapi keadaan yang tidak normal ini membuat semua terbalik. Asih mengusap bekas gigitan semut itu dengan minyak seraya memijat kaki Pram.
"Tetangga emak di kampung udah ada yang punya anak dua. Adik-adikmu juga sudah nikah. Rame rumahnya Pram, gak seperti disini. Mirip kuburan. Sepi nyenyet." ungkap Asih, tak gentar membujuk Pram melepas masa lajangnya.
Tatapan Pram jadi menerawang, menebus awan, sambil terus terbang tinggi ke galaksi Bima Sakti.
"Rame, ribet pasti. Udah gue bayangin anaknya kecil-kecil, seliweran, teriak-teriak, mirip adek-adek gue dulu. Gue jadi tambah males nikah." batinnya, "jadi mending rumah ini mirip kuburan. Ayem tentrem dan nyaman." Pram mengangguk setuju.
"Kamu setuju, Pram?" sahut Asih.
Pram menghela napas, dia slalu benci harus bersikap serius dan percakapan seperti ini. Bisa dia hitung, dalam setiap bulan orang tuanya akan datang ke Jakarta demi hanya menyerangnya dengan pernyataan yang sama ;
'Pram gimana, sudah punya pacar?'
Setiap Pram berkata belum, ibunya akan membalas ;
'Emak malu setiap arisan trah terus-terusan ditanyain kapan ngunduh mantu Jeng Asih? Kapan Pram nikah. Mak kehabisan dusta, Pram. Ayolah kerja samanya. Kamu nikah. Emak kasih sawah satu hektar.'
Pram mengacak-acak rambutnya. Semakin kacau semakin keren, kata gadis-gadis yang menjadi karyawannya.
"Aku bukannya mau jadi anak durhaka, Mak. Cuma, jangan paksa aku untuk menikah. Aku belum menemukan gadis yang tepat untuk menghadapi mertua sepertimu, Mak." aku Pram.
Asih mengucurkan minyak dan mengoleskannya ke mulut Pram sambil mendengus sebal.
"Justru itu yang bikin kamu durhaka sama emak, Pram. Kamu asal-asalan!"
Pram terkekeh-kekeh sambil mengusap bibirnya, ia meneguk es jeruk sampai habis. Dia tahu ibunya tidak bisa tidur nyenyak kalau dia tidak juga nikah. Tapi nikah? Bayang-bayang akan menjaga hati, mencintai istri sepenuh hati, belum lagi memiliki buah hati, rasa-rasanya berat badannya akan susut perlahan-lahan saat itu terjadi.
"Mak." Pram menjatuhkan tubuhnya di atas karpet, menyejajarkan posisinya dengan ibunya. Pram bersila sambil mendesah lelah untuk hari ini. Sadar, urusan seperti ini tidak akan pernah usai sebelum dia nikah, kawin, punya anak dan menjadi pejantan tangguh keluarga Subagyo Sudiro Atmojo.
"Nikah itu nyari apa sih, Mak? Enak juga cari uang yang banyak, bisa happy-happy. Hidup bahagia. Lagian kalau emak maksa, nanti Allah marah. Mak menyalahi takdirnya dengan memaksaku nikah cepet-cepet padahal belum waktunya." kata Pram serius.
Asih tak pernah berhenti mendoakan anaknya yang ini, tapi kenapa doa itu belum terkabul? Kosasih mengira-ngira, iyakah Pram juga berdoa dengan khusyuk untuk menolak doanya?
Asih kontan merasa frustasi sendiri. Membujuk Pram seperti membujuk kungkang untuk lari. Mustahil.
"Pokoknya emak harus ngunduh mantu secepatnya! Mak gak mau kalah sama Wirasti, bulikmu sebenarnya lagi tuntas tanggung jawabnya, sedangkan emak? Ya Allah, ya Robbi. Sekarang, kamu mandi, dandan yang kasep lalu ikut emak." Asih menghela napas sambil menepuk bahu Pram.
Pram mengernyit. "Kemana, Mak? Aku ada jadwal futsal nanti."
"Pokoknya ada dan kamu harus nurut! Kalau enggak. Pram enaknya kita apain mas?" tanya Asih pada suaminya.
Bagyo berlagak mengiris lehernya dengan ekspresi dramatis.
"Tamat riwayatmu, Pram!"
Pram mendengus seraya beranjak. Mukanya benar-benar malas dan lelah dengan drama orang tuanya.
"Punya emak dan bapak kok gini-gini amat, Ya Allah. Untung juragan, kalau enggak. Aku sudah minggat dari dulu ke luar negeri jadi TKI. Alhamdulillah untung-rugi yang penting bisa ketemu Barbie seksi dan menghindari drama keluarga humoris ini."
•••
Asih mengunyah ubi goreng sambil menunggu Pram mandi.
"Kita harus gercep mas, pertemuan dengan keluarga Jeng Nia harus berhasil. Bahaya si Pram kalau jadi bujangan seumur hidup. Bisa-bisa warisannya nanti cuma buat foya-foya atau nanti jatuh ke tangan saudara-saudaramu yang serakah itu, Mas. Emak gak mau itu terjadi. Pokoknya Pram harus nikah."
Bagyo mengembuskan napas, "Terserah, Sih. Yang penting Pram tidak kamu siksa. Kasian dia, sudah dari kecil kita ajak prihatin."
Asih mengangguk pelan sambil mengangkat kedua jempolnya tinggi-tinggi. "Beres mas, bisa ku atur."
•••
To be continue and happy reading.
Pram menuruni anak tangga dengan langkah cepat sembari mengenakan jaket berwarna biru dongker. Lelaki itu memang menyukai segala warna biru. Entah biru langit, biru muda, biru tua, biru dongker dan dengan sadar harus mengalami percintaan yang mengharu biru.
Di paksa nikah adalah satu-satunya hal yang ingin ia campakkan dari hidup. Bukan karena dia alergi terhadap mahluk berkelamin perempuan, atau dia penyuka sesama jenis. Dia seutuhnya normal, suka lihat perempuan aduhai di situs-situs online bahkan mengidolakan Pevita Pearce sebagai perempuan idaman. Hanya saja menikah? Di paksa? Pram tak habis pikir kondisi apa yang harus terjadi setelahnya walau Pram sadar se-ks adalah sesuatu yang menggiurkan.
Pram berhenti di depan cermin yang terbingkai ukiran kayu berbentuk seperti matahari seraya menyugar rambutnya. Dia terlihat segar dengan wangi parfum teh yang menyegarkan.
"Mak, aku udah siap!" teriak Pram seraya memutar tumit, ia berjalan menuju ruang tamu. Nampak Bagyo dan Asih berwajah murung.
Pram mengernyit. "Kenapa Mak, gak jadi pergi?" tanyanya.
Asih menghela napas sambil menggenggam tangan suaminya.
"Lihat kami, Pram. Kami sudah sepuh, sudah tidak sabar pengen lihat kamu berkeluarga." katanya sedih.
Pram paham betul ibunya sedang akting, walau ia tidak menyangkal bahwa orang tuanya memang sudah sepuh. Rambut uban bapaknya sudah putih sempurna di kepalanya, giginya sudah rompal dan memakai gigi palsu sementara ibunya, walau necis dan slalu pakai make up dan mengikuti perkembangan zaman seluruh bagian tubuhnya sudah kendur, kecuali mulutnya. Mulut ibunya masih sadis.
"Aku sebenarnya kasian sama emak dan bapak, tapi aku lebih kasian dengan wanita itu kalau di paksa nikah dengan aku yang ogah." jawab Pram.
Asih menyandarkan kepalanya di lengan Bagyo, roman wajahnya semakin sedih.
"Kita bakal mati penasaran, mas." kata Asih.
Mata cekung Bagyo melebar, dalam hati ia bersumpah tidak mau mati penasaran.
"Aku ingin mati dengan tenang, Sih." rutuknya seraya mencubit pinggang Asih pelan.
Asih mengernyit sakit, tapi keadaan itu ia gunakan untuk mendramatisir keadaan selanjutnya.
"Pram masih belum ingin nikah mas, padahal cuma itu keinginan terakhir kita sebelum ajal semakin dekat." imbuh Asih mengompori keteguhan hati anaknya.
Tapi dalam hati Asih langsung memanjatkan doa dengan sungguh-sungguh. Ya Allah, kata-kata hamba sahaya itu palsu semata, hamba sahaya hanya terpaksa untuk kebaikan putra tercinta.
Bagyo beristighfar, raut wajahnya semakin tidak senang dengan ucapan istrinya. Sementara itu Pram berkacak pinggang, semakin ia gubris, ibunya semakin menjadi-jadi, pikir Pram.
"Sudahlah, Mak. Kita jadi pergi gak nih?" tanya Pram tak sabar.
Asih mengangguk, ia ganti meraih tangan Pram sambil mengangkat pandangannya.
"Tapi kamu janji dulu, Pram. Kali ini tolonglah kerja samanya." bujuk Asih.
"Emak sebenernya mau kemana? Gak usah banyak basa-basi lah, buang-buang waktu!" cibir Pram. Sepasang mata Pram berkilat, ingin marah tapi di tahan-tahan sampai tanpa sadar ia buang angin dengan kencang.
Asih dan Bagyo melenggang pergi tanpa buang waktu. Mereka keluar dari rumah yang memiliki perpaduan warna putih dan biru itu sambil meracau kesal.
"Bau banget kentutmu mirip comberan, Pram!" ejek Asih lugas.
Pram terkekeh-kekeh sambil membuka pintu Jeep Wrangler miliknya.
"Lho - lho - lho, kamu ikut mobil bapak. Jangan setir sendiri!" tolak Bagyo saat Pram menghidupkan mesin mobil.
"Nanti aku langsung ke tempat futsal, Pak. Jadi bawa mobil sendiri-sendiri." jelas Pram jujur.
Tak ingin buruan kabur, Asih dan Bagyo segera masuk ke kursi penumpang. Mereka meringis saat Pram menoleh sambil mendengus kesal.
"Mau kemana ini?" tanya Pram ketus.
"Ikuti saja mas Jumali." Asih menunjuk mobilnya yang bergerak keluar dari lahan parkir.
Pram berdehem meski penasaran dan curiga dengan arah tujuan hari ini. Tapi ia tetap dengan fokus mengikuti Avanza hitam didepannya itu hingga mobil itu berkelok ke sebuah perumahan.
Pram mengerutkan keningnya. Rumah sederhana namun indah didepannya itu nampak terbuka seperti menunggu tamu.
"Rumah siapa, Mak?" tanya Pram.
"Calon istrimu, Pram."
Lelaki berwajah khas orang pribumi dengan rahang kokoh, hidung mancung dan memiliki kulit kuning langsat itu sontak tersentak kaget.
"Emak gak usah ngada-ngada!" tolak Pram sambil menelengkan kepala melihat spion, mencari celah untuk keluar dari parkiran itu. Naas Avanza di sampingnya itu membuat Jeep Wrangler yang termasuk kategori mobil ukuran besar sulit untuk bermanuver kilat dari parkiran sempit
"Sialan! Gagal tancep gas." umpat Pram sambil memukul setir. Dia mendengus dingin sewaktu melihat si empu rumah mulai beranjak untuk menghampiri mereka.
"Pokoknya aku gak mau di paksa nikah, Mak!" kata Pram dingin, ia mengerut kecewa dengan keputusan ibunya ini yang menurutnya ngawur.
Asih mencondongkan tubuh sambil mengelus lengan Pram, menenangkan sekaligus membujuknya..
"PDKT dulu, Pram. Anaknya cantik, bahenol, namanya Susi. Anak sahabat emak waktu SMA dulu. Emak jamin kamu ingat sama dia, karena dulu waktu dia kecil kalian sering mandi bareng di kolam." ungkap Asih.
Pram tertawa sedih, ia tak acuh dengan ingatan masa kecilnya. Yang ia mau sekarang hanya kabur, kabur, dan kabur. Tak peduli dengan Susi yang bahenol atau pernah mandi dengannya. Toh masa kecil, semua terlihat biasa-biasa saja. Gak ada yang istimewa, pikir Pram.
"Pokoknya kamu yang sopan, jangan malu-maluin keluarga." kata Asih ketika sahabatnya nyaris mendekati mobil.
Seketika Pram mengambil sisir dan pomade dari dasbor mobil untuk membuat kesan culun rambutnya. Kesan pertama jangan good looking kalau bisa ambyar atau gak enak di pandang, pikir Pram sambil tertawa licik dalam hati.
"Susi, gue yakin elu ilfill! Lihat aja nanti, elu pasti ogah nikah sama gue meskipun kita udah mandi bareng. Gak peduli elu dulu bayangin gue kek gimana."
Dengan tekad kuat, Pram menurunkan satu persatu kakinya. Disambutlah dia oleh Susi yang benar-benar sensual seperti bodi Nikita Mirzani.
"Sial, santapan empuk ini." rutuk Pram dalam hati.
•••
To be continue and happy reading.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!