Ini adalah kisah Dinda adik Nesa dari novel yang berjudul "Nikah Dadakan". Silahkan membaca nikah dadakan kalau pengen tahu kisah awalnya.
Happy reading!!
Episode 1. Diculik
Penyesalan itu berawal dari sini. Dari sifat kekanakan Dinda yang tak menyukai jokes Briyan yang dinilainya berbau tak senonoh.
Dinda POV
"Mbak!" panggilku pada mbak Nesa.
Semalam aku menginap di rumah mbak Nesa, menemani mbak Nesa yang ketakutan dan menenangkan diri lebih tepatnya. Tak ada yang tahu soal sifatku, mungkin hanya mas Jo yang sedikit tahu, suami mbak Nesa yang begitu pengertian dan humble pada semua orang. Andai dia bukan kakak ipar ku, pasti aku menaruh hati padanya.
Gara-gara semalam. Aku jadi tahu sedikit tentang mas Jo. Ternyata mas Jo itu lebih dewasa dibandingkan dengan Briyan. Padahal mereka berdua seumuran. Teman satu kelas juga. Tapi sikap mereka berdua berbanding terbalik.
Jika mas Jo lebih dewasa, baik hati dan pengertian. Berbeda dengan Briyan yang kekanakan, suka membual, dan sangat menyebalkan bagiku.
"Eh, mau berangkat Din?" tanya mbak Nesa yang melihatku sudah segar dengan pakaian resmi kuliahku. Kemeja warna putih dan celana kain warna hitam.
"Iya mbak, aku ada jam pagi hari ini. Mbak sendiri gak kerja?" tanyaku memastikan. Karena ku lihat, mbak Nesa masih menggunakan baju hariannya.
"Mbak libur hari ini, gak ada jadwal mengajar. Nanti pulang kuliah, temenin mbak lagi ya Din?" pinta mbak Nesa yang setengah memohon. Rupanya mbak Nesa masih takut dengan sosok hitam dibalik gorden jendelanya.
"Iya mbak, tenang aja. Dinda udah ijin sama ayah kok," balasku mengiyakan.
"Hallo Teh!"
Tiba-tiba suara nan menjengkelkan itu muncul lagi. Siapa lagi kalau bukan Briyan. Ya untuk sementara ini, cintaku hanya untuk dia. Karena aku berharap bisa menemukan sosok 1 lagi seperti mas Jo, meskipun pada akhirnya jatuh pada Briyan.
"Oh, om playboy. Mau jemput tante ya?" ujar mbak Nesa seraya menirukan suara anak kecil. Maklum mbak Nesa lagi hamil.
"Iya Teh, mau jemput calon istri," balas Briyan dengan entengnya.
Aku cuma menatapnya dengan biasa. Gak ada yang spesial bagiku.
"Beneran dihalalin lho, jangan dibelai-belai doang!" ketus mbak Nesa. Mungkin niatnya untuk bercanda.
Kalian tahu apa balasan dari Briyan? Jawabannya terdengar sangat tabu. Aku gak suka dengerinnya.
"Kok aku dengernya belalai ya Teh, aku emang punya belalai lho Teh," jawabnya.
'Astaghfirullah,' batinku kurang suka.
"Eh, ya Allah ni anak. Amit-amit deh, untung Jo gak ketularan elo," kata mbak Nesa yang kayaknya juga gak suka sama jawaban si Briyan yang terlalu fulgar itu.
"Din, berangkat gih. Makin gak bener si Briyan kalau lama-lama di sini," suruhnya.
"Iya mbak. Ya uwes, Dinda berangkat dulu ya mbak?" pamitku sambil mencium tangan mbak Nesa.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam," jawab mbak Nesa.
Pas aku udah naik di motornya Briyan. Tanpa menunggu lama, Briyan langsung ku semprotlah. Namanya juga kesel.
"Bang Briyan ih, kalau ngomong dijaga dong?" Marahku padanya.
"Bercanda atuh neng," balasnya sambil cengengesan tanpa dosa.
"Ya candanya jangan gitu juga kali," protesku lagi.
"Apa? Kan cuma belalai, kamu dan Teh Nesa aja yang pikirannya kotor."
Briyan tak terima dan balik menyerangku.
Hello? Siapa yang pikirannya kotor?
Jelas aku gak terimalah makin dipojokkan kayak gitu. Sakit hati rasanya. Mau gak mau, aku minta diturunin di jalan itu juga.
"Turunin gue di sini!" pintaku.
"Enggak, gue bakal anterin loe!" tolaknya.
"Turunin gue, atau gue akan lompat!" ancamku yang masih kesal.
Dan dengan terpaksa, Briyan menurunkanku di pinggir jalan. Setelah acara saling cekcok yang panjang. Briyan yang umurnya lebih tua dariku, akhirnya memutuskan pergi dan ninggalin aku.
Ah, sial banget intinya.
Aku gak tahu kalau sedari tadi ada orang yang tengah membuntutiku. Apalagi aku jalan sendirian, pastilah orang itu memanfaatkan keadaan.
Dan benar saja. Tak lama kemudian, orang itu langsung menghampiriku. Aku masih belum sadar kalau di belakang ku ada orang asing. Jadi aku masih bisa berjalan santai. Hingga aku merasakan tangan seseorang menangkap tubuhku. Aku kaget dan sempat berontak. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Aku tak sadarkan diri.
Beberapa menit kemudian...
Aku mengerjap-kerjapkan mataku. "Ini, di mana?" gumamku bingung. Pusing rasanya, keliyengan. Tapi aku terus mencoba untuk membuka mata.
Suasana di dalam ruangan ini seperti suasana di dalam bangunan yang tak terpakai. Aku makin ketakutan saat mendengar derap langkah yang semakin mendekatiku. Jantung berdebar makin kencang. Bahkan keringat dingin mulai membasahi keningku.
Aku mencoba meringkuk meskipun tidak bisa. Tiba-tiba sesosok laki-laki berdiri tepat di hadapanku.
"Siapa kamu?" tanyaku agak takut.
Ah, sial.
Tangan dan kakiku diikat. Aku gak bisa kabur dari sini. Siapa sih dia? Sialan banget.
Ku lihat, laki-laki itu malah tersenyum, senyum devil lebih jelasnya. Dia mengulurkan tangannya tepat di wajahku. Ah, brengsek.
"Kau lumayan juga," ucapnya dengan enteng.
Apa maksudnya dia? Dia gak tahu apa, kalau aku sedang ketakutan dan ingin menangis.
"Toloongg! Ayaaah, mbak Nesaaa, mas Jooo, toloooong!!!" teriakku dengan sekuat tenaga. Meskipun aku yakin gak ada yang dengar di luar sana. Tapi aku berharap, ada orang yang menolongku.
"Berteriaklah sayang, di sini gak ada siapapun. Hanya kita berdua," katanya sambil tertawa sekencang-kencangnya.
"Hiks."
Air mataku langsung menetes dengan sendirinya. Aku menyesal, kenapa tadi minta diturunin Briyan di tengah jalan? Aaaarrrrgh, siapa sih cowok ini?
"Tolong lepasin aku! Aku gak kenal ya sama kamu! Terus kita gak ada urusan."
Aku tatap dia dengan tajam. Aku meronta-ronta, berharap ikatan di tangan dan kakiku lepas. Namun sayangnya, ikatan itu terlalu kuat. Dan justru melukai pergelangan tangan dan kakiku. Ah, perih.
"Kita boleh kenalan dari sekarang," ujarnya sambil tersenyum miring.
Aku makin takut dibuatnya. Ingin mundur tapi ini sudah mentok di tembok.
"Hiks."
Aku ketakutan saat tangannya yang kurang ajar itu tiba-tiba mengelus pipiku dari yang satu pindah ke pipi yang satunya.
"Lepasin! Jangan sentuh aku!!" teriakku murka. Meskipun begitu, aku gak bisa melakukan lebih. Cuma itu yang bisa ku lakukan.
Sebenarnya aku bukanlah gadis polos. Aku pernah bermesraan dengan Briyan sebelumnya. Ya meskipun itu hanya pegangan atau sekedar kissing.
Tapi ini berbeda. Ini orang asing yang ingin mencelakaiku. Bahkan bisa saja membunuhku kan? Aku semakin takut saat tangan itu ingin mengelus bibirku. Aku segera menoleh, menghindari tangannya. Nafasku memburu tak karuan karena amarah.
"Apa yang kau inginkan! Aku gak punya masalah denganmu!" bentakku kesal.
"Gimana kalau menelpon kakak iparmu? Aku ingin berkenalan dengannya," ucapnya sambil terus menampakkan senyuman jahatnya. Andai bisa, ingin ku tampar wajahnya yang songong itu. Dasar penjahat gak tahu diri.
"Enggak, aku gak mau kau menjahati kakak iparku. Gak mau! Emang siapa kamu?" teriakku emosi.
"Siapa yang menyuruhmu?" tanyaku lagi sambil melototinya. Laki-laki ini terlihat sangat kurus, tak terawat. Kalau dilihat-lihat, wajahnya tak seburuk preman-preman yang ada di sinetron sih. Tapi tetap aja, penjahat tetaplah penjahat. Lagian, kenapa dia ingin menghubungi mas Jo?
"Aku ingin kau menelponnya! Sebutkan nomor telponnya!!!" bentaknya tiba-tiba.
Aku tak bisa melawan saat tangannya menarik rambutku dengan kasar. Sakit.
"Awwwww, sssaakit," desisku kesakitan. Aku dah gak bisa menahan rasa sakit ini. Sebelumnya gak ada yang pernah melakukan kekerasan fisik kayak gini padaku. Tentu ini adalah pengalaman pertamaku yang sangat menyedihkan.
"Telpon! Atau rambutmu akan rontok, HEH!" teriaknya dengan nada mengancam.
"Sssakit, lepasin!" mohonku.
"Kasih tahu nomornya, baru ku lepasin," jawabnya.
"Enggak!!" teriakku gak mau.
"Aaaahh!!" Sial. Semakin aku berontak, dia semakin menjambak rambutku dengan kuat.
"Cepat kasih tahu nomornya!" ucapnya dan....
PLAKK!!
Tiba-tiba tamparan keras mendarat di pipiku.
"Cepat kasih tahu. Atau aku habisin nyawanya tepat di depanmu!!" ancamnya yang membuatku semakin takut.
Aku gak bisa apa-apa lagi. Jadi aku hanya bisa menggerakkan bola mata. Bermaksud memberitahu, bahwa ponselku ada di tas.
Sakit banget jambakan dan tamparannya. Air mataku kembali menetes dengan sendirinya. Pasrah, hanya itu yang bisa ku lakukan saat ini.
Lagi-lagi orang yang mencari mas Jo. Kenapa sih, orang baik harus berurusan dengan orang jahat kayak dia? Kasihan mas Jo, semoga dia selamat di manapun dia berada. Aamiin.
"Jangan sakiti mas Jo," larangku saat laki-laki itu sudah berhasil mengambil hp-ku.
"Aku mohon, kalau kamu ingin nyakitin dia. Mending sakitin aku lagi."
Tapi si dia bagai tak punya telinga. Dia hanya bergeming tak menanggapi ucapan-ucapanku yang tentang mas Jo.
Hiks. Mas Jo, aku diculik.
Bersambung...
Siapa kira-kira yang menculik Dinda?
Author POV
***
Hampir 15 menit sudah si Briyan menunggu kedatangan Dinda. Padahal jam kuliahnya sudah di mulai. Tapi si Dinda justru tak menampakkan batang hidungnya.
"Kemana sih ayang beb?" Gusar sudah raut wajah Briyan. Dia jadi takut Dinda kenapa-kenapa. Dinda tak biasanya berlaku seperti ini. Dia kalau soal kuliah tak pernah ketinggalan.
Dengan terpaksa Briyan mengeluarkan ponselnya. Menelpon Nesa adalah pilihan utamanya. Karena tadi si Briyan yang menjemput Dinda di rumah Nesa juga. Jadi dia harus tanggung jawab soal keberadaan Dinda.
Tuuuut...
Tuuuut...
Terdengar sambungan telpon yang bergetar. Nesa yang sedang asyik menonton TV akhirnya perhatiannya tersita pada layar persegi panjang nan pipih itu.
"Briyan," desis Nesa. Ia merasa aneh, kenapa Briyan meneleponnya.
"Assalamu'alaikum," ucap salam Nesa setelah menggeser tombol hijaunya ke atas.
"Wa'alaikumussalam Teh. Teh, Dinda ada sama loe gak?" tanyanya dari seberang sana.
Nesa mengernyit tak suka. Kayaknya ada yang tidak beres dengan Dinda dan Briyan.
"Maksud loe apa Yan? Kan loe yang jemput Dinda tadi. Jangan bilang kalian berantem." Tebak Nesa pada akhirnya. Dan tepat sekali, tebakan Nesa memang benar.
"Maaf Teh, si Dinda tadi minta diturunin di tengah jalan. Jadi Briyan ngikut aja."
"APA?" Kaget si Nesa.
"Dan gue gak mau tau, loe harus cari adek gue sampai ketemu!"
Nesa emosi. Ponselnya langsung ia matikan sepihak. Kini giliran Nesa yang akan menghubungi Dinda.
Namun berkali-kali Nesa menelepon. Tak ada sekalipun Dinda mengangkatnya. Nesa tak menyerah, segera dia menghubungi Jo. Memberitahukan kalau Dinda sedang tak baik-baik saja.
***
'Nesa telpon? Tapi maaf ya Sa, gue gak akan mengangkatnya,' batin si penculiknya Dinda.
Melihat gelagat aneh dari si penculik, Dinda memicingkan matanya curiga.
Dinda POV
"Sebenarnya maumu apa sih!" teriakku dengan penuh kecurigaan.
Sebenarnya aku takut setengah mati. Takut kalau dia adalah penculik yang suka mengambili organ tubuh manusia dan dijual. Makanya aku diculiknya sekarang. Atau orang itu menculikku lalu menghubungi mas Jo karna ingin uang? Aku mulai menebak-nebak yang bukan-bukan. Fikiranku kacau. Gak bisa untuk gak berpikir negatif. Tak terasa air mataku kembali mengalir tiada henti. Hiks.
Tapi sepertinya laki-laki ini tak perduli dengan isak tangisku. Dia justru mendekatiku dengan tatapan yang aneh.
"Ayo kita main-main sayang," ucapnya menyeringai.
Aku yang mendengarnya langsung melotot.
"Gak, tolong jangan!" teriakku sambil terus beringsut berusaha menjauh. Tiba-tiba terdengar nada dering panggilan masuk dari ponselku.
"Si Jo," gumam penculik itu.
Dia menyeringai. "Kebetulan banget," katanya yang tanpa basa-basi langsung mengangkat telpon itu.
"Hallo Din. Din, kamu dimana? Bri----" terdengar suara jauh di sana. Itu suara mas Jo.
"Hallo Jo," potong laki-laki itu.
Author POV
Di seberang sana, Jo mengangkat alisnya ke atas. 'Dia?' batinnya kaget.
"ELO! Bukannya loe---" ucap Jo yang kepotong.
"Ya, gue udah bebas," sahut si penculik. Ya, penculik itu adalah Aris. Apa motifnya dia menculik Dinda? Jo sendiri tak tahu pasti.
"Apa yang loe inginkan Ris? Tolong jangan sakiti Dinda," pinta Jo.
"Maaaass Jooo, tolooong!!"
Terdengar suara nan menyedihkan itu, membuat Jo buru-buru pulang ke rumah. Dia baru saja ke HRD menyerahkan surat pengunduran dirinya.
"Din, kamu di mana. Beritahu mas, mas akan ke sana!" ujar Jo panik sambil berlari keluar dari kantor.
Di seberang sana, Aris tertawa mengejek. "Silahkan ke sini Jo, ini balasan yang setimpal buat keluarga loe! Gue mau bersenang-senang dengan adik ipar loe. Yang--- emm--- lumayan juga." Seringaian Aris di balik sana membuat Dinda semakin ketakutan.
"Jaga bicara loe Ris, akan gue laporin loe ke polisi," ancam Jo tak terima jika Dinda diapa-apain oleh si brengsek Aris.
"Silahkan, kalo loe mau adek ipar loe tak bernyawa," ancam Aris
"Mau loe apa heh!" teriak Jo.
"Nikahin gue dengan Dinda," pinta Aris.
'Hah! Siapa dia? Mimpi kali,' batin Dinda kesal dan gak terima dengan permintaan si Aris.
"Jangan mimpi loe Ris," balas Jo kesal.
"Tunggu 30 menit lagi kalau gitu, loe akan tahu. Inget, tanpa lapor polisi!" ancam Aris lagi.
"Kamu itu siapa sih!" teriak Dinda.
"Aku calon suamimu, hahaha." Tawa Aris menggelegar, menggema di gudang itu. Dinda semakin ketakutan.
"Jangan mimpi! Aku gak pernah mau menikah sama penjahat kayak kamu!" teriak Dinda lagi.
"Aku gak perduli. Karena aku ingin balas dendam dengan kakakmu," ucap Aris sambil melanjutkannya dalam hati.
"Apa tujuanmu? Kau ingin mencelakai siapa?" tanya Dinda dengan berani.
"Ck, cerewet."
Tanpa menunggu lama, Aris yang licik itu segera mendekati. Membungkam mulutnya, dan mengikat tangan dan kakinya layaknya orang yang hendak disandra.
Segera Aris menggendong Dinda, memasukkannya ke mobil. Terlihat Dinda mencoba berontak, tapi tak dihiraukan oleh Aris. Air matanya kembali mengalir tiada henti. Dinda tak kenal dengan Aris. Dan tak punya kesalahan dengan Aris. Tapi kenapa harus dia yang menanggung semua ini? Sebenarnya ada apa?
Kenapa harus Aku?
Tak lama kemudian. Aris telah sampai di sebuah perumahan yang layak dihuni. Entahlah, apa yang sedang diinginkan oleh mantan napi ini?
Tempatnya yang sepi membuat orang lain tak mengetahui akan tindak kejahatannya. Karena semua ini sudah Aris rencanakan jauh-jauh hari supaya balas dendamnya lancar.
Dinda POV
Aku benar-benar gak tahu apa maunya orang ini. Menyekapku sedemikian rupa, tapi untuk apa? Perasaan aku gak punya salah sama dia. Tapi kenapa dia bersikap jahat kayak gini ke aku. Sebenarnya salahku apa?
Sebenarnya aku ingin kabur, atau mati aja sekalian di sini. Tapi dengan mudahnya dia membawaku pergi dan tempat macam apa ini? Tempatnya begitu sepi. Emang bermodel perumahan. Tapi masih sangat sepi. Jika aku dibunuh sekarang, kemungkinan besar tak akan ada orang yang mengetahuinya juga.
"Diam kamu, jangan berontak!" katanya tiba-tiba sambil menggendongku. Sialan emang, dengan mudahnya dia memasukkan ku ke sebuah kamar.
"Emmm, emm." Aku terus berusaha berteriak meskipun itu sia-sia. Ah, dasar penjahat. Penculik. Apa sih yang dia mau dariku?
Aku kaget saat orang yang bernama Aris ini meletakkan sebuah handycam di pojok ruangan. Buat apa? Pikiranku makin berkecamuk. Apa dia akan merekam aksi kejahatannya?
Aku langsung menggelengkan kepalaku kesana-kemari.
ENGGAK! ENGGAK!
Setidaknya aku gak boleh mati.
Kayaknya aku sudah kehabisan tenaga gara-gara menangis dan memberontak sedari tadi. Namun semua usahaku berakhir sia-sia.
"Ayo kita mulai, ini untuk mbak Nesa mu dan juga mas Johan mu," bisiknta lirih.
Mulai apa? pikiranku mulai tak tenang. Ku tatap dia dengan sendu. Berharap dia gak melakukan apapun terhadapku. Tapi semakin ku tatap, jaraknya semakin dekat denganku. Tiba-tiba dia membuka plester yang berada di mulutku dengan kasar. "Aaaahst!!" Sakit bodoh.
"Tolong, lepaskan aku!" mohonku sambil mengiba. Siapa tahu dia punya rasa belas kasihan.
Tapi apa katanya...
"Enggak!!" balasnya santai.
Ya Allah, lepaskan aku dari jerat penjahat ini. Doaku saat itu. Tapi aku gak bisa melakukan apa-apa selain hanya pasrah. Tenagaku hanya tersisa secuil yang kemungkinan besar tetap kalah jika berhadapan dengan orang gila ini.
Aku terkejut saat tangannya yang kasar itu membuka kancing kemejaku.
"Berhenti! Apa yang kau lakukan hah!" teriakku emosi.
Seperti orang yang gak punya telinga, dia terus melanjutkan aksinya hingga menampakkan buah dadaku yang ya begitulah. Hormon wanita berbeda-beda. Dan kebetulan punyaku sedikit berisi dibanding mbak Nesa.
"Tolong! Jangan lakukan itu!" mohonku. Air mataku terus menetes. Berharap ada keajaiban yang menolongku. Rasanya ingin mati dari pada aset berhargaku dilihatin macam penjahat kayak dia.
"Enggak. Ini sangat seksi untuk dibiarkan," jawabnya erotis.
"Tolong!! TOLONG!!"
Bersambung...
Kira-kira apakah Dinda akan selamat?
"Tolong! Jangan lakukan itu!" mohonku. Air mataku terus menetes. Berharap ada keajaiban yang menolongku. Rasanya ingin mati dari pada aset berhargaku dilihatin macam penjahat kayak dia.
"Enggak. Ini sangat seksi untuk dibiarkan," jawabnya erotis.
"Tolong!! TOLONG!!"
Meskipun aset ini sudah pernah terjamah oleh seorang pria. Pria satu-satunya yang kini telah menjadi kekasihku, yaitu Briyan. Tapi cewek mana yang akan rela jika kehormatannya dinikmati oleh pria jahat yang tak ia kenal?
Author POV
Tangan nakal Aris, tiba-tiba menyentuh bagian kulit lembut Dinda. Dinda berteriak saking ingin menolaknya namun tidak bisa.
"Cuih!"
Dengan berani Dinda meludah tepat di pipi Aris. Aris kaget dengan ulah Dinda barusan. Spontan saja Aris melayangkan tamparannya tepat di pipi Dinda.
PLAKKK!!
Dinda meringis kesakitan. Seumur hidupnya, baru kali ini dia perlakukan kasar bak bukan manusia. Di saat masih merasakan sakit di pipi kirinya, tangan kasar itu mencoba menurunkan resleting celana panjangnya.
"Jangan!" teriak Dinda, kali ini penuh memohon.
"Jangan!" teriaknya lagi, suaranya sudah hampir habis. Bahkan tercekat di tenggorokannya.
"Diam, sialan!" maki Aris tepat di depan Dinda. Membuat jantung Dinda terhenti seketika. Tapi Dinda tak mau tinggal diam. Dia mencoba menjauhkan kakinya. Meskipun terikat, Dinda tetap berusaha agar Aris tak melanjutkan aksi bejatnya. Dari sini Dinda tahu, kalau Aris menginginkan tubuhnya.
"Berhenti! Dasar penjahat!" Kini Dinda balik memaki Aris.
Aris terdiam. Dia menatap Dinda dengan murka. 'Berani juga si Dinda,' batinnya.
"Mending kamu bunuh aku aja!" pinta Dinda lagi.
"Ck. Gak semudah itu gadis manis," jawabnya Aris.
"Apa maumu!" tanya Dinda dengan sisa suaranya.
"Tubuhmu!" balas Aris menyeringai.
"Enggak!! Ku mohon jangan lakukan itu!" mohon Dinda dengan memelas.
Tapi Aris tak menyahut. Dia malah menarik kaki Dinda dan melepaskan celana itu dengan kasar. Meskipun celana itu masih bertengger di kaki Dinda, tapi mahkota itu sudah terpampang nyata di depan mata Aris.
"Cuih!!" Kali ini Dinda mencoba meludahi Aris, namun gagal. Aris menghindar dan justru membungkam mulut Dinda dengan mulutnya.
Tangannya masih terikat, pun juga dengan kakinya. Tak ada gerakan apapun yang Dinda lakukan. Tapi Aris gencar menggodanya. Tanpa Dinda sadari, Aris sudah melepaskan ikatan di kakinya.
Ternyata Dinda menyadari itu. Jadi dia berusaha berkali-kali menendangkan kakinya ke arah Aris, namun lagi-lagi gagal. Aris selalu menangkap kakinya, dan bahkan tendangan Dinda yang mengenai perut Aris seperti tak berpengaruh apapun pada Aris.
"Jangaaan!" jerit Dinda tiba-tiba saat Aris sudah berhasil meloloskan celananya. Hingga hal tak senonoh itupun terjadi.
Dia dinodai oleh pria yang tak ia kenal sebelumnya. Bahkan jiwa dan mentalnya sudah dihancurkan. Hanya sakit yang ia rasakan saat ini.
Aris yang tak punya hati itu sedikit terkejut saat menyadari kalau Dinda ternyata masih perawan. "Rupanya kamu masih tersegel sayang," ucapnya senang.
Dinda tak bisa berkata apa-apa lagi selain hanya menjerit dan menangis. Hingga semuanya menjadi gelap. Dinda tak sadarkan diri kemudian.
***
Di tempat yang berbeda, Jo terus berusaha mencari keberadaan Dinda. Melalui GPS hp Dinda, dan melacak tempat terakhir hp Dinda aktif.
Dan akhirnya Jo berhasil menemukan keberadaan terakhir Dinda. Di sebuah gudang tua. Buru-buru Jo kesana. Namun sayang, waktu Jo sudah masuk ke dalam ruangan itu. Tempat itu sudah kosong. Jo kelewat.
"Kemana si Aris? Dia bawa Dinda kemana?" gumam Jo semakin khawatir. Percuma juga dia lapor polisi. Dinda hilang belum genap 1x24 jam. Pasti polisi gak akan mau mencarinya. Susah memang, semua harus mengikuti prosedur. Jadi lebih baik Jo mencarinya sendiri.
Sudah cukup lama Jo mencari, dia tetap tak menemukan jejak apapun. Jo kalut, bingung. Gimana kalau Aris nekat? Gimana kalau Dinda diapa-apain oleh si Aris? Jo sangat takut kalau Dinda pulang sudah tak utuh lagi.
30 menit kemudian.
Ponsel Jo berbunyi. Tanpa menunggu lama, Jo langsung membukanya. Dia kaget saat Aris mengirimkan sesuatu ke ponselnya.
Jo membelalakkan matanya. Terkejut bukan main melihat video tak senonoh yang Aris kirimkan. Sayang semuanya di blur, hanya ada wajah Dinda yang terlihat jelas.
"Kurang ajar!" geram Jo kesal. Semua yang ia khawatirkan menjadi kenyataan. Aris telah melakukan hal keji terhadap Dinda.
Jo memejamkan matanya. Memijit pelipisnya yang tiba-tiba pening. Meskipun Dinda bukan adik kandungnya, Jo sudah menganggap Dinda seperti adik sendiri. Apalagi yang terjadi pada Dinda saat ini pasti ada hubungannya dengan Jo dan Nesa.
Jo segera menelpon pak Bambang, untuk dimintai bantuan, tentunya. Sedang Briyan? Jo belum ingin kasus ini diketahui oleh orang lain. Ini adalah aib keluarga. Kalau bisa, yang tahu adalah keluarganya dulu. Karena orang lain belum mesti bisa dipercaya.
Pak Bambang langsung datang ke TKP. Dia begitu marah melihat video dimana Dinda disiksa. Diperlakukan layaknya binatang.
"Kita harus lapor polisi Jo, Ayah gak tega lihat Dinda. Dia anak bungsu ayah Jo. Ayah gak pernah bersikap kasar padanya. Jangankan mengasari, membuat Dinda nangis pun ayah gak tega." Pak Bambang tak kuasa menahan air matanya. Putri bungsunya telah dinodai oleh pria bejat yang dia sendiri tak pernah mengenalnya. Andai pak Bambang tahu, jika Aris pernah menjalin hubungan dengan Nesa. Pasti pak Bambang akan murka seketika. Pasti pak Bambang akan memarahi Nesa saat itu juga.
"Kita harus cari solusinya Pa." Jo dan pak Bambang tengah berhenti di pinggir jalan. Membahas tentang Dinda. Jo masih belum menemui titik terang. Tapi jalan satu-satunya adalah menemui Lia.
Pak Bambang hanya mengikuti keputusan Jo. Karena dia yakin, Dinda akan baik-baik aja jika Jo yang memutuskan. Urusan ini begitu pelik menurut pak Bambang. Padahal dia tak pernah jahat pada siapapun. Sama perempuan pun juga tidak pernah main-main. Tapi kenapa anaknya mendapat cobaan yang begitu mengerikan seperti ini?
'Semoga kamu kuat Nak. Ayah akan melakukan yang terbaik buatmu. Apapun itu. Jika perlu, ayah akan penjarakan pria brengsek itu,' batin pak Bambang emosi.
***
Melihat Dinda yang sudah tak berdaya, Aris tersenyum puas. Dia melihat Dinda dan membiarkannya dalam keadaan seperti itu. Dia memang iblis, hidupnya sudah hancur di penjara. Jadi, jika ada orang yang menghancurkan hidup adiknya. Maka Aris juga akan menghancurkan hidup adik orang lain.
"Aku akan menikahimu, hahaha. Dan menghancurkan hidup kakak iparmu, hahaha." Tawanya penuh kesenangan. Entah apa yang dipikirkan oleh yang pria jahat satu ini. Sepertinya dia tak sekedar jahat, tapi sudah dalam keadaan tidak waras.
Bukannya menunggu Dinda sadar, tapi Aris malah meninggalkannya. Dia pergi dan mengunci pintu kamar itu. "Aku akan kembali," ucap Aris. Tentu saja Dinda gak mendengarnya. Secara Dinda masih pingsan gara-gara kelakuan bejatnya.
Bersambung...
Apa jadinya jika Dinda sudah sadar? Akankah Aris akan dijebloskan ke penjara lagi?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!