(POV Lisa)
Aku mendapat nomor antrian ke 209? Yang bener aja! Sebuah suara terakhir terdengar mengatakan, "Nomor antrian B 142, silahkan menuju ruangan" yang muncul dari salah satu koridor di rumah sakit ini. Dan sekarang, aku memutuskan untuk duduk di ruang tunggu sembari menunggu nomor antrian panjangku nanti akan disebut. Dan keadaan saat ini di ruang tunggu juga lumayan ramai.
"Permisi, Mbak, sekarang jam berapa ya?" tanya seorang laki-laki yang duduk di sebelahku, mulai mendekatkan wajahnya padaku.
Padahal aku baru beberapa menit duduk di kursi tunggu, ada saja yang langsung menanyakan jam.
Aku hanya diam dengan tatapan tajam, karena aku tidak terlalu terbiasa mengobrol dengan orang asing, dan orang asing satu ini membuatku heran. Aku mengamati tatapannya yang seolah berharap padaku, menunggu jawaban dariku padahal aku sudah mendiamkannya hampir 10 detik walau aku juga menatap ke arahnya.
Matanya yang awalnya terlihat bersemangat, kini mulai memudar dengan senyuman tipis yang hampir hilang di bibirnya.
"Pukul 7 malam." Jawabku datar setelah wajah si Asing kehilangan semangatnya.
"Eh? Kok tau?" Dia kembali bertanya.
Aku diam. Aku orang yang introvert, tapi lagi-lagi dia bertanya. Kali ini si Asing terlihat penasaran, tetapi kelihatannya dia hampir kelepasan ketawa tadi. Aku tidak tau kenapa dia hampir tertawa, dan apa yang lucu?
Oh iya, aku lupa kalau aku menjawab si Asing tanpa melengos sekali pun. Aku tidak membuka ponselku, maupun mencari jam dinding di sekitar sini, tapi aku langsung menjawabnya begitu saja setelah kami saling tatap-tatapan sekitar 10 detik. Tanpa melakukan gerakan seperti itu, apakah itu aneh? Atau dia meragukan jawabanku karena aku tidak perlu media untuk mengetahui pukul berapa sekarang ini?
"Maaf, ponselku mati karena kehabisan baterai. Makanya aku bertanya padamu," ucap si Asing tanpa aku minta.
Kayaknya dia benar-benar meragukan jawabanku.
"Oh." Tanggapku singkat, kemudian mengeluarkan ponselku dari saku, lalu menyalakan layar. "Ini! Sekarang pukul... 19.01."
Aku memperlihatkan layar ponselku yang sedetik kemudian waktu berubah menjadi 19.01 di layar ponselku. Mata si Asing itu langsung melebar karena terkejut, kurasa matanya bisa copot kapan saja.
"Tunggu-tunggu! Jawabanmu yang pertama... kok bisa?? Maksudnya, tadi kamu menjawab tanpa melihat jam ataupun ponsel, tapi jawabanmu bener!" Tanya si Asing histeris.
"Maksudmu... jawaban pertama sebelum aku jawab dengan ponselku?" tanyaku balik, tapi kali ini aku mencoba untuk ekspresif sama sepertinya.
"I-iya," Dia menjawab, nada histerisnya mulai pudar.
"Aku nggak tau, mungkin cuma kebetulan." Jawabku sambil mengangkat pundak.
"Tapi kok jawabanmu yang pertama... kayak yakin banget? Nggak mungkin dong kalau kebetulan tapi wajahmu yakin banget tadi!" Dia lagi-lagi sangat ekspresif.
"Mungkin karena mata batin?" jawabku ke terakhir kalinya, membuatnya diam dengan mulut menganga.
Dia adalah laki-laki unik. Tumben ada orang yang tetap mengajakku mengobrol padahal aku sudah memberikan tatapan tajam dan tetap diam selama 10 detik, walau akhirnya dia tetap diam setelah aku mengatakan "Mata batin" tanpa bercanda di rumah sakit yang setiap detiknya mulai sepi.
Berpaling dari laki-laki asing yang sudah menutup mulutnya itu. Saat ini, aku hanya memandangi sebuah nomor antrian bertuliskan "B 209".
◐◐◐
"Waaaa!!" Aku terkejut.
"Eh?! Astaga aku ikut kaget!! Tarik napas dulu, lalu hembuskan... memangnya kamu mimpi apa tadi?" Dia, si Asing yang perhatian, dia bertanya padaku.
Selain perhatian, dia juga suka bercanda.
Aku hanya diam setelah melihat ke arah laki-laki asing di sebelahku, aku memandanginya dengan tatapan datar, kemudian mulai menunduk.
Huuuuufffttttt... tadi aku baru saja mengalami mimpi buruk yang terlihat sangat nyata. Aku tidak ingin memikirkannya lagi, atau bahkan bercerita dengan si Asing itu.
"Hanya mimpi buruk." Jawabku tanpa menoleh ke arahnya.
"Ooohh, gitu ya. Btw, sekarang jam berapa ya? Tapi aku pengennya kamu jawab sambil lihat ponsel," tanya si Asing lagi. Aku ingat terakhir kali dia bertanya, sebelum aku tertidur tadi.
Aku menghela napas sebentar, kemudian memperlihatkan layar ponselku padanya. "Jam 10 lebih 23 menit!"
Dia terlihat sedikit ngeri padaku. Apa aku menakutkan? Atau karena di sini rumah sakit? Aku tadi lupa untuk mengecek ponselku untuk melihat pukul berapa sekarang ini, tapi tiba-tiba sebuah suara halus membisikiku kalau waktu menunjuk pukul 10 lebih 23 menit. Mungkin itu alasannya, karena aku mengatakan jawaban yang tepat tanpa melihat ke ponsel terlebih dahulu.
"Kamu nggak ngecek ponselmu dulu, kayak tadi," Dia agak ketakutan sambil memaksakan senyumannya untuk tetap terbuka.
"Maaf, lupa." Tanggapku, lalu mengecek jam di layar ponselku, ternyata sudah pukul 22.24.
"Nggak papa," ucapnya sambil menunduk.
Kali ini aku yang menatapnya, menginginkan jawaban darinya di rumah sakit di jam larut malam ini. "Kamu kenapa masih ada di sini?"
Dari jam 7 malam tadi, bahkan sampai sekarang, dia masih ada di sebelahku, laki-laki asing itu. Bukannya itu waktu yang lama? Apalagi dia tidak berpindah tempat sekali pun, dan tetap masih duduk di sebelahku di ruang tunggu ini. Di ruang tunggu yang semula agak ramai, kini sepi karena sudah larut malam, tapi yang paling janggal di sini adalah keberadaan si Asing yang masih ada di sampingku.
"Aku nggak selalu ada di sini sih, tadi aku ke kamar mandi sebentar lalu balik lagi ke sini," Dia menjawab, tapi jawabannya menyebalkan. "Aku masih ada di sini karena nomor antrianku angkanya besar, jadi aku belum dipanggil ke ruangan."
Dia tersenyum ke arahku, tampak ikhlas sekali. Padahal menunggu selama ini kadang membosankan dan membuat bete, tapi dia bisa-bisanya tetap ikhlas. Auranya sangat positif dan apa adanya, aura yang sangat baik dan jarang dimiliki oleh orang lain. Aku kagum dengan aura seperti itu.
Tapi aku tetap membiarkannya tanpa menjawab apa yang dia katakan sebelumnya, aku hanya mengangguk agar dia tidak merasa jawabannya telah ditelantarkan.
"Oh iya, maaf nih sebelumnya, tapi tadi... aku lihat walpaper ponselmu pas kamu nunjukin jam (walpaper lockscreen). Itu kamu, 'kan yang ada di gambar? Kamu anak SMA ya? Kalau boleh kenalan, siapa namamu? Kalau aku, namaku Firza!" Dia nyerocos seperti machine-gun lalu mengulurkan tangannya untuk jabat tangan.
Aku tidak meraih tangannya untuk jabat tangan, bukan karena dia aneh, tapi akulah yang tidak terbiasa. "Ummm? Namaku-"
"Nomor antrian B 209, silahkan menuju ruangan." Sebuah suara dari koridor menghentikan perkenalan kami, nomor antrianku telah disebut.
"Maaf, mungkin lain kali. Aku duluan!" Ucapku untuk perpisahan kami, karena ternyata nomor antrianku terlebih dahulu dipanggil daripadanya.
Laki-laki asing itu menatapku bengong karena sebuah suara memanggil namaku dari koridor.
Aku pun pergi meninggalkannya tanpa memberitahu namaku terlebih dahulu, karena kupikir kami tidak akan bertemu lagi, jadi buat apa berkenalan sekarang?
Aku lanjut berjalan tanpa menoleh sedikit pun ke arah laki-laki asing bernama Firza itu, yang hanya duduk manis di ruang tunggu di larut malam ini. Sepertinya dia akan baik-baik saja, aura positifnya mungkin bisa melindunginya dari makhlus halus.
Terlepas dari ruang tunggu dan laki-laki asing itu, kini aku berjalan sendirian di koridor menuju ke lift. Sendirian dan sepi di sini, hanya ada beberapa suster yang aku temui di perjalanan menuju lift, dan itu bisa aku hitung dengan jari di satu tangan. Benar-benar larut malam ya? Aku harap tidak ada kecelakaan larut malam yang membuat suasana rumah sakit berubah menjadi ramai dan penuh tangisan.
Sesampainya di lift, masih tetap sendirian.
Aku menekan tombol lantai 3 di lift, tapi beda cerita dari yang kukira kalau aku akan sendirian, karena tiba-tiba terdengar suara langkah kaki larian seseorang yang dari awalnya samar-samar, perlahan semakin keras terdengar.
Apa seseorang akan datang sebentar lagi?
Aku tidak merasakan firasat buruk dari langkah kaki cepat ini, bukan dari orang ini, tapi apa yang ada di belakangnya! Sebuah tangan lalu muncul.
"Eits! Aku masuk duluan, nomor antrianku 210 nih, jadi..." Ternyata dia, laki-laki asing tadi yang bernama Firza, dia menghentikan pintu lift yang akan tertutup, namun...
Sesuatu yang aku bicarakan ada di belakang Firza akan muncul. Tidak, bukan sesuatu, tapi itu adalah seseorang.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar. Suara langkah di koridor yang sunyi itu terdengar keras hingga berhasil membuat Firza menghentikan ucapannya yang terdengar senang bertemu denganku.
Lampu koridor seketika mulai meredup, aura yang sangat kuat. Aku tidak menyangka aura seperti ini bisa mengikuti aura positif milik Firza. Seseorang dengan aura jahat akan muncul sebentar lagi.
"Kenapa ini? Kamu tau sesuatu?" tanya Firza, tapi aku tidak menjawabnya. Aku mengalihkan wajah namun masih melirik ke luar lift yang nantinya akan kedatangan tamu. "Aduuhh... ini kok nggak bisa ditutup sih?!"
Berkali-kali Firza menekan tombol pintu lift agar bisa tertutup, tapi tidak ada reaksi, seolah lift telah diblokir dari luar.
Ini... membuatku kesal, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Lampu di dalam lift bahkan masih menyala terang, alias juga tidak akan terjadi apa-apa di lift ini selain seseorang akan datang. Apa seseorang itu... dia memang manusia?
Firza akhirnya diam, matanya terbelalak dan sangat syok melihat seorang perempuan berdiri tepat di tengah koridor. Lampu koridor yang redup, tiba-tiba semua mati begitu saja ketika aku dan Firza melihat dengan jelas ke arah perempuan itu.
Semua lampu mati, kecuali lampu di dalam lift ini. Keringatku sudah bercucuran untuk menunggu kedatangan manusia dengan aura jahat ini.
Dari kegelapan koridor, akhirnya dia muncul!
Seorang perempuan masuk ke dalam lift bersama kami. Dia berhenti melangkah, kemudian berbalik badan membelakangiku, menghadap keluar lift. Firza masih tetap diam di sana, di depan tombol lift. Tubuhnya tidak bisa berdiri dengan tegap.
Tidak ada yang menekan tombol lift, tapi tiba-tiba pintu lift tertutup sendiri dengan angka lantai bertuliskan 13 menuju ke 11.
"Akhirnya... murid kesayanganku mengunjungiku, Lisa. Kejadian yang telah berlalu, tidak usah diungkit." Ucap perempuan itu, dialah Bu Dewi, berdiri membelakangiku dengan kepala yang setengah menoleh ke arahku, mengajak berbicara sembari lift turun dari lantai 13 menuju ke 11.
"Tunggu... loh kok... murid? Terus... bukannya tadi kita ada di lantai 1, kenapa sekarang kita ada di lantai 13?" Firza bergumam polos, kakinya gemetaran.
Tidak ada yang menjawab Firza, karena dia sedang berbicara sendiri. Sementara aku yang tadinya melirik ke arah Bu Dewi, kini tidak sama sekali. Pandanganku mulai tidak teratur ke salah satu sudut lift, seluruh emosi dalam diriku campur aduk di sini hanya karena kedatangan Bu Dewi yang tak diundang.
"Apa kamu rindu padaku?" tanya Bu Dewi lalu tertawa. Aku kembali melirik ke arahnya tanpa mengatakan sesuatu.
Suasana di sini sangat hening, hanya Bu Dewi yang berbicara sambil membelakangiku, namun dengan kepala yang masih setengah menoleh ke arahku. Firza yang terpaksa ikut terlibat di sini, masih tak bergerak karena takut, matanya tak bisa berhenti untuk melihat ke arah Bu Dewi.
"Dengar..." Bu Dewi ingin menjelaskan sesuatu, tapi sepertinya tidak jadi. "Oooohhh... detak jantungmu, aku bisa mendengarnya. Kamu marah, ragu, dan... apakah itu rasa bersalah, mungkin?"
Aku tidak menjawabnya, karena apa yang dia katakan benar dan aku sudah menduganya. Dengan aura sekuat itu... aku benar-benar merasa menyedihkan.
"Hahaha... gadis yang malang!" Lantai 11 akhirnya sampai, kemudian pintu lift terbuka dan Bu Dewi pun mulai melangkah berjalan keluar. "Hei, Firza! Jangan ganggu urusan kami atau kau akan hidup penuh dengan ketakutan. Camkan itu!"
Bu Dewi berhenti sebentar hanya untuk memperingatkan itu, kemudian kembali berjalan ke depan, sementara tekanan mental Firza semakin menjadi-jadi.
Aku tidak tau kenapa Bu Dewi memperingatkan ini pada orang asing seperti Firza, padahal dia orang yang tidak tau apa-apa tapi tiba-tiba harus terlibat dalam masalah ini.
Apa Bu Dewi juga merasakan aura positif Firza yang kuat itu? Apa dia berpikir bahwa Firza bisa mengusik rencana jahat Bu Dewi?
Keluar dari penasaranku yang singkat.
Tampak koridor lantai 11 yang sangat sepi, sunyi, dengan lampu yang redup. Bu Dewi berjalan ke arah sana dan tiba-tiba lampu koridor berkedip berkali-kali dengan nuansa horor. Hingga akhirnya ia menghilang ketika lampu mati, dan tak terlihat lagi ketika lampu menyala, seolah ditelan kegelapan dengan cepat.
Seakan koridor lantai 11 telah mendapat energinya, lampu-lampu di sana tidak berkedip lagi setelah Bu Dewi menghilang. Pintu lift pun kembali tertutup, lalu lift mulai turun menuju ke lantai 3 untuk tujuanku dan Firza.
Kejadian tadi... sepertinya kami dipindahkan ke lantai 13, sementara tujuanku dan Firza yang sebenarnya adalah lantai 3.
"K-kenapa... d-dia tau namaku? T-tadi... s-siapa?? D-dia tinggal di sini?! A-apa kamu tau sesuatu?!" Firza bertanya-tanya dan terdengar ketakutan sembari masih menatap ke arah kepergian Bu Dewi.
"Bu Dewi." Aku menjawab, arah mataku sama seperti Firza, lalu aku melengos saat Firza menoleh ke arahku.
(POV kembali ke Firza)
Yah, dia udah dipanggil duluan, belum juga tau namanya. Mungkin memang bukan jodohku, jadi ya sudahlah. Padahal perempuan tadi cantik juga. Dan sekarang... sial! Mana ponselku lowbat lagi, pasti bakal bosen kalau nunggu di sini lebih lama.
"Nomor antrian B 210, silahkan menuju ruangan." Sebuah suara dari koridor terdengar sekaligus mengejutkanku, karena inilah yang aku tunggu-tunggu daritadi, akhirnya nomor antrianku telah dipanggil.
Eh, tunggu dulu, bukannya perempuan tadi... baru saja pergi, 'kan? Apa aku bisa mengejarnya untuk mengetahui namanya? Yakin?
Aku terus bertanya pada diriku, pada akhirnya aku jadi percaya diri nih. Jadi, aku memutuskan untuk pergi berlari mengejar bidadariku yang sudah duluan pergi. Dan sekarang juga sudah larut malam, mungkin tidak apa-apa berlari di koridor sekarang.
Dengan semangatnya aku mulai berlari, berharap bertemu dengan perempuan yang menemaniku di ruang tunggu tadi.
Di tengah perjalanan... aku tidak terlalu merasa janggal, walau koridor sangat sepi, bahkan aku tidak bertemu dengan satu pun orang, bahkan seorang suster sekalipun.
Tidak peduli! Akhirnya aku melihat sebuah lift, dan di dalamnya tampak seorang perempuan baru saja masuk ke dalam. Aku yakin yang masuk ke dalam lift adalah perempuan tadi, jadi aku mempercepat langkahku, kemudian menghadang pintu lift yang hampir tertutup. Hahaha... pintu lift yang sudah aku hadang tidak jadi tertutup!
"Eits! Aku masuk duluan, nomor antrianku 210 nih, jadi..." Aku bersemangat, tapi aku tidak melanjutkan kalimatku karena sebuah suara langkah kaki di koridor dengan bernuansa seram menyita perhatianku.
Memperhatikan koridor kosong, tiba-tiba lampu yang menyala terang perlahan mulai meredup.
Hah?! Aku terkejut sekaligus ketakutan. Aku pernah melihat hal seperti ini di film-film horor yang aku tonton, dan tentu saja akan keluar makhluk halus setelahnya. Oh iya! Aku jadi ingat, bukannya perempuan di dekatku punya mata batin?
"Kenapa ini? Kamu tau sesuatu?" tanyaku, tapi dia tidak menjawab. Apa mata batinnya tidak bekerja?
Alih-alih menjawab, dia malah terdiam dan sedikit melengos, tapi tatapannya yang tajam tetap melihat ke arah luar lift.
Tunggu, dia tidak ingin mempersilahkan masuk seekor makhluk halus ke dalam lift, 'kan? Ayolah! Dia hanya diam! Atau dia tidak bisa bergerak karena ketakutan? Ah, aku harus mencoba sesuatu. Bagaimana dengan tombol pintu di lift? Aku terus menekannya tapi...
"Aduuhh... ini kok nggak bisa ditutup sih?!" Ujarku, karena tombol lift tidak bereaksi setelah aku terus-menerus menekannya dengan histeris.
Tidak ada reaksi dari apa yang aku kerjakan! Dan tiba-tiba saat fokusku beralih dari tombol-tombol di lift menjadi ke arah koridor di luar lift, aku melihatnya... sudah berdiri seseorang di tengah-tengah koridor. Keringat dingin di tubuhku langsung bercucuran. Aku merasa bahwa aku harus tidak bergerak agar bisa selamat dari sini.
Ini sudah nggak harviah! Nggak normal dan janggal!
Puncaknya dari kejadian ini... tiba-tiba seluruh lampu koridor mati secara bersamaan, seolah orang tadilah yang mematikannya. Hanya lampu lift yang menyala?
Tiba-tiba sebuah tubuh keluar dari kegelapan, kemudian masuk ke dalam lift ini. Seorang wanita?! Dia berhenti dan berdiri di sampingku, membuat kakiku gemetaran, kakiku sangat lemas sekali.
Dia berdiri membelakangi perempuan cantik dengan mata batin tadi, perempuan tadi hanya diam seolah memang tau semuanya. Sedangkan si wanita misterius yang baru muncul dari kegelapan, dia setengah menoleh ke belakang dan wajahnya membelakangiku. Jadi, aku hanya bisa melihat rambut belakangnya yang terikat kuncir kuda.
"Tadi kita ada di lantai satu, kenapa sekarang kita ada di lantai tiga bel-" Kalimatku terpotong oleh hal yang aku takutkan.
"Firza... seorang manusia biasa..., mulai saat ini... JANGAN GANGGU URUSANKU DENGAN LISA!!" Teriakannya mengakhiri ini.
◐Keluar Dari Mimpi Buruk◑
"HAAAHH!!" Aku terkejut, terbangun dari mimpi burukku. "Hah... huuufftt... cuma mimpi buruk? Aduuh... kepalaku..."
Pusing... aku kenapa? Mimpi buruk yang aneh. Aku mencoba mengatur napas untuk mengingat mimpiku lagi. Kurasa... aku pernah mengalami kejadian sama yang ada di mimpiku, tapi bukan seperti itu (di mimpi) endingnya. Endingnya kayaknya salah deh, tapi... ah aku lupa! Kurasa kejadian nyata di lift itu... berbeda dengan apa yang ada di mimpiku. Mimpi yang benar-benar buruk.
Ya sudahlah lupakan saja, itu adalah kejadian lama yang aku tidak ingat. Aku tidak ingat hari apa ketika kejadian di lift itu, yang kuingat hanyalah... tidak ada, hanya samar-samar. Jadi, ya lupakan saja!
Sekarang sudah pukul... astaga! Jam di ponselku menunjukkan kalau sekarang sudah pukul 06.12! Aduuhh... kenapa Ibu nggak bangunin aku ya? Aku bakal terlambat masuk sekolah kalau kayak gini jadinya! Dan sekarang... tunggu, d-di mana buku Pr Matematika milikku? Aku ingin mengerjakan Pr di sekolah saja!
Aha, aku mendapatkannya!
Setelah mengambil buku Pr Matematika milikku yang berada di bawah selimut, aku langsung memasukkannya ke dalam tas agar tidak lupa. Setelah beres dengan tasku, aku lanjut untuk persiapan lainnya sebelum berangkat sekolah seperti, mandi, dan sarapan.
Tapi saat selesai mandi, aku meludah ke ujung wastafel karena merasa ada yang janggal dengan mulutku. Dan alhasil, aku mengeluarkan darah dari mulutku. Ludahku berisikan darah? Entahlah.
Tidak ada yang mengetahui hal ini di keluargaku, selain diriku sendiri. Terakhir kali aku ke rumah sakit, hanya untuk memperiksakan mulutku yang setiap pagi penuh darah. Tapi saat dicek ke dokter dengan menggunakan peralatan canggih maupun biasa-biasa saja, dia mengatakan bahwa tidak ada yang salah denganku, alias aku baik-baik saja dan sehat. Sementara aku akhirnya tidak kontrol ke rumah sakit lagi, karena menurutku itu akan percuma saja.
Sudah sekitar 2 atau 3 bulan yang lalu.
Semoga saja aku baik-baik aja, selagi orang tuaku tidak mengetahui hal ini, mereka tidak akan khawatir.
"Firza! Ayo sarapan dulu!" Teriak Ibu dari ruang makan.
"Siap, Bu! Sebentar, aku nanti ke sana," jawabku di dapur depan wastafel, kemudian bergumam. "Aku nggak bakal ceritain ini ke orang tuaku..."
◐◐◐
Kupikir aku bakal ngarjain Pr di sekolah, tapi nyatanya... malas! Teman sekelasku banyak yang sedang mengerjakan Pr, tapi aku memilih untuk bersantai di bangku kursiku.
Aku duduk paling belakang tapi tidak di pojok. Sebenarnya ada kursi lagi di belakangku yang kosong, tapi ketika aku duduk di sana, aku selalu di suruh maju oleh guru karena tempat duduk di depannya kosong. Ya sudah deh, akhirnya aku duduk di tempat ini. Lagipula, jumlah murid di kelas sedikit dan tidak akan ada yang duduk di belakangku.
"Fir, boleh duduk di sampingmu, nggak? Soalnya Atma nggak masuk hari ini!" Ucap Dexter, dia ketua kelasku sekaligus teman paling dekatku di kelas.
"Tuh, kayaknya Febi juga duduk sendirian, soalnya Anie biasanya berangkat awal, tapi sampai sekarang belum datang juga. Pembelajaran sudah hampir dimulai, kayaknya emang Anie nggak berangkat sekolah!" Aku mengelak.
"T-tapi Febi perempuan! Mending-mending duduk sendiri-" Ujar Dexter terpotong.
Krrrrrrriiiiiiinnggg... krrrrrrriiiiiiinnggg... krrrrrrriiiiiiinnggg...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!