NovelToon NovelToon

Semesta Rai

BAB 1. Keadaan Yang Tidak Pernah Membaik Bagi Sebagian Orang.

Hai semuanya...

Perkenalkan, aku PiEl. Ini adalah novel pertamaku. Mohon dukungan dan saran dari para pembaca sekalian, ya... Semoga kalian suka dengan alur ceritanya. Maaf kalau cerita ini seperti cerita pasaran. Kalau ada yang tidak berkenan silahkan sampaikan kritiknya dengan bahasa yang lugas, ya. Karna aku juga lagi belajar dan aku sangat membutuhkan bimbingan dari  kalian semuanya.

Salam...

*****

SMA Negeri Lentera Bangsa, Jakarta.

Ding dung, ding dung, ding dung.

Suara bel istirahat berbunyi dan semua siswa segera beranjak dari tempat duduk mereka saat guru sudah pergi dari ruang kelas. Begitu juga dengan Esta, Desi, Tina, Arin, dan Tria. Lima gadis remaja itu segera menuju kekantin untuk membeli camilan. Hanya Esta yang tidak membeli apapun namun iatetap mengikuti teman-temannya ke kantin. Setelah itu mereka semua memilih duduk bersantai untuk menghabiskan sisa jam istirahat mereka di sebuah bangku yang menghadap ke lapangan Volly.

Di lapangan itu, nampak beberapa siswa laki-laki yang sedang bertanding ala-ala. Esta memilih untuk duduk di deretan bangku atas di belakang teman-temannya. Sementara teman-temannya sibuk berbisik sambil sesekali tertawa kecil.

Tidak di anggap, itu adalah makanan sehari-hari bagi seorang Semesta. Gadis bertubuh agak gempal itu bahkan tidak peduli selama ia tidak terlihat sendirian. Ia tidak keberatan jika di anggap tidak ada dan selalu di abaikan oleh teman-temannya. Ya, Esta tetap menganggap mereka adalah teman-temannya. Walaupun dengan kesadaran diri yang tinggi, ia sangat tau kalau hanya dirinyalah yang beranggapan seperti itu.

Semesta, dia hanyalah seorang gadis remaja biasa. Tidak punya prestasi apapun. Dengan tubuhnya yang sedikit gemuk itu dia bahkan tidak terlihat cantik, namun juga tidak jelek. Karet gelang merah selalu menjadi andalannya untuk mengikat rambutnya ke belakang agar terlihat sedikit lebihrapi, setidaknya itu menurutnya. Baju putih yang hampir berubah warna lengkap dengan rok yang bahkan  benang jahitannya sudah banyak yang menyembul keluar, membuat ia terlihat sedikit kumuh.

Sebenarnya dia terlihat sangat berantakan dan seadanya. Namun Esta tidak peduli. Bukan dia tidak mau menjadi lebih baik, namun keadaannya tidak pernah bisa berubah lebih baik sejak dulu. Kalau saja ada kasta, sepertinya takdir memang sengaja menempatkannya di bagian paling bawah. Ia berada di antara gerombolan orang-orang buangan.

Tapi walaupun begitu, Esta tetap bersikap baik. Ia tidak pernah mengeluh pada sang pemberi hidup walaupun ia jarang beribadah sekalipun.Gadis itu selalu taat dengan semua peraturan yang ada di bumi. Ia bahkan tidak pernah menerobos lampu APILL saat menyeberang jalan. Ia tidak pernah bolos sekolah kalau hanya terserang demam ringan saja.

Tapi itu semua hanya yang nampak dari luarnya saja. Di dalam, Esta memang sudah mati perasaannya. Hidupnya sama sekali tidak mudah. Ia berada di lingkungan yang menganggapnya sampah. Ditambah ia di besarkan oleh paman dan istrinya yang setiap hari selalu bertengkar namun anehnya, mereka tidak pernah berpisah.

Bekas luka? Itu sudah menjadi tato kebanggaan di punggung dan lengannya. Ia selalu menganggap luka-luka itu adalah sebuah luka kehormatan yang memang harus ia miliki. Setidaknya dengan cara diam seperti itulah, ia berterimakasih kepada paman dan bibinya karna sudah bersedia memberinya makan,tempat tinggal yang layak, serta sudah bersedia menyekolahkannya.

Kadar kecerdasannya yang pas-pasan, membuat Esta selalu nangkring di peringkat yang hampir akhir di kelasnya. Ya, setidaknya ia tidak di peringkat paling akhir. Masih ada dua orang temannya yang lebih bodoh dari dirinya. Itu sedikit membuatnya lega.

Tidak seperti pria tampan yang sedang bermain volly di depan sana, yang selalu menjadi peringkat teratas dalam hal nilai dan pertemanan,yang siapapun bisa melihat kalau pria itu pastilah mempunyai kehidupan yang sempurna. Itu bisa di lihat dari teman-temannya yang seperti punya kehidupan yang sama. Sama-sama tampan, dan sama-sama terlihat kaya. Pakaian yang di kenakan oleh mereka seperti bersinar. Bahkan wajah mereka memperlihatkan semuaitu.

“Uuuuuhhh... Keren. Prok,, prok,, prok..”

Teman-teman Esta nampak antusias saat melihat pria tampan itu melakukan smash dan menempatkan timnya menuju kemenangan.

“Pokoknya Rai itu gebetanku, ya. Gak ada yang boleh ngerebut dia, titik.” Desis Tina yang langsung mendapatkan senggolan di lengannya dari teman-temannya.

“Kamu itu cuma nge-crush aja bertahun-tahun. Tembak dong.” Goda Tria.

“Gila, ya nggak mungkin lah aku yang nembak duluan. Aku tetap akan mempertahankan harga diriku sebagai cewek.” Bela Tina.

“Jaman sekarang gak ada itu yang namanya hilang harga diri perkara nembak cowok duluan. Hajar terus mumpung kesempatan masih di depan mata.” Timpal Desi lagi.

Esta hanya mendengarkan mereka saja. Sesekali tatapan matanya melirik ke arah camilan yang sedang mereka makan. Ia menginginkan camilan itu.

“Banyak sainganmu, Tina.” Lanjut Tria.

“Kan? Gak heran sih, secara dia seganteng itu. Didukung ama otak yang cerdas plus anak kolongmerat.”

“Konglomerat, kali.” Protes Desi.

“Ya, pokoknya itulah.”

Esta sama sekali tidak berniat untuk ikut mengobrol. Ia hanya memperhatikan saja objek pembicaraan teman-temannya itu sambil sesekali menuliskan sesuatu di buku binder yang selalu ia bawa.

Karna terik matahari semakin panas, teman-teman Esta memilih untuk menyingkir dan mencari tempat berteduh agar bisa lebih fokus menatap pria idaman mereka. Dan lagi, mereka melupakan Esta.

Gadis itu sedang sibuk dengan bindernya sampai-sampai tidak menyadari kalau ia tinggal seorang diri di sana.

Buk!...

Tiba-tiba sebuah bola melayang dan terpantul tapat di samping kakinya, bola itu mengenai bindernya dan membuat binder itu terjatuh sebelum tersangkut kursi yang ada di depannya. Kejadian itu membuat Esta tersadar dan melihat ke sekeliling dengan bingung.

Esta segera memungut bindernya yang jatuh. Ia mencari penanya namun sudah menghilang entah kemana.

Salah satu pria idola sekolah itu langsung berlari mendekati bangku tempat Esta berada. Pria itu hanya menatap tanpa mengucap sepatah katapun. Ia hanya melihat Esta yang sedang sibuk mencari sesuatu di sekitarnya.

“Woi! Es teh! Lemparin bola itu ke sini!” Pekik pria lainnya yang masih berada di tengah lapangan.

Mendengar nama besarnya di sebut, Esta langsung menegakkan badannya dan melihat ke arah lapangan. Sekilas, pandangannya bertemu dengan pemilik mata indah yang di kagumi oleh banyak teman-teman se kelasnya itu.

Tanpa bicara, Rai hanya mengulurkan tangannya saja untuk meminta Esta mengembalikan bola  padanya. Untung Esta segera mengerti dan langsung mengambil bola itu dan melemparkannya kembali kepada Rai.

Tidak ada ucapan terimakasih yang perlu di dengar oleh Esta. Mungkin penampilannya itu sudah cukup menjelaskan bahwa ia hanyalah orang yang sudah seharusnya di abaikan. Apalagi tindakannya itu hanyalah sebuah sikap sepele dan tidak butuh pengakuan. Sebuah ucapan terimakasih hanyalah seperti kata mantra ajaib bagi Esta. Ia bahkan sudah tidak mengingat kapan dan siapa yang terakhir kali mengucapkan terimakasih selain para pelanggan yang ia layani di warung pecel lele milik Pakde Karya.

Tapi itu tidak masalah. Itu bukanlah hal besar baginya. Ia tidak butuh ucapan terimakasih apalagi dari pria poluler di sekolah karna memang ia tidak melakukan hal hebat. Hanya sebatas mengembalikan bola kepada pemainnya saja. Jadi apa yang bisa di harapkan?

BAB 2. Tidak Di Anggap Keberadaannya.

Rai Kenandra.

Yang saat ini sedang menduduki peringkat teratas kepopuleran di lentera bangsa. Bukan hanya kecerdasannya saja yang menjadi daya tariknya, melainkan di dukung juga dengan wajah tampan yang di gilai banyak gadis-gadis disana. Rai bahkan menjadi tolak ukur tentang seorang jodoh idaman masa depan.

Sikap dingin dan acuhnya tidak menjadi kendala para gadis untuk tetap mengidolakannya. Mereka justru semakin menggilainya. Ia sudah terbiasa dengan semua perhatian itu bahkan saat ia baru lahir.

Terlahir di keluarga mantan artis yang terkenal kaya raya dan memiliki beberapa perusahaan besar, membuat Rai mendapatkan seluruh perhatian sempurna dari orang-orang di sekitarnya. Ya, hidupnya terlihat sangat sempurna. Dirinya membuat banyak orang iri dengan berharap bisa bertukar tempat dengan Rai. Ia sama sekali tidak keberatan dengan itu kalau saja ada caranya. Namun itu sama sekali tidak berguna.

Tapi itu hanya yang terlihat saja di kasat mata manusia. Tidak ada yang tau kalau ia menyimpan luka yang menganga lebar dan kebencian yang sudah memuncak sampai ubun-ubun dan siap meledak kapan saja.

Rai sedang menyimpan sebuah bom waktu dalam hatinya yang siapapun tidak bisa menjinakkannya. Bahkan tim gegana sekalipun.

Orang mungkin berfikir kalau hidupnya amatlah sempurna sampai-sampai mereka iri padanya. Mereka tidak tau luka apa yang ia punya hingga ia memilih untuk lebih banyak diam dan mengacuhkan sekitarnya. Berbicara yang penting-penting saja dan menghindari omong kosong yang tidak berguna.

Rai menatap lekat gadis setengah gemuk yang sedang sibuk mencari sesuatu itu. Ia sama sekali tidak berniat untuk memanggilnya walau ia tau kalau itu adalah salah satu teman sekelasnya. Tatapannya hanya tertuju pada salah satu bekas luka yang sudah menghitam di bawah telinga gadis itu.

“Woi! Es teh! Lemparin bola itu ke sini!”

Rai mendengar salah satu temannya berteriak dari belakang. Dan beberapa saat kemudian gadis dengan panggilan es teh itu berjalan dan menyerahkan bola padanya. Setelah itu ia kembali sibuk dengan permainannya bersama dengan teman-temannya hingga mencetak beberapa point lagi.

Waktu istirahat sudah berakhir, dan kini saatnya untuk mereka kembali ke dalam kelas masing-masing.

Ketua kelas masuk dengan membawa kabar buruk, guru pengajar yang seharusnya masuk di jam itu telah pulang karna ada musibah, begitu kabarnya. Ketua kelas lantas menyampaikan berita itu kepada teman-temannya dan meminta mereka mengerjakan soal yang sudah di berikan oleh guru dengan membentuk kelompok lima orang.

Langsung saja semua mengerubungi meja Rai. Berharap mereka bisa satu kelompok dengan murid terpintar di sekolah itu. Namun seperti biasa, Rai akan menentukan sendiri dengan siapa dia akan bekerja sama.

“Rai, mau kemana?” Tanya Akash dengan berbisik saat melihat Rai berjalan ke arah pojok belakang.

Rai hanya terdiam sambil terus berjalan ke meja Esta dan meminta gadis itu untuk menjadi anggota kelompoknya.

Kali ini, Rai memilih temannya Trio, Akash, Tina dan terakhir, Esta. Dia memilih murid terpintar di kelas untuk kelompoknya, selain Esta tentu saja.

Ya, tanpa di duga, Rai memilih gadis yang bahkan tidak sibuk untuk mencari kelompok dan hanya duduk di bangkunya saja dan menunggu kelompok mana yang kekurangan orang.

“Rai, kamu gak salah?” Tanya Akash lagi setelah Rai kembali ke mejanya.

“Seenggaknya harus ada satu orang bodoh di kelompok kita biar adil.” Seloroh Rai datar.

Ia sama sekali tidak memperhatikan kalau Esta sedang ternganga tidak percaya dengan tindakannya.

“Kamu nunggu apa?” Pekik Trio kepada Esta. Ia meminta Esta untuk segera datang ke meja mereka.

Kerja kelompok itu berjalan dengan damai dan tentram. Hanya Esta saja yang sepertinya tidak mengerjakan apa-apa dan hanya menumpang nama dan tanda tangannya di lembar jawaban. Karna yang mengerjakan semua soal itu adalah Rai, Trio, Akash, dan Tina. Mereka sama sekali tidak meminta pendapatnya apalagi jawabannya.

Sebuah keberuntungan bagi Esta karna ia tidak perlu repot untuk mendapatkan nilai bagus. Tapi ia juga mendapatkan sebuah rasa tidak nyaman dan sakit saat ia sama sekali tidak dianggap walaupun ia merupakan aggota kelompok itu.

Tugas telah selesai, dan Esta kebagian tugas untuk mengumpulkannya kepada ketua kelas. Setelah itu iapun keluar dari ruang kelas dan bersiap untuk pulang.

Kelas 3.1 berada di lantai empat gedung sekolah. Sudah waktunya pulang namun Rai masih ingin bermain di lapangan volly, bersama dengan Trio dan Akash. Hal yang sering mereka lakukan.

Namun tanpa sepengetahuan Rai, ternyata Tina diam-diam mengikuti mereka dari belakang. Gadis itu sedang mengumpulkan keberanian untuk menyatakan perasaannya kepada Rai. Ia seperti tidak ingin melewatkan kesempatan saat mendapat perlakuan baik dari Rai saat kerja kelompok tadi. Ia merasa kalau Rai lebih memperhatikan dirinya.

“Ngapain kamu?” Tanya Trio.

“Aku mau ngomong sama Rai sebentar dong.” Ujar Tina meminta dua pria itu pergi.

Rai tidak menggubris. Ia hanya terus duduk di kursi tribun penonton.

Sementara Trio dan Akash menuruti permintaan Tina. Mereka sudah bisa menebak apa yang ingin di bicarakan oleh Tina kepada Rai jadi mereka meninggalkan gadis itu dan bersiap melihat wajah kekecewaan dari seorang Tina, gadis terpintar di kelas.

“Ngelihatin apa, sih?” Tina memulai pembicaraan dengan mendekati Rai dan ikut duduk di samping pria itu.

“Gak ada.” Jawab Rai datar. “Mau ngomong apa?”

“Rai, aku sayang sama kamu. Kita pacaran yuk.” Ujar Tina tiba-tiba dengan wajah yang sudah memerah.

Rai tidak nampak terkejut karna sudah menduganya. Tina adalah gadis ke sekian yang berani menyatakan perasaan padanya.

“Enggak.” Jawab Rai dengan tegas.

“Kamu bahkan gak butuh waktu buat berfikir? Aku suka banget sama kamu, Rai. Aku sayang sama kamu. Aku udah nyimpan perasaan ini lama banget. Dan baru sekarang aku berani ngungkapinnya.”

“Buang-buang waktu.” Dengus Rai tanpa mengalihkan wajahnya kepada Tina. Ia malah berdiri dan berniat meninggalkan Tina dan menyusul teman-temannya bermain volly.

Tina segera mengikuti langkah Rai dengan berlari kecil. Gadis itu menarik lengan Rai dan dengan berani menghentikannya. “Bukannya kamu juga ada perasaan ya sama aku? Buktinya tadi kamu perhatian banget sama aku.”

“Jangan mudah baper. Kapan aku perhatian sama kamu? Itu cuma perasaanmu aja.”

“Rai!” Pekik Tina tidak terima. Ia kecewa karna mendapatkan penolakan langsung dari pria yang ia kagumi.

Saat tubuh Rai berbalik, ia mendapati Esta yang sedang serius memperhatikannya. Gadis itu mematung di atas bangku tribun dan memperhatikan Rai dan Tina.

Namun setelah mendapat tatapan tajam dari Rai, Esta segera mengalihkan wajah ke bawah dan buru-buru membungkuk untuk mencari penanya yang tadi sempat terjatuh di sekitar itu.

“Lepasin.” Satu kata yang penuh penekanan.

Tina masih keras kepala. Ia mengikuti arah pandang Rai dan melihat Esta namun tidak peduli. Ia sedang patah hati karna penolakan dari Rai. Ia sudah tidak peduli dengan perasaan malunya karna Esta memperhatikan dirinya.

Karna Tina tidak menggubrisnya, akhirnya Rai mengibaskan tangannya sampai tangan Tina terlepas darinya dan segera berlari untuk berkumpul bersama dengan teman-temannya dan memulai permainan.

BAB 3. Entahlah, Keajaiban Macam Apa Ini.

Esta memang tidak mengerti tentang perasaan suka atau apapun itu. Apalagi saat melihat Tina yang sedang mengungkapkan perasannya kepada Rai. Sebenarnya bukan dia tidak mengerti, tapi ia memilih untuk tidak mau terlibat dengan hal semacam itu. Menurutnya itu sangat membuang-buang waktu di tengah hidupnya yang menyedihkan.

Jadi Esta memilih untuk tidak mempedulikan keadaan Esta yang sedang menangis tersedu-sedu. Ia hanya terus mencari penanya yang hilang. Namun setelah beberapa saat mencari dan tidak juga menemukannya, Esta memilih untuk pergi dan pulang ke rumah saja.

Pukul 15.05 saat Esta sampai di rumah. Seperti biasa, saat sampai di rumah setengah permanen itu, Esta tidak mendapati bibinya yang pasti masih bekerja di warung padang di pinggir jalan raya yang ada di ujung gang. Sementara pamannya, masih sibuk terbuai dengan mimpi indahnya di pelukan guling. Bahkan tv juga masih di biarkan menyala. Ringgo yang memang bekerja saat malam tiba, jadi siangnya ia gunakan untuk melepas kantuk.

Dengan sangat hati-hati Esta membuka pintu kamarnya yang sudah setengah lapuk itu. Ia tidak ingin membangunkan pamannya yang sedang terlelap itu.

Setelah mengganti pakaian, Esta berjalan menuju ke dapur sederhana milik mereka. Ia membuka tudung saji yang ada di atas meja kayu setengah reyot yang menempel di dinding yang bahkan sudah di makan rayap. Di dalamnya, ia mendapati satu panci nasi putih dan dua ekor ikan asin yang sudah di goreng. Itu sudah cukup untuk mengganjal perutnya siang ini.

Setelah selesai makan, Esta segera beranjak untuk mencuci piring yang sudah menumpuk di bak karet kecil di kamar mandi. Itu adalah tugas rutinnya sehari-hari setelah pulang sekolah. Gadis itu bertindak dengan super hati-hati agar tidak menimbulkan suara berisik.

Namun baru setengah perjalanan, tubuh Esta merinding tidak karuan saat sebuah sentuhan menempel di pundaknya. Sentuhan itu perlahan turun ke lengan dan berakhir di buah da da nya.

Dengan segera Esta mengalihkan tubuhnya ke samping dan menyilangkan kedua lengannya di depan. Ia menatap takut tapi juga marah kepada Ringgo yang sedang menyeringai kepadanya.

“Kapan itumu besar? Kecil sekali.” Ujar Ringgo tanpa merasa bersalah. Ia berjalan perlahan mendekati Esta yang berusaha untuk menjauh darinya.

“Paman mau ngapain?” Ujar Esta dengan suara yang bergetar.

“Sini aku hisap, biar cepet besar.”

Esta hanya bisa memandangi Ringgo dengan tatapan marah. Ia ingin melarikan diri namun Ringgo berdiri tepat di pintu sehingga Esta tidak punya jalan keluar.

“Jangan gitu, paman.”

Namun Ringgo nampak tidak peduli, ia terus merangsek mendekati Esta. Bahkan kini tangannya sudah mencengkeram kuat lengan Esta untuk memudahkannya melakukan niat bejatnya.

Esta melawan dengan sekuat tenaga. Ia berusaha mendorong tubuh Ringgo yang sudah hampir memeluknya. Dan entah kekuatannya berasal darimana, namun tiba-tiba ia berhasil membuat Ringgo tersungkur di lantai. Itu adalah kesempatannya untuk melarikan diri.

Namun sial, saat ia sudah keluar dari kamar mandi, Ringgo mencengkeram pergelangan kakinya hingga membuat Esta terjatuh dan keningnya mengenai lantai semen dengan keras.

Karna sudah ketakutan luar biasa, Esta bahkan tidak lagi merasakan sakit di keningnya itu. Ia hanya terus memberontak berusaha melepaskan diri dari Ringgo.

Plak!!!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiri Esta. Wajahnya bahkan sampai berpaling saking kerasnya tamparan Ringgo.

“Kamu bisa diam, gak! Selalu melawan kamu ini. Padahal mau di kasih enak, kok nggak mau.” Dengus Ringgo merasa benar.

Tenaga Esta sudah habis tak bersisa. Ia bahkan sudah tidak bisa melawan cengkeraman kedua tangan Ringgo di pergelangan tangannya. Di tambah kini kepalanya terasa sangat pusing hingga membuatnya tidak fokus.

Bahkan saat bibir Ringgo menggerayangi mulutnya, Esta sudah tidak bisa melawan. Yang  bisa ia lakukan

hanyalah berusaha untuk mengatupkan bibirnya erat-erat sambil berharap kalau Ringgo akan menghentikan aksi gilanya.

“Kamu ini gila apa gimana!” Teriak Kanti, istri Ringgo yang memergoki aksi suaminya yang sedang melu mat bibir keponakannya.

Wanita itu langsung merangsek dan memaksa memisahkan keduanya. Ia menarik kerah baju suaminya hingga Ringgo terjungkang ke belakang.

Esta segera berusaha untuk bangun dengan pandangan yang berkunang-kunang. Kini keningnya terasa sangat sakit.

“Banyak perempuan di luar sana yang siap kamu tiduri, tapi kamu lebih milih keponakan kamu sendiri?! Udah berkali-kali kamu begini!” Pekik Kanti.

“Keponakan tiri.” Jawab Ringgo datar. Ia bangun dan menepuk-nepuk bokongnya untuk membersihkan debu yang menempel.

“Kamu cepetan pergi.” Usir Kanti lagi kepada Esta.

Dengan tubuh yang sempoyongan, Esta berusaha untuk bangkit berdiri dan berjalan keluar dari rumah.

Setelah sampai di trotoar pinggir jalan raya, Esta berhenti dan duduk sebentar disana. Ia sedang menetralkan rasa sakit di kepalanya agar ia bisa berfikir normal kembali.

Ini bukanlah kali pertama ia mendapat perlakuan seperti itu dari Ringgo. Sebuah keberuntungan kalau sampai detik ini pria itu tidak bisa melakukan hal yang lebih lagi padanya. Selalu saja ada yang membuat aksi gila Ringgo gagal.

Dengan kasar Esta mengelap bibirnya dengan punggung tangannya. Ia ingin membersihkan bekas bibir paman gilanya itu sebersih mungkin.

Ringgo ibarat hewan buas yang tidak berakal. Dan Esta harus menerima untuk tinggal bersama dengan mereka karna ia tidak punya keluarga lain. Sebenarnya Ringgo bukanlah paman kandungnya melainkan adik tiri ibunya.Itupun menurut cerita dari Kanti.

Entahlah, Esta terlalu kecil untuk mengingat kenangan masa kecilnya bersama dengan kedua orang tuanya. Di umur dua tahun, ia sudah harus kehilangan ayah dan ibunya dalam sebuah kecelakaan. Angkot yang di tumpangi ayah dan ibunya menerobos perlintasan kereta api. Dan di saat yang bersamaan, ular besi itu langsung melu mat habis angkot beserta semua isinya dan hanya menyisakan Esta seorang saja.

Saat itu, orang-orang menyebutnya sebagai sebuah keajaiban dari tuhan untuk si Esta kecil. Entahlah, apa itu sebuah keajaiban kalau nyatanya dia di biarkan hidup untuk kehidupan menyedihkan seperti ini.  Penuh luka, yang ia bahkan tidak tau bagaimana untuk mengobatinya. Walaupun airmata sudah hampir terkuras setiap harinya.

Hari sudah hampir gelap dan Esta masih terduduk di trotoar jalan raya. Namun ia segera bangkit dan kembali berjalan menyusuri trotoar ke arah utara. Sekitar dua ratus meter, ia sudah sampai di warung pecel lele Pakde Karya. Di sana, ia bekerja sebagai pramusaji saat Pakde Karya menggelar lapak dagangannya di malam hari.

Setelah sampai, Esta langsung menyambar celemek dari atas meja dan bersiap untuk membantu apa yang bisa di kerjakannya. Tidak ada yang bertanya kenapa matanya sembab, atau kenapa pipinya memerah, atau kenapa keningnya bengkak dan biru. Semua sibuk dengan diri masing-masing tanpa peduli satu sama lain. Tidak ada yang peduli dengan kehidupan gadis 17 tahun yang tubuhnya penuh bekas luka. Tidak ada gunanya mereka peduli tentang hal itu. Mengurusi hidup sendiri saja sudah sulit, boro-boro memikirkan hidup orang lain.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!