Anna Warren adalah sosok gadis yang mandiri, dibalik latar belakang keluarganya yang kaya. Ia tak pernah dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Mereka lebih mementingkan kekayaan dibandingkan harus mempedulikan anak semata wayang mereka. Sejak kecil, ia selalu menderita penyakit jantung bawaan Tricuspid Atrisea, yang mengharuskannya untuk menjalankan operasi jantung sejak masih bayi. Akan tetapi, hidupnya tak aman setelah ia menjalankan operasi. Ia mengkonsumsi obat-obatan agar menyokong hidupnya, namun tak sesederhana itu.
Banyak kejadian yang aneh untuk mendeskripsikan masalah penyakitnya. Hidupnya dipertaruhkan oleh seseorang untuk membalaskan dendam. Dia adalah sosok gadis yang malang. Menjadi boneka, bukanlah pilihan yang tepat. Ia tak tahu apapun. Tetapi dia berusaha untuk tegar dan tak mengandalkan siapapun.
Dibalik keterpurukan Anna yang menyiksa, ada sesosok pria yang setia menemani disampingnya. Ia rela melindungi dan menghabiskan waktu bersamanya. Dia adalah Zion, pria yang memiliki sejuta pesona yang telah jatuh hati pada Anna. Ia rela melakukan apapun untuk melindungi gadis tersebut. Selain itu, ia adalah pria pertama yang selalu membuat gadis itu tersenyum.
Keberanian dan tekad kuat yang dimiliki Anna, membuat seorang pria lain jatuh hati padanya. Pria itu adalah Jay. Ia memiliki kharisma yang kuat. Jay selalu melihat berbagai macam wanita didunia ini. Tetapi, saat melihat Anna, ia berpikir gadis itu berbeda dari yang lain. Kehadiran Anna mampu menjungkirbalikkan kehidupan Jay. Baginya, Anna adalah cinta pertamanya. Dan dia akan melakukan segala cara agar mendapatkan hatinya. Jay merupakan pria ambisius yang ingin mendapatkan apa yang ia mau.
Perjalanan cinta Anna yang terasa asam manis, membuatnya harus memilih antara Zion atau Jay. Hatinya memilih untuk memegang prinsip, akan tetapi sikap Jay yang licik, membuat dirinya tak bisa berkutik. Jay mampu menggunakan kelemahan Anna untuk mendekatinya. Jay memiliki sejuta rencana untuk membuat Anna berada disisinya. Suka atau tidak, cinta atau tidak, benci atau tidak, Anna memiliki rencana lain untuk disisi Jay.
"Kau adalah milikku." Ujar Jay. Ia tak peduli menggunakan cara apapun untuk mendapatkannya. Ia hanya ingin gadis itu.
Dibalik itu semua, Jonathan, Kakak Anna tak membiarkan satu lelaki manapun mendekati gadis tersebut. Ia rela membunuh siapapun yang berani mengganggu rencananya. Ia adalah manusia berhati iblis. Sikapnya yang manis dibalik ketampanannya adalah sisi palsunya. Anna berpikir, hanya Jonathan, satu-satunya pria yang selalu peduli diantara keluarganya. Namun, keterpedulian Jonathan hanya sebatas untuk menghancurkan keluarga Anna.
Ketika Anna diperhadapkan pada masalah keluarganya, sanggupkah ia melindungi keluarganya dari segala bahaya yang menimpa dirinya atau keluarganya? Keinginan Anna hanyalah sederhana, bahagia bersama orang yang ia cintai tanpa memikirkan harta atau kedudukan. Namun, jalan hidupnya begitu rumit, ia tak ingin menjadi sosok gadis yang hanya berdiam diri dan seolah tak tahu apa-apa. Anna tak ingin melihat orang-orang yang ia cintai terluka.
Sanggupkah Anna bertahan dari segala lika-liku kehidupan yang ia jalani? Antara cinta, pengorbanan, amarah, dan dendam, jalan manakah yang ia pilih? Haruskah ia mengorbankan seluruh hidupnya untuk mendapatkan cinta yang ia mau? Atau ia harus kehilangan cinta itu sendiri dan memilih seorang pria yang tak ia cintai? Takdir seseorang tak bisa ditebak dan seringkali takdir mempermainkan hidup seseorang. Tetapi, Anna bukanlah gadis bodoh yang menyerah akan takdir. Ia bisa mengubah segalanya.
Happy Reading~~
Sesosok gadis cantik bernama Anna terbaring ditempat tidur dengan wajah yang tenang. Ia mengusap mata. Dengan mata yang masih belum buka sepenuhnya, ia meraba benda yang mengusik tidurnya.
"Ehn..." Anna menggeliat, menguasai area tempat tidurnya.
Tangannya berhasil menggapai benda yang berdering setengah jam yang lalu. Ponsel dengan casing Minnie Mouse bergelayut manja ditangan mungilnya. Ia menatap layar ponsel untuk melihat jam. Setengah kesadarannya kembali, ketika jam itu menunjukkan pukul 7.
Akan tetapi, rasa kantuknya kembali menggerogotinya. Ia terlalu lelah untuk melangkah seusai menghadiri acara bersama Ibunya semalam. Tubuhnya yang lemah mempengaruhi detak jantung yang tak stabil. Kini, ia merasakan nyeri didada. Ia tak menyerah. Ketegaran hatinya, melampaui segala rasa sakit yang ia rasakan.
Anna melangkah ke Wastafel untuk membasuh wajah kusamnya. Setelah usai, ia mengambil ponsel, lalu menuruni tangga. Ia duduk di salah satu kursi makan berwarna cream. Tatapannya tertuju piring yang terisi sandwich. Anna tersenyum kecut karena ia hanya sendirian.
"Mira!" panggil Anna pada salah satu asisten rumah tangga di Rumahnya.
"Nona, ada apa?" tanya Mira. Ia datang cukup cepat.
"Apa mereka sudah berangkat ke kantor?" tanya Anna, raut wajahnya datar.
"Iya, nona. Sudah dua puluh menit yang lalu," jawab Mira ramah.
"Apa mereka menitip pesan?"
"Nyonya hanya bilang, nanti sore nona Anna harus menghadiri peragaan busana bersama nyonya."
"Baiklah. Terima kasih."
"Apa nona mau sarapan? Saya akan menyiapkan sarapannya, nona."
"Tidak usah. Biar aku saja," Anna mengulas senyuman tipis.
Anna mengambil piring. Lalu, meletakkan dua potong sandwich diatas piring. Ia juga menyiapkan pisau kecil yang digunakan khusus buat memotong sandwich serta garpu. Tangannya digerakkan dengan sempurna.
Merasa bosan, ia membuka handphone. Ada WhatsApp masuk dari Zion yang menyemangatinya dengan emoticon senyum. Anna tesenyum, walau isi pesannya sederhana. Sekelebat, ia teringat akan Ax Group, perusahaan yang dikelola oleh Ayahnya. Ia membuka group WhatsApp, namun tak menemukan sesuatu yang ia cari.
Ia berinisiatif menanyakan pada seorang sekretaris Ayahnya, Merry lewat chat. Merry menceritakan segalanya termasuk tentang proyek gagal yang Ayahnya dapatkan. Proyek itu bernilai milyaran rupiah. Karena tak mampu menampung segala pertanyaan didalam benaknya, ia memanggil supir pribadi nya, Parta untuk mengantarkan ke Ax Group.
°°°°°°°°°°°°°°°°°☆☆°°°°°°°°°°°°°°°°°
Jalanan yang macet, membuat Anna sedikit kesal. Ia menahan segala kekesalannya sambil menghela nafas. Sekitar 30 menit, ia tiba dikantor. Beberapa dari mereka tersenyum padanya, ada yang terlihat sibuk sehingga tak tahu keberadaan Anna, dan ada juga yang tak terlalu mempedulikan kehadirannya. Anna bersikap acuh.
"Nona Anna!" sapa seorang gadis. Ia mengenakan pakaian formal yang biasanya dipakai sekretaris pada umumnya.
"Merry!" senyuman mendarat dibibir mungil Anna.
"CEO ada di ruangannya," ujar Merry, seolah-olah tahu Anna ingin menemui Ayahnya.
"Terima kasih," Anna menghela nafas sesaat, sebelum ia membuka pintu ruangan tersebut.
"Ayah!" panggil Anna, sembari tersenyum pada Robert.
"Apa yang kamu lakukan disini?" ujar Robert. Nada suaranya tak bersahabat.
"Anna sudah melihat berita apa yang terjadi pada Perusahaan. Anna akan bantu sebisa mungkin," tegas Anna.
"Buat apa? Kamu masih terlalu muda untuk terlalu ikut campur dalam mengurusi masalah ini. Toh, kamu akan pergi ke peragaan busana nanti."
"Hmm... Anna pikir jika ada keganjalan dalam proyek itu. Apa ayah tidak curiga sama sekali?"
"Kamu pikir ini hal mudah yang bisa dikerjakan olehmu," tukas Robert dengan suara lantang.
"Setidaknya... Anna ingin berusaha. Tolong, ijinkan Anna untuk menangani masalah ini!" ucap Anna. Ia berusaha untuk tetap tersenyum.
"Jika kamu mengacau lagi kayak waktu itu, aku tak ingin melihatmu datang ke kantor ini lagi!"
"Anna mengerti. Anna tidak akan mengecewakan Ayah," Anna bertahan agar tak menangis. Sejujurnya, ia bisa menahan perilaku sang ayah pada nya, tetapi terkadang ia lelah. Ia selalu berpikir, keberadaannya selama ini tak berarti apa-apa.
"Baiklah, kalau begitu, ini semua data-data dari proyek yang ayah kerjakan. Jangan sampai kamu mengacaukannya!" ujar Robert tegas.
"Baik, Ayah," Anna mengambil berkas itu dan memilih tempat yang nyaman untuk melihat berkas-berkas tersebut. Ia memilih untuk tak berada didekat Ayahnya, karena ia ingin bisa lebih fokus untuk mempelajari itu semua.
Anna memilih kantin sebagai tempat yang cocok untuknya. Ia duduk disebuah kursi yang letaknya di dekat jendela. Namun, suasana disana terlihat sepi. Tiba-tiba, seseorang datang dan menutup kedua mata Anna. Anna sedikit terkejut, namun ia tak bisa lupa akan aroma tubuh pria yang ia kenali.
"Zion?" terka Anna. Ia mencium parfum yang biasa dipakai Zion.
"Padahal aku ingin mengejutkanmu," kata Zion sambil mengerucutkan bibir.
"Aku kan gak bisa dibohongi," ucap Anna sambil terkekeh.
"Kamu serius amat," ujar Zion. Anna tak menggubrisnya.
"Apaan itu?" Ia melihat berkas dokumen yang ada pada Anna.
"Proyek gagal yang pernah Ayah kerjakan. Aku harus memeriksa dengan teliti," tutur Anna dengan raut wajah serius.
"Ah, yang itu."
"Seharusnya kamu memberitahuku," ucap Anna kecewa.
"Aku gak ingin melihat wajahmu yang seperti zombie," ujar Zion, namun Anna tak menjawab. Tiba-tiba Zion mencubit pipi Anna sambil tertawa.
"Hei, ayolah! Aku lagi serius," Anna terlihat jengkel.
"Aku tahu, nona serius. Hanya saja, kamu harus ingat dengan kesehatanmu."
"Aku tahu," ucap Anna datar.
"Sini, biar aku bantu," Zion menarik berkas itu.
"Tak perlu. Aku akan melakukannya sendiri," tolak Anna halus. Ia menarik berkas itu.
"Kenapa? Kamu tak percaya padaku?"
"Mana mungkin. Kamu sudah bekerja lama untuk ayahku."
"Lalu?"
"Aku hanya tak ingin membebanimu. Itu saja."
"Dasar, kau ini!" Zion kembali mencubit lembut pipi Anna, sehingga Anna tak merasakan sakit.
"Apa kamu sudah makan?" tanya Zion lembut.
"Ya, seperti itu lah."
"Pasti makan sandwich," terka Zion.
"Kamu selalu tahu."
"Tahu dong! Aku kan peramal hatimu," canda Zion.
"Makan dulu, gih sana," ujar Zion.
"Kamu mau aku terlihat gemuk?"
"Bukankah gemuk terlihat lebih sexy ?" bisik Zion. Wajah Anna memerah.
"Baiklah, kalau begitu aku akan mengambil sesuatu untuk kamu makan, nona diet."
"Lihatlah, badanmu yang kering gini! Mana ada cowok yang mau sama kamu dengan tubuh kurusmu," ejek Zion sambil tertawa kecil.
"Kau saja yang menikah denganku, nanti," cnda Anna.
"Yakin?" Zion mengeluarkan senjata puppy eyes nya.
"Mimpi!" Anna terkekeh sambil menatap Zion.
"Sudahlah, Ayo!" ajak Anna.
"Mau kemana, nona kering?"
"Kamu mengejekku lagi? Ya sudah lah, biarkan badanku penuh dengan tulang," ucap Anna pura-pura ngambek.
"Baiklah. Baiklah. Kamu tunggu disini saja. Biar aku yang mengambil sarapanmu. Oke?" ujar Zion mengalah.
"Oke. Terima kasih, Tuan yang baik hati," tutur Anna sambil tersenyum lebar. Entah kenapa, saat ada Zion, Anna seakan kembali seperti gadis kecil yang ingin dimanjakan. Semua kesedihan yang ia rasakan, hilang begitu saja. Dan Anna selalu banyak tersenyum pada sosok temannya itu. Tanpa mereka sadari, sepasang mata telah memperhatikan keduanya. Ia tersenyum, lalu memotret mereka dalam diam. Entah apa yang orang itu pikirkan.
Suara decitan mobil terdengar, seorang pengendara tak fokus apa yang didepannya, sehingga ia mengerem mobil secara mendadak. Beruntung, tak ada yang terluka. Namun, pengendara mobil didepannya, memaki dengan kata-kata kasar.
Ia tak peduli dan tak mau tahu apa yang orang itu teriakan. Jay tampak lelah akhir-akhir ini sehingga ia tak menperhatikan jalanan yang ramai. Ia hanya kesal dengan segala beban yang ia tanggung. Entah berapa banyak orang yang ia pecat akhir-akhir ini. Dia berpikir kalau kinerja mereka tak bagus.
Jay kehilangan banyak investor. Ia sudah melakukan segala upaya untuk membujuk mereka agar tak menarik saham mereka, tetapi itu sia-sia. Kepalanya terlalu pusing memikirkan itu semua. Ia menepikan mobil, lalu bersandar pada kursi kemudi. Tanpa sengaja, Ia melihat sebuah perusahaan Ax Group, senyum mendarat di bibir Jay. Pria itu mengambil ponsel, lalu menekan angka 1, nomor yang sering ia hubungi.
Ketika malam hari...
Jay menghadiri pesta dikalangan para elit. Senyuman melekat dibibirnya, tanpa menunjukkan beban yang ia pikul. Ia bersantai sejenak untuk sekadar menikmati pesta.
"Ternyata Jay, ya. Aku kira siapa. Kamu tampak berbeda dari yang sebelumnya. Aku hampir tak mengenalimu," ejek Javeline dengan nada sinis. Pria itu tetap tenang.
"Terima kasih atas pujiannya nona Javeline," Jay menyeringai. "Oh ya, aku tak melihat pria manis yang bersamamu," ujar Jay, seraya menaikkan satu alis.
"Kenapa? Kau tak sebanding dengan suamiku," sindir Javeline.
"Aku tak membahas suamimu."
"Aku hanya membahas selingkuhanmu," bisik Jay menyindir tanpa meninggalkan senyuman lebarnya. Kedua bola mata Javeline seakan copot karena kaget. Wanita itu tak menyangka Jay mengetahui perselingkuhannya dengan Victor, seorang pria kaya yang lebih muda darinya. Javeline pergi meninggalkan Jay dengan hati kacau balau. Jay menarik sudut bibirnya.
Jay tak memikirkan Javeline lagi, ia lebih memilih memperhatikan para pengusaha yang sibuk dengan pembicaraan mereka. Disanalah, ia tanpa sengaja melihat gadis cantik. Gadis itu mengenakan gaun polos berwarna navy, terlihat elegan di tubuhnya. Jay tersenyum dan mendekati gadis itu.
"Hai!" sapa Jay.
"Hai!" balas gadis itu dengan nada datar.
"Hanya itu? Kamu tak penasaran denganku, nona?" tanya Jay. Pria itu heran, dengan ketampanan yang dimilikinya tak membuat gadis tersebut tertarik.
"Maaf, saya kurang terbiasa berbicara dengan orang asing," ujar gadis itu datar. Jay berpikir, gadis didepannya unik.
"Namaku, Jay. Sekarang kita bukanlah orang asing." Jay mengulurkan tangan, tetapi gadis bernama Anna memilih diam. Jay menyeringai, ia tak menyangka bertemu gadis yang begitu menarik.
"Saya permisi sebentar," tutur gadis itu.
"Gadis yang aneh, tetapi aku semakin penasaran," pikir Jay.
Rasa pilu menghujam jantungnya. Anna menutup mata sambil menahan rasa sakit dibalik dadanya. "Jangan.. Jangan, sekarang!" batin Anna meringis.
Segala pikiran bergelayut dibenaknya. Ia tahu akan kondisi tubuhnya yang tak memungkinkan untuk menghadiri Pesta tersebut. Namun, daripada memilih menghadiri peragaan busana bersama ibunya, Anna ingin mencari keberadaan Jerry. Pria itu berhubungan dengan proyek Ax Group yang gagal. Ia datang bersama Zion, namun saat ini Zion menghilang entah kemana.
Pandangan Anna semakin lama, semakin kabur. Tangan Anna berselancar mencari obat yang ada ditas nya. Akan tetapi, obat itu tak ia temukan. Sepertinya, ia lupa membawa benda kecil itu. Anna tak bisa mengendalikan diri. Ia hampir terjatuh. Beruntung, seseorang menangkapnya. "Jay," pikir Anna. Lalu, pandangannya menggelap.
°°°°°°°°°°°°°°°°°☆☆°°°°°°°°°°°°°°°°°
"Sebenarnya apa yang terjadi padanya, dok?" tanya Jay pada dr. Miya.
"Pasien mengalami serangan jantung."
"Serangan jantung? Apakah separah itu?"
"Untuk saat ini, pasien butuh istirahat. Jika kondisinya lebih parah, akan ada pemeriksaan lanjutan."
"Baik, dok. Terima kasih.
Dokter Miya meninggalkan Jay. Pria itu tak menyangka gadis semuda seperti Anna mengalami serangan jantung. Ia menatapnya dengan cemas. Ia takut sesuatu yang buruk terjadi padanya.
Anna membuka mata secara perlahan. Ia mencium aroma pekat yang selalu ia kenali. "Rumah sakit," batinnya. Tiba-tiba Anna ingat, ia belum mendapatkan informasi tentang Jerry. Ia terbangun, tetapi Jay menahannya. Karena kekuatan yang dimiliki Anna kecil, ia menyerah.
"Jangan, dulu! Kamu masih perlu istirahat," ujar Jay khawatir.
"Tetapi saya tak bisa disini, Jay."
"Kau ingat namaku, ternyata," ucap Jay sambil tersenyum.
"Sudahlah. Saya harus pergi."
"Apa yang ingin kamu butuhkan? Aku akan membantumu," ucap Jay tulus.
"Tak perlu," Anna tak peduli akan kondisi nya. Ia memaksakan untuk bangun, tetapi dadanya kembali sakit. Jay menghela nafas. Ia gemas dengan tingkah gadis itu.
"Anna!" panggil seorang pria dengan nada khawatir. Ia tak menyadari keberadaan Jay.
"Zion!"
"Apa kau bodoh ya? Sudah berapa kali aku bilang untuk jangan lupa membawa obatmu," celetuk Zion. Ia memeluk Anna.
"Aku rasa tadi sudah kumasukkan," jawab Anna datar. Zion menyentil hidung gadis itu.
"Duh, dasar gadis ceroboh!"
"Wajahmu berantakan. Aku tak sanggup melihatmu," ucap Anna sambil terkekeh.
"Kamu lebih berantakan, Anna. Bahkan, anak anjing lebih cantik ketimbang wajahmu," goda Zion.
"Ah, jadi kamu menyamakan wajahku dengan anak anjing. Kalau begitu, sini aku gigit hingga wajahmu lebih jelek dariku," cibir Anna.
"Entar nyesel, loh," ledek Zion.
"Gak bakalan."
"Masa? Kamu gak akan bisa melihat wajah tampan ku lagi. Gimana, dong?" ledek Zion.
"Biarin aja. Biar gak ada yang mau sama kamu."
"Gak masalah. Asal kamu mau sama aku saja, itu sudah cukup," Zion menatap kedua mata Anna dengan lekat.
"Ehem..," suara Jay membuat Zion menoleh. Ia baru menyadari kehadiran Jay. Mereka saling bertatapan tak suka.
"Bagaimana keadaanmu sekarang? Apa masih sakit?" tanya jay.
"Sudah tidak apa-apa," jawab Anna. Anna juga tak tahu kenapa rasa sakitnya tiba-tiba hilang. Padahal, saat bangun ia masih merasakan sakit. "Mungkinkah.... Ah, tak mungkin," batin Anna melirik Zion.
"Terima kasih sudah membawa saya kemari," ucap Anna tulus.
"Tak masalah. Bicara santai saja denganku," senyuman tersungging dibibir Jay.
"Hei, kau siapa?" tanya Zion. Ia mengerutkan kening.
"Namaku Jay." Jay menjulurkan tangan, tetapi Zion tak merespon. Zion memutar kedua mata.
"Apa yang kau lakukan? Kamu menakutinya," ujar Anna.
"Sudahlah, lebih baik kamu istirahat. Aku gak mau kamu kenapa kenapa," ucap Zion.
"Iya, Mami," ledek Anna.
"Apa kamu akan pulang sekarang?" tanya Anna.
"Kenapa? Kamu mau aku menemanimu sepanjang malam?"
"Buat apa. Udah sana pulang. Gak usah mempedulikanku lagi."
"Kamu begitu menggemaskan," ucap Zion.
"Aku bukan anak anjing!" ujar Anna kesal. Ia mengira kalau Zion masih menyamai dirinya seperti anak anjing. Zion tersenyum melihat Anna kesal.
"Bukankah kamu juga harus pulang, Jay." Zion menatap tajam.
"Dia benar. Pulanglah! Ini sudah malam," pinta Anna pada Jay.
"Baiklah. Kamu tidak apa-apa sendirian?" tanya Jay.
"Aku gak apa-apa."
"Baiklah, kalau begitu aku akan pulang dulu," ucap Jay. Pikiran Jay berkecamuk. Ia tak tega melihat Anna. Tetapi bagaimanapun, ia harus pulang karena besok pagi ia bertemu dengan klien. Jay pun pergi.
"Kenapa kamu masih disini, Zion? Bukannya kamu juga mau pulang?" tanya Anna.
"Aku pikir sih gitu. Tetapi aku sangat bosan dirumah. Jadi, aku rasa tak buruk untuk menghirup aroma rumah sakit," elak Zion.
Pria itu terbaring disebuah sofa yang tak jauh dari tempat tidur Anna. Gadis itu tersenyum melihat Zion. Ia merasa nyaman berada didekat Zion. Sekelebat, Anna teringat kembali akan Jerry. Namun, kedua mata nya cukup lelah. Anna tenggelam dalam tidurnya.
Zion membuka mata dan melihat Anna tertidur pulas. Zion menelepon keluarga Anna untuk memberi tahu kondisi gadis itu. Dari yang ia dengar, ia tak yakin Robert datang. Zion menatap Anna sedih. Sepanjang malam, Zion memikirkan gadis tersebut tanpa mengenal rasa kantuk.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!