Ini Cast menurut versi author ya,,,, kalau kalian mau haluin yang lain juga boleh 😁.
...Namira...
...Emil...
***
Hai Readers,,,,
Karya baru dari saya telah datang, ini lanjutan dari kisahnya Namira sepupu Aretha sama Emil adik Fabrizio dari novel sebelumnya yang berjudul Aretha.
Simak kisah mereka selanjutnya dalam 100 hari menikah. Buat yang suka mohon dukungannya ya .... 😁 Kalau nggak suka tinggal skip aja, selamat membaca....😘😘😘
***
...BAB 1...
Menikah dengan seseorang yang tidak kita cintai dan juga tidak mencintai kita adalah suatu hal yang menjerumuskan ke dalam kehidupan yang menyiksa, itulah yang terjadi pada kami, aku dan dia, pewaris kedua dari O'clan Company yang sempat menjadi priaku, dulu.
Yah, setidaknya kami pernah berhubungan layaknya pasangan kekasih selama beberapa hari meski kata cinta tak pernah terungkap dari bibir kami. Oh, ralat, aku pernah mengakui perasaanku padanya sebelum aku tahu ia menjalin hubungan denganku hanya untuk mempermainkanku, lebih tepatnya agar ia dapat mencicipi rasa tubuhku.
Tapi itu hanyalah masa lalu yang harusnya segera kulupakan, andai pagi itu kami tidak mengalami kejadian buruk yang naasnya membuat kami terjebak dalam ikatan pernikahan yang dipaksakan, sebuah pernikahan kontrak yang telah kami sepakati bersama, antara aku, pihak pertama, Namira Hermawan, dan dia, pihak kedua, Emil Cornelius O'clan.
Bagaimana bisa pernikahan yang seperti ini akan berhasil? Sedangkan kami hidup layaknya orang asing meski di bawah naungan satu atap yang sama. Dan tercetuslah ide menikah kontrak.
"*Yang terjadi ini adalah kesalahan*." Emil menatapku tajam seolah menjelaskan bahwa rencana pernikahan yang dipaksakan oleh kedua orang tua kami ini adalah hal yang tak ingin ia lakukan.
"*I know that*!" terdengar ketus memang, aku hanya ingin menunjukkan padanya jika aku pun sama halnya seperti dirinya yang tak menginginkan pernikahan ini terjadi, meski aku harus mati-matian menyembunyikan batinku yang nyeri begitu perih mendapati penolakan darinya.
Bukankah itu sangat menyakitkan? Dia dalam keadaan sadar membawaku yang tengah dalam pengaruh obat perang.sang masuk ke dalam kamar VVIP keluarganya di hotel O'clan, lalu menindihku tanpa persetujuan dariku dan pada akhirnya kami tertangkap basah oleh keluarganya. Oh,,,, sungguh memalukan.
"*Aaahhh*!!" jerit seorang gadis muda terdengar sangat melengking mengganggu tidurku, hingga dengan malas aku membuka mata dan seketika kedua mataku membola sempurna.
Bagimana tidak? Aku terbangun di atas ranjang bertelan.jang tanpa sehelai benang bersama pria jahanam itu yang juga sama polosnya dengan diriku, tapi bukan itu yang membuatku sangat terkejut, melainkan di hadapan kami telah berdiri setidaknya empat orang dengan tatapan membidik tajam. Mereka adalah keluarga Emil yang berniat istirahat di VVIP room yang tengah kami tempati semalam.
Buru-buru aku menarik selimut putih tebal yang berada di bawah kakiku untuk menutup seluruh tubuh polosku, dan tak lupa kubagi sedikit untuk pria kunyuk itu sebagai penutup belalai panjangnya. Panjang? Ya,,,, miliknya memang Cobra, bukan cacing.
"*Apa yang kalian lakukan? Emil*?" teriak wanita tua yang kutahu dia adalah nenek si pria brengsek.
Setelah kejadian naas hari itu, beberapa hari kemudian kami dinikahkan, tentu kami melakukannya dengan terpaksa karena sebuah ancaman.
"*Menikah, atau terhapus dari hak waris O'clan Company*." begitu tegas pria tua yang Emil sebut sebagai Daddy.
"*Bunuh saja kami jika kau hanya ingin mempermalukan kami sebagai orang tua, Namira*." Itu adalah suara yang terlontar dari mulut ibuku. Terlebih linangan air mata ayah yang terbujur kaku membuatku tidak tega, ini memang salahku yang tak pandai menjaga diri hingga semua ini terjadi. Dan aku harus mempertanggung jawabkan kesalahanku, meski sebenarnya aku masih tetap menyalahkan si brengsek itu.
\*\*\*
Dan di sinilah kini kami berada, hidup dalam satu apartemen yang sama sebagai pasangan suami istri setelah kami sepakat menandatangani perjanjian yang kami buat bersama.
Poin pertama, **tidak boleh ikut campur urusan pribadi pasangan**, sebenarnya aku kurang suka, bukan dengan poin ikut campur urusan pribadinya, tapi lebih kepada kata pasangan, yang kurasa akan lebih tepat jika ditulis sebagai lawan.
Poin kedua, **tidak boleh memaksakan kehendak**, poin ini berurusan dengan permainan ranjang, kami bisa melakukan hubungan suami-istri jika kami sama-sama menginginkannya, tapi siapa juga yang ingin melakukan itu bersama pria brengsek yang sudah pernah mengataiku murahan, bahkan aku masih ingat jelas kalimatnya yang mengatakan, aku bisa menjajakkan diri kembali setelah kami berpisah dulu. Oh, Tuhan.... Rasanya aku ingin merobek mulut sialan itu.
Lupakan, lanjut pada poin ke tiga, **harus tampil mesra di depan keluarga**, ini yang paling menyebalkan, karena kami harus berpura-pura layaknya pasangan harmonis, romantis, modis, klimis, narsis, najis, ah,,,, bukan. Sudahlah, aku memang sangat kesal ketika kami harus berlakon seolah kami pasangan bahagia yang saling mencintai. Lengannya yang membentuk siku lalu aku akan mengapitnya mesra, *ufffhh*,,,, sepertinya aku pantas untuk menjadi seorang aktris setelah lepas dari kontrak sialan ini.
Poin ke empat, **pihak pertama tidak boleh hamil**, jika sampai kebobolan, kami akan membicarakannya ulang, pilihan terbaik yang muncul di otakku adalah menggugurkannya, tapi aku tidak akan seceroboh itu membiarkan dirinya menyentuh tubuhku dan membua.hiku. Jangan harap, namun kami tetap menulis poin ini, dan Emil sebagai pihak kedua meminta akan membicarakan ulang jika sampai hal itu terjadi, '*Jika sampai aku hamil*'.
Poin ke lima, **Pihak kedua wajib memberikan nafkah pada pihak pertama**, ini poin yang paling aku suka, sangat menguntungkan bagiku, itung-itung sebagai tambahan tabunganku, aku membutuhkan banyak uang nanti setelah hidup dengan label status sebagai seorang janda usai perceraian kami. Cerai, kenapa membayangkannya saja terlihat mengerikan?
Dan poin ke enam yang juga menjadi poin terakhir, **pernikahan hanya akan berjalan selama 100 hari**, setelah itu kami akan bercerai, kembali ke kehidupan masing-masing, melupakan semua yang pernah kami lalui seolah itu tak pernah terjadi.
Kami menandatangani bersama berkas perjanjian itu dengan penuh keyakinan. **100 hari menikah**.
Aku pribadi sangat percaya diri pasti bisa menjalani peranku dengan sebaiknya, namun aku tidak yakin, akankah aku mampu menjalani hidupku dengan baik setelah perceraian kami nanti? Sedangkan hatiku sangat lemah jika itu soal cinta, rasa, dan trauma.
Yah, seburuk apa dia melukaiku kemarin, nyatanya aku masih menyimpan rasa untuknya, namun sungguh aku tidak berani jika harus menyebut rasa itu adalah cinta, meski saat jauh darinya aku rindu, namun nyatanya saat bertemu lukaku semakin menganga terlepas dari trauma yang pernah ia cipta. Menganggapku lebih rendah dari wanita-wanita murah.
\*\*\*
"Emil,,,," teriakku dengan nada tinggi kira-kira 8 oktaf, seperti pagi-pagi sebelumnya, keributan, kegaduhan, dan kebisingan tak terelakkan dari apartemen kami yang berada di lantai 20 tengah kota Paris. Kami memutuskan pindah ke Perancis usai menikah. Takut jika sandiwara kami cepat terbongkar jika kami tinggal bersama keluarga di Indonesia.
"Qu'est-ce qui ne va pas?" tanya Emil malas '*ada apa*' dengan bahasa Prancis. Yah, setidaknya itu yang kumengerti karena bahasa prancisku tak sebagus itu.
"Sudah berapa kali aku bilang, buang sampah pada tempatnya, aku bosan harus membersihkan tisu-tisu berbau calon presiden, menteri, dokter, polisi, tentara yang kau buang sembarangan!"
"Kau bisa mengabaikannya, Nami, biarkan assisten yang membersihkannya, kenapa kau sangat suka mencari masalah dengan mengada-ada!"
"Berhenti memanggilku, Nami. Itu terdengar buruk, aku tidak suka." entah kenapa Emil tiba-tiba memiliki nama panggilannya tersendiri padaku, Nami. Padahal sebelumnya Emil memanggilku dengan nama biasa, Namira.
Emil hanya berlalu enggan menanggapi ocehanku sambil menguap siap kembali tidur ke kamarnya.
"Dan apa kau bilang? Assisten? Apa kau sadar dengan yang kau katakan? Kita hanya menggunakan jasa assisten satu Minggu sekali, apa kau ingin membuat gunung tisu sekumpulan calon anakmu yang terbuang sia-sia itu di dalam rumah kita?"
'***BRAK***!' pintu kamarnya tertutup rapat seiring suara gebrakan hasil dari karya tangannya yang membanting benda yang terbuat dari kayu itu dengan keras.
Yah, begitulah setiap harinya, perdebatan terselesaikan dengan pihak tersangka yang melarikan diri. Dan setelahnya? Kami kembali hidup bagai orang asing yang tak bertegur sapa. Baik di rumah, apalagi di luar, kami seperti dua insan yang saling tak terlihat dan tak mengenal. Membuatku jenuh dan tertekan. Tentu saja.
Apa cukup sampai di sana? Tidak, kegilaan masih berlanjut, banyak hal buruk yang Emil lakukan dengan sengaja untuk melukai hati dan perasaanku, apa lagi jika bukan tentang kebiasaanya yang suka bermain ja.lang, hura-hura, pesta. Dan yang terakhir, ja.lang lagi, dia memang tidak bisa jauh dari se.langka.ngan. Bahkan andai imanku tak kukuatkan, pasti aku sudah berada di bawah kungkungannya pada beberapa kali kesempatan. Tapi tentu aku tidak akan melakukan kebodohan itu, having se.ks without love is make me feel so hurts, aku harus bisa menjaga diri, setidaknya itu yang bisa kulakukan, karena untuk menjaga hati, aku telah gagal.
\*\*\*
Layar ponsel terus kugeser naik turun melihat-lihat laman lowongan pekerjaan, sudah sebulan lebih aku tinggal di kota asing ini tanpa melakukan apa pun yang berarti, hanya rebahan, makan, jalan, belanja, dan sedikit minum saat malam, dan setelah kupikir-pikir, tidak mungkin bukan jika aku hanya akan mengandalkan uang nafkah yang Emil berikan padaku terus menerus? Sedang aku harus memikirkan masa depanku dan memiliki tabungan. Maka kuputuskan untuk mencari pekerjaan.
Sebenarnya mudah saja bagiku mendapatkan pekerjaan jika saja aku bersedia bekerja di perusahaan O'clan yang di pimpin Emil di Paris, sebuah perusahan yang bergerak pada dunia fashion. Tapi aku tak ingin menjadi bonekanya yang dapat ia kendalikan, dengan bekerja di bawah kepemimpinannya pasti membuatku sesak harus selalu bertemu dengannya dan melihat dirinya bermain gila dengan para ja.lang yang biasa dia lakukan.
Bekerja di tempat lain pasti lebih menyenangkan, meminimal kemungkinan bertemu dengan si brengsek itu dan menikmati hidup bebas yang mendiri, meski yang sebenarnya kurasa adalah sepi, yah, aku kesepian, hidup di negeri orang tanpa memiliki teman dan sesiapa yang kukenal. Itu seperti kau adalah makhluk asing yang berasal dari dunia lain tak kasat mata.
Kopi hitam yang mulai hilang kehangatannya itu kusruput untuk terakhir kali sebelum aku berdiri meninggalkan Cafe out door yang menjadi tempatku berlangganan.
Kutemukan sebuah lowongan di salah satu perusahan make up sebagai seorang accounting, dan itu cocok dengan pengalamanku yang pernah bekerja di perusahaan O'clan sebelumnya sebagai staf keuangan. Setelah beberapa kali melamar dan penolakan yang kudapat, akhirnya aku kembali mendapat satu kesempatan.
Lagi-lagi bahasa menjadi kendala utama, karena pelafalan bahasa Perancis ku buruk meski aku dapat memahami apa yang mereka katakan, dan untunglah, perusahaan ini tidak menuntut kesempurnaan dari kekuranganku itu, aku diterima setelah wawancara menggunakan bahasa Inggris.
Tunggu, bukankah ini sedikit aneh? Aku baru saja menyerahkan lamaran pekerjaan, langsung diwawancara dan diterima. Luar biasa, apakah ini sebuah keberuntungan?
"Kami sedang sangat membutuhkan karyawan untuk segera bisa menempati posisi ini, dan kami senang melihat pengalaman serta kinerja anda, selamat bergabung," ucap seorang wanita bagian HRD yang mewawancaraiku sambil memberikanku tes ringan untuk mengoperasikan Microsoft Power point'.
"Thankyou," kami saling berjabat tangan sambil mengembangkan senyum sebelum akhirnya kulangkahkan kaki keluar dari ruangannya.
Aku berhasil mendapat pekerjaan, bukan lagi seorang pengangguran yang hidup dari belas kasihan orang yang memberikanku nafkah karena ikatan sebuah pernikahan, kontrak.
'Huffftt,,,,' menghela nafas kasar.
***
Minum memang menjadi kebiasaan yang sulit tuk kuhilangkan, apalagi merasa senang seperti sekarang, aku butuh sedikit minum untuk merayakannya, yah, meski sedih pun pelarianku juga pada minuman. Karena hanya itu yang mampu membuatku merasa tenang.
Kunikmati sebotol bir yang tadi kubeli di supermarket dekat apartemen, dari tempatku berdiri bisa kulihat dengan jelas pemandangan megah kota Paris yang nampak mewah di malam hari, dan sebuah menara yang sangat terkenal berdiri tinggi menjulang di kejauhan sana menjadi pemandangan yang tak bosan untuk kunikmati.
Menara Eiffel, siapa yang tidak tahu akan salah satu keajaiban dunia yang terkenal dengan sejarah dan kisah romantisnya ini?. Tidak, sebenarnya menara Eiffel adalah simbol puncak kejayaan.
Ah,,,, ada rasa ingin berkunjung ke sana lalu bersua foto, seperti para pasangan kekasih yang berciuman di bawah menara Eiffel untuk menjadi bukti pengabadian cinta mereka. Itu pasti sangat romantis. Bodoh, satu bulan lebih aku tinggal di kota ini dan enggan pergi ke sana karena aku hanyalah seorang wanita yang kesepian.
"Tok tok!"
Seseorang mengetuk pintu kamar dari luar, siapa lagi jika bukan Emil pelakunya. Aku hanya berseru masuk tanpa berniat membukakan pintu, dan pintu kamar segera terbuka menampakkan sosok pria tampan beraroma bvlgary itu yang pernah sangat kucintai, yah, mungkin sampai saat ini aku masih mencintainya andai aku tak memikirkan tentang harga diri. Harga diri yang sudah diinjak-injaknya begitu tega.
Emil mengambil paksa botol minumanku dalam genggaman, membuatku tersentak dan hanya dapat menahan amarah saat ia menenggak habis sisa alkohol di dalam sana.
"Aaahh,,,," desahnya lalu mengusap mulutnya yang sedikit basah.
Kualihkan pandangan tak ingin membuat hatiku berdebar-debar tidak karuan karena perasaan ini yah sungguh sangat menyiksa.
"Apa lagi sekarang?" tanyaku tak ingin berbasa-basi. Selama ini dia hanya menemuiku jika dia membutuhkan sesuatu. Seperti,,,, ingin merengkuh pinggangku, misalnya, dan jurus jaihtsu kukeluarkan untuk menendang pusakanya, cukup membuatnya jerah dan tak lagi berani menyentuhku.
"Tidak ada, aku hanya ingin datang," kutatap dalam kedua manik hazel itu lalu kembali melihat pemandangan di kejauhan.
"Minum? Aku yang traktir." tawar Emil. Siapa yang tidak tahu jalan pikirnya, dia pasti berpikir jika aku akan menyerahkan diriku saat aku mabuk. Haaah,,,, lupakan, aku tidak ingin kembali terjebak dalam permainannya.
Aku tersenyum sinis, sejak kapan dia memiliki tujuan baik? Bahkan sejak pertama kali dia mendekatiku dulu demi mendapat informasi tentang Aretha, dan malah menjerumus ke dalam hubungan pemuasan naf.su belaka.
"Tidak, terimakasih. Aku ingin tidur cepat karena besok aku mulai bekerja, jadi silahkan keluar dari kamarku dan biarkan aku beristirahat dengan tenang."
"Kerja?"
Aku mengangguk sambil melangkah masuk ke dalam kamar, meninggalkan Emil yang menatapku heran dari arah balkon.
"Kau bekerja? Di mana?" tanya Emil mengikuti langkahku, menutup pintu kaca lalu merapikan tirai putih sebelum ia berhenti di dekatku yang bersiap ke kamar mandi untuk melakukan ritual malam sebelum tidur.
"Aku tidak ingin mengatakannya, itu urusan pribadiku, keluarlah, dan jangan melupakan poin pertama pada berkas perjanjian kita." Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, meninggalkannya yang nampak tidak suka, biar saja. Toh selama ini aku juga tidak pernah ikut campur urusan pribadinya meski itu membuatku setengah mati tersiksa.
"Apa kau sudah tidak mencintaiku, Nami?"
"DEG."
Langkahku terhenti tepat di depan pintu kamar mandi, apa ada bedanya jika aku mengatakan yang sebenarnya? Dia hanya akan menekankanku menggunakan alasan cinta itu untuk menyentuh tubuhku, sedang dirinya sendiri tak sedikitpun memiliki cinta di hatinya untukku. Bukankah selalu seperti itu selama ini? Yang dilakukannya padaku? Hanya sebagai pemuas naf.su.
"Kau tahu jawabannya!"
Aku lekas menutup pintu rapat, lalu menguncinya dari dalam, tiba-tiba saja mataku basah karena buliran bening itu datang tak tertahan mengiringi hati yang perih karena rasa cinta. Lebih tepatnya, cinta tak berbalas.
***
Lagi-lagi aku kesiangan, kini aku harus hidup mandiri tanpa ada ibu yang berteriak membangunkanku di pagi hari, dan kebiasaanku satu bulan ini yang bangun pagi saat jam 9 membuatku cukup sulit bisa bangun pada jam 6.
'Bugh!'
"Aahh!"
Aku dan Emil yang sama-sama baru keluar dari kamar bertabrakan karena aku yang gugup takut terlambat hari pertama masuk kerja.
"Emil!" teriakku kesal. Pria itu nampak baru bangun tidur, menggaruk kepala dan sesekali menguap, matanya masih enggan terbuka dan apa yang dia kenakan? Hanya sebuah kolor pendek tanpa menggunakan atasan.
Oh Tuhan,,,, otot perutnya yang kotak-kotak menjadi ujian berat pagi hariku, ingatkan aku jika dia adalah pria yang telah menyakitiku begitu dalam, jangan sampai aku tergoda oleh keindahan tubuhnya lalu kembali jatuh pada lubang yang sama.
"Bisakah kau memakai pakaian yang benar saat keluar dari kamar?" mataku sangat berdosa karena sulit sekali mengalihkan pandangan dari se.langkangannya, cobra miliknya yang besar dan panjang menyembul di balik celana pendek itu. Pasti saat ini junior kesayangan sedang dalam keadaan terbangun, bukankah semua pria seperti itu?
"Minggir," Emil menggeser tubuhku dengan gerakan kasar, menyadarkanku akan kebodohan menikmati vitamin mata. Aku mendengkus kesal dan membaca mantra tanpa terdengar telinganya. Umpatan tak hentinya kulafalkan sebagai doa.
Emil melangkah ke dapur mengambil air putih dan meminumnya, kulirik dalam kamarnya yang nampak jelas karena pintu kamarnya yang ia biarkan terbuka.
"Ya Tuhan,,,, tisu-tisu itu lagi, sama sekali tak berubah, dasar ayah jahanam, begitu tega membuang anak-anak yang mungkin saja akan menjadi para sultan."
"Berhenti menggerutu dan cepatlah pergi jika kau tidak ingin terlambat!" celoteh Emil yang mendengar ocehanku melihat keadaan dalam kamarnya.
Sial, kenapa aku bisa sampai lupa jika ini adalah hari pertamaku bekerja, aku kembali tergesa melangkah keluar dari apartemen menuju kantor berharap tidak melakukan kesalahan dengan terlambat datang di hari pertama. Atau mereka akan menendangku dan aku kembali menjadi pengangguran yang mengenaskan.
***
Hari pertama kerja membuatku sangat lelah dengan kesibukan yang cukup menguras pikiran, begitu banyak kesalahan pencatatan yang terdapat pada data-data sebelumnya yang ditinggalkan staf accounting terdahulu, dan aku harus memperbaiki itu semua dengan benar.
Jam istirahat makan siang membuatku lebih lelah lagi, tidak ada kantin di kantor tempatku bekerja, perusahaan ini memang terbilang baru berkembang, dan tidak terlalu besar. Kebanyakan para karyawan memesan makan siang mereka lewat online atau membawa bekal dari rumah. Dan itu mereka lakukan setidaknya satu jam yang lalu sebelum masuk jam makan siang untuk memesan makanan.
Aku yang belum mengerti aturan main pun terpaksa keluar dari kantor, membuang waktu istirahat melajukan mobil yang Emil berikan untuk mencari restoran terdekat, ah,,,, kalau begini terus rasanya gajiku hanya cukup untuk uang makan.
***
Aku duduk menunggu menu pesananan sambil memainkan ponsel berbalas pesan dengan Aretha yang berada di Indonesia, bertukar kabar dan bercerita banyak hal, ah,,,, Titaku sayang, bayi perempuan kecil itu nampak semakin lucu dan menggemaskan dengan bando minny mouse yang ia kenakan.
^^^[Dia sudah pandai merangkak!]^^^
Pesan balasan atas video singkat yang Aretha kirimkan.
Makan siangku datang, aku hanya bisa menghela nafas merindukan makanan Indonesia, terutama masakan ibu.
^^^[Lihatlah, bagaimana aku tidak semakin kurus, Aretha. Menu makanku seringkali seperti ini, tak setiap hari aku bisa menjumpai nasi.]^^^
Kukirim gambar menu makanku.
[Apa itu, aunty?]
^^^[sup bawang dan foie gras disajikan dengan sayuran.]^^^
[Wah, pasti lezat!]
^^^[Yah, lumayan, dari pada mati kelaparan.]^^^
[Baiklah, selamat makan. Kami merindukanmu,]
Kukirim emot cinta begitu banyak sebagai balasan, lalu mengantongi kembali benda pipih itu dan mulai menyantap menu makan siangku.
Sekitar 15 menit aku fokus pada makananku dan buru-buru menghabiskannya karena harus kembali ke kantor, dan saat aku mendongak mengangkat gelas berisi air putih untuk meneguknya, pandanganku tertuju ke depan, hampir saja air yang baru masuk mulut kusemburkan, tiba-tiba saja pria itu sudah duduk di sana dengan tiga pria lain dan seorang wanita, seksi. Tentu saja.
Menatapku dengan sorot mata yang tak dapat kuartikan. Menertawakan? Mungkin, karena aku di sini duduk seorang diri tanpa sesiapa menemani. Tapi, sejak kapan dia ada di sana? Apa dia memperhatikanku sedari tadi? Oh, tentu saja tidak, memangnya siapa aku?
Sedikit gugup, itu yang kurasakan.
Okay, ini bukan kali pertama aku bertemu Emil di luar rumah, dan seperti biasa, bersikaplah tenang, lalu abaikan.
Kuraih tas jinjing yang berada di atas meja, lalu melangkah untuk segera pergi dari tempat ini, tiba-tiba saja stok udara terasa menipis, membuat dadaku terasa sesak.
"Apa makanannya enak, Sir? Aku harap kamu suka," begitu yang kudengar dari celoteh wanita berpakaian kurang bahan itu yang terus menatap dalam dengan sorot mata menggoda pada suamiku menggunakan bahasa Perancis. Hey, salahkah aku jika menyebutnya begitu? Suamiku, tapi memang benar, bukan? Dia suamiku walaupun hanya karena sebuah ikatan pernikahan kontrak.
"Apa kantormu di dekat sini?" langkahku yang melewatinya terhenti kala kudengar suara berat pemilik aroma bvlgary itu berbicara dengan bahasa Indonesia. Siapa lagi yang diajaknya bicara jika bukan aku? Bahkan ketiga pria dan seorang wanita seksi yang bersamanya itu menatap heran padanya yang berbicara menggunakan bahasa asing bagi mereka.
"Lumayan!" jawabku singkat lantas kembali melangkah cepat meninggalkannya. Ya Tuhan,,,, kenapa kau ciptakan hati yang begitu lemah bersarang pada tubuhku? Begitu saja sudah cukup membuatku berdebar. Ah, sial.
***
Kubuka pintu apartemen dengan malas, lelah, sumpah demi apapun sungguh aku sangat lelah. Hari pertama kerja sudah disuguhi pekerjaan yang menumpuk segunung, dan bahkan harus lembur selama 2 jam.
"Aahh,,,, tubuhku rasanya mau remuk!" kupukul pelan bahuku beberapa kali sambil menggeleng ke kiri dan kanan untuk melemaskan otot leher yang tegang. Belum lagi punggung, dan kakiku yang sepertinya kaku mati rasa.
Kulihat sekeliling, sepi, belum ada tanda-tanda tuan muda O'clan itu pulang, bahkan tadi saat aku masuk lampu dalam keadaan padam.
"Dia belum pulang," lirihku sedikit kecawa, kecewa? Selalu seperti itu, saat ia tak ada aku rindu dan ingin melihatnya, namun saat bertemu pertengkaran kami tak terelakkan. Well, apa itu namanya?
***
Pukul 9 malam, aku keluar dari kamar memeriksa keadaan rumah, tetap sama, sepi. Lalu aku melangkah menuju kamar tidurnya.
Tanganku terangkat untuk mengetuk daun pintu itu, tunggu, untuk apa aku melakukannya? Memastikan apa dia ada? Tapi untuk apa? Bahkan untuk menanyakan kabarnya saja itu terdengar menggelikan.
Ah, sudahlah. Pura-pura saja pinjam ponsel untuk menghubungi ponselku sendiri yang lupa kuletakkan di mana. Strategi, itu yang kulakukan untuk bersandiwara. Setidaknya aku tahu dia di kamar atau belum pulang.
Aku masuk ke dalam kamarku sendiri untuk meletakkan ponsel di bawah bantal, kemudian lari kembali keluar untuk mengetuk pintu kamarnya.
"Emil,,,, tok tok tok!"
Hening, tak ada jawaban.
"Emil,,,, tok tok tok!"
Kuulangi sampai beberapa kali dan tetap sama, tidak ada jawaban. Aku pun memberanikan diri memegang handle pintu lalu memutarnya.
'Klek!' tidak terkunci dan terbuka.
Kamar yang sangat berantakan, lampu yang dibiarkan menyala, celana yang tersangkut di atas sofa, kemeja kotor dan handuk basah tergeletak di atas tempat tidurnya. Okay, 11 12 dengan aku yang dulu saat hidup dalam asuhan ibu.
"Apa dia juga lembur? Atau sedang berpesta?" menyebalkan, rasanya aku ingin menangis menjalani hidup seperti ini.
Aku terdiam beberapa saat tanpa pergerakan, ingin membersihkan kamarnya namun aku takut akan terjadi kesalah pahaman. Yang nantinya justru akan memancing keributan.
Sudahlah, pergi dan abaikan.
Aku memutar badan untuk kembali keluar, namun langkahku terhenti ketika sepasang mataku menangkap satu figura kecil berisi foto pernikahan kami berdua yang diletakkan di atas nakas.
Apa? A-a ada foto pernikahan kami? Untuk apa dia menyimpannya? Tanganku terulur untuk meraih benda kecil itu sebelum akhirnya kedatangannya yang tiba-tiba membuatku terkejut seketika.
"Apa yang kau lakukan di kamarku?"
D.AM.N
Aku terhenyak menyentuh dada merasakan jantung yang hampir saja melompat dari tempatnya.
"Emil,,,, kau mengagetkanku."
"Aku? Ini kamarku, dan kau di sini, apa yang kau lakukan? Apa kau,,,," ia menjeda.
"Melakukan sesuatu? Memasang kamera pengintai, misalnya."
"Diam, bang.sat! Untuk apa aku melakukan hal bodoh seperti itu,"
"Lantas apa yang kau lakukan?" Emil masuk, melempar jas yang tadi menggantung pada pundak dan berakhir di atas sofa bertumpuk dengan celana yang tergeletak sebelumnya.
"A-a aku,,,," gugup. Penyakit yang sulit tuk disembuhkan adalah merasa gugup.
Emil membuka dasi yang tadinya tersampir ke pundak, lantas membuka satu demi satu kancing kemejanya mulai dari kedua lengan dan berlanjut pada kancing bagian dada atas.
"Aku keluar!" seruku sambil berjingkat lari menghindari pemandangan yang sebentar lagi akan memanjakan mata jika aku tetap berada di sini.
"Aahh!" namun dengan cepat Emil meraih lenganku, mencengkeramnya kuat membuatku menjerit panik, kaget lebih tepatnya.
"Emil, lepaskan!"
"Kau belum menjawabku, Nami. Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau,,,," matanya menatapku begitu dalam, membuatku risih karena ia menelisik penampilanku dari ujung kaki hingga kepala. Ralat, darahku berdesir hebat hanya dengan tatapannya.
"Merindukanku?" lanjut Emil tersenyum smirk.
Kudorong kuat dadanya setelah berhasil menepis genggaman tangannya pada lenganku.
"Berhenti berpikiran kotor, Emil. Dasar breng.sek. Aku kemari untuk," 'Memastikan apa kau sudah pulang? Aku rindu.'
"Untuk meminta bantuan, aku lupa menaruh ponselku di mana. Jadi aku mencarimu untuk meminjam ponsel untuk menghubungi nomorku, hanya itu, aku juga sudah mengetuk pintu berkali-kali tadi, tapi tak ada jawaban, jadi untuk memastikan, aku terpaksa membuka pintu dan masuk kamarmu." ucapku menggebu dengan cepat hampir tanpa jeda. Sial, jantungku semakin berdegup kencang.
Emil tersenyum sinis. Sebuah senyuman, merendahkan? Ya Tuhan,,,, bolehkah aku meninju rahangnya yang seksi itu?
"Keluar!" ia mendorong tubuhku keluar dari kamarnya, lalu menutup kembali pintu dengan rapat, aku hanya bisa pasrah menahan kesal mendapat perlakuannya yang menyebalkan.
Bibirku bergerak hampir mengumpat dengan genggaman tangan kanan yang siap meninjunya, sampai pintu itu tiba-tiba kembali terbuka.
'Klek!'
Kaget bukan kepalang.
"Ini!"
"Aahh!"
Emil melempar ponselnya yang untung saja dengan tangkas kutangkap benda pipih itu hingga tak sampai jatuh membentur lantai.
'Ck.'
"Iblis sialan!" gerutuku kesal kembali melangkah ke kamar membawa gawainya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!