Setting waktu, tujuh tahun kemudian. Setelah Sisi Gelap Dunia Anak SMA...
...༻◐༺...
Zara membuka lebar matanya. Tepat saat mendengar ada seseorang sedang menggedor pintu. Dia segera bangun dan beringsut ke ujung kasur.
Nafas dihela cukup panjang oleh Zara. 'Mas Anton pasti mabuk lagi,' batinnya.
Sebelum pergi, Zara tidak lupa mengecup kening putranya. Lalu barulah beranjak untuk membukakan pintu.
Ceklek...
Pintu terbuka, sosok Anton dengan mata merah langsung menyambut penglihatan Zara. Pria itu mengukir seringai.
"Jangan berdiri di tengah jalan, O'on!" Anton mendorong Zara menjauh dari pintu. Istrinya tersebut nyaris terjatuh ke lantai.
"Mas bisa berhenti mabuk nggak sih?!" tukas Zara sembari menutup pintu. Dia tidak lupa untuk menguncinya kembali.
Anton sama sekali tidak hirau. Ia justru berjalan dengan sempoyongan. Sesekali menabrak nakas, lalu tidak sengaja menjatuhkan bahkan menghancurkan benda-benda tak bersalah.
Tersiksa, itulah yang dirasakan Zara semenjak menikahi Anton. Seorang ketua rentenir yang menjebaknya dalam sebuah hubungan sah.
Sebenarnya Zara tidak pernah berniat menikahi Anton. Dia hanya khawatir terhadap keadaannya yang mengalami kehamilan di luar nikah. Putra Zara yang sekarang berusia tujuh tahun, bukanlah anak kandung Anton.
Zara dipaksa menjadi istri Anton, akibat memiliki banyak hutang. Selain itu, dia juga memanfaatkan tawaran Anton untuk menutupi aibnya sendiri. Namun Zara tidak menyangka, dirinya justru semakin menderita. Sialnya Zara tidak bisa lepas dari Anton. Bagaimana tidak? Anton memiliki anak buah berupa preman yang siap menyakiti orang-orang tersayang Zara.
Anton selalu mengancam, jika Zara nekat ingin pergi atau meminta cerai. Pria itu akan menuntut pembayaran hutang ke panti asuhan tempat Zara berasal.
Zara tentu tidak akan membiarkan orang-orang panti asuhan celaka. Terlebih orang-orang di sana adalah satu-satunya keluarga yang Zara miliki.
Anton berhenti melangkah di hadapan meja makan. Kemudian membuka tudung saji untuk sekedar memeriksa makanan yang tersedia. Akan tetapi Anton hanya bisa melihat ada ikan asin dan tempe goreng.
"Aaarghhh!"
Bruk!
Prang!
Anton melempar semua piring berisi makanan dari atas meja. Piring-piring itu pecah berkeping-keping. Menyisakan serpihan-serpihan kaca yang tajam.
"Mas Anton!" seru Zara dengan dahi yang berkerut dalam. Salah satu kakinya menghentak ke lantai. "Zafran lagi tidur loh! Kamu bisa nggak satu hari tidak membuat keributan?!" pungkasnya. Membuat Anton sontak memasang pelototan tajam.
"Dasar tidak tahu malu!" geram Anton seraya berjalan menghampiri Zara. Kemudian menjambak rambut istrinya itu kuat-kuat. Zara otomatis mengerang kesakitan. Kekuatan Anton tidak bisa di tanganinya dengan baik.
"Aku tidak akan ribut kalau makanan yang di meja itu enak!" sembur Anton.
"Aaaa! Sakit, Mas..." rintih Zara. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain terpaksa membalas tatapan suaminya.
"Jawab pertanyaanku! Kenapa kamu masak makanan sampah begitu, hah?!" bukannya melunak, Anton justru menguatkan cengkeraman.
"Mas kan cuman kasih uang sedikit. Gimana aku mau masak enak?!!" Zara tidak tahan lagi. Dia membalas dengan suara yang tak kalah lantang.
"Kurang ajar!" Anton melepaskan rambut Zara. Namun kekasarannya tidak sampai disitu. Sebab dia mendorong, lalu memberikan sebuah tamparan ke pipi Zara.
"Aku kasih uang banyak banget loh! Kamu bilang itu sedikit?!" lanjut Anton. Mendekat ke hadapan Zara yang jatuh terduduk ke lantai.
Anton memang memberikan sedikit uang kepada Zara. Hanya sekitar tiga ratus ribu rupiah perbulan. Biaya sebesar itu tentu tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terlebih Zafran sudah bersekolah dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Itulah alasan terbesar Zara memutuskan mencari uang sendiri. Dia kebetulan bekerja menjadi cleaning service di sebuah perusahaan properti.
Zara memutuskan membungkam mulut. Dia hanya memegangi pipinya yang terasa begitu sakit. Zara sangat ingin menangis. Tetapi dirinya lebih memilih berlagak kuat. Ia tidak mau terlihat seperti wanita lemah di depan Anton.
"Berdiri dan buka semua pakaian kamu! Kalau nggak ada makanan, bercinta pun jadi!" titah Anton sambil memaksa Zara berdiri.
"Aku nggak mau! Aku lagi hamil, Mas!" tolak Zara. Dia melepaskan pegangan Anton dengan paksa.
"Jangan bohong! Perut kamu masih datar begitu kok!" Anton bersikeras. Dia menarik daster yang dikenakan Zara. Kemudian melepas pakaian tersebut secara paksa.
"Perut aku masih datar karena kehamilannya baru satu minggu! Ini masih rawan, Mas!" Zara tidak ingin kalah. Dia melakukan perlawanan sekuat tenaga.
"Jangan banyak alasan!" Anton terus menarik pakaian Zara. Hingga kancing-kancing pakaian tersebut copot semua. Sekarang dia dapat menyaksikan belahan dada istrinya yang menggoda.
Zara akhirnya menangis. Sebenarnya ini bukan pertama kali dirinya mendapatkan perlakuan kasar. Semua sudah dia hadapi selama tujuh tahun lamanya.
Setiap kali Anton meminta berhubungan badan, dia selalu melakukannya dengan paksaan. Sesuatu yang pastinya tidak disukai oleh setiap wanita di muka bumi ini.
Terkadang Zara berpikir, 'Apakah ada seorang istri yang merasa diperkosa oleh suaminya sendiri? Adakah seseorang yang mengalami hal sama dengannya? Jika ada, apa yang akan mereka lakukan?'
Zara dibawa paksa oleh Anton masuk ke kamar. Dihempaskan begitu saja ke atas kasur. Saat itulah Anton melepaskan celana. Penyatuan kasar akhirnya terjadi.
Zara memasang ekspresi datar. Sesekali cairan bening jatuh di pipi, seiring goncangan yang diberikan oleh Anton. Dia merasa bagian bawah tubuhnya sangat sakit. Anton benar-benar melakukannya hanya untuk kepuasan sendiri.
Setelah sekian menit berselang, sentuhan Anton yang terasa seperti neraka akhirnya selesai. Wanita itu segera berjalan menuju kamar mandi. Ia menemukan alat vitalnya mengeluarkan banyak darah.
Wajah Zara meringis sambil membersihkan darah yang meleleh di kedua kakinya. Besok dia berniat memeriksa keadaan janinnya ke rumah sakit.
Sehabis membersihkan diri, Zara segera membersihkan kekacauan yang tadi disebabkan Anton. Selanjutnya, barulah dia kembali ke kamar Zafran. Untung saja putranya itu tidak terbangun saat keributan terjadi. Sungguh, Zara tidak pernah menyesali kehadiran Zafran dalam hidupnya.
Terkadang Zara teringat dengan ayah kandung Zafran. Ia sudah bertahun-tahun tidak berhubungan dengan pria itu. Zara sengaja menjauh karena suatu alasan. Sesuatu yang kemungkinan bisa diartikan sebagai keegoisan.
Satu malam berlalu. Di pagi hari Zara sudah sibuk membuat sarapan. Kali ini dia memasak telor mata sapi. Zara dan Zafran sarapan bersama di meja makan.
"Bunda, Ayah kenapa nggak ikut sarapan?" tanya Zafran.
"Ayah kecapekan, Ran. Nanti bisa makan sendiri kok," kilah Zara sembari merekahkan senyuman tipis.
Salah satu alasan Zara masih bertahan menjadi istri Anton adalah karena Zafran. Walau sering mabuk dan main tangan, Anton cukup bisa membaur dengan Zafran. Putranya itu sudah menganggap Anton sebagai ayahnya sendiri. Terlebih Zara juga tidak pernah memberitahukan kenyataan, bahwasanya Anton bukan ayah kandung Zafran.
"Sudut bibir Bunda kenapa? Kok kayak ada luka gitu?" Zafran memicingkan mata. Memperhatikan luka kecil yang terukir di sudut bibir Zara. Luka tersebut tentu disebabkan oleh tamparan yang diberikan Anton tadi malam.
"Ini cuman luka kecil. Kamu nggak usah khawatir. Kalau udah selesai, kita siap-siap pergi sekolah yuk!" ajak Zara yang langsung direspon Zafran dengan anggukan kepala.
...༻◐༺...
Zara baru saja selesai mengantar Zafran ke sekolah. Selanjutnya, dia pergi ke sebuah rumah sakit terdekat. Di sana Zara melakukan pemeriksaan terhadap kondisi janinnya.
"Maaf sebelumnya, Bu. Anda mengalami keguguran," ujar Dokter memberitahukan.
"Ah... begitu ya?" Zara memasang raut wajah datar. Seakan kabar yang didapatnya bukanlah apa-apa.
"Yang sabar ya, Bu. Masih ada banyak kesempatan buat Ibu, kok. Usia Ibu masih terbilang muda. Baru dua puluh empat tahun loh." Dokter mencoba menenangkan. Namun Zara hanya membalas dengan senyuman singkat.
Sebelum pergi, Zara tidak lupa diberikan resep obat dari dokter. Dia dipersilahkan mengambil obatnya ke apotek yang ada di bagian depan rumah sakit.
Zara berjalan dengan pergerakan berat. Langkahnya harus terhenti tatkala menyaksikan lelaki tidak asing. Lelaki itu tidak lain adalah teman dekat Zara saat SMA.
Raffi namanya. Dia adalah lelaki paling populer saat sekolah. Raffi terlihat mengenakan jas putih. Setelan yang biasanya dikenakan oleh para dokter pada umumnya. Raffi tampak sumringah dan tetap tampan seperti dulu.
Zara bergegas bersembunyi ke balik dinding. Dia tidak mau berhadapan dengan salah satu orang yang berkaitan erat terhadap masa lalu. Kebetulan Raffi bersahabat dekat dengan ayah kandung Zafran.
Zara sengaja menghindar dan memutuskan kontak dari segala hal yang berhubungan dengan ayah kandung Zafran. Dia melakukannya karena terlanjur berjanji kepada seseorang.
Raffi berjalan melewati tempat persembunyian Zara. Dia tentu tidak menyadari kehadiran Zara.
Merasa keadaan sudah aman, Zara segera berderap menuju apotek. Dia langsung pergi setelah mendapatkan obat.
Kegiatan Zara seterusnya adalah bekerja. Perusahaan di tempatnya sedang mengalami krisis. Jadi banyak karyawan yang mengalami pemberhentian kerja paksa.
Untungnya seluruh pekerja cleaning service dipertahankan pihak perusahaan. Jadi Zara tidak perlu khawatir untuk mencari pekerjaan baru.
"Kak Zara, katanya perusahaan ini udah dijual sama Pak Tio. Aku dengar penggantinya akan datang ke perusahaan hari ini," celetuk Susan. Gadis yang masih berkuliah, tetapi memilih sibuk melakukan pekerjaan paruh waktu.
"Yang bener?" tanggap Zara seraya memaju mundurkan kain pel.
"Iya, katanya masih muda loh. Kali aja bisa jadi jodohku... ckck..." Susan cengengesan sendiri. Membayangkan dengan ekspetasi tinggi.
"Elaah... selesaikan kuliahmu dulu loh. Baru mikirin nikah. Jangan sampai nasibnya kayak aku," ujar Zara. Memberikan wejangan.
"Iya deh, Kak. Tapi nggak ada salahnya kan berharap? Hehehe..." Susan tersenyum malu. Membuat Zara tidak kuasa untuk geleng-geleng kepala.
"Zara! Nanti bersihkan toilet khusus direktur itu ya! Baru kamu bisa pulang. Pinggangku encok banget," seru Irma. Wanita paruh baya yang juga merupakan rekan kerja Zara di bagian cleaning service.
"Oke... tapi bonusnya ada kan Mak?" balas Zara sambil mengacungkan jempolnya.
"Ish! Bonus mulu toh pikiranmu. Jangan pikirkan itu, aku pasti kasih kok. Yang jelas gantiin dulu kerjaanku, aku mau jemput keponakan ke terminal. Duluan ya!" Irma melambaikan tangan. Lalu beranjak masuk ke ruangan khusus cleaning service.
"Siap, Mak!" Zara dan Susan menjawab secara serempak.
"Kalian bisa tenang nggak? Karyawan-karyawan perusahaan sedang sibuk loh. Jangan bikin keributan!" tegur Wira. Petugas resepsionis yang sedari tadi memperhatikan sikap Zara dan Susan.
"Karyawan? Sebagian besar pada belum datang kok," tanggap Susan.
"Kamu kenapa ikut bersih-bersih di sini? Bukannya yang bersihin lobi tiap senin itu Kak Zara ya?" sahut Wira. Kedua tangannya menyilang di depan dada.
"Hehe... aku mau lihat direktur baru muncul dulu. Baru bersih-bersih ke lantai tiga." Susan menjawab dengan malu-malu.
Wira berdecak sambil geleng-geleng kepala. Dia berusaha memaklumi gadis yang berusia satu tahun lebih muda darinya itu.
Zara terkekeh geli. Setiap bekerja, dia selalu saja dibuat terhibur oleh rekan-rekan kerjanya.
Hari sudah menunjukkan jam 07.30, barulah banyak karyawan perusahaan berdatangan. Mereka datang silih berganti.
Topik mengenai kedatangan direktur baru menjadi berita terhangat di perusahaan. Banyak yang sudah tidak sabar menanti kedatangan lelaki tersebut. Tetapi tidak untuk Zara. Dia satu-satunya orang yang tidak tertarik.
Dari kejauhan terlihat seorang pria berjalan kian mendekat. Beberapa karyawan segera berlarian ke lobi. Mereka yakin kalau pria yang datang adalah direktur baru.
Tap...
Tap...
Tap...
Suara derap langkah sepatu pantofel itu terdengar menghentak pelan. Berjalan melalui pintu berbahan kaca.
"Selamat datang, Tuan Gamal. Terima kasih sudah bersedia mengambil alih perusahaan ini. Jika Tuan tidak melakukannya, kami mungkin akan jadi pengangguran sekarang." Elena yang bertugas menjadi sekretaris menyapa lebih dulu. Mengenai informasi direktur baru, memang dia satu-satunya orang yang tahu.
"Sama-sama, tapi aku tidak menjamin bisa memimpin dengan baik. Aku terbilang masih pemula. Tapi aku akan melakukan yang terbaik," sahut Gamal yang tidak lain adalah direktur baru. Pewaris utama keluarga Laksana.
"Kenalkan semuanya! Dia direktur baru kita. Tuan Gamal Laksana!" ungkap Elena. Bersuara nyaring. Semua karyawan lantas saling berkenalan satu per satu.
Zara yang masih berada di sekitaran lobi, berhenti dari kegiatan bersih-bersih. Jantungnya berdetak kencang saat mendengar nama Gamal disebutkan.
Tanpa pikir panjang, Zara segera menoleh ke belakang. Memastikan nama Gamal yang disebutkan adalah orang yang dikenalnya atau tidak.
Pupil mata Zara membesar seketika. Mulutnya sedikit menganga. Bagaimana tidak? Gamal yang dilihatnya adalah orang yang dia kenal. Cinta sekaligus pacar pertama Zara saat masih SMA. Bukan itu saja, Gamal juga merupakan lelaki yang hingga sekarang berusaha untuk dihindarinya. Lelaki yang tidak lain adalah ayah kandung Zafran.
Zara membeku di tempat. Masih merasa tidak percaya atas apa yang terjadi. Terutama saat mata Gamal tidak sengaja bersibobrok dengannya.
Deg!
Jantung Zara semakin bertabuh tidak karuan. Meskipun begitu, dia terpaku menatap sosok Gamal. Sejujurnya ada rasa rindu yang Zara rasakan. Bayangkan saja, selama tujuh tahun dirinya tidak bertemu lelaki tersebut.
Gamal juga sempat terkesiap menyaksikan Zara. Namun itu tidak berlangsung lama. Karena Gamal disibukkan dengan para karyawan yang ingin cari muka dengannya. Ia segera beranjak menuju kantor direktur utama. Di antar oleh Elena, selaku sekretaris yang akan menemani Gamal selama bekerja.
Zara mendengus lega. Dia merasa Gamal tidak akan memperdulikannya. Lagi pula semuanya sudah berlalu. Tidak ada gunanya terus berkutat pada masa lalu. Zara juga yakin, Gamal pasti mempunyai pasangan hidup yang luar biasa.
'Aku yakin. Gamal pasti marah, terus lupain aku. Bagus deh.' Zara menyimpulkan sendiri. Ada rasa kecewa dan senang yang bercampur aduk.
Sengaja menghilang dari kehidupan Gamal, itulah yang dilakukan Zara tujuh tahun lalu. Dia terpaksa melakukannya karena melakukan perjanjian dengan Afrijal. Lelaki paruh baya yang tidak lain adalah ayahnya Gamal sendiri.
Afrijal tidak pernah menyukai Zara. Dia rela berbuat apapun untuk membuat Zara pergi dari kehidupan Gamal. Sehingga tawaran uang puluhan juta rupiah berhasil meruntuhkan cinta Zara. Perempuan itu rela menjauh dari Gamal hanya demi uang.
...༻◐༺...
Setibanya di kantor direktur, Gamal mencegat kepergian Elena. Menanyakan sesuatu hal yang sejak tadi ingin ditanyakan.
"Cleaning service yang di lobi tadi. Itu namanya siapa ya?" Gamal memastikan. Dia takut apa yang dilihatnya hanyalah halusinasi. Selama tujuh tahun terakhir hal seperti itu sudah beberapa kali terjadi. Tidak jarang Gamal menanggung malu atas hal tersebut. Itulah sebabnya tadi dia mengabaikan Zara mentah-mentah. Seolah apa yang dilihatnya adalah angin lalu.
"Cleaning service?" Elena menguak memori dalam otak sejenak. Setelah berhasil mengingat, dia berucap, "Ah... yang di lobi tadi itu namanya Zara. Kenapa ya Tuan?"
Deg!
Sekali lagi jantung Gamal berdegub kencang. Kepastian tentang Zara membuatnya menghela nafas. Ia sempat membisu dalam sesaat.
"Tuan?" Elena yang penasaran, masih menanti jawaban Gamal. Panggilannya itu sukses menyadarkan keterpakuan Gamal.
"Eh... nggak apa-apa kok. Dia cuman mirip sama kenalanku aja. Tapi ternyata aku salah," kilah Gamal sembari memaksakan diri untuk tersenyum. "Ya sudah, kamu bisa pergi!" suruhnya.
"Kalau ada apa-apa, Tuan bisa memanggilku. Kursiku ada di luar, dan..." Elena mengaitkan anak rambut ke telinga. Menampakkan bagian rahang terbaiknya. Dia jelas sedang berusaha merayu Gamal. Elena juga menyilangkan kakinya, agar kedua pahanya yang mulus terlihat lebih menggoda. Ia kebetulan mengenakan rok ketat yang memiliki belahan cukup tinggi.
"Bukankah ini hari pertamaku? Apa pantas kau bersikap begini?" tukas Gamal ketus. Memancarkan pelototan yang tak pernah Elena duga.
"Ma-maaf, Tuan..." ungkap Elena. Dia menundukkan kepala. Bergegas memperbaiki rambut serta pakaian.
Ponsel Gamal mendadak berdering. Elena lantas berpamitan keluar dari ruangan. Saat itulah Gamal mengangkat panggilan telepon yang tidak lain dari Afrijal.
"Gamal, bagaimana hari pertamamu? Papah nggak sabar lihat kamu memimpin perusahaan yang sedang jatuh itu," ujar Afrijal dari seberang telepon.
"Aku sedang berusaha, Pah..." jawab Gamal seraya duduk menghempas ke kursi kerjanya.
"Kamu tidak lupa dengan janji jam tujuh malam nanti bukan?"
"Tentu, Pah. Gimana aku bisa lupa. Papah nggak usah khawatir, sekarang aku kan sudah berubah. Kali ini aku akan..." Gamal ragu untuk melanjutkan. Ingatannya tentang keberadaan Zara membuat pikirannya tidak karuan.
"Gamal? Kenapa kamu tiba-tiba diam?" imbuh Afrijal. Menyebabkan lamunan Gamal buyar seketika.
"Ada sesuatu yang aku pikirin, Pah. Nggak penting kok." Gamal memberikan alasan asal.
"Ya sudah, pokoknya jangan sampai kecewakan Selia. Setahuku dia gadis berpendidikan dan berasal dari keluarga Aksara. Papah yakin kamu akan menyukai Selia."
"Baiklah, Pah..." Gamal menjawab seadanya. Pembicaraan mereka berakhir, saat Afrijal mengakhiri panggilan lebih dulu.
Gamal mengusap kasar wajahnya. Dia tidak habis pikir. Kenapa Zara kembali muncul di waktu yang tidak tepat? Tekad Gamal yang tadinya ingin menuruti keinginan Afrijal, goyah begitu saja.
Sekali lagi Gamal berkutat pada ponsel. Mencoba menghubungi Raffi. Tidak perlu menunggu lama untuk menunggu panggilan terjawab.
"Cie... Pak Direktur. Gimana? Enak nggak, bisa beneran jadi bos?" sambut Raffi dari seberang telepon. Dia dan Gamal memang tidak pernah memutuskan kontak. Bahkan ketika sama-sama berada di luar negeri sekali pun.
"Baru juga aku datang ke perusahaan! Oh iya, aku nemu sesuatu yang mengejutkan di sini!" seru Gamal.
"Apaan?"
"Zara, Raf! Aku ketemu Zara!"
"Beneran? Dia kerja di tempatmu? Jangan bilang dia jadi sekretaris?" Raffi terdengar begitu kaget.
"Nggak tuh. Dia jadi OB. Anjir! Aku nggak nyangka!" keluh Gamal. Berjalan bolak-balik tidak karuan. Elena yang dapat menyaksikan dari luar, hanya bisa mengernyitkan kening.
"Bukannya kamu marah sama dia ya? Zara udah ninggalin kamu selama tujuh tahun. Tanpa kabar dan menghilang kayak ditelan bumi. Dan dia sekarang muncul pas kamu mau tunangan? Gila sih." Raffi terdengar menghembuskan nafas kasar. "Terus gimana respon dia pas lihat kamu?"
"Zara agak kaget gitu sih. Tapi seterusnya, dia biasa aja." Gamal akhirnya lelah dan memutuskan duduk di sofa.
"Abaikan aja dia, Mal. Kalau aku jadi kau, itu sudah yang aku lakukan. Lagian kamu kan udah lupain dia."
Gamal menggaruk kepalanya tanpa alasan. Lalu menyahut, "Ya iyalah! Ngapain aku masih berharap sama dia."
"Bagus deh. Kau mending fokus sama kerjaan dan rencana pertunangan. Semoga berhasil ya pertemuannya malam ini," harap Raffi. Obrolannya dan Gamal segera berakhir.
Gamal mencengkeram kepalanya sendiri. Lalu mencoba membuang jauh-jauh segala hal tentang Zara.
'Ngapain juga aku mikirin cewek itu,' batin Gamal. Dia masih belum mengetahui kalau Afrijal-lah yang telah membuat Zara pergi dari hidupnya.
Gamal menyibukkan diri untuk melihat berkas-berkas yang ada di meja. Dia mencoba mencari-cari sesuatu agar bisa membuat perusahaan Relangga Grup bisa maju lagi. Gamal cukup lama terfokus dengan berkas-berkas tersebut.
Tok!
Tok!
Pintu terdengar diketuk dua kali. Ada Zara di depan pintu. Ia membawa perlengkapan kebersihan. Dia hendak membersihkan toilet pribadi direktur.
Jujur saja, Zara sudah beberapa kali menenggak salivanya sendiri. Entah kenapa dirinya merasa gugup berhadapan dengan Gamal. Zara takut akan lupa diri. Ia terus saja menjadikan cincin pernikahannya sebagai pengingat. Cincin itu tampak selalu tersemat di jari manisnya.
"Masuk!" sahut Gamal.
"Permisi, Tuan. Aku mau bersihin toiletnya..." ujar Zara. Bersikap enggan.
"Iya, silahkan." Gamal tak acuh. Dia memilih berlagak seakan tidak mengenal.
Zara membungkuk hormat sejenak. Ia sepertinya juga memutuskan bersikap layaknya orang asing. Kemudian bergegas masuk ke dalam toilet.
Setibanya di toilet, Zara reflek mengelus dadanya berulang kali. Dia bahkan menepuk dadanya dengan perasaan kesal.
'Kamu kenapa sih?! Kenapa jadi berdebar-debar gini? Ingat, Ra! Kamu itu sudah punya suami dan anak! Biar suami kamu begitu, dia tetap suami kamu.' Zara mencoba menegur dirinya sendiri.
Hal serupa juga dirasakan Gamal dari meja kerja. Sekarang pria itu mencoba mengalihkan pikirannya dengan membuka berkas-berkas yang ada.
Tanpa disangka, Gamal malah terkena panggilan alam. Sungguh, dia sangat kesal. Alam seolah mendesaknya untuk berhadapan dengan Zara.
"Gila! Kenapa harus sekarang coba!" keluh Gamal kesal. Satu tangannya memegangi bagian alat vital. Keinginan untuk buang air kecil begitu menuntut.
"Ahh! Dari pada burungku mencuat. Lagian itu kan cuman Zara!" Gamal mencuci otaknya sendiri. Kemudian berlari masuk ke dalam toilet. Sosok Zara tentu langsung menyambut penglihatannya.
Melihat kemunculan Gamal, jantung Zara rasanya hampir copot. Dia hanya membulatkan mata seraya memegangi tongkat pel dengan erat.
"Kamu keluar dulu sana!" perintah Gamal.
Zara tidak bergeming. Ia seakan terhipnotis. Atensinya tertuju ke arah dua kancing kemeja Gamal yang terbuka. Dada bidang pria tersebut sedikit mengintip. Kalung emas putih yang sepertinya mahal, melingkar di sekitar leher Gamal.
Bukan hanya itu, badan Gamal terlihat lebih atletis dibandingkan dulu. Zara yakin selama tujuh tahun terakhir, Gamal rutin belorahraga di gym.
"Eh! Aku mau kencing loh. Mau lihat aku kencing?" tegur Gamal.
Zara tersentak. Dia bergegas keluar dari toilet dan memberikan ruang untuk Gamal. Pintu langsung ditutup pria tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!