*Prolog
Ellia Myesha, dia adalah seorang gadis desa. Saat ini usianya menginjak 21 tahun. Dengan kulit putih, memiliki rambut panjang yang lurus dan hitam legam. Memiliki paras cantik dan ayu yang tak membosankan untuk dipandang mata. Serta memiliki sikap lemah lembut dalam bertutur kata. Jujur, amanah, rajin dan tekun dalam bekerja.
Ellia berasal dari keluarga miskin. Meskipun miskin, namun dia dikaruniai otak yang cerdas. Hingga dia mampu menyelesaikan sekolahnya hanya dengan beasiswa pintar yang diterimanya.
Ellia juga pernah memiliki saudara laki-laki. Namun, meninggal saat umurnya menginjak tujuh tahun. Akibat penyakit leokimia yang dideritanya.
Dua bulan sebelum ujian sekolahnya diadakan. Tiba-tiba Ellia mendapat kabar duka dari kedua orangtuanya. Saat ayahnya mengantarkan ibunya ke pasar untuk berbelanja keperluan dapur. Mereka menjadi korban kecelakaan beruntun yang terjadi diarea sekitar pasar. Sejak itulah, hidupnya berubah drastis. Yang biasanya, kebutuhan sehari-harinya ditanggung oleh kedua orangtuanya. Kini hidup sebatang kara. Semua kebutuhan hidupnya harus ia tanggung sendiri.
Dan karena itu pula, setelah lulus sekolah dia langsung memutuskan untuk bekerja. Demi mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Beruntunglah dia memiliki saudara dari ibunya yang mau mempekerjakannya. Walau hanya bermodalkan keuletan dan kejujuran yang dimilikinya.
Dan alhasil, Ellia meninggalkan rumah kedua orangtuanya itu untuk tinggal ditempat kerjanya saat ini.
*****
Di pagi buta, usai melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Ellia memulai aktifitasnya seperti biasa. Yaitu menyapu, membersihkan dan membenahi peralatan serta perlengkapan yang ada didalam counter tempatnya bekerja tersebut.
Sejak bekerja di counter itu, Ellia memutuskan untuk menginap dan tinggal di kamar yang sudah disiapkan di belakang counter tersebut. Sebab, jika harus bolak-balik ke rumahnya cukup memakan waktu dan tak mempunyai kendaraan.
Bangunan counter pulsa tersebut berukuran 4 x 7 meter. Sudah terdapat kamar tidur, toilet, dan juga dapur mini. Di bagian depan terdapat teras berukuran 3 x 2 meter. Dan juga sebuah gazebo kayu tempat pelanggan yang mencari jaringan WiFi.
Tepat pukul 08.00 pagi, Ellia kedatangan tamu di counter itu. Semalam Ellia telah diberi kabar oleh Tante Erna. Bahwa dia akan datang bersama keluarga sahabatnya.
Tante Erna merupakan pemilik counter tersebut yang juga adik sepupu dari ibu kandung Ellia sendiri.
"Assalamualaikum, Ell'!" ucap Tante Erna sambil tersenyum pada Ellia tepat didepan pintu counter itu. "Apa kabar Nak?" lanjutnya.
"Wa'alaikum salam, Tante! Alhamdulillah saya baik. Tante sendiri, apa kabar?" jawab Ellia sopan. Sambil mencium tangan Tante Erna takzim.
Dibelakang Tante Erna berdiri wanita paruh baya dan seorang pria. Yang tampak seperti ibu dan anak. Tante Erna memperkenalkan kedua orang itu pada Ellia. Kemudian Ellia pun memperkenalkan dirinya.
"Kenalkan Ell' ini sahabat Tante yang Tante ceritain sama kamu semalam, namanya Listiani." ucap Tante Erna. Dan Ellia pun tersenyum manis sambil menyalami tangan Tante Lis takzim.
"Kenalkan Jeng, ini keponakan dan juga orang kepercayaan aku untuk menjaga dan mengolah counter pulsa di sini." sambung Tante Erna.
"Dan ini anaknya dari Tante Lis, Ellia. Namanya Evan." ucap Tante Erna lagi. Kembali Ellia memperlihatkan senyuman manisnya.
Namun kali ini, bukannya menyambut uluran tangan Evan. Seperti yang dia lakukan pada Tante Lis tadi. Ellia malah menangkupkan kedua tangannya didepan dadanya. Sebagai tanda perkenalannya dan mengucapkan "Maaf Kak?!" ucap Ellia lembut. Dengan sedikit menekuk lututnya, tanda hormat.
Mendapat sikap dan ucapan maaf langsung atas penolakan uluran tangannya seperti itu. Membuat senyuman lebar tercetak jelas di bibir Evan. Dalam hati, ia langsung mengagumi sosok Ellia. Yang lembut, santun, ramah dan menjaga marwahnya sebagai wanita.
Namun sesungguhnya, dalam hati Ellia sedikit mengumpat dirinya sendiri. Karena merasa dirinya seakan orang yang terlalu religius. Padahal, dia hanya sedang melakukan perintah seseorang saja. Untuk tidak berjabat tangan secara langsung dengan pria bernama Evan itu.
Usai perkenalan itu, Ellia mempersilahkan para tamunya untuk duduk diruang tamu yang memang disiapkan didalam counter itu. Kemudian dia pamit ke pantry untuk membuatkan minuman.
Setelah kepergian Ellia, Tante Erna mulai menghubungi seseorang dengan ponsel pintarnya. Dan terdengar mengatur sebuah pertemuan mereka nanti dengan orang dibalik telfon tersebut.
Beberapa menit berlalu, Ellia terlihat keluar dengan sebuah nampan di tangannya. Yang berisi minuman untuk para tamunya. Setelah minuman itu tersaji dihadapan tamu-tamunya. Ellia kembali pamit undur diri untuk melanjutkan pekerjaannya.
Tante Erna melanjutkan percakapannya dengan Tante Lis. Sedang Evan hanya duduk diam di kursinya. Karena merasa bosan hanya duduk diam dan mendengarkan obrolan Ibunya dan Tante Erna. Evan memutuskan untuk berkeliling disekitar counter tersebut. Dan mendapati Ellia yang sibuk didepan laptopnya, dibalik lemari etalase.
Karena terlalu serius dengan laptopnya. Ellia tak sedikitpun menyadari kehadiran Evan didepannya. "Terlihat semakin cantik. Apa yang sedang ia kerjakan? Hingga tak menyadari kehadiran ku." batin Evan. Ia semakin terpukau melihat Ellia yang tampak semakin cantik. Dengan kaca mata anti radiasi yang dikenakannya. Saat menggunakan laptop.
"Hai, Ellia! Kau sedang apa?" sapa Evan saat beberapa lama ia berada tepat didepan Ellia.
"Eh... Kak Evan." ucap Ellia sedikit terkejut. "Saya sedang membuat laporan keuangan counter. Apa Kak Evan memerlukan sesuatu?" tanya Ellia lembut tanpa menghilangkan senyuman di wajahnya.
"Tidak, terimakasih. Aku hanya merasa bosan saja. Jadi, aku putuskan untuk melihat-lihat isi counter ini. Dan melihatmu begitu serius didepan laptop. Maaf, jika aku mengganggumu?! Silahkan, kau lanjutkan saja perkerjaanmu itu! Tidak usah perdulikan aku." tutur Evan lagi.
"Tidak, saya akan menemani Kak Evan saja. Pekerjaanku bisa aku lanjutkan lagi nanti." ucap Ellia sambil mengakhiri pekerjaannya dan menutup laptopnya.
"Emangnya...jam berapa janji ketemuannya Kak?" tanya Ellia sedikit kepo.
"Em... kata Tante Erna sebentar lagi sih...! Tapi, aku tipe orang yang tidak suka menunggu. Hanya karena menghargai Ibuku dan Tante Erna. Dan juga, saya ingin tahu gadis seperti apa yang ingin dijodohkan Ibuku untukku?!" ujar Evan.
"Apakah kau mengenal gadis itu, Ellia?" lanjutnya bertanya.
"Iya, aku mengenalnya. Hanya saja, aku tidak begitu akrab dengannya. Cuma yang aku lihat, orangnya cantik, pintar, lulusan sarjana dan orang tuanya termaksud orang berpengaruh di desa ini." tutur Ellia jujur.
"Em... benarkah?" gumam Evan sedikit tidak yakin. "Apakah kecantikannya, melebihi darimu?" tanyanya bergurau.
"Maksud Kak Evan?" tanya Ellia bingung mendengar pertanyaan Evan. Yang menurutnya aneh.
"Maksud aku, apa cantiknya melebihi dari kecantikanmu?" jelas Evan
"Kecantikanku?!" tunjuk Ellia dirinya sendiri. "Ah, aku tidak ada apa-apanya Kak. Jika harus dibandingkan dengan Kak Puspa. Sangat tidak pantas Kak!" ujar Ellia merendah.
"Kenapa tidak pantas, hem...?" tanya Evan dengan menatap wajah Ellia penuh arti.
"Sudah ah, bercandanya nggak lucu Kak! Ganti topik pembicaraan yang lain saja deh... Aku nggak mau Kak Puspa sampai salah paham nanti. Karena mendengar kecantikannya dibandingkan dengan gadis seperti saya." ucap Ellia ingin mengalihkan pembahasan.
Tiba-tiba sebuah mobil mini Cooper berwarna merah, membunyikan klaksonnya. Dan masuk dihalaman depan counter tersebut. Perhatian semua orang yang berada di counter itu. Langsung tertuju pada si pengemudi mobil tersebut.
Bersambung dulu ya para reader ku...😘
Terlihat seorang wanita cantik dengan rambut panjangnya yang tergerai bebas, turun dari mobilnya. Tante Erna langsung menghampiri wanita tersebut dan menyambutnya dengan ramah.
"Assalamualaikum Kak! Apa kabarmu?" ucap wanita cantik itu.
"Wa'alaikum salam Dek! Alhamdulillah... seperti yang kau lihat, Aku sehat. Kau sendiri, apa kabar?" tanya balik Tante Erna.
"Alhamdulillah, Aku juga sangat sehat Kak." jawab wanita cantik itu.
"Ayo! Mereka sudah lama menunggumu." ajak Tante Erna
Mereka memasuki area teras counter. Yang di sana sudah menunggu Tante Lis. Kemudian mereka bertiga terlihat mulai saling sapa dan berkenalan satu sama lain. Lalu, wanita cantik itu terlihat membuang pandangannya ke segala arah. Seperti sedang mencari sesuatu.
Tante Erna yang mengerti dengan sikap yang ditunjukkan wanita cantik. Yang juga merupakan adik sepupunya. Langsung mencolek lengan sahabatnya, yaitu Tante Lis. Dan Tante Lis pun langsung merespon dan mengerti maksud sahabatnya itu.
"Evan... sini Nak!" panggil Tante Lis lembut.
Sementara itu, Evan yang sempat melihat kedatangan wanita cantik itu. Sudah sedikit bisa menebak dan menilai karakter wanita cantik yang akan dikenalkan dengannya itu. Membuat hatinya sedikit malas untuk berkenalan dan melanjutkan hubungan yang lebih jauh lagi.
"Ayo Nak, jangan membuatnya menunggu terlalu lama!" ucap Tante Lis pada Evan. Sambil menghampiri Evan yang hanya asyik mengobrol dengan Ellia. Dengan sedikit memaksa anaknya itu untuk beranjak dari tempat duduknya saat ini. Tante Lis menggandeng lengan Evan erat.
Sebelum meninggalkan Ellia, Evan melempar senyum manis kearah Ellia. Seakan senyum manis itu, tanda pamitnya pada Ellia.
"Iya Bunda...! Tanpa dipaksa pun, Evan akan menuruti semua keinginan Bunda ini." ucap Evan lirih.
"Bunda tahu semua perangaimu Nak. Jadi, jangan coba menutupinya." balas lirih Tante Lis.
Mereka sengaja berbicara pelan seperti itu, agar semua percakapan mereka itu tak terdengar oleh orang lain, selain mereka berdua.
"Kenalkan Nak! Ini anak bungsu Tante, namanya Evan ..... Dan Evan, ini Puspita... Ini lho 'Van... gadis yang Bunda cerita ke kamu waktu itu. Beneran cantik 'kan Nak?" tutur Tante Lis memuji gadis pilihannya untuk Evan. Dan Evan hanya menanggapi dengan memperlihatkan senyum tipisnya.
"Iya lho Evan. Puspita ini merupakan adik sepupu Tante yang paling muda. Dari semua sepupu-sepupu Tante yang lainnya. Dia anak tunggal dari..... "
Tante Erna mulai menceritakan semua tentang Puspita. Begitupun dengan Tante Lis, ikut menceritakan semua tentang Evan. Mereka berempat mulai saling mengakrabkan diri satu sama lain.
Sementara itu, dilain sisi Ellia sendiri mulai sibuk melayani para pelanggan yang datang ke counter tersebut.
"Assalamualaikum Ellia! Apa kabarmu hari ini? Penyakit maagmu tidak kambuh lagi 'kan?" ujar seorang pelanggan yang datang.
"Wa'alaikumsalam Kak Ustad. Alhamdulillah, hari ini aku sangat sehat. Kak Ustad mau beli pulsa apa?" jawab Ellia dan balik bertanya. Dengan senyuman yang tak luntur dari wajahnya.
"Tolong kirimi Kakak pulsa paket unlimited untuk sebulan!" jawab pelanggaran yang dipanggil Kak Ustad oleh Ellia itu.
"Oke, siap Kak! Tunggu sebentar, akan aku kirimkan pulsanya." ucap Ellia riang dengan mengacungkan jempolnya.
Tanpa Ellia sadari, Evan yang sedang duduk mengobrol dengan calon tunangan, dan Tante Erna serta Ibunya. Terus memperhatikan keakrabannya dengan pelanggan yang sedang dilayaninya saat ini.
"Siapa pria itu, kenapa dia terlihat sangat akrab dengan Ellia? Dan entah kenapa, aku tidak suka melihat keakraban mereka itu! Apakah aku sudah jatuh hati pada Ellia?" batin Evan bermonolog.
"Tapi, tidak ada salahnya jika aku menyukainya. Dia wanita yang cantik, lembut, sopan, dan Sholehah lagi. Melihatnya tersenyum manis pada pria lain, hatiku sangat tidak rela. Aku hanya ingin menikmati senyumnya itu sendiri."
Batin Evan terus berbicara sendiri. Sambil terus memandang wajah Ellia dari kejauhan. Dia sama sekali tidak mendengarkan percakapan Ibu, Tante Erna dan calon tunangannya. Yang sedang membicarakan tentang dirinya. Tubuhnya memang berada di sana, namun hati dan pikirannya berada pada Ellia yang berada jauh di depannya.
"Jadi, apa kau menyukai putra Tante ini Nak? Dan... maukah kau menjadi tunangannya? Jika sudah klik, Tante akan membuat acara pertunangan kalian. Bahkan, kalian bisa langsung menikah. Jika sudah sangat merasa cocok satu sama lain." ucap Tante Lis pada Puspita.
"Tentu saja Tante. Wanita mana yang akan menolak pesona seorang pengusaha sukses sepertinya Tante. Jika Evan meminta menikah dengan ku esok hari pun, aku tak akan menolaknya." ucap Puspita dengan penuh harap.
"Benarkah? Tetapi...itu sangat tidak etis Nak. Kami adalah keluarga terpandang dan keluargamu pun sebaliknya. Jadi, Tante akan membuat sebuah pesta pernikahan yang meriah untuk kalian. Jika kalian sudah siap untuk menikah. Oke?!!" tutur lembut Tante Lis.
"Bukankah begitu 'Van?" tanya Tante Lis pada dengan menyentuh tangan Evan.
"Eh... iya Bun'!" ucap Evan asal karena terkejut.
"Kamu kenapa 'Van? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Tante Lis demi memastikan anaknya, dalam keadaan baik.
Karena sejak tadi, Tante Lis memperhatikan Evan tampak tak fokus pada mereka. Hanya tampak seperti melamun saja.
"Tidak apa-apa Bunda. Aku hanya merasa lelah saja. Dan di kantor, masih banyak pekerjaan yang menungguku." jawab Evan berdalih.
"Kan masih ada sekretaris kamu yang bisa menghendel pekerjaan kamu Nak. Jadi, mulai sekarang kau harus belajar membagi waktumu. Pikiranmu, tidak usah melulu tentang pekerjaan. Apa lagi sekarang, kau telah memiliki tunangan. Jadi, kau juga harus punya waktu untuknya nanti. Bukan begitu Nak Puspita?" ucap Tante Lis pada Evan. Kemudian beralih pada Puspita.
"Tidak apa-apa Tan'. Aku suka kok pada pria pekerja keras seperti Evan. Nanti...kalau sudah mengenalku lebih baik lagi. Dengan sendirinya, Evan akan mengalihkan perhatiannya padaku." ucap Puspita percaya diri. Sambil memperlihatkan senyum malu-malu.
Evan hanya tersenyum sangat tipis, bahkan hampir tak terlihat. Dalam hatinya berkata, "Percaya diri sekali wanita ini untuk bisa menguasai diriku. Dan mengalihkan perhatianku hanya pada? heh, dia pikir semudah itu!"
"Baiklah. Karena Tante dan Tante Erna masih ada urusan lain. Tidak apa-apakan, kalau kami tinggal? Kalian bisa lanjutkan acara perkenalannya." pamit Tante Lis pada Puspita.
"Iya Tante. Tidak apa-apa." jawab Puspita senang. Karena akan bebas mengobrol dengan Evan.
"Bunda ikut mobil Tante Erna aja ya 'Van. Jadi, kau bisa pulang sendiri. Masih ingat jalan pulangkan?" ucap Tante Lis pada Evan bergurau.
"Iya Bunda. Silahkan. Hati-hatilah dijalan." jawab Evan sedikit malas. Karena akan ditinggalkan dengan wanita pilihan, yang akan menjadi tunangannya.
Tante Lis dan Tante Erna melakukan cupika cupiki bersama Puspita. Sebagai salam perpisahan sementara mereka.
Sepeninggalan ibu dan Tante Erna, Puspita menggeser duduknya. Agar sedikit lebih dekat dengan posisi duduknya Evan.
"Kita cari tempat yang nyaman buat ngobrol yuk?!" usul Puspita sambil menggenggam telapak tangan Evan.
"Tidak perlu Puspita. Disini saja, aku sudah nyaman. Tidak perlu mencari tempat lain lagi." tolak Evan halus.
"Aku tidak begitu nyaman 'Van. Lihatlah! Para pelanggan dan gadis penjaga counter itu. Mereka mencuri-curi pandang kearah kita." ujar Puspita lagi.
"Tidak usah kau memperdulikan mereka. Toh kita hanya mengobrol saja kan?!" ujar Evan masih berusaha santai meski hatinya sudah sangat tidak suka berlama-lama dengan wanita didekatnya itu.
"Hem.... baiklah, jika begitu!" pasrah Puspita. "BTW... apa makanan atau minuman kesukaanmu? Biar aku perintahkan asisten rumah tanggaku membuatkannya untuk makan siang kita nanti." sambungnya.
"Tidak perlu Puspita. Karena jam makan siang nanti, aku ada pertemuan dengan klienku. Dan akan sekalian makan siang bersama di tempat pertemuan kami nanti." ujar Evan beralasan.
Padahal siang nanti, dia hanya akan pulang ke rumah dan mengerjakan pekerjaan kantornya. Sebab hari itu, dia sudah menyerahkan semua pekerjaan kantornya pada asisten pribadinya. Dan hari itu, jadwalnya khusus bertemu wanita yang akan menjadi tunangannya nanti.
"Tapi...kata Tante Lis, hari ini adalah waktumu bersamaku seharian 'Van...!" ujar Puspita dengan sedikit merajuk manja pada Evan.
"Hah!!! Gila. Mau ngapain aja kita seharian?" ucap Evan terkejut dan bingung.
"Yah...ngobrol banyaklah sayang...! Jika seharian ini kita bisa cepat saling mengenal satu sama lain. Besok, jika kau memintaku untuk menikah. Aku akan sangat senang dan bahagia sekali Sayang. Dan aku tak akan berani untuk menolakmu sekalipun." ucap Puspita berangan terlalu tinggi.
"Yang benar saja kau ini?! Aku setuju bertemu denganmu. Itu hanya karena aku tidak ingin mengecewakan Bundaku. Jadi, aku harap kau bisa menjaga sikapmu!" ucap Evan dengan penuh penekanan.
"Ya ya ya... aku mengerti. Tadi aku hanya bercanda Evan. Jangan terlalu diambil hati! Sebenarnya, aku juga tidak ingin buru-buru menikah. Apalagi dengan pria yang baru aku kenal dan sangat asing bagiku." ucap Puspita mulai memainkan peran wanita berkelas dan terhormat.
Mendengar dan melihat perubahan sikap dan cara bicara Puspita yang berubah drastis. Membuat Evan menatapnya dalam dengan kening berkerut.
"Baiklah. Apa yang kau rencanakan untuk hubungan kita, selanjutnya? Aku siap mendengarkanmu. Katakan!" pinta Puspita berubah bijak.
"Aku sangat mengenal Ibuku. Beliau akan sangat kekeh dengan pendiriannya. Jika sudah memutuskan sesuatu, harus membuahkan hasil. Entah itu akan gagal nantinya atau...berhasil. Jadi, percuma saja aku menentang keinginannya."
"Dengan sangat terpaksa, aku harus mengikuti keinginannya itu. Tapi, itu hanya berlaku untuk sementara saja. Sampai Beliau tampak senang dan bahagia." ujar Evan.
"Maksud kamu..." tanya Puspita bingung.
"Maksud aku, kita jalani saja perjodohan ini sebagaimana mestinya. Jika nanti kau atau aku yang sudah bosan. Maka, diantara kita bebas memutuskan hubungan perjodohan ini."
"Karena, jujur saja Puspita. Aku sudah lelah mendengar segala anjaman ibuku. Untuk tidak makan ataupun minum selama berhari-hari. Setiap kali aku menolak untuk bertemu dengan wanita-wanita pilihan. Yang ingin Beliau jodohkan dengan 'Ku. Jadi, untuk mengakhiri semua usahanya itu. sementara waktu, Aku akan menurutinya saja." jelas Evan panjang lebar.
"Hem... Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Puspita lagi.
"Silahkan..." jawab Evan singkat.
"Sebenarnya, apa alasanmu hingga selalu menolak untuk dijodohkan oleh Ibumu?"
"Aku tidak menolak untuk dijodohkan. Hanya saja, sekarang ini bukan zaman Siti Nurbaya lagi. Jadi, aku ingin menemukan pasangan hidupku sendiri. Setelah diriku merasa siap berkeluarga dan menemukan tambatan hatiku. Itu saja, tidak lebih!"
"Tapi, Ayah dan Bunda ku selalu mendesakku. Dengan alasan, Mereka sudah semakin tua. Takut, tidak sempat menggendong cucu hasil dari keturunanku nanti. Karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku. Hingga aku lupa akan waktu yang terus berlalu." ungkap Evan panjang kali lebar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!