SMA Daeil, merupakan sebuah sekolah menengah atas yang cukup bergengsi. Sekolah ini menghasilkan siswa yang berpendidikan dengan baik. Namun, sebaik apapun sekolah tersebut, tetap saja ada satu atau dua orang pembuat onar yang selalu membuat masalah.
Di halaman belakang sekolah, terlihat sekitar selusin pemuda. Mereka semua memiliki wajah yang tidak bersahabat, bahkan memiliki senyum jahat di wajah mereka ketika mereka menatap tiga orang yang sedang berlutut dengan posisi seperti sedang push-up.
Ketiga orang ini gemetar dan mereka memiliki memar disekujur tubuh mereka. Salah satu dari mereka bahkan terisak tangis karena menahan sakit.
Mendengar isakan tangis tersebut, seorang pemuda berdecak kesal dan ekspresinya seketika berubah kesal. Dia mendekati pemuda yang terisak tersebut dan menendangnya dengan keras, membuatnya terjatuh dan berguling beberapa kali.
"Sialan, kau ini sangat berbisik! Kau melakukan kesalahan, karena terlambat mengirimkan makanan untukku dan teman-temanku, jadi kau seharusnya meminta maaf dan bukannya menangis!"
Pemuda tersebut berkata dengan kesal, tatapannya jijik saat dia melihat pemuda yang baru saja dia tendang.
"Maaf... Maafkan aku..."
Dengan suara lemah yang hampir tidak terdengar, pemuda yang ditendang itu meminta maaf dan berhenti terisak, takut mendapat tendangan lainnya.
Dua orang lainnya yang memiliki nasib lebih baik darinya hanya bisa memandangnya dengan prihatin.
"Hei, Roy. Jangan kasar begitu. Jika dia sakit dan tidak masuk sekolah, siapa yang akan menyiapkan makanan untuk kita?"
Seorang pemuda berkepala botak dengan tubuh besar dan tinggi berkata, terkekeh dengan tatapan mengejek.
Pemuda itu, yang bernama Roy, yang baru saja menendang pemuda yang terisak itu mengangguk.
"Kau benar, tidak seharusnya aku bersikap kasar begini. Bukan begitu, sobat?"
Roy yang berdiri di hadapan pemuda yang baru saja dia tendang itu berjongkok, menatap pemuda tersebut dengan seringai main-main dan menampar wajahnya dengan pelan.
Pemuda tersebut gemetar hebat, dia memaksakan dirinya untuk mengangguk.
"Baiklah, sekarang kau boleh pergi. Ingat, besok kau harus membawakanku makanan yang banyak, mengerti? Hari ini kau terlambat memberikannya padaku, jadi aku sangat kelaparan. Tapi, karena aku orang baik, aku akan memaafkanmu."
Roy berdiri, berbalik dan menatap dua orang pemuda lainnya, yang juga merupakan korban.
"Kalian berdua juga boleh pergi. Ingat, besok bawakan aku makanan yang lebih banyak, mengerti?"
Kedua pemuda itu, yang masih berlutut mengangguk dan segera bangkit dan meninggalkan halaman belakang sekolah.
Kembali pada Roy, dia merupakan seorang pemuda yang merupakan seorang pembuat onar di SMA Daeil. Dia merupakan siswa yang paling sering dipanggil ke ruang kepala sekolah, bahkan hampir dikeluarkan dari SMA Daeil. Selain itu, banyak dari para guru yang membencinya karena sikapnya yang sering membuat onar itu.
Roy bukan hanya pembuat onar, tapi dia juga sering memalak para siswa lainnya untuk membelikannya makan siang. Sudah banyak orang yang menjadi korbannya.
Bukan hanya dirinya, namun ada teman-temannya juga yang memiliki sikap yang sama sepertinya. Mereka semua membentuk kelompok, untuk memalak dan dari kelompok tersebut, Roy merupakan seorang pemimpin.
*****
"Ugh, ya ampun. Ini sangat sakit! Roy benar-benar keterlaluan! Aku hanya terlambat lima menit, tapi dia memukuliku seperti ini!"
Di dalam ruang unit kesehatan sekolah, seorang pemuda dengan wajah memar mengeluh kesakitan dan mengutuk Roy dengan keras. Tangannya terus-menerus bergerak, menyembuhkan luka memarnya dengan obat-obatan yang ada di unit kesehatan tersebut.
Pemuda itu tidak lain bernama Niko.
Dia merupakan salah satu dari sekian banyak korban Roy. Dia juga salah satu dari tiga orang yang berada di halaman belakang sekolah tadi. Namun, dia bukanlah orang yang ditendang, jadi dia bisa menghela napas lega karena terlepas dari nasib buruk.
Niko sendiri sebenarnya merupakan siswa yang cukup rajin dan pintar. Dia disukai banyak guru karena sikapnya yang teladan dan disiplin. Namun, sayangnya dia memiliki penampilan seorang culun, membuatnya terlihat mudah diganggu.
Tubuh Niko tidak besar, dia memiliki tinggi badan seperti pada umumnya. Wajahnya biasa dan dia memakai kacamata. Oleh karena itu, dia sering diganggu oleh Roy dan kelompoknya untuk membelikan makanan untuk mereka dengan menggunakan uang sakunya sendiri.
Setelah mengobati lukanya, Niko keluar dari unit kesehatan dan pergi ke kantin. Ini adalah jam istirahat makan siang, jadi dia merasa lapar dan ingin segera memakan sesuatu. Juga, dipukuli oleh Roy membuatnya kelelahan, jadi makan akan mengisi kembali tenaganya.
Ketika Niko tiba di kantin, hiruk pikuk suara berisik memenuhi kantin ketika para siswa berjalan dan mencari meja sambil membawa nampan di tangan mereka.
Niko segera menuju salah satu kios dan memesan makanan. Dia mengantri sebentar dan segera mencari meja setelah dia mendapatkan makanannya. Dia melihat sekeliling dengam cermat dan menghela napas pelan. Semua meja hampir penuh dan dia merasa tidak nyaman jika harus berbagi meja dengan orang yang tidak dia kenal.
Mencari sebentar, Niko menemukan meja yang hanya ditempati oleh satu orang saja. Meja itu ada di pojok, jadi Niko segera menuju ke sana. Juga, orang yang duduk di meja tersebut merupakan kenalannya.
"Arya, boleh aku bergabung denganmu? Aku tidak mendapat meja." Niko bertanya
Pemuda tersebut, yang dipanggil Arya, mengangkat kepalanya dan menatap Niko dengan tatapannya yang tajam.
Melihat Niko memiliki memar, Arya terkejut dan menatapnya dengan mengerutkan dahi.
"Niko, apa kau berurusan lagi dengan Roy?"
Niko tidak menjawab, dia duduk di hadapan Arya dan menghela napas.
"Tidak perlu dibahas, Arya. Semua adalah kesalahanku karena terlalu mudah diganggu."
"Hei, aku sudah mengatakan padamu, jika kau diganggu lagi oleh Roy dan kelompoknya, datanglah padaku dan akan kuhabisi semua bajingan itu. Bukan masalah besar jika hanya menghajar selusin orang."
Niko terdiam, dia merasa bahwa temannya Arya terlalu berlebihan.
Arya sendiri merupakan teman baik Niko. Mereka pernah berada di kelas yang sama di tahun pertama mereka.
Selain itu, Arya sendiri terkenal dengan banyak rumor buruk. Dia juga sama seperti Roy, kebanyakan guru tidak senang dengan dirinya. Namun, dia bukan pembuat onar seperti Roy. Dia hanya terlalu sering berkelahi, itupun jika ada orang yang menyinggungnya.
Jika tidak, maka Arya tidak akan berkelahi.
Arya juga memiliki wajah yang cukup tampan, dengan tubuh tinggi dan sedikit berisi akan otot. Meski begitu, sedikit gadis yang tertarik padanya.
Alasannya sederhana, semua karena rumor buruknya.
Arya sendiri memiliki tatapan tajam dan sikapnya yang dingin benar-benar menjadi idaman para wanita. Namun, sekali lagi, jarang ada yang tertarik padanya.
Selain itu, Arya sendiri sudah memiliki seseorang yang dia cintai.
Menyantap makanannya, Niko makan dengan lahap.
Arya yang melihat ini menghela napas. Dia kemudian melanjutkan makannya dengan santai.
"Hei, di sini sangat ramai! Hei, kau! Kemari, belikan aku makanan, biaya kau yang tanggung!"
Sebuah suara terdengar dari suatu arah.
Niko membeku dan sendoknya yang penuh makanan berhenti di udara. Dia dengan kaku menoleh ke sumber suara dan terkejut, mengetahui bahwa suara itu berasal dari orang yang selama ini mengganggunya, yaitu Roy!
Niko sedikit tidak menyangka dengan kedatangan Roy dan kelompoknya di kantin. Lagipula, Roy jarang pergi ke kantin dan selalu menyuruh orang untuk membelikan makan siangnya.
Arya yang mendengar suara Roy ikut menoleh dan segera mengerutkan dahinya.
Roy yang berada agak jauh dari tempat Arya duduk tiba-tiba merinding. Dia merasakan tatapan seseorang terkunci padanya dan dia yakin bahwa tatapan orang itu bukanlah tatapan yang baik.
Menoleh dengan kaku, Roy menatap ke arah meja Arya dan Niko berada. Dia terkejut mengetahui bahwa Arya yang memelototinya.
Namun, ketika dia melihat Niko, keterkejutannya berubah menjadi seringai jahat. Dia segera mengajak kelompoknya menuju tempat Niko berada.
Niko jelas menyadari jika Roy menuju ke arahnya. Dia berdecak kesal dan rasa takut memenuhi hatinya. Dipukuli oleh Roy memang membuatnya marah, tapi daripada itu, dia takut.
"Arya, sebaiknya kita pindah saja. Roy pasti datang membawa masalah." Niko menyarankan.
Arya tetap diam, hanya mendengus dingin dan menunggu kedatangan Roy.
Niko menggertakkan giginya, merasa Arya mengabaikannya.
"Yo, Niko. Lama tak jumpa. Oh, kau sedang makan, ya?"
Roy menyapa, bersikap baik dan ramah.
Sudut mulut Niko berkedut mendengar ini.
Mengarahkan tatapannya pada makanan Niko, Roy memiliki ide bagus.
Mengambil piring makanan Niko, Roy memakannya sambil berdiri. Ketika dia memakan beberapa suapan, dia tiba-tiba memuntahkannya kembali dengan jijik.
"Niko, apa yang kau makan ini? Rasanya benar-benar menjijikan!"
Roy membuang semua makanan yang ada di piring tersebut ke lantai. Dia jelas melakukannya dengan sengaja, ingin mengerjai Niko.
Niko yang melihat itu gemetar karena marah. Wajahnya menggelap ketika dia berkata.
"Kau...!"
Sebelum kata-kata Niko keluar, sebuah nampan melayang dan mengenai wajah Roy.
Niko terkejut dan menoleh ke sumber datangnya nampan terbang itu, menyadari jika yang melemparnya adalah Arya.
"Sialan, siapa yang berani...!"
Roy tidak sempat menyelesaikan kalimatnya, dia terkejut dan matanya melebar saat melihat Arya melompat dari atas meja dan melayang di udara dengan kakinya yang diarahkan padanya.
Dengan suara bugh, dada Roy ditendang oleh Arya dan dia terpental cukup jauh, jatuh terbaring di lantai.
Kelompok Roy yang melihat ini semuanya terkejut, mulut mereka terbuka lebar.
Roy mengerang kesakitan dan dia jadi kesulitan bernapas. Wajahnya pucat dan ekspresi ngeri terlihat jelas.
Tanpa menunggu Roy bangkit, Arya berdiri di hadapannya, mengangkat kakinya dan menginjak dada Roy tanpa keraguan, menyebabkan Roy mengerang kesakitan dan napasnya tertahan.
"Hei, tidakkah kau lihat aku sedang makan di sana? Kenapa kau dengan begitu bodohnya memuntahkan makananmu di hadapanku? Juga, makanan yang kau ambil bukan milikmu, melainkan milik Niko!"
Arya menekan dada Roy dengan kakinya.
Nadanya sangat dingin sehingga membuat orang yang mendengarnya merinding.
Dia jelas merasa sangat kesal. Dia sedang duduk menikmati makanannya, namun Roy tiba-tiba datang dan memuntahkan makanan yang sudah dia kunyah tepat di depan matanya. Selain itu, Roy juga mengganggu Niko, teman baiknya.
Jadi, dengan Roy bertindak seperti tadi, setidaknya Arya memiliki alasan lebih untuk menghajar Roy.
Orang-orang di sekeliling yang sedang menikmati makanan mereka seketika berhenti ddan memusatkan fokusnya pada Arya yang sedang menginjak dada Roy.
Mereka semua segera berbisik satu sama lain, beberapa bersyukur karena Roy mendapat kemalangan, sementara beberapa lainnya terdengar bersemangat saat melihat adanya perkelahian.
Di sisi lain, kelompok Roy yang terkejut dan terdiam itu akhirnya mendapat kesadaran mereka kembali karena bisikan orang-orang di sekitar mereka.
Dengan cepat, seorang pemuda botak bertubuh besar lari dan menabrakkan tubuhnya ke tubuh Arya, membuat Arya kehilangan keseimbangannya dan terlempar beberapa langkah. Dia terjatuh namun segera bangkit, mengerang kesakitan dan membersihkan debu pada pakaiannya.
Pemuda botak yang berhasil menyingkirkan Arya dari Roy segera membantu Roy bangkit.
Roy berdiri dan memegangi dadanya. Napasnya terengah-engah dan dia menatap Arya dengan penuh kebencian. Dia kemudia berbisik pada pemuda botak di sebelahnya dan pemuda botak itu mengangguk setuju.
Pemuda botak itu kemudian menajamkan tatapannya dan mendekati Arya.
Ketika dia berhadapan dengan Arya, perbedaan tinggi keduanya bisa terlihat jelas, dengan pemuda botak itu satu kepala lebih tinggi dari Arya.
Saling menatap, keduanya melotot dan tangan mereka terkepal dengan keras.
Dalam hitungan detik, Arya dan pemuda botak itu bertukar pukulan, namun karena tubuh pemuda botak itu lebih besar daripada Arya, dia jadi bisa menepis tinjunya dengan tangannya yang lain sementara tangannya yang terkepal memukul wajah pemuda botak itu.
Bertukar pukulan, Arya berhasil melayangkan pukulannya sambil menepis tinju pihak lain, sementara pemuda botak itu menderita kerugian, mendapat pukulan dari Arya.
Pemuda tersebut terhuyung dan mundur satu langkah. Dia mengerang pelan dan menyentuh wajahnya yang terpukul. Wajahnya berubah merah karena marah.
Dia memiliki tubuh besar dan tinggi, dia juga sangat memahami kekuatannya tapi dia kalah cepat dari Arya. Selain itu, dia sedikit tidak menyangka jika Arya akan memiliki kekuatan sedemikian rupa. Tampaknya dia terlalu meremehkannya.
"Huh, padahal aku ingin bersikap lunak padamu, tapi sepertinya kau malah meminta kekerasan!"
Pemuda botak itu mendengus, lari ke arah Arya dengan tangan terkepal. Seluruh kekuatannya dia pusatkan pada tangannya yang terkepal itu. Dia sangat yakin, jika Arya terkena pukulannya ini, dia pasti akan kehilangan kesadarannya.
Di sisi lain, Roy yang sudah menstabilkan napasnya tersenyum jahat saat melihat pemuda botak itu mengerahkan semua kekuatannya. Pemuda botak itu merupakan anak buahnya yang paling kuat, jadi dia yakin jika pemuda botak itu bisa mengalahkan Arya.
Dengan ini, dia tidak perlu turun tangan untuk mengatasi Arya.
Arya mengerutkan dahinya dan ekspresi serius. Dia tahu jika dia tidak menghindari pukulan lawannya, dia mungkin akan menderita kerugian. Dia segera memutar otaknya, melihat ke arah pemuda botak yang berlari ke arahnya sambil mencari celah.
Menyeringai, Arya tampaknya menemukan celah.
Pemuda botak itu terkejut melihat seringai Arya, dia tiba-tiba memiliki firasat buruk. Mengabaikan keterkejutannya, dia melanglah lebih cepat dan tiba di hadapan Arya seketika.
Arya mengambil ancang-ancang, menguatkan satu kakinya dan memusatkan kekuatannya di sana. Ketika pemuda botak itu semakin dekat, kakinya yang berisi kekuatannya itu terangkat dan menendang lututnya, menyebabkan pemuda botak itu kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke samping, terjatuh dengan suara gedebuk yang keras.
Mulut Roy terbuka lebar, anak buahnya yang lain juga memiliki ekspresi yang sama. Semua orang terkejut.
Pemuda botak itu menggertakkan giginya karena marah, merasa malu karena terjatuh di depan banyak orang. Dia menatap Arya dengan penuh kebencian.
Pemuda botak itu dengan segera bergerak untuk bangkit.
Arya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ketika dia melihat lawan hendak bangkit, dia berlari dan menendang wajahnya dengan keras, menyebabkan wajah pemuda botak itu miring ke samping.
"Sial, Arya benar-benar menakutkan! Dia tidak berbelas kasih pada lawannya!"
"Huh, apakah kau lupa siapa Arya? Dia pernah mematahkan tangan dan kaki guru saat tahun pertamanya! Aku berada di kelas yang sama dengan dulu, jadi aku melihatnya sendiri!"
"Wah, dia benar-benar gila! Mengapa Arya tidak dikeluarkan dari sekolah saja? Dia sudah melakukan tindak kejahatan!"
"Sulit untuk mengeluarkan Arya dari sekolah. Kepala sekolah kita sepertinya dekat dengan Arya, ayah Arya juga merupakan seorang polisi, jadi tentu saja dia memiliki perlindungan dari orang-orang hebat, makanya dia tidak dikeluarkan dari sekolah ini."
Para siswa yang menonton perkelahian terjadi saling berbisik, beberapa kagum dengan Arya sementara lainnya takut dan tidak memiliki keberanian untuk membuat masalah dengannya.
Aksi Arya tanpa henti, dia menendang dan memukul pemuda botak yang terjatuh itu, tidak memberinya kesempatan untuk bangkit ataupun membalas.
Roy yang melihat ini menggertakkan giginya karena marah, mengutuk pemuda botak itu. Dia kemudian menyuruh dua orang anak buahnya untuk membantu pemuda botak itu.
Dua orang yang diperintahkan Roy saling memandang, terlihat ragu. Mereka berdua merupakan saudara kembar dan setelah melihat bagaimana kejamnya Arya, keduanya ragu dan takut.
Roy yang melihat keraguan si kembar mendesak keduanya, mengancam mereka. Pada akhirnya, si kembar hanya bisa menghela napas tanpa daya dan menuruti perintah Roy.
Salah satu dari keduanya maju lebih dulu, berlari lalu menendang Arya dari samping, mengenai pinggangnya.
Arya terkejut dan terlempar beberapa langkah ke samping. Dia segera menoleh ke orang yang menendangnya dengan tatapan tajam.
Si kembar yang menendang Arya segera membantu pemuda botak itu untuk bangkit.
Pemuda botak tersebut tidak dalam keadaan baik. Di wajahnya penuh memar dan hidungnya mengeluarkan darah. Dia terengah-engah dan mengerang dari waktu ke waktu.
Di sisi lain, si kembar lainnya maju untuk melawan Arya. Keduanya adu pukulan dan saling menghindar.
Baik Arya maupun dirinya hampir imbang dalam hal kecepatan, namun tidak dalam hal kekuatan.
Setelah membantu pemuda botak itu bangkit, si kembar ini lalu membantu kakaknya yang sedang berkelahi dengan Arya. Dia mengambil kesempatan dan berhasil mendaratkan pukulan sekali lalu mundur.
Saudara kembar itu kemudian memgambil jarak dari Arya. Napas keduanya memburu dan mereka mengepalkan tangan mereka dengan erat. Mata mereka mengunci Arya, seakan jika Arya bergerak, maka mereka akan memukulnya.
Arya yang menghadapi dua orang sekaligus berdecak kesal. Meski ini bukan pertama kalinya dia berkelahi dengan dua orang, namun itu tetap saja merepotkan.
"Berhenti! Hentikan perkelahian kalian!"
Tiba-tiba, ketika perkelahian semakin memanas, sebuah teriakan datang dari suatu arah.
Semua orang terdiam dan menoleh ke sumber suara, agak terkejut ketika menyadari yang berteriak merupakan seorang guru pria berpakaian olahraga.
Arya menoleh ke guru olahraga tersebut sejenak lalu mengalihkan pandangannya ke si kembar. Dia segera menuju keduanya dan menerjang, menendang perut si kembar adik, yang menendangnya di awal tadi.
Si kembar kakak terkejut saat menyadari adiknya terhuyung mundur. Dia menggertakkan giginya dan membalas Arya dengan pukulan. Namun sayangnya, tangannya yang terkepal itu tertangkap oleh Arya. Dia berusaha keras menarik tangannya, namun gagal. Dia benar-benar merasakan perbedaan kekuatan di sini.
Tanpa buang waktu, Arya memutar tangan si kembar kakak, memelintirnya.
Si kembar kakak mengerang kesakitan, merasakan tangannya diputar begitu keras. Dia yakin jika Arya tidak melepaskannya dalam beberapa detik ke depan, tangannya pasti patah.
Arya memiliki ekspresi acuh tak acuh ketika melihat ekspresi kesakitan si kembar kakak. Tatapannya dingin ketika dia melihat pemuda yang tangannya dia pelintir ini.
Dengan teriakan kerasnya, si kembar kakak hampir kehabisan suaranya karena berteriak, membuatnya serak.
Setiap orang yang melihat ini memejamkan mata mereka, tidak berani melihat kekejaman Arya.
Guru olahraga segera berlari dan menghentikan Arya ketika melihat keadaan yang melewati batas.
Tepat sebelum guru olahraga tiba, Arya sudah melepaskan tangannya yang memelintir tangan si kembar kakak. Dia bisa dengan mudahnya mematahkan tangan si kembar kakak, tapi dia tidak melakukannya. Dia tidak ingin menyebabkan masalah yang berlebihan hanya karena perkelahian kecil semacam ini.
"Aku bilang hentikan! Apakah kau tidak dengar?!"
Guru olahraga itu menghela napas lega karena Arya tidak mematahkan tangan si kembar kakak. Dia kemudian segera memarahi Arya karena mengabaikan kata-katanya tadi.
Arya hanya mendengus dingin dan mengabaikannya.
Guru olahraga itu tidak terlalu memperdulikannya, dia lebih mementingkan si kembar kakak, memeriksanya dan mengetahui bahwa semuanya aman. Dia kemudian melihat pemuda botak yang babak belur dengan hidung berdarah. Dia juga melihat si kembar adik yang memegangi perutnya.
Melihat ini semua, guru olahraga bercedak heran. Dia tidak bisa mempercayai matanya. Tidak pernah sekalipun dia melihat seseorang bisa berkelahi dengan tiga orang sekaligus, bahkan melukai mereka semua.
Setelah itu, guru olahraga menyuruh setiap siswa yang tidak berkepentingan kembali ke kelas mereka masing-masing. Para siswa menuruti guru olahraga dan pergi, menyisakan Arya, Roy, pemuda botak serta si kembar.
Guru olahraga itu segera memarahi mereka semua, terutama Arya dan Roy yang merupakan orang yang memulai perkelahian.
Tidak lama setelah guru olahraga itu memarahi mereka, Niko tiba-tiba datang dengan napas terengah-engah. Dia merupakan orang yang memanggil guru olahraga ini dan meminta bantuannya agar menghentikan perkelahian.
Setelah Niko tiba, guru olahraga berterima kasih pada Niko karena sudah melaporkan perkelahian ini. Dia kemudian meminta penjelasan pada Niko tentang penyebab perkelahian ini terjadi.
Niko menjelaskan semuanya tanpa menutupi apapun, namun karena dia teman baik Arya, dia membela Arya lebih banyak. Juga, dia sadar jika dia sedang dibela oleh Arya saat dia diganggu oleh Roy ketika sedang makan tadi. Oleh karena itu, dia mengatakan banyak hal baik tentang Arya.
Arya diam-diam tersenyum tipis mendengar pembelaan Niko, merasa puas.
Guru olahraga itu mengerutkan dahinya dan ekspresi berpikir terlihat di wajahnya. Dia yakin dengan penjelasan yang Niko berikan. Tapi melihat apa saja yang terjadi di sini, dimana pemuda botak babak belur dengan hidung berdarah serta si kembar kakak yang tangannya hampir dipatahkan Arya, dia merasa bahwa orang yang memulai perkelahian adalah Arya, bukan Roy dan kelompoknya.
Guru olahraga menghela napas panjang. Dia melirik Arya lalu ke Niko, tersenyum sambil berkata.
"Um, terima kasih, Niko. Sekarang, kembali ke kelasmu. Aku akan memberi mereka beberapa nasehat lagi."
Guru olahraga menunjuk ke arah Arya dan lainnya.
Niko ragu-ragu dan melirik ke arah Arya, meminta sarannya.
Arya hanya mengangguk setuju pada Niko.
Niko tersenyum tipis lalu kembali ke kelasnya setelah mendapat persetujuan Arya.
Kembali pada Arya, dia melirik orang-orang yang berkelahi dengannya, menatap mereka dengan mengejek. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke guru olahraga.
"Baiklah, masalah ini sudah selesai. Jadi aku ingin kembali ke kelas."
Arya berkata acuh tak acuh, berbalik.
"Hei, berhenti! Aku belum menyuruhmu kembali, jadi jangan pergi ke manapun! Kau masih perlu memberi penjelasan!"
Guru olahraga itu segera menghentikan Arya.
Pemuda itu berhenti dan berbalik, berdecak kesal.
"Apakah kau memerlukan sesuatu dariku? Kau sudah mendapat penjelasan dari Niko dan apa yang dikatakan Niko adalah fakta. Mereka yang memulai mengganggu makan siangku, jadi aku tidak bersalah di sini."
Arya berkata dengan dingin, menunjuk Roy sebagai pelaku utama atas terjadinya perkelahian ini.
Roy menggertakkan giginya dan membantah, membela diri jika dia tidak bersalah. Pemuda botak dan si kembar juga menyuarakan pembelaan mereka.
Guru olahraga merasakan kepalanya sakit. Jika dia membiarkan Arya pergi begitu saja, tidak adil rasanya untuk Roy dan lainnya, karena mereka terluka parah. Bahkan salah satunya hampir kehilangan tangan mereka.
Namun, jika dia membela Roy, mereka semua adalah pembuat onar dan yang Niko katakan tidak mungkin bohong.
Guru olahraga diam cukup lama, ekspresi berpikir terlihat di wajahnya dam dia menghela napas setelah sunyi beberapa detik.
"Baiklah, tidak ada satupun dari kalian yang benar di sini. Jadi, aku akan menghukum kalian sama rata. Sekarang, pergi dan bersihkam toilet pria serta halaman belakang sekolah. Setelah semua selesai, datang kembali padaku untuk melapor. Jangan ada yang berani kabur dari hukuman, atau kalian akan mendapat hukuman lainnya."
Roy dan lainnya saling memandang, jelas tidak senang dengan hukuman yang diberikan. Masing-masing dari mereka mengeluh dan terus-menerus menyalahkan Arya atas semua yang terjadi.
Arya di sisi lain mengerutkan dahinya dengan tidak senang. Dia menajamkan tatapannya pada guru olahraga dan berkata dengan dingin.
"Sepertinya ada yang salah di sini. Aku merupakan korban dari mereka. Mereka mengganggu makan siangku dan temanku, jadi aku jelas kesal. Aku hanya membalas apa yang mereka lakukan. Aku tidak terima hukuman semacam ini."
"Arya, benar? Jangan melawan ataupun membantah. Cukup lakukan hukumanmu. Kau juga sudah melewati batas karena berniat mematahkan tangan lawan berkelahimu serta membuat yang lainnya mimisan. Memberimu hukuman itu sudah sangat baik, jangan memaksaku!" Guru olahraga mulai kesal.
"Hei, keparat. Jika aku mengatakan aku tidak bersalah, maka aku tidak bersalah."
Arya juga mulai kesal, memanggil guru olahraga dengan mengumpat. Dia sedang makan siang tapi Roy tiba-tiba datang dan memuntahkan makanan di depan matanya, membuatnya kehilangan selera makan. Siapapun akan kesal dengan perbuatan Roy.
Roy dan lainnya terkejut mendengar Arya berkata demikian.
Guru olahraga gemetar karena marah, ekspresinya menggelap. Tidak pernah sekalipun dia dipanggil keparat oleh muridnya sendiri. Terlebih lagi, dia dipanggil seperti ini di hadapan orang banyak, jika dia tidak membalas, dia hanya akan merasa malu seumur hidupnya.
"Bocah! Kau berani memanggil gurumu seperti itu?! Apakah kau ingin hukuman lebih?!"
Guru olahraga itu berteriak marah, ekspresinya garang dan wajahnya merah karena marah. Matanya dipenuhi kebencian ketika melihat Arya yang acuh tak acuh itu.
Arya dengan santai mengangkat bahunya, tersenyum mengejek.
"Hukuman apa? Aku bahkan tidak bersalah di sini."
"Bajingan cilik! Kau keterlaluan! Lihat saja, aku akan mengadu kepada kepala sekolah agar kau dikeluarkan dari sekolah ini!"
Guru olahraga itu kehabisan kesabaran. Dia sangat ingin menghajar Arya saat ini juga, tapi memikirkan reputasinya sebagai seorang guru, terlebih lagi dia merupakan pria dewasa, jadi dia memilih mengalah dan menahan emosinya. Akan lebih baik baginya untuk melaporkan ini semua pada kepala sekolah.
Arya hanya mendengus, sepenuhnya mengabaikannya.
Guru olahraga itu kemudian berbalik dan pergi, menuju ruangan kepala sekolah. Dia berjalan sambil menghentakkan kakinya, menggerutu sepanjang jalan.
Roy dan yang lainnya, yang ditinggal di kantin itu menatap kepergian guru olahraga. Mereka menatapnya cukup lama, sebelum akhirnya menatap Arya dengan penuh makna.
Tersenyum jahat, mereka jelas memiliki niat buruk.
Arya mengerutkan dahinya dengan erat melihat mereka. Kewaspadaannya juga meningkat pesat. Melawan empat orang akan sulit baginya.
Terkekeh, pemuda botak adalah yang pertama maju, ekspresinya serius dan dia menatap Arya dalam-dalam.
"Bocah, kudengar tadi kau berbicara dengan tidak sopan pada guru tadi. Dia adalah orang tua, jadi setidaknya jaga ucapanmu dan hormati dia!"
Pemuda botak itu menggertakkan giginya. Dia merasa marah karena Arya berbicara kasar pada guru olahraga tadi. Dia mungkin pembuat onar, namun dia selalu menghormati seseorang yang jauh lebih tua darinya. Oleh karena itu, saat dia mendengar Arya berbicara kasar, dia segera berjanji dalam hatinya jika dia akan mengajarkan sopan santun pada Arya.
Arya diam sejenak, wajahnya acuh tak acuh saat dia berkata.
"Menghormati? Menghormati siapa?" Arya mengangkat bahunya.
"Dengar, pria botak. Aku hanya menghormati orang-orang tertentu. Jadi, tidak setiap orang berhak menerima rasa hormatku, bahkan jika itu adalah orang yang lebih tua dariku!"
Arya membalas tanpa ragu, membuat pemuda botak itu semakin marah. Kepalanya bahkan menjadi merah.
"Kau terlalu lancang!"
Pemuda botak itu mengayunkan tinjunya, membuat Arya terkejut dan segera menghindar. Dia mengutuk dalam hatinya.
Pemuda botak itu berdecak kesal karena tinjunya tidak mengenai Arya.
Arya segera mundur beberapa langkah untuk mengambil jarak. Dia tahu bahwa situasinya saat ini kurang baik, di mana Roy dan dua lainnya bisa bergerak kapan saja.
Pemuda botak itu segera berlari ke arah Arya, mengepalkan tangannya dengan erat.
Arya tersenyum licik dengan ini. Dia jelas menemukan celah.
Menghindar ke samping, Arya mengulurkan kakinya, menyebabkan pemuda botak itu tidak hanya gagal memukul Arya. Tapi dia juga tersandung oleh kaki Arya dan terjatuh dengan bunyi gedebuk.
"Huh, sungguh bodoh. Kau melakukan gerakan yang sama seperti tadi."
Arya mengejek, menendang wajah pemuda botak itu berkali-kali hingga dia tergeletak di tanah dengan lemas.
Mengambil napas, Arya menatap ke tempat Roy berada. Dia terkejut saat mengetahui jika Roy dan si kembar sudah tidak ada di tempat.
"Sekelompok pengecut." Arya mencibir.
Setelah istirahat sejenak, Arya menuju suatu arah.
*****
Di ruang kepala sekolah, terlihat seorang pria sedang menggebrak meja. Pria tersebut terdengar marah ketika dia berbicara pada seorang wanita yang duduk di balik meja tersebut.
Pria itu tidak lain adalah guru olahraga yang memiliki masalah dengan Arya tadi, sementara wanita tersebut merupakan kepala sekolah SMA Daeil, Tuti.
Tuti memijat kepalanya dan dia perlahan mengangkat kepalanya, menatap guru olahraga itu.
"Jadi, kau kemari dengan marah-marah karena kau dihina oleh seorang murid bernama Arya? Bolehkah aku bertanya, Arya mana yang kau maksud?" Tuti bertanya.
"Tentu saja, Arya yang sering membuat masalah itu! Dia memanggilku keparat seenaknya!"
"Jadi, karena hal itu kau meminta dia dikeluarkan dari sekolah ini?"
"Ya, Kepsek. Saya meminta Arya untuk dikeluarkan dari sekolah ini. Dia hanya murid pembuat masalah, kita harus menghentikannya sebelum dia semakin melakukan tindakan berlebihan lagi!"
Tuti semakin sakit kepala mendengar ocehan guru olahraga itu. Dia kemudian menghela napas panjang dan tanpa daya berkata.
"Dengarkan aku, Arya tidak bisa dikeluarkan semudah yang kau bayangkan. Ayahnya adalah seorang polisi dengan jabatan, serta ayahnya juga merupakan teman dekatku. Juga, masih banyak siswa lain yang lebih bermasalah daripada Arya. Kita harus memikirkan yang lebih bermasalah, baru kita pikirkan tentang Arya."
"Kepsek, tidak seharusnya kau seperti itu! Arya, dia itu..."
Ketika guru olahraga itu berbicara, suara ketukan pintu terdengar sehingga membuatnya terdiam.
Tuti menatap pintu sejenak, sebelum akhirnya menyuruh orang yang mengetuk masuk.
Ketika pintu terbuka, baik guru olahraga ataupun Tuti terkejut melihat siapa yang datang.
Masuk ke dalam ruangan, itu tidak lain adalah Arya. Dia mendengar jika guru olahraga akan mengadu pada kepala sekolah, jadi dia datang ke sini untuk mencari tahu kebenarannya.
Ternyata, guru olahraga itu benar-benar mengadu, membuatnya agak terkejut.
"Jadi, bagaimana? Apakah kau sudah berhasil membuatku dikeluarkan dari sekolah ini?"
Arya bertanya, dia berjalan dan duduk di sofa, bersandar dan meletakkan kakinya di atas kaki lainnya. Dia menatap guru olahraga itu dengan mengejek.
Guru olahraga itu menggertakkan giginya, semakin marah dengan provokasi Arya. Jika bukan karena adanya kepala sekolah, dia sudah menghajar Arya. Dia kini menyesali perbuatannya, seharusnya dia hajar saja Arya saat di kantin tadi.
"Kepsek, lihat! Dia datang dan seenaknya duduk, tanpa mengucapkan permisi!"
"Biarkan saja, abaikan jika memungkinkan. Dia sudah biasa seperti itu, bahkan sejak tahun pertama."
Tuti merasakan kepalanya hampir pecah karena Arya tiba-tiba datang.
Mengalihkan pandangannya pada Arya, Tuti menghela napas panjang.
"Arya, kau berkelahi lagi?"
"Begitulah, Kepsek. Maaf untuk itu, tapi aku selalu memiliki alasan kenapa aku berkelahi."
"Baiklah, aku mengerti. Sekarang, aku minta padamu untuk kembali ke kelasmu. Pelajaran sudah di mulai."
Kepsek dengan lembut berkata saat sudut mulutnya berkedut.
Arya tersenyum tipis dan berdiri. Dia menatap guru olahraga dengan tatapan menghina dan jijik, seakan dia sedang melihat sampah.
Guru olahraga itu gemetar hebat karena marah, tangannya terkepal dengan kencang hingga mengeluarkan bunyi.
Dia benar-benar marah pada Arya dan Tuti.
Niat awalnya adalah datang untuk meminta kepala sekolah untuk mengeluarkan Arya dari SMA Daeil. Namun, bukan hanya rencananya gagal, tapi dia juga dihina berkali-kali oleh Arya. Yang membuatnya lebih kesal adalah Arya dan Tuti yang mengobrol dengan akrab, bagai teman lama.
Dia curiga jika sebenarnya Arya sudah menyuap kepala sekolah agar tidak mengeluarkannya dari SMA ini.
"Bocah, aku dengar kau adalah anak haram. Apakah itu benar? Oh, ya ampun. Aku tidak menyangka kau semenjijikkan itu."
Tiba-tiba, guru olahraga berkata demikian, nadanya dipenuhi kebencian.
Dia berkata demikian bukan tanpa sebab, semuanya berdasarkan rumor yang beredar di antara para murid dan guru. Dia sudah mendengar hal ini berkali-kali dan mempertanyakan faktanya.
Namun, saat ini dia sedang dalam kemarahannya, jadi dia tanpa pikir panjang berkata demikian, sepenuhnya hanya untuk menghina Arya sebagai pembalasan.
Arya yang sudah memegang gagang pintu dan hendak keluar itu tiba-tiba membeku. Dia terdiam cukup lama.
Tuti yang mendengar ini sangat terkejut, dia bahkan sampai berdiri dari tempat duduknya. Wajahnya kini pucat dan keringat dingin menetes dari dahinya.
"Hentikan omong kosongmu!"
Tuti berteriak dengan panik, dia kemudian menatap Arya dengan ketakutan.
"Arya, jangan dengarkan apapun. Guru ini hanya salah bicara, oke? Jangan didengarkan."
Tuti mati-matian mencoba membujuk Arya.
Dia dengan jelas mengetahui kepribadian Arya yang meledak-ledak ketika dihina seperti ini.
Arya yang membeku itu perlahan menoleh dengan kaku. Dia kemudian melirik dingin guru olahraga itu dari sudut matanya.
"Jaga ucapanmu. Jangan pernah menyesal dengan kata-katamu itu."
Dengan nada dingin yang penuh kebencian, Arya berkata demikin sebelum akhir membuka pintu dan meninggalkan ruangan kepala sekolah.
Tuti terkejut dengan tindakan Arya. Dia jelas mengetahui jika Arya sudah dihina seperti itu, pemuda itu pasti akan meledak dan menghajar orang yang menghinanya dengan kejam, tanpa memedulikan siapa yang menghinanya.
Namun, tindakan Arya kali ini mengejutkannya. Dia belum pernah melihat Arya bisa tenang setelah dihina.
Guru olahraga yang menghina Arya sama sekali tidak merasa senang karena telah menghina Arya. Dia justru kesal karena Arya merespon dengan acuh tak acuh.
Dua hari kemudian, guru olahraga yang menghina Arya meninggal dunia dikarenakan rumahnya kebakaran. Bukan hanya dia, tetapi seluruh keluarganya.
Tidak ada yang tahu penyebab kejadian kebakaran ini. Hanya Arya seorang yang mengetahui alasannya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!