Percikan darah segar menyembur deras ke permukaan wajah cantiknya. Telapak tangannya mulai basah dengan darah yang terus mengalir. Pisau yang baru saja menembus perut Adit, masih ada di dalam genggamannya.
"Tidak, tidak, apa yang aku lakukan? Aku bukan pembunuh, tidak, bukan...,"
Tubuhnya terduduk lesu, tetesan keringat dingin mengalir deras di pelipis dahinya. Setelah sekian lama, tiba-tiba mimpi buruk itu kembali datang mengganggu tidurnya.
"Huffft, mimpi itu lagi." keluh nya sembari mengusap wajahnya yang sudah basah bermandikan keringat.
***************
Pagi ini cuaca di luar begitu cerah. Dari balik pintu berdiri seorang gadis berparas cantik, berhidung kecil mancung dan berkulit putih mulus. Tubuh indahnya dibaluti kaos berwarna kuning dan memakai celana pendek berwarna hijau lumut.
Dia bernama Maura Pratiwi. Anak semata wayang Doni Hardiansyah dan Sinta Anggraini.
Ayah Maura adalah salah satu pebisnis sukses yang sangat terkenal di kalangannya. Sayangnya, dia sudah lama menduda sejak di tinggal mati oleh istri tercintanya.
Beberapa tahun ke belakang, Maura menetap di luar negeri melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda di tanah air. Di sana, dia tinggal bersama om dan tantenya. Yang mana om nya yang bernama Dino adalah adik kandung dari ayahnya.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Maura kembali ke tanah air. Dia berencana membantu ayahnya mengurus perusahaan dan beberapa bisnis lainnya. Bagaimanapun, semua bisnis dan aset itu nantinya akan jatuh ke tangannya.
Menjadi satu-satunya pewaris dari semua aset kekayaan Doni Hardiansyah, tentunya tidak mudah bagi Maura. Apalagi sejak Doni mengumumkan semua itu di media, banyak mata lelaki yang mulai mengincar dirinya.
Namun, bukan hal itu yang menjadi beban pikirannya saat ini. Ayahnya sudah mengatur perjodohan untuknya, anak dari rekan bisnis Doni yang sudah sejak lama menyukai dirinya. Hal itu menyakitkan baginya, dia bahkan belum pernah melihat batang hidung pria itu sekalipun.
***************
Dalam kebimbangannya pagi ini, dia terduduk lesu di taman pekarangan rumah. Ingin sekali dia menentang keputusan sepihak dari ayahnya, tapi dia tidak memiliki daya melakukannya.
Bahkan trauma yang pernah dia alami di masa lampau, membuatnya benar-benar takut menghadapi pernikahan itu. Bagaimana mungkin dia mampu menjalani itu semua, menatap mata pria saja dia tidak sanggup.
Di tengah-tengah kegalauannya, dia tersentak dari lamunannya. Seseorang tiba-tiba memegangi punggungnya dari arah belakang, membuatnya gamang dan bergegas bangkit dari duduknya.
"Non Maura, kenapa melamun?" tanya Bik Sam membuyarkan pandangan Maura.
Maura melotot kan matanya, hampir saja dia jantungan ulah Bik Sam yang tiba-tiba mengagetkannya. Dia menghela nafas dan membuangnya kasar sembari memegangi dadanya yang berdegup kencang.
"Bik Sam, Maura pikir siapa?" ucap Maura dengan senyum sedikit pahit.
"Non kenapa, sepertinya ada sesuatu yang sedang Non pikirkan?" tanya Bik Sam penasaran.
"Tidak apa-apa Bik, Maura cuma lelah." sahut Maura berbohong, dia tak berani menyuarakan isi hatinya kepada siapapun.
***************
Siang harinya, Maura beristirahat di dalam kamar. Matanya mulai lelah, bahkan pikirannya sama sekali tidak bisa diajak kompromi.
Tangannya meraih sebuah laptop dan membukanya sembari berbaring di atas tempat tidur. Ditatapnya layar laptop tersebut hingga dia pun menemukan pesan masuk melalui sebuah aplikasi.
Bola matanya yang berwarna coklat mulai menggelinding mengikuti setiap kata yang tengah dia baca. Hingga pada akhirnya dia pun mengukir senyum di wajah cantiknya.
Tak berselang lama, terdengar suara ketukan pintu dari arah luar. Matanya menilik tajam, dia mengabaikan laptopnya dan melangkah ke arah pintu.
"Ayah," sapa Maura mendapati ayahnya berdiri tegap di depan pintu.
Maura mendongakkan kepalanya, tangannya terbuka lebar lalu melingkar di tubuh tinggi Doni dan memeluknya dengan erat.
"Kamu lagi ngapain Nak, apa Ayah mengganggu?" tanya Doni, dia pun membalas pelukan anaknya dan mengecup ujung kepala Maura dengan penuh kasih sayang.
"Tidak Yah, memangnya kenapa?" tanya Maura mencari tau.
"Tidak apa-apa, Ayah hanya ingin berpamitan. Ada pekerjaan yang harus ayah selesaikan di luar kota. Kali ini mungkin sedikit lama, kamu tidak apa-apa kan di rumah sendirian?" ucap Doni menjelaskan maksud kedatangannya.
Maura menatap lekat wajah Doni. Baru beberapa hari tiba di tanah air, tapi ayahnya terlalu sibuk dengan bisnis yang dijalaninya. Dia bahkan belum puas melepas kerinduannya terhadap sosok cinta pertamanya itu.
"Iya Yah, Maura tidak apa-apa. Ayah pergi saja, masih ada Bik Sam dan Pak Anto di sini bersama Maura!" jawab Maura meskipun sebenarnya hatinya sedih melepas kepergian ayahnya.
"Baiklah, jaga diri baik-baik! Jangan keluyuran kemana-mana, sebentar lagi kamu akan bertunangan dengan David!" ucap Doni, hal itu membuat raut wajah Maura berubah dalam sekejap.
Maura mengangguk kecil, meskipun batinnya memberontak, namun dia tak berani menentang keputusan ayahnya. Bagaimanapun Doni adalah satu-satunya orang tua yang membesarkannya dengan segala kemampuan yang dia miliki. Maura tidak ingin membuat ayahnya kecewa.
Setelah Doni menghilang dari pandangannya, Maura menutup pintu kamarnya dan bergegas naik ke atas tempat tidur.
Hatinya patah, batinnya hancur berkeping-keping. Jika saja trauma itu tidak mendarah daging di jiwanya, mungkin dia bisa sedikit berani menyuarakan pendapatnya. Hanya keajaiban lah yang dapat membantunya lepas dari belenggu ini.
Kini dia kembali menatap layar laptopnya, membuka sebuah pesan masuk dan segera membalasnya.
Tangannya semakin lihai memainkan keyboard yang ternganga di depan matanya. Tak henti-hentinya dia tersenyum membaca setiap kata yang tersurat pada layar laptopnya.
"Ok baiklah, nanti aku jemput ya." isi pesan terakhir yang dikirim oleh Maura.
Lama menetap di luar negeri membuatnya rindu saat-saat remaja dulu. Berkumpul bersama sahabatnya sembari bercengkrama tanpa beban yang harus dia pikul, dan malam ini dia sudah janjian untuk keluar bersama sahabat lamanya.
***************
Hari semakin sore, dia bergegas masuk ke dalam kamar mandi membersihkan tubuhnya yang mulai gerah. Suara aliran air yang mengguyur tubuhnya terdengar jelas sampai ke dinding kamarnya.
Usai mengenakan pakaiannya, dia turun menuju lantai bawah. Bola matanya menggelinding mencari-cari keberadaan seseorang. Hingga pada akhirnya, dia pun membawa langkah kakinya menuju paviliun yang terletak di samping rumah.
Dari jarak yang cukup jauh, garis wajahnya sedikit terangkat. Langkah kakinya bergerak semakin cepat menghampiri seorang pria yang tengah duduk dengan secangkir kopi di tangannya.
"Sore Pak Anto!" sapa Maura dengan lantang.
Suara Maura yang seperti petasan kaleng itu seketika membuat Pak Anto terperanjat kaget, pria berkumis tipis itu bahkan hampir saja menumpahkan kopi yang ada di tangannya.
"Eh, kopi, kopi!" latahnya sembari mengelus dadanya yang berpacu.
"Hahahaha," Maura terkekeh melihat raut wajah Pak Anto yang menggemaskan.
Ada yang berbeda dengan Maura malam ini, tiba-tiba saja dia ingin sekali mengenakan pakaian peninggalan ibunya. Hanya itu yang bisa mengobati rasa rindunya terhadap sosok sang ibu. Meskipun terlihat jadul, namun tetap cantik menempel di tubuh indahnya.
Rambutnya yang tadi terurai, kini sudah dijalin dengan rapi. Bahkan wajah cantiknya tak dipoles sama sekali. Tampilannya benar-benar natural dengan sedikit lipstik menghias di bibirnya.
Kini Maura dan Pak Anto ada di dalam mobil yang tengah melaju menyusuri jalan raya. Dengan wajah datarnya, Maura meminta Pak Anto membawanya ke kediaman salah seorang sahabatnya.
"Pak, kita ke rumah Dinda ya!" ajak Maura dengan suara lembutnya.
"Ok Non," jawab Pak Anto penuh semangat.
Setibanya di depan rumah Dinda, Maura turun dan melangkah memasuki gerbang. Seketika, dia mengukir senyum di wajahnya mendapati gadis tomboy nan cantik rupa sudah menunggu di teras.
Dinda adalah salah seorang sahabat terbaik Maura. Keduanya sudah bersama sejak mereka masih duduk di bangku SD. Bahkan saat SMA, keduanya tergabung di kelas yang sama.
"Malam Din," sapa Maura melambaikan tangannya, lalu keduanya saling berpelukan melepas kerinduan yang sudah lama tertahan.
Beberapa tahun tak bertemu, Dinda keheranan melihat penampilan Maura yang berubah drastis. Tak biasanya gadis itu berpakaian terlalu tertutup seperti yang dia lihat saat ini.
"Apa yang terjadi denganmu, kenapa penampilanmu jadi berubah seperti ini?" tanya Dinda sembari mengernyitkan keningnya bingung.
"Tidak apa-apa Din, cuma iseng saja kok. Bagaimana menurutmu?" jawab Maura sembari berputar-putar layaknya cinderella.
"Jangan ditanya lagi! Dari dulu kamu lah ratunya." sanjung Dinda mengakui kecantikan Maura.
"Ah, tidak usah berlebihan! Justru kamulah yang banyak berubah, semakin cantik, aku sampai pangling loh."
Maura mengangkat tangannya mencubit hidung Dinda hingga memerah bak udang goreng. Keduanya terkekeh begitu lepas.
Rasanya baru kemarin mereka beranjak dewasa, tapi kini semuanya sudah berbeda. Dinda yang dulunya hitam dekil, hari ini menjelma menjadi gadis cantik dengan balutan blouse merah dan celana jeans navy yang dikenakannya.
Mengingat waktu yang terus berjalan, keduanya segera melangkah ke arah mobil yang masih menyala. Pak Anto dengan senang hati membukakan pintu belakang untuk duo gadis cantik itu.
Malam ini, Maura mengenakan dress berlengan 7/8, berwarna hitam dan bermotif bunga kecil selutut. Meskipun terlihat sederhana, tapi sangat serasi dengan wajah polos Maura.
Pak Anto menginjak pedal gas, mobil itu melaju menyusuri jalan raya.
Tak lama berselang, Pak Anto memutar stir mobilnya memasuki gerbang sebuah cafe. Tempat itu juga memiliki bar di dalamnya. Lumayan terkenal di kalangan anak muda jaman sekarang.
Pak Anto turun lebih dulu usai memarkirkan mobilnya, tangannya meraih gagang pintu dan membukanya lebar. Duo gadis cantik itu menyusul turun dari dalam mobil.
"Pak Anto mau ikut ke dalam?" tanya Maura, dia rasanya tak tega meninggalkan pria itu sendirian.
"Tidak usah Non, Bapak nunggu di sini saja!" sahut pria berkepala botak itu.
Dilihat dari luar, suasana cafe itu tampak biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa dari tempat itu. Semua sama saja dengan cafe lain pada umumnya.
Namun sesampainya di dalam, Maura mulai kelimpungan melihat setiap sisi yang ditangkap sorot matanya. Luas, namun ada bilik-bilik tertentu yang tersedia sesuai kebutuhan pengunjungnya.
Maura melirik sekelilingnya, seketika kakinya terasa berat untuk melangkah. Mulutnya kelu dengan telapak tangan mulai basah mengandung keringat dingin.
Alunan musik di dalam sana terdengar bergemuruh di telinganya. Ada yang bernyanyi mengikuti alunan lagu, ada pula yang berjoget mengikuti irama musik. Belum lagi suara teriakan, sorakan yang membaur jadi satu. Membuat telinga Maura sakit menusuk gendang telinganya.
"Din, tempat apa ini? Kenapa membawaku ke sini?" tanya Maura meminta penjelasan.
"Jangan banyak tanya, nikmati saja!" jawab Dinda sembari mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti irama musik.
"Tapi aku tidak nyaman berada di sini, keluar saja yuk!" ajak Maura, dia benar-benar takut melihat banyaknya pria di dalam sana.
Maura menahan langkah kakinya. Sebelah tangannya mencengkram lengan Dinda kuat, lalu menariknya hingga langkah gadis tomboy itu terhenti seketika.
"Jangan begini Maura! Tempat ini tidak menakutkan seperti yang kamu bayangkan." tekan Dinda meyakinkan sahabatnya itu.
"Tapi, Din...,"
"Sudah, ikut saja!" potong Dinda menyelang perkataan Maura.
"Semesta, tolong bantu aku! Aku tidak bisa bernafas di tempat seperti ini, dadaku terasa sesak." batin Maura menggerutu memohon pertolongan.
Ibarat makan buah simalakama, Maura serba salah dibuatnya. Diikuti takut, tak diikuti sahabat kecewa. Ya sudahlah, akhirnya Maura pasrah dan menekuk wajahnya.
Semakin ke dalam, raut wajah Maura semakin pucat. Dia menggigit ujung bibir bawahnya melawan rasa takut yang bersarang di dalam hatinya. Jika saja dia tau dari awal bahwa Dinda akan membawanya ke tempat seperti ini, lebih baik dia tidur saja di rumah.
Di waktu yang bersamaan, seseorang menyeringai melihat pemandangan langka itu.
"Hei, bukankah itu putrinya pengusaha kaya raya itu?"
"Iya, itu putrinya Doni Hardiansyah kan?"
"Wow, ternyata dia cantik sekali."
"Ya ampun, aku baru kali ini melihatnya secara langsung."
"Sayang sekali dia akan bertunangan, patah hatiku huhu,"
Semua mata memperhatikan Maura dan membicarakannya spontan. Tidak ada seorang pria pun yang tidak tertarik melihat kecantikannya.
"Sudah, sudah, nikmati acara kalian. Jangan mengganggu pengunjung di sini!" ucap seseorang membubarkan keributan tersebut.
Kini Maura dan Dinda sudah duduk di samping Ayu yang menunggu sedari tadi. Ketiganya saling melepas rindu dan berpelukan satu sama lain. Setelah sekian lama, akhirnya niat mereka berkumpul kesampaian juga.
"Ra, aku dengar kamu akan bertunangan. Benar?" tanya Ayu penasaran.
"Iya Ra, aku juga dengar beberapa waktu lalu. Kamu yakin?" tambah Dinda.
Maura menghela nafas berat, sulit baginya menjelaskan sesuatu yang bertentangan dengan hati kecilnya saat ini.
"Puft, kita tidak usah membahas itu ya! Aku ingin terbang saja menjauh dari muka bumi ini kalau bisa." jawab Maura, semangatnya memudar mendengar itu lagi itu lagi tanpa henti.
Sadar akan ketidaknyamanan Maura membahas perihal itu, Ayu pun dengan cepat mengalihkan pembicaraan. Kini ketiganya fokus menceritakan kesibukan masing-masing setelah lulus kuliah.
Waktu terus berjalan, ketiganya mulai bernostalgia mengingat masa-masa indah berseragam putih abu-abu dulu. Obrolan hangat itu ditemani berbagai macam minuman dan makanan yang sudah tertata di atas meja. Tidak ada alkohol, yang ada hanya jus buah segar bermacam rasa.
Semakin ke sini, obrolan mereka bertiga semakin leluasa. Bahkan Maura yang tadinya canggung, kini sudah berbaur dengan suasana. Gemuruh gelak dan tawa ketiganya mulai menyatu dengan keadaan di sekelilingnya. Bahkan ketiganya tak henti-hentinya terkekeh menahan geli yang menggelitik di perut masing-masing.
Di tengah hingar bingar nya suasana bar pada malam ini, mata Maura menggelinding menyisir setiap sudut ruangan remang-remang itu.
Kemana arah matanya tertuju, di situ dia menangkap pemandangan menggelikan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
"Ya Tuhan, apa yang mereka lakukan di tempat umum seperti ini? Berpegangan tangan, saling menempel, bahkan ada yang berciuman tanpa malu sedikitpun. Dosa apa yang aku lakukan hingga mataku harus dikotori dengan hal-hal menjijikkan seperti ini?" batin Maura dengan wajah berubah aneh.
"Ra, kamu kenapa?" tanya Dinda yang mulai sadar akan perubahan raut wajah Maura yang begitu tiba-tiba.
"Tidak apa-apa Din, hanya saja suasana di tempat ini terasa aneh. Aku tidak suka melihat hal-hal seperti ini!" jawab Maura sedikit gugup.
"Memangnya apa yang kamu lihat, Ra?" tanya Ayu penasaran.
"Tidak ada, lain kali jangan membawaku ke tempat ini lagi!" jelas Maura yang terang-terangan tidak suka menginjakkan kakinya di tempat kotor seperti ini.
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang tengah mengamati gerak gerik ketiganya dari kejauhan. Seorang pria berperawakan tinggi besar dengan otot yang terlukis jelas dibalik kaos putih yang dia kenakan. Bola matanya yang berwarna coklat, tak henti-hentinya menatap Maura begitu lekat.
"Hei, ada apa bos? Apa yang kau lihat, kenapa senyum-senyum sendiri seperti orang gila?" tanya Diki, dia menepuk pundak bos nya sehingga membuyarkan pandangannya seketika.
"Kurang ajar, apa kau tak punya pekerjaan lain selain mengganggu kesenangan orang?"
Pemilik bar yang bernama Dion Adriano itu dengan spontan memukul kepala Diki cukup keras.
"Hei, apa yang kau lakukan padaku? Rasanya benar-benar menakjubkan. Apa kau ingin membunuhku di tempat ini?" ketus Diki sembari mengusap kepalanya yang kini berputar-putar.
"Lakukan saja pekerjaanmu, jangan menggangguku! Apa kau mau gaji mu bulan ini aku potong hah?" gertak Dion dengan tatapan membunuhnya.
"Dasar bos kejam, dikit-dikit potong gaji. Kau anggap apa aku ini hah?" Diki mendongkol kesal, kemudian beranjak pergi begitu saja.
Karena tidak ada lagi yang menghalangi pandangannya, Dion kembali mengarahkan bola matanya ke arah sofa yang diduduki ketiga gadis cantik tadi.
Namun siapa sangka sofa itu sudah kosong tak berpenghuni. Entah kemana ketiga gadis tadi sehingga bola matanya menggelinding menyisir setiap sudut ruangan.
"Dimana mereka?" batin Dion sedikit kecewa.
Di tengah-tengah pencariannya akan ketiga gadis itu, tiba-tiba terdengar suara seksi nan menggoda memanggil namanya dari arah belakang. Sepasang tangan mulai meraba melingkari area pinggangnya.
"Sayang,"
Dion terkejut, lalu menoleh ke arah belakang dan mendapati tubuh seseorang sudah menempel pada permukaan punggungnya.
Dion yang tadinya terpaku, kemudian membalikkan tubuhnya dengan cepat. Seketika, kecupan hangat pun meluncur di permukaan bibirnya dengan begitu mesra.
Namun siapa sangka, Maura, Dinda dan Ayu yang saat itu baru saja keluar dari toilet, tak sengaja melihat adegan mesra itu dengan mata kepala mereka.
"Laki-laki mesum, menjijikkan!" umpat Maura dengan wajah paniknya, dia pun melempar pandangannya ke arah berlawanan.
Disaat bersamaan, Dion tak sengaja menoleh ke arah depan. Matanya terbelalak mendapati ketiga gadis yang dia lihat tadi sudah terpaku di hadapannya. Hal itu sontak saja membuat Dion terperanjat kaget dan bergegas mendorong tubuh Giska sedikit kencang.
"Maaf ya Om, lain kali jika mau berciuman carilah tempat yang sepi! Jangan melakukan hal seperti itu di tempat umum. Tidak semua pengunjung yang datang ke tempat ini terbiasa menyaksikan hal menjijikkan seperti itu!" gerutu Ayu terang-terangan menyatakan ketidaksukaannya, tatapannya tajam setajam pisau yang baru diasah sang empunya.
Ayu kemudian meraih tangan Maura dan Dinda bersamaan, mereka bertiga berlalu meninggalkan sepasang kekasih tak tau malu itu dengan ekspresi wajah yang tidak biasa.
"Hei, tunggu!" teriak Dion, dia pun membalikkan tubuhnya dengan cepat.
Entah apa yang dipikirkan oleh Dion saat ini, raut wajahnya berubah drastis seperti tidak senang dengan apa yang baru saja terjadi.
"Biarkan saja sayang! Untuk apa mengurusi hal yang tidak penting seperti itu?" ucap Giska yang dengan sigap menahan tangan Dion agar tetap berada di sisinya.
Di luar sana, Maura menghela nafas panjang dan membuangnya kasar. Hatinya sedikit lega setelah keluar dari tempat menjijikkan itu. Dia kemudian menarik ikat rambutnya dan membiarkan rambut panjangnya terurai dengan bebas.
"Puftt, mimpi apa aku semalam? Bisa-bisanya mataku ternoda dan menyaksikan semua itu dengan jelas." gumam Maura sembari mengetok jidatnya berulang kali.
"Hahahaha, santai saja Ra! Ciuman doang belum apa-apa kali. Kapan lagi dapat tontonan gratis seperti tadi?" celetuk Dinda terkekeh-kekeh.
"Woi, nonton film gratis apanya? Dasar otak mesum!" sambung Ayu.
Ayu menggertakkan giginya kuat, lalu menarik kuping Dinda saking kesalnya mendengar celetukan dari mulut gadis tomboy itu.
"Aduh, sakit Yu!" keluh Dinda sembari mengusap kupingnya yang terasa panas.
"Makanya jangan berpikiran yang aneh-aneh. Kita boleh saja menikmati masa muda dengan bebas, tapi harga diri kita sebagai wanita tetap nomor 1. Emangnya kamu mau di cap sebagai wanita murahan, atau kamu mau mengikuti jejak sepasang kekasih yang tidak punya malu itu?" gerutu Ayu panjang kali lebar.
"Apaan sih Yu, kok jadi melebar kemana-mana? Orang cuma bercanda doang malah dimasukin hati." ucap Dinda, dia memanyunkan bibirnya dan memasang wajah cemberut nya.
Melihat suasana yang mulai memanas diantara Ayu dan Dinda, Maura berinisiatif menghentikan perdebatan yang tidak jelas ujung pangkalnya itu.
"Sudah, sudah, apa-apaan kalian ini? Tidak ada gunanya mendebatkan hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kita. Biarkan saja mereka berbuat sesuka hati mereka. Intinya kita jangan begitu!"
***************
Malam semakin larut, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Mereka bertiga berpisah di depan gerbang sebab Ayu membawa mobilnya sendiri.
Dalam perjalanan pulang, Maura tak henti-hentinya menggerakkan bibirnya seakan tengah bicara dengan sendirinya.
Setelah mengantarkan Dinda pulang, tatapan mata Maura berubah aneh seakan memikirkan sesuatu. Entah apa yang dia pikirkan saat ini, namun ekspresi wajahnya sangat susah untuk ditebak.
Tiba di rumah, Maura bergegas masuk ke dalam kamarnya.
"Baaam,"
Suara lantang bak gemuruh terdengar begitu jelas saat Maura menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur. Pelan-pelan sepasang kelopak matanya mulai mengatup menutupi bola mata indahnya.
"Ya Tuhan, apa yang terjadi denganku? Kenapa setelah melihat kejadian tadi rasa takut itu kembali menghantuiku?"
"Aku ingin sembuh, aku tidak kuat lagi menahan penderitaan ini."
"Aku ingin mengakhiri semuanya Tuhan, tolong bantu aku!"
Di dalam pergejolakan batin yang semakin menghantam jiwa dan pikirannya, akhirnya Maura tertidur merengkuh penderitaannya yang seakan tiada henti.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!