NovelToon NovelToon

Senja Di Pelupuk Mata

Langit jingga.

Gemerincing kunci saling beradu memecah kesunyian di depan sebuah rumah tua. Wanita bersurai panjang yang baru saja memarkir motor maticnya, nampak mencoba kunci-kunci itu secara bergantian. Itu adalah kunci yang dapat membuka pintu kediaman mendiang Kakek dan Neneknya.

Sepasang mata coklatnya menelisik bola lampu yg sudah pecah"Nampaknya perlu banyak perbaikan di rumah ini" ujarnya bergumam.

Setelah berhasil memasuki kediaman tua itu sang wanita sedikit terpana. Sepertinya dugaannya salah. Rumah yang telah lama tak berpenghuni itu nampak bersih dan rapi. Bahkan perabot di kediaman itu nampak tak berdebu.

Langkah kaki ingin membawanya berjalan lebih masuk ke dalam rumah, namun hal itu terjeda. Sseorang yang tak asing baginya datang dan memanggil namanya.

"Jenaira?."

Dia berbalik dan sedikit senyum terukir di wajah wanita yang dipanggil Jena itu"Tante Ane."

"Ternyata benar kamu. Apa yang kamu lakukan di sini?. Sendirian?" pandangan Ane tersita pada beberapa barang bawaan Jena, juga sebuah koper besar yang dia tinggalkan di depan pintu"Kau....minggat??" tanya Ane kembali menatap Jena.

"Tante belum mendengar kabar rumah tanggaku?."

Ane menggeleng, mengekor langkah Jena mengambil kopernya dan berjalan ke ruang tamu.

"Jena sudah berpisah dengan Dewa, tante."

"Hah?, pernikahan kalian belum dua tahun kan. Kenapa tiba-tiba berpisah?."

"Jika tante sangat ingin tahu, lebih baik bertanya pada Ayah dah Ibu saja. Jena lelah untuk menceritakan hal itu" nampak raut kecewa dan kekesalan di wajah Jena. Sembari menghenyakkan diri di sofa kedua matanya menjelajahi ruangan itu.

"Jena...."

"Bukankah tidak ada yang menempati rumah ini, tapi kebersihannya sangat terjaga" Jena seakan tak memberi ruang untuk Ane bertanya tentang masalahnya. Dia tau tantenya itu pasti akan kembali menanyakan biduk rumah tangganya yang baru saja kandas.

Terdengar helaan nafas dari mulut Ane"Baiklah jika tak ingin bercerita" tukas Ane.

"Setiap pagi aku ke sini untuk membersihkan rumah ini" ujarnya menjawab pertanyaan Jena tadi.

"Setiap hari ke sini tapi tante tak mengganti bola lampu di teras?."

Ane menatap Jena"kau lupa aku terlahir dengan tubuh sedikit pendek?. Jika harus mengganti bola lampu itu sendirian, aku mana bisa."

"Hahaha..." Jena tergelak"Kemana suami tante yang tinggi menjulang itu?."

Ane mendecih"Dia terlalu sibuk dengan pekerjaan di kantor. Kau pikir dia akan selalu menemaniku ke sini?."

Sedikit memicingkan mata, kini giliran Jena yang menatap Ane"Bukankah kalian pasangan paling romantis dalam keluarga kita. Ada apa sekarang??."

"Jangan melebih-lebihkan."

"Seorang Bastian nugroho. Pria itu bahkan rela meninggalkan agamanya demi tante Ane. Lihatlah, dia sangat mencintai tante kan. Ku pikir pria seperti itu seharusnya mengikuti kemana saja wanita pujaannya pergi" ucap Jena.

Jujur saja, kehadiran Tian dalam keluarga mereka sangat tidak menyenangkan baginya. Kesan buruk terus membayangi Tian di mata Jena. Akh sudahlah!.

"Bukan apa-apa. Dia hanya gila kerja saja hingga aku sedikit kesepian. Kalau masalah keromantisan dia tetap nomor satu bagiku" Ane membela suami tercintanya. Entah mengapa Jena selalu saja mencari celah untuk menjatuhkan Tian, suaminya.

"Suami romantis yang membiarkan istrinya setiap hari membersihkan rumah ini sendirian?. Keromantisan jenis apa itu, tante Ane" celetuk Jena beranjak dari duduknya dan mulai berjalan melihat-lihat isi rumah.

Ane merasa tak perlu meladeni perkataan Jena lagi. Dari dulu Jena yang tiga tahun lebih muda darinya memang cerewet. Meski suaminya gila kerja, terlepas dari semua itu suaminya selalu baik, lemah lembut dan bersikap romatis kepadanya.

"Sudahlah. Percuma berdebat denganmu. Jadi, apa tujuanmu datang ke sini?. Dengan bawaan sebanyak itu jangan katakan bahwa kau ingin tinggal di sini?."

Ternyata tebakan Ane benar. Kedatangan Jena ke sini memang ingin tinggal di rumah ini.

"Kau?. Sendirian ingin tinggal di sini??" Ane merasa ragu.

"Memangnya kenapa?."

"Ck!aku tidak bisa menahannya lagi!. Katakan ada apa dengan dirimu dan Dewa?."

Jena mulai jengah"Akh! sudahlah. Tante jangan membahas masalah itu. Lagipula niatku sudah bulat untuk tinggal di sini!" ujarnya penuh penekanan.

"Air dan listriknya baik-baik saja kan?" lanjut Jena.

"Iya, semua baik-baik saja. Tapi aku khawatir meninggalkanmu sendirian di sini. Ayah dan Ibumu sudah tau?."

"Mereka akan tahu sebentar lagi. Tante pasti akan kerumah Ayah dan Ibu setelah bertemu denganku, kan?."

"Setidaknya tante pasti akan menelpon Ibu dan membicarakan hal ini" sambungnya.

"Lantas?."

"Lantas, tante akan menyampaikan kepada mereka bahwa ada aku di sini. Maka mereka akan tau kabar keberadaanku."

Ane melengos kasar mendengar ocehan Jena. Keponakan satu ini memang sedikit menyebalkan bagi Ane. Meski begitu Ane tak bisa begitu saja membiarkan dia memilih hidup di rumah ini sendirian..Ane mencoba membujuk Jena agar kembali tinggal bersama kedua orang tuanya.

"Terimakasih atas sarannya, tapi Jena tak berniat untuk kembali ke rumah Ayah dan Ibu."

Bibir Ane mengerucut, Jena tetaplah Jena yang keras kepala. Selain tak suka bergaul dan menghadiri keramaian, Jena juga seorang gadis yang keras kepala.

Hari semakin sore sudah waktunya Ane pulang kekediamannya. Tentu saja berbekal kegagalan membujuk Jena agar tak tinggal sendirian di rumah tua itu.

"Dasar gadis kepala batu, pandai-pandailah menjaga diri di rumah ini."

"Tanteku yang cantik, aku bukan bocah ingusan. Aku bisa menjaga diriku sendiri" sembari menggiring Ane menuju teras dan melewati halaman, Jena akhirnya berhasil mengirim tante cerewetnya pulang dari rumah itu.

Untung saja semua fasilitas terjaga dengan baik. Kepindahan Jena ke rumah itu terasa melegakan. Hanya lampu di teras saja yang perlu diganti, selebihnya dapat berfungsi dengan baik.

Meniti anakan tangga dengan hati-hati Jena menyeret koper besar yang dia bawa menuju lantai atas, kamar semasa kecilnya. Membuka jendela yang menghadap ke laut, semilir angin membelai lembut wajah cantiknya.

"Langit jingga,nkita bertemu lagi di sini"gumamnya pelan.

To be continued...

Pengganggu kecil

Pagi yang indah. Menikmati suasana pagi di tepian pantai sungguh hal yang sangat Jena rindukan. Deru ombak bersambut semilir angin berbau asin, Jena sangat suka hal ini.

Kehadiran Jena mulai menyita perhatian para penduduk kampung. Banyak dari mereka yang memang mengenal Jena dan sedikit berbincang dengannya.

Tengah asik berbincang dengan seorang pak tua nelayan, suara klakson di depan rumah membuat telinga mereka terusik"Aduh non, sepertinya non Jena kedatangan tamu."

Sungguh merusak suasana pagi nan damai, dengan terpaksa dia harus menemui siapa pelaku kegaduhan"Tamu yang sangat tidak sopan" tukasnya beranjak berdiri dari batang pohon kelapa tumbang, tempatnya duduk menghadap laut lepas.

Nelayan itu menengok ke samping rumah"Di lihat dari mobilnya, sepertinya itu bukan orang asing."

"Saya izin ke depan dulu" pamit Jena pada nelayan, firasat tidak baik dia rasakan tentang tamu tak sopan.

"Iya non, saya juga mau pulang."

Nelayan itu tak salah menerka. Ternyata bukan hanya Ane yang sering ke rumah itu, Gibran adik laki-laki Jena juga sering terlihat menyambangi rumah tua tak berpenghuni tersebut.

"Haisss!. Jadi rokokmu yang memenuhi asbak di teras atas?."

Gibran tertawa kecil"Hallo kak Jenaira yang manis."

Sudut bibir Jena terangkat mencibir. Jena yang manis? apa adik laki-lakinya kerasukan. Telinganya terasa gatal mendengar kata manis dari mulut Gibran. Bocah yang selalu membuatnya kesal jika bertemu"Apa maumu datang ke sini?."

Sebuah pertanyaan yang mengundang gelak tawa Gibran"Aku memang sering ke sini. Memangnya aku harus punya alasan jika hendak berkunjung ke sini??."

"Rumah ini sudah jadi milikku, kau pulang saja."

"Ow ow! apa hak anda ingin menguasai rumah ini?."

"Dari kecil aku tinggal di sini. Kakek dan Nenek sudah tiada, jika bukan aku siapa lagi yang berhak atas rumah ini."

"Cucu Kakek dan Nenek bukan hanya Kak Jena!. Ingat, masih ada Gibran sama Bang Arkan."

Jena melangkah maju mendekati Gibran yang duduk di pagar teras"Tapi hanya aku yang tinggal bersama Kakek dan Nenek di sini. Bahkan sampai menjelang hari pernikahanku."

Sorot mata Jena menyiratkan kebencian mengingat ketidak-adilan yang dia terima dari kedua orang tuanya. Bagi Jena, ayah dan Ibu tak bersikap adil kepada dirinya, apa karena dia wanita?. Sejak kecil Jena merasa tak nyaman tinggal bersama kedua orang tuanya, ayah yang hanya suka bemain bersama Arkan dan Gibran. Ibu yang hanya suka memuji kepintaran Arkan dan Gibran. Kedua orang tua itu kerap meninggikan suara ketika menegur kesalahannya, entah itu menumpahkan minuman atau makanan di meja makan. Berbeda dengan kedua saudaranya, apapun yang mereka lakukan tak pernah salah di mata kedua orang tuanya. Mereka selalu bersikap dan bertutur kata lembut pada mereka.

Hal sangat membekas di hati Jena ketika duduk di bangku sekolah dasar. Untuk pertama kalinya dia mendapat nilai tinggi dalam mata pelajaran bahasa, namun apa yang Jena dapatkan ketika menceritakan hal itu pada sang Ayah??

"Bahasa bisa dipelajari dengan mudah. lihatlah Gibran, dia pandai berhitung meski baru duduk di bangku TK."

"Ya!!! dia sangat menggemaskan. Hari ini dia menghitung gambar buah-buahan dengan benar di buku tugasnya. Tanpa bantuanku" ujar sang Ibu.

Bukan hanya perihal di dalam pelajaran. Pada keseharian pun Jena selalu di banding-bandingkan dengan saudaranya, hal yang sangat menyakitkan bagi Jena.

Perlahan Jena tak pernah menceritakan apapun lagi tentang dirinya, gadis ceria itu perlahan menjadi pendiam. Tak satupun dari mereka menyadari perubahan pada diri Jena, hingga kedatangan Kakek dan Nenek bagai cahaya terang dalam hidup Jena. Hanya sekali meminta ijin pada kedua orang tuanya, Jena diserahkan begitu saja kepada Kakek dan Nenek. Dan ketika Jena meminta untuk tak satu sekolah lagi dengan Gibran pun, kedua orangtuanya tak memberikan penolakan. Pedihnya, meski sering mengunjungi kediaman Kekek dan Nenek, kedua orangtuanya tak begitu memperdulikan Jena.

Dan ketika Jena hendak menikah, mereka tak ambil pusing. Sebuah hal yang melegakan bagi Jena saat itu, ketidak-perdulian kedua orangtuanya tak jadi penghalang untuk menikah dengan pria pujaan hati. Hanya Kakek dan Nenek tersayang yang banyak memberikan nasihat pernikahan kepadanya menjelang hari pernikahan. Begitu pula saat Jena pamit diri untuk tinggal bersama Dewa di kediaman mertuanya, Kakek dan Nenek nampak sangat sedih namun harus melepaskan.

Itulah alasan Jena tak ingin kembali ke kediaman kedua orangtuanya. Tak mengapa tinggal sendiri, toh rumah Kakek dan Nenek banyak menyimpan kenangan manis semasa kecil.

"Berani tinggal di sini sendiri??" celetuk Gibran tak peduli betapa emosinya Jena.

"Ini bukan pelosok desa, apa yang harus aku takutkan. Lagipula penduduk di sini ramah, suasananya nyaman dan cukup ramai. Apa pedulimu menanyakan hal itu?. Jika tidak ada urusa lain pergilah dari sini."

"Kak Jena, sebenarnya aku diminta Ayah dan Ibu untuk menemuimu" meski berusaha tenang, Gibran dapat melihat keterkejutan di wajah Jena.

"Maaf aku selalu membuatmu kesal, aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi" lanjutnya.

Kata yang terlontar dari mulut Gibran membuat kedua alis Jena naik"Kalian salah makan?? atau salah minum obat?."

"Jangan berpikiran yang macam-macam" sambar Gibran.

"Oh!!! kalian mengasihiniku??" teringat perjumpaan dengan tante Ane, sepertinya kabar terbuangnya dia dari hidup lelaki pujaannya telah sampai kepada mereka.

Berusaha menolah asumsi pribadi sang kakak"Bukan begitu, kak."

"Sudahlah!. Aku sibuk lebih baik kamu pulang."

"Pulang kemana?."

"Ke rumah Ayah dan Ibu."

"Bagaimana aku akan tinggal di sana jika barang-barangku sudah dikemas Ayah. Mungkin sebentar lagi akan sampai ke sini."

Jena membuang napas kasar"Tidak bisakah kalian membiarkan aku tenang?. Baiklah! aku mengaku sedang patah hati sekarang, jadi demi rasa kemanusiaan biarkan aku sendiri di sini."

"Demi rasa kemanusiaan terimalah aku disini" Gibran memutar balik perkataan Jena.

"Ash!. Baru saja dia berkata tak akan membuatku kesal, dasar bocah" gerutu Jena.

Tak berapa lama barang-barang milik Gibran telah sampai. Setengah mati Jena menahan emosi demi kewarasan dirinya.

"Jadi...kamu benar-benar pindah kesini?" pertanyaan itu diangguki Gibran sembari memberi aba-aba untuk membawa barangnya ke lantai atas pada petugas pengiriman barang.

Jena terduduk di kursi teras, memandangi aktivitas mereka dengan putus asa. Haruskah dia pergi saja dari sini?. Tapi kemana? dia sudah menyusun rencana untuk bertahan hidup di tempat ini, kedatangan Gibran membuat rencananya terancam gagal.

Membuka gawai yang sedari tadi dalam genggaman, gadis itu memeriksa akun berisi dana kehidupan yang dia miliki.

"Masih banyak" ujarnya bergumam.

"Jelas saja banyak, mantan mertua itu membayar mahal atas perpisahanku dengan anak kesayangannya. Eish! air mataku, kesedihanku, sakit hatiku, kalian memang harus membayar mahal atas pengkhianatan yang dilakukan anak kesayang kalian" hanya hati yang dapat berbicara. Sebab Jena yakin Gibran yang menyebalkan pun pasti akan marah jika mengetahui apa yang dia lalui di kediaman Dewa.

To be continued...

Abdillah Agam pratama

Hujan menyapa pasir pantai yang sempat panas terjemur matahari. Gemericik suara sang hujan di atas genteng membuat Gibran terkejut bukan kepalang. Pasalnya, setelah dua hari tinggal bersama sang kakak tak sekalipun wanita itu berniat mencucikan pakaian Gibran. Tak tahan melihat pakaian kotor yang menumpuk, pria berkulit sawo matang itu akhirnya mencuci pakaian pagi-pagi sekali.

Usai menjemur pakaian di halaman belakang Gibran merasa kelelahan, tak sempat mandi pria tinggi menjulang itu tertidur berayun dalam ayunan di beranda kamar.

Cepat lari Gibran cepat pula turun sang hujan, dalam sekejap pakaian yang dia jemur menjadi basah kuyup.

"Kak Jenaaaaaa" teriaknya. Usaha mencuci pakaian itu sia-sia. Padahal Jena sedang duduk manis di teras belakang sambil menikmati secangkir kopi, saat hujan itu turun.

"Apa sih?!!" Jena tak kalah berteriak.

"Pakaian Gibran dibiarkan basah!."

"Ini masih pagi, pakaian itu juga baru dijemur bukan?."

"Pakaian itu sudah setengah kering, setidaknya kakak bantu angkat agar tak basah kuyup seperti sekarang."

"Bawel, kenapa tidak pergi saja dari sini. Di rumah sana kau tidak akan mencuci baju."

Mendengar ocehan Jena, bibir Gibran terlihat cemberut. Begitukah cara Jena untuk mengusirnya dari sini?. Hahaha, tidak semudah itu. Gibran bukanlah seorang pria muda yang gampang menyerah. Meski Jena terkenal keras kepala dan irit bicara Gibran tak akan kalah begitu saja darinya.

Membiarkan dirinya diguyur hujan Gibran mengambil jemurannya tanpa sepatah katapun. Memasukannya ke dalam keranjang dan membawanya kembali ke dapur.

"Apa yang akan kau lakukan pada pakaian basah itu? ingat aku tidak suka sesuatu yang kotor dan basah."

"Cih, aku juga tidak menyukai hal itu. Tenang saja, aku akan mengeringkannya kembali ke dalam mesin cuci."

"Aku sedang memakai mesin cuci."

Salah satu alis tebal Gibran terangkat naik "Oh, ya??? jadi di dalam mesin cuci itu ada pakaian kak Jena?."

Perasaan tidak enak tiba-tiba menghinggapi pikiran Jena, tidak!!! Gibran mengeluarkan pakaian Jena yang sudah setengah kering dan melempaskan ke halaman. Bertebaran di antara pasir pantai yang basah, Jena menjerit histeris melihat kejadian itu.

"GIBRAAAANNNNN!!!."

Tak akan menunggu serangan maut dari Jena, sambil menenteng pakaian kotornya di dalam keranjang Gibran lari ke lantai atas. Oh Tuhan, jejak kaki basah dan berpasir Gibran menodai karpet dan lantai rumah, rasa kesal Jena semakin menjadi-jadi"Hei bocah sialan, berhenti!."

Gelak tawa Gibran pecah dan terdengar renyah, melihat Jena yang marah lebih menyenangkan daripada melihatnya menangis. Terdengar langkah berlari Jena menyusulnya menaiki tangga, dalam sekejap Gibran mengunci pintu kamarnya dan juga jendela.

"Bocah sialan, keluar kau!" kedua mata Jena terbuka lebar, seperti bola ping-pong yang siap untuk meloncat.

"Galak sekali, kakak pikir aku akan keluar melihat kakak yang galak seperti itu? aku masih waras kak Jena. Jika aku keluar nyawaku bisa melayang" duduk bersila menghadapi Jena di depan kaca transparan, Gibran membuat hati Jenaira bergemuruh dan ingin meledak.

Dadanya naik turun, jika ada sebuah kereta api di dalam kepalanya pasti kedua telinganya akan mengeluarkan gumpalan asap panas. Memiliki adik menyebalkan sangat mengganggu ketenangan Jena.

"Pergi dari sini Gibran, kehadiranmu membuat hidupku semakin kacau!" Jena terpekik.

"Aku tidak peduli, aku akan tetap tinggal di sini."

Argh! Jena semakin gusar, mengingat kekacauan di bawah membuat Jena semakin geram pada Gibran. Pagi-pagi sekali dia menyapu dan mengepel setiap jengkal lantai di bawah. Jena juga menggelar karpet yang sudah dia sapu bersih agar suasana rumah semakin nyaman. Sekarang, kenyamanan yang sudah dia ciptakan sejak pagi buta seketika sirna dan berganti dengan jejak kaki basah, juga pasir basah yang berserakan.

Sorot mata itu menatap Gibran dalam-dalam. Bagai sebilah belati nyali sang adik sedikit menciut karena tatapannya.

"Maaf" lolos jua sebuah kata itu dari mulut Gibran, dengan kedua tangan menangkup memohon ampun kepada Jena.

Jemari Jena menempel pada dinding kaca yang memisahkan mereka"Bereskan kekacauan di bawah, cuci bersih pakaianku, dan bersikap baiklah jika ingin tetap di sini" suaranya terdengar bergetar, bukan karena sedih tapi menahan amarah yang meluap-luap.

"Oke" dengan santai dan tanpa beban Gibran menyetujui persyaratan Jena. Dia memang suka membuat Jena kesal kemudian memohon ampun dan mencoba berdamai dengannya. Intinya, Gibran suka bermain dengan emosi sang kakak, meski bisa membahayakan tubuhnya.

Rasanya Jena akan gila dalam waktu dekat, niat hati me-rilekskan diri usai mengetik naskah novelnya yang baru selesai dini hari tadi, kenyataannya sekarang dia tengah bertempur dengan diri sendiri agar kewarasannya tetap terjaga"Sabar Jena, jangan sampai bocah nakal itu kau lemparkan ke tengah laut sana" ucapnya sambil mengelus dada.

"Sabar____" Gibran ikut berkata.

"Orang sabar akan jadi subur. Kak Jena kan kecil mungil binti bonsay, makanya harus banyak-banyak bersabar agar pertumbuhan kakak semakin subur dan makmur."

Helaan napas berat Jena terdengar ke telinga Gibran di dalam sana" Tolong jangan buat aku gila."

"Oke" lagi, Gibran menjawab perkataan Jena dengan santai.

Mulai mengacak rambut karena frustasi"Akh, aku harus tidur. Aku akan benar-benar gila jika terus berhadapan denganmu." Terseok-seok Jena meninggalkan adik nakalnya menuju kamar sebelah, tempat ternyamannya.

Baru sekejap rasanya dia memejamkan mata bocah nakal itu berteriak di depan pintu kamarnya"Kak Jena mau makan? aku akan membuat sarapan."

"Ash! Dosa apa yang telah aku lakukan di kehidupan lampau......" gerutu Jena.

"Tidak! aku tak ingin mati karena keracunan"balasnya berteriak.

Gibran tertawa, dia suka Jena yang marah. Merasa telah puas menyulut api amarah sang kakak dia pun meninggalkannya untuk beristirahat.

Kali ini Gibran benar-benar melaksanakan persyaratan Jena, dia yang dasarnya memang orang yang rapi memberekan kekacauan yang dia perbuat dengan sangat baik. Dia bahkan menambahkan parfum di ruangan itu, aroma manis yang disukai Jena.

Basah-basahan Gibran mengambil kembali pakaian Jena, masih mengenakan pakaian basah dia membereskan cucian kotornya dan Jena. Cukup lama pria itu berkutat di depan mesin cuci hingga menjemur cucian bersihnya di tempat yang teduh.

Hari beranjak naik, hujan perlahan reda dan mentari kembali bersinar. Tanggung untuk mandi Gibran segera memindahkan jemuran pakaian mereka ke tengah halaman. Mengangkat dua jemuran besi besar karena bajunya dan baju Jena lumayan banyak. Kedinginan dan kepanasan, lengkap penderitaan Gibran hari ini.

Kesibukan membuatnya lupa untuk sarapan, selepas mandi dia hanya ingin segera beristirahat. Deru ombak beserta angin sepoi-sepoi membuat kedua matanya mengantuk dan akhirnya dia pun tertidur pulas.

*

*

*

*

Di sebuah pusat perbelanjaan.

Toko ponsel dengan nama"Ponsel suka-suka" nampak dua pria muda tengah sibuk melayani pelanggan. Pelanggan datang silih berganti, ada yang menjual dan ada pula yang membeli.

"Sebentar lagi jam makan siang, si tengil kenapa belum datang juga."

Menanggapi perkataan rekan kerjanya, pria berkacamata berucap"Mungkin karena hujan si tengil Gibran tidak datang ke sini."

"Tidak mungkin, Gibran punya janji dengan pacarnya siang ini."

"Kau tau dari mana?."

"Pacar baru Gibran kan sepupuku, hampir semalaman gadis kecil itu bercerita bagaimana awal mula Gibran mendekati dia. Hahahah, dia tidak menyadari ada campur tangan aku dalam hubungan mereka."

"Jadi sekarang si tengil tidak melajang lagi?."

Pemuda satu itu bernama Angga, seraya mengangguk"Yah begitulah."

"Kau yakin mendukung hubungannya dengan sepupumu?." Tanya pemuda berkacamata, bernama Agam.

Baru saja Angga ingin menjawab pertanyaan Agam, ponsel si lawan bicara berdering.

"Assalamualaikum, iya Gib?."

"Waalaikumsalam Gam, bisakah kau menjemputku? mobilku mogok."

"Di mana posismu? insa Allah aku bisa menjemputmu."

"Aku di rumah pantai."

"Kau jadi pindah kesana? bukankah kau bilang kak Jena menolakmu?."

"Kau lupa kami satu Ayah dan Ibu? jika dia keras kepala maka aku lebih keras kepala." sahut Gibran pula.

"Batu bertemu batu hanya akan saling menghancurkan Gibran, kau tidak seharusnya____."

"Jangan mulai menceramahiku, jadi menjemputku tidak?" sambar Gibran, kata-kata Agam tak tuntas dia dengarkan.

"Mobilnya mogok dan dia sedang berada di rumah pantai. Memang pandai sekali menyusahkan orang" sambil mematikan panggilan telepon Agam berucap kepada Angga.

"Buruan jemput dia, untuk sementara aku bisa menjaga konter ini sendiri" berbeda dengan Gibran yang jahil dan petakilan, dua sahabat nya ini terlihat lebih waras.

Memejamkan mata sambil membuang nafas, Agam segera menjemput Gibran di rumah pantai. Butuh waktu hampir satu jam untuknya mencapai rumah pantai itu, dan ketika telah sampai di sana Gibran tengah bersandar di kursi goyang mengenakan kacamata hitam.

"Assalamualaikum."

"Ng?" Gibran melirik Agam dengan kacamata melorot di hidung.

"Waalaikumsalam, lama sekali. Satu jam aku menunggumu disini" si tengil melirik jam yang melingkar di tangan dan memandang Agam dengan alis berkerut, berlagak sedang merajuk.

Tak ingin berdebat Agam berniat segera membawa Gibran ke konter ponsel" Cepat berangkat, konter hape kita sedang ramai-ramainya."

"Kau tidak berniat mampir dulu? menyapa kak Jena misalnya?" tukasnya mengayunkan kursi goyang.

Agam diam saja, bukan rahasia lagi bahwa dirinya menyukai Jena. Jena wanita pertama yang dia cintai setelah wanita yang melahirkannya. Rasa cinta yang dalam membuatnya patah hati di hari pernikahan Jena. Bukan tak ingin berterus terang akan perasaan yang dia pendam terhadap Jena, hanya melihat Jena tersenyum dan tertawa bersama kekasihnya kala itu sudah cukup membuat Agam berbahagia. Tak pernah ada wanita lain yang singgah di hatinya, bahkan sampai saat ini meski waktu telah lama berlalu.

"Jangan melamun, aku tidak bisa meruqyah mu jika kerasukan."

Suara itu mengacaukan lamunan Agam akan Jena" Sembarangan! jangan asal bicara Gibran, cepat berangkat ke kota."

"Yakin tak ingin menyapa kak Jena?."

"Tidak perlu."

"Gam, sebenarnya aku merasa sedikit pusing."

"Lantas?."

"Aku tidak jadi saja ke konternya, kau dan Angga pasti bisa mengatasi keadaan di sana."

Melangkah maju, Agam mengambil duduk di samping Gibran"Jika sudah tau merasa pusing kenapa kau meminta aku menjemputmu?" rasa kesal mulai menyinggahi pikiran Agam. Jauh-jauh ke sini ternyata dia hanya dijahili si tengil.

"Aku bosan, dan mengerjaimu membuatmu senang."

"Plak!!" sangat enteng telapak tangan Agam mendarat di kening Gibran.

"Ash!! sakit Gam!."

"Dasar kurang kerjaan, bayangkan bagaimana sibuknya Angga sekarang sendirian menjaga konter. Kau membuang waktu berhargaku Gibran. Tidak bisakah kau bersikap dewasa?."

"Akh, kepalaku semakin pusing. Juga omelanmu membuatku semakin pusing" lenguhnya memegangi kepala dengan kedua tangan.

Ada sedikit rasa iba melihat Gibran yang jahil berlagak kesakitan"Kau memang jago membuat orang kesal, ayo aku antar ke kamar."

"Kenapa tidak dari tadi? kau sangat lambat dalam bertindak, Gam"protesnya.

"Ash, saat sakitpun kau sangat bawel. Sepertinya bukan keningmu yang harus ku kompres, tapi mulut cerewetmu."

" Apa kau tega berbuat begitu kepadaku? ingat aku ini calon adik iparmu" celotehnya, padahal Agam sedang memapahnya saat ini.

Wajah Agam seketika merona"Demammu semakin menjadi, sekarang mulutmu sedang meracau."

"Aku tidak sedang meracau."

"Diamlah!, sentak Agam. Dia membuka pintu kamar dan merebahkan pria itu di tempat tidur.

"Hihihi, wajahmu memerah" jari telunjuknya hampir mengenai batang hidung Agam, jika pria itu tak segera berdiri sedikit menjauh.

"Matamu buram, di mana kotak obatmu biar ku berikan kau obat."

Gibran memegangi perutnya"Aku lapar."

Agam kembali duduk di tepian tempat tidur Gibran"Kau juga ingin aku memasak untukmu?? yang benar saja!."

Jurus jitu untuk merayu Agam yang tidak tegaan"Ayolah Gam, aku bisa mati kelaparan."

"Jangan bersikap dramatis, kau hanya demam dan kelaparan. Akh, aku sudah rapi seperti ini kau paksa berkutat di dapur."

"Sepertinya kak Jena juga belum makan" sebuah kata yang meluluhkan hati seorang Agam.

"Ck! jika tidak kasihan kepadamu aku tidak akan memasak untukmu" langkah kaki Agam perlahan terdengar menjauh. Gibran benar-benar lelah, dan kelaparan. Dia tersenyum meski kedua matanya terasa berat, menantikan masakan Agam yang bercita rasa sedap.

To be continued.

Selamat membaca,jangan lupa like,fav dan komennya.

Tepian sungai arut, Pangkalanbun

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!