NovelToon NovelToon

Diary Ecca

Prolog

Dear Dairy,

Aku tak pernah tau akan arti kata cinta. Tak tau rasanya mencintai dan dicintai, tapi aku yakin cinta itu ada dan akan datang padaku pada saat yang tepat.

Jika kamu dihadapkan antara dua cowok kira-kira siapa yang akan kamu pilih apa kakak senior mu yang selalu memberikan perhatian sama kamu? atau, malah tetangga baru keren samping rumah yang ternyata punya hobi yang sama kayak kamu?.

Sebenarnya aku bukan tipe orang yang faham soal cinta, tapi kok entah kenapa perasaan ku jadi bimbang gini? Entahlah apa mungkin hanya perasaanku saja? Atau aku yang naif dan salah mengartikannya?.

ooOoo

Beberapa perasaan tak ingin diabadikan. Mereka hanya ingin dititipkan dan dilepaskan di waktu yang baik. Bukan, bukan karena kata sementara itu menyenangkan, hakikatnya, yang singkat tak akan pernah sepadan.

Apalah nama perasaan ini? Dia telah pergi, terpisah ribuan kilometer dariku. Awalnya dia tak ada hanya sebatas sebuah rasa, kemudian tiba-tiba dia muncul kembali lalu aku harus menyebut perasaan apakah ini?

Apakah ini cinta?

Ini kisah seorang pemuda dengan seorang gadis remaja yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta, apa mereka akan bisa saling mencintai atau malah akan saling membenci?. Aku tak bisa mengingkari apa yang aku rasa dan apa yang aku pikirkan. Persis seperti yang Scott bilang padaku, "Pada saat kamu menampilkan sisi dirimu yang paling rentan, saat itulah kelemahanmu muncul. Sudah aku bilang berkali kali, jangan bawa bawa perasaan. Saat kau menjadi Ajeng yang sensitif, naif dan bodoh kau kehilangan semua simpati dan pesonamu.

Saat ada amarah, rasa kecewa, sedih, sakit hati yang datang menghampirimu, kamu bisa segera rasakan, bagaimana jiwamu terombang ambing oleh kelemahan. Orang akan melihatmu sebagai pribadi  yang kontradiktif, yang tidak ramah dan tidak menyenangkan. Sehingga mudah sekali buat mereka melupakan Dee yang penuh energi vitalitas, keceriaan, kegembiraan, positif, kreatif, cantik, memesona, sensual, menggoda, ramah dan baik hati....

Gemericik suara hujan menggertap di dedaunan. Suara runcing berdenting di kalbu, serasa menyebut namaku. Suaramukah itu, kekasih?

Bagaimana mesti menerjemahkan perasaan rindu seperti ini? Jarak, seperti hamparan kuburan tua yang angker dan menakutkan. Menoreh luka yang dalam bagai getar yang datang dan pergi. Kilat dan guruh tak letih sabung menyabung di langit.

Gelap bayangan hutan merasuk mataku seperti hantu. Dan siut angin merintih seperti mendesakkan sejuta tanya yang tak kutahu apa jawabnya, "Apakah kau juga tengah memikirkan diriku saat ini?"

Makin larut aku dalam perjalanan sendiri. Menghitung langkah, di tengah malam berkabut dan jalan lengang sunyi. Mengejar muram sosok rembulan yang larut dalam tarian hujan. Samar pucat parasnya menggigil sendirian.

Dan suara itu masih terdengar, menyeru dari kejauhan. Tak henti henti, memangil namaku. 

Kau pancarkan kebahagiaanmu dari mata air yang tersembunyi. Seperti ketika laut pasang di bawah tatapan lembut sang matahari mendatangkan kegembiraan yang tak terlukiskan. Sepasang lima jari yang terkembang ke empat penjuru samudra saat menghantarkan puja kepada yang maha kuasa. Ia yang memberi kita segala kenikmatan. Ia yang kepadanya kita berpulang.

Menjamah pusat rindu yang gaib, mencumbui perasaan  garib yang sebelumnya tiada dikenal. Waktu yang memetakan segala ingatan purba atas raga kita yang fana, telah tumbuh menjadi kenangan baka atas lebatnya hutan rimba belantara dan sebuah sendang kecil di tengah tengah pulau terpencil yang dikelilingi oleh lembah yang permai dan perbukitan perak yang dulu sekali sering engkau jelajahi.

Gunung gunung yang menjulang tinggi di kejauhan seakan menantang untuk ditaklukkan. Langit biru terhampar di atas padang gundul terbentang jauh hingga ke semenanjung yang sebelumnya tak pernah dijamah. Semua yang dulu cuma bagian dari lintasan sejarah, namun kini selamanya telah jadi pengingat akan dirimu. Semua yang dulu pernah mengungkapkan seluruh jejak petilasan dan penaklukanmu. Bentang alam dari seluruh kekayaan yang kini engkau simpan dalam perbendaharaanmu pribadi. Alam liar dari horizon pikiran dan khazanah perasaan yang nyaris tak terselami.

Tidak ada lagi rahasia yang engkau tutupi dari mata kami, selain daripada ceruk ceruk terdalam dari palung palung yang tersembunyi di balik mimpi mimpimu. Sungguh, tiada lagi kebahagiaan yang mampu mewakili perasaan kami saat ini, karena engkau telah mengijinkan kami untuk menjadi saksi mata; hasrat dari hasratmu, kerinduan dari kerinduanmu, cinta dari cintamu.

Bagaimana kami mampu membalas kebaikan hatimu yang sungguh tiada terkira? Sebab hanya tulus kata dari apa yang tak terucap namun telah puas kami saksikan, akan menggenapi seluruh janji dari semua yang telah engkau beri namun tak akan pernah kami miliki. Akan tetapi, sudah cukuplah itu semua bagi kami, karena engkau telah mengijinkan kami mengagumi keelokan panorama dari apa yang selama ini engkau simpan rapat rapat sebagai harta pusaka yang hanya bisa dinikmati oleh sang raja.

Kesedihan seperti telaga yang hening di dinding ibu. Dinding yang terisak dan mengukir lagi masa kecilku. Seberapa sepinya aku saat itu? Sungguh. Aku tak mengerti, mengapa kubuat dinding itu menangis? Ia sudah seperti rumah bagiku. Tempat aku tidur dan terlelap di malam hari. Tempat aku bermain dengan kesendirianku. Lalu, mengapa aku buat ia menangis?

Ada hal hal yang ingin kulupa dari waktu kecilku sendiri. Detik detik yang tidak berarti. Kemarahan yang perlahan hangus dan lalu mengabu dalam hatiku. Walau kini, ia sudah bukan lagi api. Ia sudah menjadi dingin. Tapi, mengapa luka itu masih saja ada di sana?

Bukankah aku laki laki yang dibesarkan oleh dinding ibuku? Lalu, mengapa aku berpaling daripadanya? Mengapa aku kenakan topeng itu, hanya untuk melihat ia tersenyum? Aku sudah menjadi lelaki yang lain. Lelaki yang bukan kanak kanak yang ia besarkan dulu. Ada banyak topeng yang kini aku kenakan. Salah satunya adalah kesendirian, yang lain adalah amarah.

Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis.

Apakah untuk menjadi seorang lelaki, aku harus mengorbankan perasaan perasaanku sendiri? Apakah untuk menjadi seorang lelaki aku harus meninggalkan masa kecilku hanya untuk mendengarkan suara suara orang lain; hardikan, umpatan, cemoohan dan teguran teguran yang seringkali menyakitkan hati.

ooOoo

Part 1

...Kisah Ku...

Bukankah aku laki laki yang dibesarkan oleh dinding ibuku? Lalu, mengapa aku berpaling daripadanya? Mengapa aku kenakan topeng itu, hanya untuk melihat ia tersenyum? Aku sudah menjadi lelaki yang lain. Lelaki yang bukan kanak-kanak yang ia besarkan dulu. Ada banyak topeng yang kini aku kenakan. Salah satunya adalah kesendirian, yang lain adalah amarah.

Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis.

Apakah untuk menjadi seorang lelaki, aku harus mengorbankan perasaan perasaanku sendiri? Apakah untuk menjadi seorang lelaki aku harus meninggalkan masa kecilku hanya untuk mendengarkan suara suara orang lain; hardikan, umpatan, cemoohan dan teguran teguran yang seringkali menyakitkan hati.

ooOoo

Ku buka sedikit demi sedikit mataku yang masih terasa sangat berat untuk ku buka, rasa kantuk yang begitu membuat selimut enggan meninggalkanku. Terdengar sayup-sayup kumandang adzan subuh yang membuatku harus bangun,

"Ecca! Ayo bangurn ... kita subuhan..." suara yang khas terdengar, ya begitulah cara ayah membangunkanku.

"ya"

Dengan nada lirih aku menjawab dan berjalan dengan lesu menahan kantuk. Segera ku ambil air wudzu, ku sentuh air wudzu dengan membaca ayat-ayat niat untuk berwudzu, ku basuh muka yang terasa segar dan menghilangkan rasa kantukku.

Jam 06.30 yang artinya aku harus segera berangkat ke kampus untuk masuk jam pertama yang paling menyebalkan, karena harus berangkat pagi artinya aku harus berdesak-desakkan di bus.

Ya, bus. Walaupun jika dilihat dari segi materi alhamdulillah aku tidak kekurangan. Seringkali orang tua menginginkan untuk mengantar bahkan membelikan kendaraan pribadi untuk keperluanku, tapi sering kali juga aku tolak dengan alasan yang simpel karena takut jika aku punya kendaraan sendiri pasti aku akan jarang ada dirumah karena sibuk menjelajah.

Dan alasan kedua aku paling anti untuk di antar ke kampus because mereka mengantar pake mobil yang paling membuatku tak mau teman-temanku tau, karena aku nggak mau mereka berteman denganku karna aku ini anak siapa, berpangkat apa.

Yang aku mau mereka tulus berteman denganku karena pribadiku dan tulus itu yang paling penting. Yapz dan dugaanku benar ku setop bus dan aku dapat posisi yang paling mengerikan tepat berada di ambang pintu karna sesak dengan penumpang, maklum jam sepagi ini waktunya orang beraktifitas berangkat kerja, sekolah , ngampus sepertiku, dl.

Langit tahu segalanya, tentang rindu yang meraung minta makan. Tentang kepulan dusta dari sela-sela bibir, diantara dentuman musik keras dipojok ruangan, mengenai petikan rasa di gerbong yang berkarat.

Awan gelap tersenyum getir, sebongkah pamit menangis pilu, tatkala menghantam hati tak berdosa, begitu kelam, begitu banyak salah paham, nanti apalagi?.

Ku pandangi langit, serdadu di logika mulai meradang, menuntut agar bahagia di kembalikan. Dalam kericuhan yang amat mendalam, jalan mana yang akan dipilih, bertahan atau melepaskan?.

Kalau saja aku mampu sudah aku kejar langkahmu agar kita berjalan berdampingan. Kalau saja aku mampu, sudah ku hiasi hari-hari mu dengan penuh senyuman. Kalau saja aku mampu, sudah ku pastikan aku pantas untuk kau sandingkan.

Kalau saja aku mampu, sudah aku balikkan waktu agar saat itu tak jadi mengenalmu. Kalau saja aku mampu, sudah ku arungi hariku tanpa harus memikirkan mu. Kalau saja aku mampu, sudah ku tarik jiwaku yang ingin berada di sebelah mu. Kalau saja aku mampu, sudah ku minta hatiku untuk berhenti merasakan mu.

Dengan supir bus yang ugal-ugalan yang saling kejar mengejar bus lain untuk saingan setoran, banyak celotehan yang keluar dari mulut penumpang bus, ati-ati to pak-pak...wong bawa manusia banyak yang punya nyawa" suara îbu-ibu yang sudah lansia.

"ojo oyak-oyaan to pir-pir, alon-alon wong rejeki yo wes ono seng ngator(jangan kejar-kejaran donk supir, pelan-pelan rejeki sudah ada yang mengaturnya)" suara penumpang lain.

Aku hanya terdiam dengan seerat mungkin berpegangan dengan wajah yang tegang dengan terus terucap di dalam hatiku "ya Allah mudahkan dan lindungi aku".

Akhirnya aku sampai dengan selamat di kampus. Kampus masih sepi karna memang masih terlalu pagi, hanya ada beberapa kendaraan yang sudah terparkir dan beberapa orang yang mondar mandir di kampus.

Sambil menikmati suasana pagi dan kampus yang masih sepi belum terkotori dengan polusi, aku berjalan perlahan menuju kelas yang berada di lantai dua kampusku dan itu kelas favoritku karena di sana aku bisa melihat pemandangan hijau desa-desa dan di laut yang indah, ya karna kampusku berada di dataran tinggi dan daerahnya dekat dengan daerah pesisir.

Ku pandangi sekeliling yang begitu indah dengan kesejukan angin pagi yang menembus masuk sampai ketulang-tulang ku. Dalam hati aku bicara subhanallah, maha besar allah yang begitu hebat dan baik hati menciptakan begitu indah alam ciptaannya ini khusus untuk hamba- hambanya".

"Eccaaaaa!"

Suara yang mengejutkanku, ya suara dua teman dekatku Devi dan Deva. Si kembar siam beda bapak beda ibu. Dijuluki kembar cuma karna kesamaan nama mereka yang di awali dengan huruf " D" dan di tengah huruf "V". Punya hoby yang sama suka Gosip dan Kepo dengan urusan orang lain, termasuk tentang aku. Kecuali satu yang membedakan mereka, yaitu postur tubuh mereka. Kalo Devi tinggi dan ramping, samalah kaya aku bobot badannya juga sama. Tapi kalo Deva paling gendut diantara kami, secara hobynya makan nggak bisa diatur.

"pagi-pagi udah ngalamun, mending kantin yuk.... laper ni belum sarapan" kata Devi dengan logat khas jawanya masih kentel.

Dasar si Vi jam segini kantin belum buka kalik, lagian benar lagi paling dosen masuk... ntar aja deh abis jam ini" ucap Deva yang sama dengan fikiranku.

Waktu berjalan, kampus mulai ramai dan kelas-kelas mulai terisi diskusi-diskusi dosen yang cukup membuat beberapa orang merasa tegang bahkan mengantuk. Setelah jam kuliah pertama selesai, aku Devi dan Deva keluar dan menuruti kemauan Devi yang tertunda tadi pagi untuk makan.

"aku duduk di sini... kalian pesen makan dulu, aku udah makan...minum aja ya teh anget"

Perasaanku yang tak karuan..

ooOoo

Part 2

...Perasaan Cinta...

"pagi-pagi udah ngalamun, mending kantin yuk.... laper ni belum sarapan" kata Devi dengan logat khas jawanya masih kentel.

Dasar si Vi jam segini kantin belum buka kalik, lagian benar lagi paling dosen masuk... ntar aja deh abis jam ini" ucap Deva yang sama dengan fikiranku.

Waktu berjalan, kampus mulai ramai dan kelas-kelas mulai terisi diskusi-diskusi dosen yang cukup membuat beberapa orang merasa tegang bahkan mengantuk. Setelah jam kuliah pertama selesai, aku Devi dan Deva keluar dan menuruti kemauan Devi yang tertunda tadi pagi untuk makan.

"aku duduk di sini... kalian pesen makan dulu, aku udah makan...minum aja ya teh anget"

Perasaanku yang tak karuan..

ooOoo

Langit tahu segalanya, tentang rindu yang meraung minta makan. Tentang kepulan dusta dari sela-sela bibir, diantara dentuman musik keras dipojok ruangan, mengenai petikan rasa di gerbong yang berkarat.

Awan gelap tersenyum getir, sebongkah pamit menangis pilu, tatkala menghantam hati tak berdosa, begitu kelam, begitu banyak salah paham, nanti apalagi?.

Ku pandangi langit, serdadu di logika mulai meradang, menuntut agar bahagia di kembalikan. Dalam kericuhan yang amat mendalam, jalan mana yang akan dipilih, bertahan atau melepaskan?.

Kalau saja aku mampu sudah aku kejar langkahmu agar kita berjalan berdampingan. Kalau saja aku mampu, sudah ku hiasi hari-hari mu dengan penuh senyuman. Kalau saja aku mampu, sudah ku pastikan aku pantas untuk kau sandingkan.

"ok! nyonya" ledek Deva, berjalan kearah ibu kantin rames dua, teh anget tiga ya bu di meja sana" ucap Deva sambil menunjuk arah meja yang kami tempati.

"ya nduk" jawab ibu kantin.

"hari ini kita full ya, ach padahal aku mau nonton sepak bola turnamen antar fakultas, sambil cuci mata..hahaha" ucap Devi sambil cengengesan.

"kamu mau cucimata, perlu tak bawain sabun biar bersih...hhh" kata Deva, aku hanya tersenyum mendengar celotehan mereka yang mulai berdebat kecil.

"kayaknya nggak perlu cucimata nanti deh... sekarang juga udah bening ni mata" kata Devi, yang tiba-tiba berpaling pandangan ke arah belakangku. Dengan serentak aku dan Deva menengok ke belakang mengikuti arah pandang Devi dan melihat seorang pemuda yang tampan, rapi, santun dan senyumnya khasnya. Ya dia kak Fikri senior kami dan idola kami juga, tapi cuma Devi dan Deva yang begitu menggilainya.

Apalah nama perasaan ini? Dia telah pergi, terpisah ribuan kilometer dariku. Awalnya dia tak ada hanya sebatas sebuah rasa, kemudian tiba-tiba dia muncul kembali lalu aku harus menyebut perasaan apakah ini?

"Hemmm.... subhanallah senyumnya nembus sampe hati, ke jantung, ke perut .." kata Devi dan Deva saut-sautan "kalian terpesona apa laper" jawab ku, memandangan mereka bingung "laper si...hahahah" kata Deva dibarengi dengan tawa buyar kami. Mereka mulai menyantap makanan mereka dan aku duduk di dekat meraka.

Ada yang sempat menutup rapat hatinya dan tidak lagi berniat untuk membuka. Namun, penyusup yang baik akan hadir untuk membenahi setiap luka yang tercipta di masa silam.

Rasaku sempat terdiam beberapa tahun lamanya, sedikitpun aku tidak ingin ada pergerakan yang begitu dominan di dalam hatiku. Aku sempat menutup mati pintu hati ku begitu rapat, apapun perihal cinta tidak akan pernah ku biarkan bisa masuk. Toh banyak kebaikan yang aku rasakan, kehidupan ku menjadi teratur. Hari-hari ku berjalan lancar tanpa ada satupun keadaan yang begitu membebani perasaan, aku tidak begitu khawatir dengan sepi dan kesunyian yang ku rasa. Bagi ku kesunyian adalah hal yang sangat menyenangkan untuk ku kawani, hari-hari ku di isi oleh pertemanan dengan buku dan suara lantunan kicauan burung camar yang merdu. Nampaknya semua akan berjalan baik dengan atau tanpa dirinya, tapi apa hanya ada kata tapi.

Aku merasa ada yang memperhatikanku, berlahan aku menoleh ke arah sosok itu dan benar kak Fikri yang duduk tak jauh dari tempat kami, hanya tersekat beberapa tempat duduk. Aku tersenyum reflek sambil mengangkukkan kepala mengisyaratkan salam. Dia membalas dengan senyum khasnya juga. Karena merasa malu aku langsung berpaling sambil meminum teh hangat pesananku.

"Hah, perut kenyang hati pun senang" ucap Deva dengan senyum sumringahnya dan menepuk-nepuk perutnya. Aku hanya tersenyum dan melanjutkan melihat gambar-gambar cepretanku di hp. Devi yang sibuk ngemil sambil memperhatikan Fikri yang tertangkap basah memandang ke arah kami "hey Ca, liat tu kak Fikri liatin kamu dari tadi"

"Hem.. sotoi mungkin dia lagi ngliatin kearah belang ku, keliatannya aja liatin aku, jangan ngaco dech" sangkal ku sambil tersenyum terpaksa dan sedikit gugup.

Kesedihan seperti telaga yang hening di dinding ibu. Dinding yang terisak dan mengukir lagi masa kecilku. Seberapa sepinya aku saat itu? Sungguh. Aku tak mengerti, mengapa kubuat dinding itu menangis? Ia sudah seperti rumah bagiku. Tempat aku tidur dan terlelap di malam hari. Tempat aku bermain dengan kesendirianku. Lalu, mengapa aku buat ia menangis?

Ada hal hal yang ingin kulupa dari waktu kecilku sendiri. Detik detik yang tidak berarti. Kemarahan yang perlahan hangus dan lalu mengabu dalam hatiku. Walau kini, ia sudah bukan lagi api. Ia sudah menjadi dingin. Tapi, mengapa luka itu masih saja ada di sana?

Bukankah aku laki laki yang dibesarkan oleh dinding ibuku? Lalu, mengapa aku berpaling daripadanya? Mengapa aku kenakan topeng itu, hanya untuk melihat ia tersenyum? Aku sudah menjadi lelaki yang lain. Lelaki yang bukan kanak kanak yang ia besarkan dulu. Ada banyak topeng yang kini aku kenakan. Salah satunya adalah kesendirian, yang lain adalah amarah.

Aku tahu, aku telah membuatnya bersedih. Dinding itu telah lama menjelma jadi sebatang pohon dengan kulit yang renta, mengelupas di banyak tempat. Rantingnya mulai merapuh dan daun daunnya yang gugur, berserakan di mana mana. Ia bukan lagi pohon yang dulu biasa aku panjat. Bukan, ia tidak sedang menjadi pohon yang lain. Melainkan diriku. Akulah yang kini berubah. Seperti langit biru yang mendadak kelam. Seperti mendung yang menaungi hati yang tak hentinya menangis.

"Ach... kamu ni nggak percayaan si, kayaknya kalo kamu sama dia cucok deh" tambah Devi.

"Yap cucok B.G.T" Sahut Deva.

"Hust... gak usah ngarang dech, perpus yuk aku mau cari buku buat materi besok" ucapku untuk menghentikan hayalan mereka.

"Ach, kamu ni Ca sampai kapan si mau jomblo... kesempatan cuma datang satu kali" kata devi.

"Heh ngomong apa si, dasar ibu-ibu ... cepet bayar " putusku.

ooOoo

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!