‘Sesungguhnya neraka Jahanam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman’ (QS. Al-Furqan : 66)
***
Bleb bleb...
"Dih, mogok lagi!" keluh Aiza saat motor yang dia tunggangi berhenti mendadak.
Malam gelap dan sepi begini, motor malah penyakitan. Begini rasanya saat berkendara sendirian larut malam. Aiza merasakan kulit tubuhnya meremang. Bukan takut pada wewe gombel atau sejenis kuntilanak, tapi takut preman jalanan atau buaya darat.
Ia menoleh ke kiri dan kanan. Hanya lampu jalanan yang menerangi dengan remang- remang.
Tiba- tiba suara langkah kaki di belakang membuat Aiza kian meremang.
Itu suara kaki siapa? Preman? Perampok? Duh, kenapa pikirannya ekstrim begini?
Pelan, kepala Aiza menoleh. Terkejut melihat sosok pria melangkah mendekat, wajahnya tak kelihatan akibat tertutup topi jaket. Kedua tangan pria itu masuk ke kantong jaket.
Gawat! Siapa itu?
Aiza kelabakan, kebingungan, tangannya bergerak ke sana sini, hendak mendorong motor, tapi mustahil itu dia lakukan.
"Nggak usah takut, aku bukan orang jahat," ucap pria itu sambil menurunkan topi dari kepalanya. Ia jongkok dan melihat kondisi motor. Entah apa yang disentuh pria itu. Lalu ia menyalakan starter motor.
Mesin menyala.
"Udah baikan," ucap pria itu sambil memegangi stang motor.
Aiza malah terbengong, sedikit menjauh dari posisi pria itu. Maklum, Aiza tidak pernah dekat dengan sosok laki- laki. Bahkan dengan ayahnya sekali pun. Sebab Aiza dan ayahnya kan berantem terus.
Pria itu menatap Aiza. "Ini! Ayo pegang!" Pria itu menunjuk motor dengan dagunya. "Mau naik motor nggak?"
"Oh. Iya." Aiza memutari motor, memegang stang yang jauh dari jangkauan pria itu menghindari senggolan saat mengambil alih stang yang dipegangi pria itu.
Pria itu melangkah mundur, dua langkah saja.
"Makasih," ucap Pria itu yang langsung membuat Aiza jadi tercengang.
Ups, Aiza lupa menyampaikan kata terima kasih. Kena sindir kayaknya.
Aiza kemudian mengegas motornya. Begini nih kalau pakai motor butut, seharusnya motor tua itu memang sudah masuk gudang saja.
Tiba-tiba Aiza melihat pemandangan buruk di depan sana. Tampak dua pria bertubuh tegap dan tinggi berjalan menuju ke arahnya. Weeh... ketakutan Aiza beneran terjadi.
"Siapa mereka?" gumam Aiza sambil mengurangi kecepatan motor yang dia naiki.
Meski hanya diterangi temaram lampu jalanan, ditambah sorot lampu motor yang kini tengah dikendarai oleh Aiza, namun gadis itu dapat melihat dengan jelas muka para pria yang menyeramkan itu. Kulitnya hitam, hidungnya besar seperti terong, dan yang lebih menakutkan adalah angka sebelas yang keluar masuk melalui lubang hidung besar itu. Astaga.
Malam sudah larut. Rintik gerimis membuat pandangan mulai kabur. Untung saja ada helm usang yang melindungi kepala. Meski kacanya sudah tidak ada, minimal kepala bagian atas terlindungi. Warna helm sudah tujuh rupa.
Rintik hujan mengenai mata, bikin perih. Setelah tadi debu yang masuk ke mata, sekarang air.
Hampir saja Aiza memutar haluan motornya mengingat rasa ngeri saat harus melintasi dua pria menyeramkan di depan, tapi urung mengingat ia harus pulang. Gang itu agak sempit, sulit bagi Aiza memutar motornya.
Bismillah...
Dalam hati Aiza merapal sederet doa memohon perlindungan pada dzat yang Maha Melindungi.
"Woi!" teriak salah seorang pria berkulit hitam itu sambil menunjuk ke arah Aiza.
Pria satunya juga ikut mengacungkan jari ke arah Aiza.
Loh, ada apa ini? Ketakutan Aiza akhirnya terjadi juga. Aiza tak kuasa kabur karena stang motornya sudah diraih oleh tangan besar si pria hitam. Motor pun berhenti. Dan apa itu yang meleleh di hidung pria itu? Huh, sepertinya dia sedang pilek. Yieeek...
"Hai, sayang! Nganu yuk!" si pria hitam itu menjulurkan lidah.
"Kita bersenang- senang, sayang! Nikmat!" Pria satunya yang berambut keriting meraih tas Aiza. Menarik kuat hingga tas selempangan itu melorot dari pundak.
Kenapa jadi seperti di film laga begini? Ada preman yang berusaha ngerampok malam buta.
"Tolooooooong...!" Berkali- kali gadis berkerudung putih itu menjerit minta tolong. Berharap ada malaikat baik hati muncul dan menolongnya. Atau ada keajaiban yang membuat dua preman menyeramkan itu mendadak berubah jadi kodok.
Bersambung
Tidak seperti yang diharapkan, justru yang muncul adalah kolor terbang.
Plung!
Kolor warna hijau yang barusan melayang terbang itu nyangkut tepat di leher si preman kulit hitam.
Wuiih... Leher segitu besarnya bisa dimasuki lubang segitiga hijau. Bisa dibayangkan seberapa besar ukuran benda itu. Yasalam.
Merasa beruntung bak dewi fortuna yang berpihak kepadanya, si preman langsung mengelap benda yang meleleh di hidungnya dengan mengusapkan kain kecil di lehernya itu ke hidungnya. Lumayan dapat lap gratis.
Tak lama menyusul seorang pria bertubuh atletis yang muncul dan menghajar dua preman itu dengan beberapa kali tendangan keras, kedua preman lumpuh dan terkapar.
Aksi bela diri si pria yang baru datang itu memukau, patut diacungi jempol.
Kemudian pria berkulit putih itu langsung naik ke motor Aiza, membonceng begitu saja.
"Ayo, jalan!" titah pria itu sambil menepuk pundak Aiza.
Bingung, namun juga tak mau berdebat, Aiza menjalankan motornya yang mesinnya masih menyala dengan sekali tarikan gas.
Terkejut akibat tarikan gas yang cukup kuat, tubuh si pria di belakang Aiza terhuyung mundur dan kembali maju, menubruk punggung Aiza.
Tidak mau berkomentar, Aiza diam saja, terus menarik gas motor maticnya yang terkadang suka mogok dan berasap.
Tiba- tiba dari persimpangan gang yang baru saja dilewati, tampak serombongan orang ramai- ramai berteriak seperti hendak menghakimi, sorot mata dan wajah mereka murka, berteriak menyebut- nyebut "maling" sambil menunjuk ke arah Aiza.
Loh lah, Aiza kaget bukan main? Dia diacungi parang, celurit, pentungan, kuali, dan yang paling ekstrim ada yang bawa sapu lidi. Iya, ekstrim karena bisa nyulek mata.
“Cepat jalan! Kita bisa mati konyol!” seru pria di belakang Aiza sambil mengguncang pundak gadis itu saat Aiza memelankan motor hendak menghentikan kendaraannya.
“Tt ** tapi…”
“Buruan!” desak si pria membuat Aiza patuh tanpa sadar. Ngeri juga melihat mata melotot diiringi celurit tajam. Aiza menarik gas kencang membuat dada pria di belakangnya menghentak kuat punggung Aiza.
Aiza bingung kemana mengarahkan kendaraannya sekarang. Yang jelas berlawanan arah dengan jalan pulang.
Kenapa nasibnya apes sekali?
Dalam hati merasa takut, bagaimana kalau ketahuan ibu atau kakaknya kalau dia berboncengan dengan lawan jenis? Jika ketahuan, pasti ia akan mendapat ceramah panjang kali lebar, yang intinya mengatakan bahwa haram hukumnya berboncengan motor dengan yang bukan mahrom.
Aiza sendiri pun merasa risih sekali menyadari ada sosok pria membonceng di motornya. Ini pertama kalinya di hidupnya bisa sedekat ini dengan seorang pria. Jujur saja tangannya gemetaran, gugup, juga canggung. Ia bahkan tidak berani bertanya kemana ia akan menurunkan pria itu.
Ya ampun, semakin lama, maka meteran motor pun semakin jauh, Aiza benar- benar tidak tahu harus berbuat apa. Menghentikan motor pun tidak berani mengingat ada sosok laki- laki di belakangnya.
Gubrak!
Motor terbalik dan menghantam aspal sesaat setelah ban motor masuk ke lubang yang cukup dalam. Terseret beberapa meter sebelum akhirnya dua penunggangnya terlempar dari motor.
“Arrrkh…” Pria itu mengaduh, meringkuk kesakitan, memegangi dada dan lututnya yang berdarah.
Rintik gerimis masih terus jatuh. Malah semakin deras.
Aiza mengedip- ngedipkan mata setelah beberapa detik sempat tak sadar. Punggungnya menghentak aspal, dan itu nyaris membuatnya hampir berhenti bernapas. Dadanya sempat sesak sebentar. Ia bahkan mengira kalau ia sudah berada di alam baqa. Tapi air yang menetes ke mulutnya dan langsung tertelan membuatnya tersadar bahwa ia masih ada di dunia. Pinggangnya sakit, pahanya sakit, semuanya sakit.
Bersambung
Aiza tetap berusaha bangkit bangun meski terseok. Beberapa kali tubuhnya berdiri, namun kembali ambruk. Pergelangan kakinya sakit sekali, pahanya juga nyeri bukan main. Aiza akhirnya hanya bisa menangis. Lalu mengangkat wajah saat melihat tangan terjulur ke depan wajahnya. Pria itu menganggukkan kepala. Entah siapa namanya.
“Nggak usah! Aku sendiri aja. Kamu pulang sana! aku juga mau pulang.”
Pria dengan rambut sedikit panjang itu tampak berkacak pinggang dan memasang wajah lelah. “Ayo, aku bantuin. Kakimu itu sakit. Mana mungkin bisa berdiri sendiri.”
“Enggak,” kesal Aiza tak mau menatap wajah pria yang ada di atasnya itu.
“Ya sudah, kalau begitu aku pergi. Kalau ada apa- apa, nikmati aja!” Pria itu tampak kesal karena Aiza menolak bantuannya.
Aiza jauh lebih kesal, sebab gara- gara pria itu, ia jadi terkena malapetaka begini. Lagi- lagi ia terjatuh dan ambruk saat hendak bangkit bangun. Tangis Aiza sesenggukan. Bingung bagaimana caranya pulang. Motornya pun sudah terjungkal begitu. Jalanan sepi. Nyaris tak ada kendaraan lain yang melintas. Wajarlah daerah itu sepi, penghuni di sekitar sana pun masih jarang.
Setelah ambruk yang ke sekian kalinya, ia terkejut melihat pria tadi balik lagi. Ia menegakkan motor milik Aiza, lalu berusaha menyetater, namun mesinnya tidak menyala. Bahkan diengkol pun tidak berhasil.
“Motormu mogok. Aku dorong sampai ke depan ya! Ada bengkel di depan sana. kamu tunggu di sini!” ucap pria itu yang langsung pergi sebelum mendapat persetujuan dari Aiza.
Aiza pasrah, mau dikemanain motornya. Ia juga tidak bisa berbuat apa- apa. Mau berjalan pun tidak bisa. Sementara badannya sudah menggigil kedinginan.
Kalau sudah begini, Aiza hanya teringat satu nama, Qanita, yaitu ibunya. Ingin segera pulang dan tidur di ketiak ibu.
Aiza mengernyit menatap pria tadi muncul dan jongkok di hadapannya. Kepala Aiza yang sejak tadi menunduk sambil mengelus pergelangan kaki, membuatnya baru sadar kalau pria itu sudah datang. Aiza diam saja menatap punggung pria itu.
“Hei, ayo!” Pria itu menunjuk punggungnya.
Aiza menggeleng. “Enggak! Aku nggak mau. Kamu maling ya?”
Mata gelap pria itu sontak langsung menatap wajah Aiza, yang tentu saja mata gadis itu tidak dapat dia jangkau karena Aiza menunduk ke bawah. Wajah Aiza tidak begitu jelas, tidak ada cahaya yang menerangi. Gelap. Hanya kedap kedip kilat dari langit yang sesekali menerangi.
“Orang- orang tadi meneriakimu maling. Mereka mengejarmu,” ucap Aiza lagi. “Mereka mengira aku komplotan mu. Aku nggak mau terlibat lagi.”
“Aku bukan maling.”
“Pergilah! Aku bisa sendiri!” Aiza yakin ia tidak akan bisa berjalan. Kakinya ngilu sekali, setiap kali digerakkan rasanya nyeri, tapi lebih baik ngesot dari pada bersama dnegan pria itu. Dan apa tadi? Digendong? Sekali pun di seumur hidupnya, Aiza tidak pernah berdekatan dengan laki- laki, apa lagi sampai digendong begitu. Bersalaman dengan laki- laki saja tidak pernah, jangan harap digendong. Di kehidupan keluarganya ditanamkan ajaran agama sejak kecil, ia memahami mana yang boleh dan tidak.
“Kamu nggak bisa jalan. Lebih baik aku gendong.”
“Aku bisa jalan!” Aiza ngotot.
“Jangan bandel! Kalau aku meninggalkanmu, lalu kamu diperkosa orang rame- rame gimana? Mau?” Pria itu bicara dengan tegas, membuat bayangan Aiza tiba- tiba melayang pada bayangan kejadian mengerikan pada pemberitaan di televisi. Hiiiy… Ngeri ah kalau sampai diperkosa rame- rame lalu dimutilasi.
Tiba- tiba terdengar suara riuh dari kejauhan, disertai sorotan lampu senter. Orang- orang berteriak.
“Itu dia!”
“Itu mereka!”
“Woi, jangan kabur!”
“Maliiing!”
“Mereka di sana!”
Pria di hadapan Aiza tampak kesal. “Sial!” pekiknya sambil mengepalkan tangan. “Ayo, cepat naik!” titahnya pada Aiza menunjuk punggung.
“Enggak. Aku akan jelasin ke mereka kalau aku bukan bagian darimu!”
“Jangan begok!” Pria itu memaki kesal. Di situasi mencekam begini, Aiza masih menolak kerja samanya. “Kamu bisa mati konyol digebukin!”
“Aku yang mati, bukan kamu. Pergilah!” Aiza bersikukuh. Berharap ia akan baik- baik saja dan sanggup mengatasi situasi.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!