NovelToon NovelToon

Wening

Bingkai Emas Rumah Tua

Gadis berkulit kuning langsat itu tengah mengamati wajahnya di depan cermin wastafel. Rambut yang hitam dan lurus, dia ikat dengan gaya ekor kuda sederhana. Sesekali, jemari lentiknya menyisir rambut yang sudah tertata rapi. Gadis tadi bernama Wening, hanya terdiri dari satu kata. Entah apa alasan kedua orang tuanya memberi nama demikian. Setiap kali dia bertanya kepada, mereka seakan tak memiliki jawaban yang pasti.

Hari itu adalah ulang tahun Wening yang ke-25. Namun, tak ada seorang pun yang mengucapkan selamat kepada dirinya. Kedua orang tua Wening telah tiada empat tahun yang lalu, meninggalkan dia seorang diri tanpa saudara ataupun kerabat dekat.

"Aku akan baik-baik saja," gumam Wening sambil terus menatap wajahnya yang pucat. Sudah biasa bagi gadis itu hidup dalam kesunyian. Sebagai seseorang yang pendiam dan tertutup, sangat sulit bagi Wening untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Terlebih, karena kebanyakan teman-temannya menganggap Wening sebagai seorang gadis yang aneh.

Hal itu sudah terjadi sejak lama, bahkan kini setelah dia berhasil menempuh pendidikan keperawatan dan bekerja di bidang yang sesuai. Namun, hal itu tak membuatnya bisa menambah seorang teman pun.

Wening mendesah pelan. Kembali ditatapnya wajah dingin pada pantulan cermin. Dia mengusap permukaan kaca itu, mengikuti lekuk garis rahangnya. Sekilas, gambaran tentang sesuatu berkelebat di benak gadis itu, berupa sebuah rumah tua samar terbentuk dalam bayangan. "Ada apa lagi ini?" gumamnya pelan. Pertanyaan dalam diam yang langsung terjawab oleh suara ketukan pelan di pintu.

Wening segera tersadar dan bergegas menuju pintu toilet. Dia membukanya dengan perlahan dan mendapati seorang rekan kerja yang berdiri dengan wajah menyiratkan rasa takut. "Kepala perawat ingin bertemu denganmu. Beliau sudah menunggu di ruangannya," ucap rekan kerja Wening dengan nada hati-hati.

Tanpa banyak bicara, Wening mengangguk pelan. Langkahnya cepat menuju ruangan kepala perawat. Beberapa kali dia berpapasan dengan rekan sejawat di lorong. Seperti biasa, mereka membuang muka atau pura-pura tak melihat. Bagaimanapun caranya agar mereka tak bersitatap dengan bola mata gelap nan bulat milik gadis itu.

Wening sendiri tak mau ambil pusing. Sudah biasa bagi dirinya, ketika semua orang memandangn dengan sorot mata ketakutan. Entah karena rambut panjangnya yang berwarna hitam, atau karena sorot mata yang terlihat kelam. Selain itu, bibir pucat Wening pun jarang sekali tersenyum. Kemungkinan terakhir adalah sikap gadis itu yang terlalu dingin, seakan tanpa emosi. Hal itu membuatnya terlihat seperti manusia tak bernyawa.

Langkah Wening kemudian berhenti tepat di depan sebuah ruangan bercat putih di ujung lorong. Dia mengetuk pintu perlahan, lalu membukanya. Seorang wanita paruh baya tengah duduk di depan meja kerja, sambil mengamati lembaran kertas yang tergenggam di tangan kanan. "Duduk!" perintah wanita itu tanpa mengalihkan pandangan dari kertas-kertas di tangannya.

Wening menurut. Dengan sikap hormat, dia menarik kursi dan duduk di hadapan wanita bertubuh tambun tersebut.

"Keluarga Wiratama membutuhkan seorang perawat home care, untuk menjaga putrinya selama menjalankan masa terapi di rumah," terang kepala perawat tanpa basa-basi. Dia lalu menyodorkan berkas-berkas yang dibacanya beberapa saat lalu kepada Wening. "Ada nama, alamat, daftar obat untuk terapi, dan kondisi pasien yang tertulis di sana. Pelajari segera, karena keluarga Wiratama meminta seorang perawat siap datang ke rumahnya hari ini juga," tegas kepala perawat.

Wening membaca dengan saksama. Sekelebat bayangan rumah tua kembali hadir dalam benaknya, ketika dia membaca bagian kolom alamat rumah keluarga Wiratama.

Tubuh gadis itu bergetar pelan. Ada hawa dingin yang menyeruak masuk ke dalam setiap pori-pori kulitnya. Sekuat tenaga, Wening menahan perasaan aneh itu. “Kapan saya harus ke sana?” Suara datar dan dingin Wening terdengar beberapa saat kemudian, setelah hawa dingin itu perlahan sirna.

“Aku sudah mengatakan kepada tuan Gandhi Wiratama, bahwa kau akan datang ke kediamannya sore ini sepulang dari dinas. Bawa beberapa perlengkapanmu. Kau akan menginap di sana. Ingat, lakukan tugasmu dengan baik karena kau membawa nama instansi rumah sakit ini,” pesan sang kepala perawat itu lagi dengan nada bicaranya yang tak berubah

“Saya mengerti, Bu Kepala. Anda tidak perlu khawatir akan hal itu,” jawab Wening datar dan tanpa banyak basa-basi

“Bagus. Silakan kembali lakukan tugasmu,” tutup kepala perawat itu.

Wening beranjak dari duduknya. Dia bergegas keluar dan kembali menjalankan tugas di sana, hingga tiba waktunya untuk pulang.

Sebelum berangkat menuju kediaman keluarga Wiratama, Wening terlebih dahulu mampir ke kediamannya untuk membawa perlengkapan pribadi. Rumah sederhana itu merupakan harta peninggalan dari kedua orang tuanya. Setelah selesai mengemasi perlengkapan, Wening segera berangkat menuju alamat yang dimaksud.

Adalah sebuah kawasan perumahan elite di pinggiran kota Bandung. Wening mengingatnya sebagai sisi mistis kota itu. Masih lekat dalam ingatan, ketika ayahnya mengajak Wening kecil berjalan-jalan di sekitar kawasan tersebut. Telinga gadis itu menangkap jeritan dan raungan dari sosok tak kasat mata yang berasal dari sekitarnya. Wening kecil, segera menutupi pendengaran dan memejamkan mata rapat-rapat. Dia memohon kepada sang ayah agar segera membawanya pergi dari sana.

Bagi Wening, hal itu adalah kenangan buruk yang harus segera dia singkirkan. Tugas pertama sebagai perawat home care telah menanti. Tentu dia tak ingin mengecewakan instansi tempatnya bekerja.

Wening berangkat ke kediaman Wiratama dengan menaiki bus kota dan berhenti tepat di seberang pintu gerbang perumahan tersebut. Setelah menyeberang, dia lalu menuju pos penjaga dan memperlihatkan kartu identitasnya. Petugas keamanan itu kemudian mengangguk dan mengizinkannya untuk masuk.

Angin senja berembus tak terlalu kencang menerpa wajah cantik Wening. Hal itu seakan menjadi sebuah sambutan sederhana bagi gadis dua puluh lima tahun tersebut. Wening terus melangkah menyusuri jalanan komplek perumahan. Ada beberapa rumah besar nan megah yang telah dirinya lewati, hingga akhirnya dia berhenti di depan sebuah rumah mewah bernomor A-13 dengan dominasi warna putih. Bangunan rumah tua yang sama persis dengan bayangan samar, dan sempat merasuk ke dalam ingatannya siang tadi.

Sejenak, Wening terpaku menatap rumah dengan dua pintu gerbang yang tampak begitu kokoh tersebut. Sepasang matanya kemudian bergerak perlahan dan menyapu sekitar bagian depan rumah yang ditumbuhi pepohonan rindang. Kakinya melangkah maju, setengah ragu mendekati bel. Sebelum sempat menekan benda itu, tiba-tiba pintu gerbang telah terbuka.

Seorang wanita paruh baya yang memakai daster sederhana, setengah berlari menghampiri Wening. "Mangga, Neng. Bapak sudah menunggu," ucapnya sopan.

Gadis itu mengikuti gerak si wanita melintasi ruang tamu, berbelok ke kanan dan berhenti pada sebuah pintu yang setengah terbuka.

Wanita itu mengetuk pintu pelan. Wajahnya menunjukkan raut ketakutan. "Saya paling tidak suka masuk ke ruangan ini, Neng. Saya selalu tertekan setiap kali membersihkannya," keluh wanita tadi dengan suara yang teramat pelan, sampai-sampai Wening harus mendekatkan telinganya ke arah wanita tersebut.

"Masuk!" seru seseorang dari dalam ruangan.

Wanita tadi mendorong pintu hingga terbuka lebar. Tampaklah seorang pria yang sepertinya berusia sekitar empat puluh tahun. Wajahnya terlihat ramah dan penuh senyum. Namun, bukan hal itu yang menjadi perhatian Wening, melainkan lukisan berukuran besar dan berbingkai emas yang terpajang pada dinding ruangan tersebut.

Paviliun Tiga Kamar

Sesaat, tatapan Wening tertuju pada lukisan berukuran besar yang terpajang pada dinding ruangan itu. Seakan tak percaya, gadis berkuncir kuda tersebut menggeleng pelan. "Itu adalah Raline, putri semata wayang di keluarga ini. Dia yang akan saudari rawat," ucap pria yang tak lain adalah Gandhi Wiratama, ayahanda Raline.

"Tidak mungkin," gumam Wening pelan dengan hanya sedikit gerakan di bibirnya.

"Apakah ada masalah?" tanya pria yang sejak tadi memperhatikan sikap aneh Wening, saat menatap lukisan putrinya. Sementara Wening tak segera menjawab. Dia begitu lekat menatap wajah manis gadis belia, yang terasa tak asing lagi bagi dirinya.

Sekelebat bayangan kembali hadir. Berpindah-pindah antara gambaran rumah tua dengan sosok Raline. Gadis remaja itu telah Wening temui beberapa hari yang lalu lewat mimpinya, sebelum dia ditugaskan ke rumah megah tersebut. Terlihat jelas sosok Raline yang hadir dalam mimpi itu, dengan rambut kusut dan air mata bercampur darah. Gadis belia tersebut seolah tengah memohon sesuatu kepadanya.

Sesaat kemudian, Wening memejamkan mata dan merasakan sesuatu. Hawa dingin itu kembali hadir dan merasuki setiap pori-pori kulitnya, membuat dia harus menahan rasa ngilu yang begitu menusuk hingga ke tulang. Gadis itu sedikit menggigil. Hal tersebut membuat Gandhi merasa heran. Pria yang masih terlihat awet muda tersebut beranjak dari duduknya. Dia melangkah mendekati Wening. "Apa saudari baik-baik saja?" tanyanya dengan nada heran bercampur khawatir. Suara berat pria itu menggema di dalam ruangan tadi.

Seketika Wening membuka mata. Dia kembali tersadar. Perlahan, hawa dingin yang tadi sempat menyerang berangsur sirna. Wening merasakan suhu tubuhnya kembali normal. "Saya baik-baik saja, Pak," sahut gadis itu sambil berusaha untuk bersikap biasa saja, meskipun tak dapat dipungkiri bahwa dadanya berdebar dengan cukup kencang.

"Kalau begitu, sebaiknya kita segera ke kamar Raline saja. Makin cepat kalian berkenalan, maka akan semakin baik." Gandhi kemudian melangkah ke arah pintu yang segera diikuti oleh Wening. Mereka berjalan menuju ke bagian lain dari rumah megah itu yang berupa sebuah koridor. Dia terus mengedarkan pandangannya pada setiap hal yang dirinya lewati. Suasana di rumah tersebut begitu sepi, dingin, dan juga misterius. Wening dapat mendengar dengan begitu jelas, suara derap sepatu yang dihasilkan dari langkah pria di depannya.

"Pada awalnya mungkin akan terasa sedikit sulit. Putriku adalah seorang gadis yang pendiam dan cenderung kaku. Dia jarang sekali bahkan hampir tak pernah berinteraksi dengan orang luar. Kondisinya yang tak memungkinkan Raline untuk terlalu banyak beraktivitas dengan normal seperti gadis-gadis seusianya," terang Gandhi sambil terus berjalan di depan Wening. Langkahnya terlihat begitu gagah dan penuh wibawa. Duda satu anak itu tampak sangat berkharisma.

"Tak apa. Selama Raline bersedia menerima saya sebagai perawatnya," sahut Wening pelan menanggapi penjelasan Gandhi. Sesaat kemudian, pria itu menghentikan langkah di depan pintu kayu bercat hitam. Wening berpikir jika itu merupakan pemilihan warna yang sangat aneh.

Gandhi lalu memutar pegangannya, sehingga pintu itu pun terbuka. Seketika, terciumlah wangi aroma buah segar yang menyeruak dari dalam kamar tersebut. Gandhi melangkah masuk. Tak lupa, dia juga mengisyaratkan Wening agar mengikutinya.

Kamar itu terlihat begitu rapi dan sangat nyaman dengan dominasi warna merah hati. Di sana terdapat ranjang berhiaskan kelambu berwarna putih, yang sengaja dibuka dan diikat menggunakan sebuah pita merah pada setiap tiang yang berada di empat sudut ranjang. Seprei yang melapisi kasurnya pun dibuat senada dengan tirai yang menghiasi jendela kaca berukuran cukup lebar, dan berada tak jauh dari tempat tidur tadi.

Di dekat jendela kaca tersebut, tampak seorang gadis belia dengan rambut lurus sebatas lengan, tengah duduk menatap ke luar. Dia terlihat begitu nyaman berada di atas kursi roda. Gandhi kemudian mendekat dan menurunkan tubuh tegapnya di dekat gadis tersebut. Lembut, pria itu menyentuh punggung tangan gadis tadi seraya berkata, "Ada seseorang yang ingin berkenalan denganmu." Suaranya terdengar dalam dan sangat hati-hati.

Gadis yang tiada lain adalah Raline, perlahan mengalihkan pandangan kepada sang ayah. "Aku sudah menunggu dia," balas gadis itu pelan. Nada bicaranya begitu datar dan terdengar sedikit aneh di telinga Wening.

Gandhi kemudian menoleh dan memberi isyarat kepada Wening agar mendekat. Gadis itu pun berjalan dengan perlahan ke arah ayah dan anak tersebut. Ragu sempat menyelimuti perasaan Wening saat itu. Detak jantungnya memacu kian kencang dan membuat gadis berkuncir kuda tersebut merasa sedikit tidak nyaman, terlebih ketika Gandhi berdiri. Dia memutar kursi roda yang diduduki oleh Raline, sehingga gadis itu kini menghadap kepada Wening.

Seketika napas Wening seakan terhenti di tenggorokan dan membuatnya seperti tercekik. Tatap matanya beradu dengan sepasang bola mata tajam milik si gadis. Raline menatap sinis kepadanya. Dia seolah tengah menahan sebuah gejolak yang begitu besar dan tak mampu untuk diungkapkan.

"Hai, Raline. Aku Wening, perawat yang bertugas untuk ...."

"Aku harus memanggilmu apa?" sela Raline membuat Wening kembali tertegun.

"Terserah. Kau boleh memanggilku 'kakak' atau apapun, asal bisa membuatmu nyaman dan pantas untukku," jawab Wening tanpa mengalihkan tatapan dari gadis manis di hadapannya.

Raline mengangguk setuju. "Baiklah, Kak." Gadis itu kembali membalikkan kursi rodanya dan membelakangi Wening. Raline tak menghiraukan dirinya yang mematung di sana. Gadis remaja tadi hanya terus menatap kosong ke luar jendela membuat Wening salah tingkah.

Gandhi paham betul akan gelagat Raline, sehingga dia memutuskan untuk mengajak Wening keluar melalui isyarat tangannya. "Mari kuantarkan ke kamar saudari," bisik pria itu. Rautnya terlihat tegang, dengan langkah terburu-buru. Mereka kembali melewati koridor yang sebelumnya, tetapi kali ini Gandhi berbelok ke kiri dan melintasi dapur. Wanita yang tadi membukakan pintu gerbang untuk Wening, sedang berada di sana. Dia terlihat sibuk menyiapkan hidangan bersama seorang wanita lainnya.

Dapur itu terlihat mewah dan elegan, sangat berbanding terbalik dengan desain rumah yang terkesan tua dan angker. Di sana terdapat satu pot raksasa yang ditumbuhi pohon palem hias pada sudut ruangan, bersisian dengan lawang kaca dengan dua daun pintu. Gandhi membukanya lebar-lebar, lalu kembali melangkah. Kali ini, mereka melewati kolam renang. Lampu-lampu penerang menyala di tepian kolam, membuat kilauan permukaan air memantul ke wajah duda satu anak tersebut.

"Berapa usia Anda?" tanya Wening tiba-tiba. Posisinya saat itu berada beberapa langkah di belakang Gandhi. Pria yang sedari tadi berjalan cepat, segera tertegun. Sama halnya dengan Gandhi, Wening pun terkejut atas pertanyaan yang seakan tanpa dirinya sadari. Gadis itu seolah tak punya kuasa atas kalimat yang baru saja terlontar dari bibirnya. Dia seperti tak menyadari hal tersebut.

"Saya dulu menikah muda. Awalnya kami berdua dijodohkan, tapi ternyata tak sulit untuk dapat saling jatuh cinta. Namun, sayang sekali karena kisah cinta cinta kami harus berakhir cepat. Ketika Raline berusia tiga tahun, istri saya meninggal karena sakit," terang Gandhi begitu saja. Dia membalikan badan, sehingga posisinya kini balik menghadap kepada Wening. Tatapan mereka saling beradu, sehingga Wening dapat memperhatikan dengan saksama wajah pria itu dari dekat.

"Saya menikah di usia yang ke-22. Sedangkan Raline dilahirkan dua tahun kemudian. Dia kini sudah menginjak lima belas tahun. Saudari bisa menghitung sendiri berapa umur saya," lanjutnya datar. Tak ada lagi kesan ramah dalam nada bicaranya. Namun, wibawa dan kharisma itu masih terlihat dengan begitu jelas, sesuatu yang seakan telah melekat dengan sempurna dalam diri seorang Gandhi Wiratama.

"Saudari bisa tinggal di sini untuk beberapa waktu ke depan, sampai Raline selesai menjalani terapi obat-obatan," ujarnya lagi seraya menunjuk bangunan yang berada di depan Wening. Sebuah paviliun tiga kamar yang menghadap ke arah kolam renang, di mana salah satu satu pintu kamarnya ada yang terbuka. Wening mengalihkan pandangan pada bangunan itu untuk sesaat, sebelum kembali menatap pria di hadapannya.

"Kamar tengah sudah disiapkan untuk saudari tempati. Saya harap, semoga saudari merasa nyaman berada di sini," ucap Gandhi lagi seraya menyodorkan kunci paviliun itu kepada Wening. Dengan segera, gadis berkuncir kuda tadi menerima kunci itu dan menggengamnya. Sementara Gandhi memilih untuk pergi dan meninggalkan Wening begitu saja di sana.

Wening terpaku sejenak menatap bangunan tersebut. Tangan dengan jemari lentik itu mencengkeram tali tas ransel besar yang sedari tadi tergantung di pundaknya. Seorang pria berwajah tampan, keluar dari paviliun dengan pintu yang terbuka tadi. Dia melambaikan tangan kepada Wening dan tersenyum ramah. "Selamat datang," sapa pemuda itu hangat.

Paundra

Wening berjalan mendekat ke arah paviliun itu. Sedangkan pria tadi masih berdiri, menatap ramah dan terlihat sangat bersahabat. Senyumannya pun tampak begitu tulus. "Anda siapa?" tanya Wening datar.

"Namaku Paundra. Kebetulan aku juga menempati paviliun ini. Aku senang, karena akhirnya bisa memiliki tetangga," jawab pria itu hangat. Sementara Wening masih memperhatikan pria yang tak henti memandang dirinya dengan tatapan yang sulit diartikan.

Paundra sepertinya berusia tak jauh berbeda dengan Wening. Posturnya tegap dan gagah. Dia juga memiliki paras rupawan dengan alis tegas yang tak membosankan untuk ditatap. Keramahannya terpancar dengan jelas, dari sorot mata yang berbanding terbalik dengan tatapan milik Wening yang dingin dan seakan tanpa nyawa.

"Nama saya Wening." Gadis itu memperkenalkan diri. "Permisi, saya masuk dulu." Dia segera membuka kunci pintu paviliun itu dan masuk, meninggalkan Paundra yang masih berdiri di luar.

Ruang paviliun tersebut tidak terlalu besar, tapi jauh lebih nyaman jika dibandingkan dengan kamar Wening di kediaman peninggalan orang tuanya. Wening kemudian meletakkan ransel di atas kasur. Dia lalu melihat jam dinding yang saat itu sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam. Gadis itu belum sempat makan dari semenjak pulang kerja tadi. Namun, dirinya tak merasakan lapar sama sekali.

Sesaat kemudian, gadis berkuncir kuda itu beranjak ke dekat jendela kaca berukuran kecil. Wening bermaksud untuk menutup tirai yang menghiasinya. Namun, seketika gadis itu terpaku ketika dia melihat sesuatu yang aneh dari dalam kamar Raline. Kebetulan, jendela kamar gadis belia tersebut juga menghadap ke arah kolam renang. Jendela yang awalnya terang, tiba-tiba berubah redup hingga menjadi sangat gelap. Entitas hitam seakan menelan cahaya di kamar itu.

Wening bergegas keluar dari ruang paviliun, kemudian menuju kamar gadis belia tadi. Langkahnya setengah berlari dengan raut wajah yang terlihat gelisah. Tak berselang lama, dia sudah tiba di depan kamar dengan pintu bercat hitam yang baru beberapa saat lalu dirinya tinggalkan. Wening berusaha untuk memutar pegangan pintu tersebut, tapi entah kenapa karena benda itu seperti kaku.

Dengan cemas Wening mengguncang-guncangkan sekuat tenaga, tapi tetap tak berhasil. Dia lalu menggedor meskipun tidak terlalu kencang. "Raline, apa yang terjadi?" serunya dari luar.

Tak ada jawaban dari dalam. Sayup-sayup, Wening mendengar Raline mengerang pelan. Hal itu membuat rasa khawatir dalam diri Wening kian bertambah. "Raline! Buka pintunya!" serunya lagi dengan kepanikan luar biasa.

Sebuah keanehan pun terjadi, ketika semua yang ada di dalam rumah itu seakan tertidur lelap dan tak mendengar kegaduhan yang berasal dari kamar Raline. Sedangkan Wening terus berusaha untuk membuka pintu itu. Sekuat tenaga dia melakukannya. Entah dorongan dari mana, tiba-tiba Wening memejamkan mata dan kembali merasakan hawa dingin yang menjalari seluruh tubuhnya. Cahaya terang menyelubungi seluruh tubuh gadis itu. Seketika pintu kamar Raline pun terbuka lebar.

Wening membelalakkan mata, ketika mendapati sesuatu yang membuatnya merasa ngeri. Dia melihat tubuh Raline terangkat cukup tinggi dari tempat tidur dan melayang kemudian berputar beberapa kali. Sedangkan dirinya hanya dapat terpaku menyaksikan itu semua. Dia tak bisa bergerak sama sekali. Namun, sepasang mata gadis itu sempat menangkap sebuah bayangan hitam berkelebat dan berpindah-pindah seakan mengelilinginya.

"Siapa kau?" Wening yang masih berdiri terpaku di tempatnya, mengikuti pergerakan bayangan hitam tadi dengan tatapan mata penuh rasa penasaran. Sementara tubuh Raline masih melayang dan bergerak mendekati jendela kaca, seakan ada seseorang yang hendak melemparkannya ke luar.

Sekuat tenaga Wening berusaha untuk menggerakkan tubuhnya. Dia ingin meraih tubuh Raline dan menariknya kembali. Sayup-sayup, terdengar suara-suara aneh yang begitu berisik. Suara seperti orang-orang yang tengah melakukan suatu pemujaan dan itu membuat Wening kehilangan konsentrasi. Gadis tersebut memejamkan mata. Dia berusaha untuk menolak semua suara yang masuk ke telinganya.

Sesaat kemudian, badan Wening seperti menggigil dan bergetar. Cahaya putih kembali muncul dari tubuhnya. Perlahan tangan kanan gadis itu terulur ke depan, sedangkan kedua matanya masih terpejam. Cahaya putih tadi mengikuti arah tangannya dan lurus tertuju kepada Raline yang masih melayang di dekat jendela.

Setelah itu, cahaya tadi membungkus tubuh Raline dengan sempurna. Ia bergerak ketika Wening memundurkan tangannya, seolah tengah menarik tubuh gadis belia itu untuk kembali. Tubuh Raline melayang di hadapannya, kemudian turun perlahan mengikuti gerakan tangan Wening hingga akhirnya gadis berambut lurus tersebut tergeletak di atas lantai.

Beberapa saat berlalu, cahaya yang menyelimuti tubuh keduanya berangsur sirna. Suasana kamar pun kembali menjadi temaram. Wening membuka mata dan mendapati Raline yang masih tak sadarkan diri di lantai. Dengan perasaan yang masih belum dapat dia pahami, direngkuhnya tubuh gadis belia tersebut. Susah payah dia memindahkan Raline ke atas tempat tidur.

Wening duduk di tepian ranjang. Ditatapnya dengan lekat wajah polos gadis lima belas tahun yang baru selesai dia selimuti. Sesaat kemudian, Wening memperhatikan kedua tangan dan membolak-baliknya dengan heran. Dia tak mengerti dengan yang baru saja terjadi. Wening sudah sering merasakan hawa dingin itu merasuki tubuhnya, tetapi baru kali ini cahaya misterius yang tadi menyelimuti dirinya muncul dengan begitu nyata. Wening seolah mendapat sebuah kekuatan yang sangat besar, tapi belum mampu untuk dia kendalikan.

Kembali ditatapnya sekeliling kamar itu. Wening lalu beranjak ke dekat jendela dan berdiri untuk sejenak di sana. Dari tempat itu, dia dapat melihat langsung ke arah kolam renang dan juga paviliun yang ditempatinya. Tampaklah Paundra yang sedang berdiri menatap ke arah kamar Raline. Wening segera menutup tirai dengan rapat. Setelah menunggu beberapa saat dan memastikan keadaan Raline telah aman, barulah dirinya keluar dari sana. Gadis itu memutuskan untuk kembali ke paviliun dan menemui Paundra yang masih berdiri di depan bangunan tersebut, dengan sikap yang terlihat sangat tenang.

"Kau melihatnya tadi?" tanya Wening tanpa berbasa-basi terlebih dahulu.

"Aku selalu melihatnya setiap malam, Wening," jawab Paundra membuat gadis itu mengernyitkan kening.

"Setiap malam?" desis Wening tak percaya.

Sedangkan Paundra membalas dengan sebuah anggukan pelan, membuat rasa penasaran dalam diri Wening kian menjadi. Dia mendekat ke arah pria itu berdiri dan menatapnya lekat.

"Apakah pak Gandhi mengetahui hal ini?" tanyanya lagi.

Paundra menggelengkan kepalanya perlahan. "Gandhi tak tahu apapun. Dia bahkan tak dapat merasakan keanehan yang sedang mengintai putrinya. Gandhi seseorang yang berpikiran modern dan mungkin tak akan mempercayai hal-hal di luar nalar seperti itu," jelas Paundra datar.

"Kau melihatnya bukan? Hal itu benar-benar nyata!" tegas Wening. Dia yang biasa berbicara dengan tanpa ekspresi, kini terlihat sedikit berapi-api dan agak panik. Wening seakan ingin mempertegas kepada Paundra bahwa kejadian aneh itu memang benar-benar terjadi. Sesaat kemudian, Wening terdiam dan kembali teringat pada kekuatan aneh yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. "Apa kau mengetahui sesuatu?" tanyanya pelan.

"Tentang apa? Cahaya yang muncul dari dalam tubuhmu?" Paundra seolah dapat menebak apa yang tengah Wening pikirkan. Hal itu membuat dia kembali merasa heran.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Wening serius dengan tatapan penuh selidik.

"Aku adalah Paundra. Kita sudah berkenalan tadi saat pertama kau datang kemari," jawab pria itu kalem.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!