NovelToon NovelToon

Pesona Ayra Khairunnisa

1. MELAMAR CEO

Sebuah mobil Lexus hitam dikendarai oleh seorang CEO begitu cepat, bahkan kecepatannya di atas rata-rata saat melaju di jalan tol yang terlihat cukup sepi karena jalan ini biasa ramai ketika hari libur.

Seorang wanita paruh baya berpenampilan modis duduk di kursi belakang memeluk suami nya dengan erat. Sang suami berusaha menenangkan istrinya yang ketakutan karena putra sulung dari pasangan suami istri itu mengendarai kendaraan dengan sangat cepat. Membuat tubuh mereka ikut bergerak ke kiri dan ke kanan di setiap tikungan yang dilewati.

Sang supir yang sedang menahan emosi, tak sadar jika ia sedang melajukan kendaraannya dalam kecepatan di atas rata-rata.

Namun di tengah sebuah jalan yang cukup terjal dan banyak jurang tampak 3 mobil berhenti dan beberapa orang melihat ke arah jurang. Mobil Lexus hitam itu ikut menepi dikarenakan jalanan sedikit macet lalu penumpang dari mobil itu ikut turun.

Ternyata baru saja terjadi kecelakaan tunggal. Sebuah mobil masuk ke jurang, namun terdapat satu orang yang sedang berusaha menyelamatkan dirinya dengan bergantung disebuah akar. Lelaki itu tampak penuh dengan keringat di wajahnya. Lelaki itu mengenakan pakaian pengantin berwarna putih. Namun jas putih yang dikenakan pun telah kotor karena tanah yang berada di tebing jurang itu.

Beberapa lelaki di sana hanya melihat ke arah lelaki berpakaian pengantin itu tanpa ada yang berusaha membantu nya. Lebih miris lagi beberapa dari mereka hanya sibuk merekam kejadian.

Pengemudi mobil Lexus tadi dengan cepat membuka Jas hitam yang ia kenakan dan ikat pinggang yang melilit di pinggang nya lalu turun ke tepi jurang. Lelaki bertubuh atletis itu mengulurkan ikat pinggang tadi ke arah lelaki berbaju pengantin putih itu.

“Pegang ikat pinggang ini, aku akan mengangkat mu.”

Lelaki yang bernama Bram melemparkan ikat pinggang ke lelaki yang masih bergelayut di tepi jurang dengan kedua tangannya berpegangan pada ujung sebuah akar pohon yang cukup besar.

“Cepat, pegang ikat pinggang ini dengan satu tangan mu. Aku akan mengangkat mu.”

Kembali Bram memberi arahan kepada pria berbaju pengantin. Setelah satu tangan pria itu mampu menggapai ikat pinggang dengan tangan kanan seketika tubuhnya terasa sedikit tertarik ke atas.

Naas sebuah pijakan Bram membuat lelaki yang berhidung mancung itu sedikit terperosok dari pijakan dan pegangannya.

“Braaaammm!”

Suara wanita paruh baya yang dari tadi melihat sang putra sulung hampir ikut terperosok kedalam jurang berteriak histeris.

Tampak satu lelaki muda berkacamata mengikat pinggang Bram dengan jaketnya dan menahan tubuh Bram dari tepi jurang dan berpegang pada sebuah pohon beringin.

Bram kembali menarik lelaki berbaju pengantin melalui ikat pinggang nya, hampir sampai lelaki itu ke arah Bram namun lelaki yang berbaju pengantin putih itu berhenti menggerakkan tangannya ke atas ikat pinggang.

Lelaki berbaju pengantin putih malah menangis tersedu-sedu. Hal yang memicu kemarahan Bram yang sedari tadi berusaha menyelamatkan lelaki itu. Bahkan tangan nya terlihat lecet karena menggenggam erat ikat pinggang.

“Hei! Berhenti menangis. Cepat naik, jika tidak kami juga akan terperosok bersama mu ke bawah sana!”

Suara Bram terdengar sangat kesal dan menggema di tepi jurang.

Lelaki yang tadi menangis mendongakkan kepala melihat ke arah Bram, lalu satu tangan yang ia masukan ke dalam jas putihnya ia ulurkan pada Bram. Sebuah kotak merah ia berikan pada Bram.

Bram memegang tangan lelaki itu dengan kedua tangannya. Bram berusaha menarik lelaki itu keatas. Peluh di keningnya mengalir begitu deras dan otot-otot di lengan nya pun mengeras ketika Bram hampir berhasil menarik lelaki itu ke atas namun karena tepi jurang itu yang sedikit basah kembali tanah yang dipijak Bram terperosok.

“Aaaaaa.....”

Suara orang-orang dari atas yang sedang menyaksikan penyelamatan itu. Namun sayang hanya Bram dan satu lelaki berkacamata yang mau membantu lelaki malang yang berbaju pengantin itu untuk naik ke atas.

Semua menangis melihat lelaki itu makin pucat. Satu tangan nya terlepas dari genggaman Bram.

Mata Bram dan lelaki itu saling menatap. Lelaki itu seolah tahu bahwa dirinya telah lelah berjuang untuk naik ke atas. Tenaga yang ia miliki telah habis terkuras karena hampir satu jam bergelayut diujung akar kayu, kini ia mulai menyerah dan melemah.

“Sampaikan cincin ini pada Guruku. Katakan pada Guruku untuk mencari lelaki untuk calon istri ku dan pantas menggantikan aku untuknya. Semoga aku bertemu bidadari secantik hatinya.”

Lelaki itu kini menggenggam tangan Bram dan terdapat kotak merah diantara genggaman tangan nya. Bram baru akan menggapai tangan lelaki itu kembali namun genggaman lelaki berbaju pengantin berwarna putih terlepas dari dirinya.

Hanya sebuah kotak merah berukuran kecil masih tersisa di genggaman tangan Bram. Tatapan Bram tertuju pada lelaki yang berbaju pengantin itu. Jika tadi ada rasa takut yang Bram lihat di wajah lelaki itu namun tidak ketika lelaki itu terlepas dari tangan nya usai ia ucapkan kata-kata terakhirnya.

Senyuman yang sangat tenang, wajah yang teduh terlihat dari wajah pria itu. Dan telinga Bram dapat mendengar sayup-sayup kalimat yang lelaki itu ucapkan setelah ia terlepas dari genggaman Bram, seolah ia sedang terjun bebas.

“Laa Ilaha Illallahu Muhammadur Rasullulah.....”

Suara histeris dari orang-orang yang melihat dari atas pun terdengar. Isak tangis pun terdengar, Bram yang berpeluh keringat pun terduduk lesu menatap ke arah jurang yang telah tak terlihat lelaki itu. Baru saja di depan matanya, Bram melihat orang meninggal dengan begitu bahagianya. Bukankah pertama ia menggenggam tangan lelaki itu terlihat jelas rona takut lelaki yang ia coba selamat kan. Namun kemana raut takut itu ketika tangan lelaki itu terlepas dari genggamannya.

"Sebahagia itu kah ia akan menemui kematiannya? Bahkan ketika ia menitipkan cincin ini pun terlihat wajahnya masih penuh ketakutan."

Cukup lama Bram istirahat di rest area yang berada dijalan tol itu. Seorang lelaki yang mengenakan sarung datang menggunakan mobil silver bersama dua orang lelaki lainnya. Ia mengatakan bahwa ia adalah teman dari lelaki yang Bram tolong tadi. Lelaki berbaju pengantin itu harusnya sedang melangsungkan pernikahan karena hari ini ia akan menikah dengan salah satu santri yang ada di pondok pesantrennya yang jarak tempuhnya kurang lebih 30 menit lagi dari jalan tol ini.

Bram menceritakan kepada mama dan papa nya bahwa ada amanah dari lelaki tadi untuk menyerahkan cincin yang ada di tangannya kepada guru dari lelaki itu. Orang tua Bram tidak keberatan. Hingga akhirnya mereka bertiga mengikuti lelaki yang menggunakan mobil silver tadi ke pondok pesantren yang dituju.

Sesampai di sebuah gedung yang cukup bernuansa tua. Terdapat banyak motor dan mobil di area lapangan yang cukup luas. Beberapa orang menyambut lelaki bersarung yang datang bersama Bram. Tampak dari orang-orang itu merasa cemas dan khawatir lalu kaget ketika mendengar peristiwa yang terjadi.

“Innalilahi wa innailaihi rojiun.”

Suara orang-orang itu secara bersamaan setelah mendengar cerita lelaki itu.

“Satu keluarga cak, dan ketika kami kemari pihak kepolisian sedang melakukan evakuasi kendaraan.”

"Acara ijab masih ditunda Bur, masih menunggu kang Amir dan keluarga. Kalau mempelai yang lain sudah siap."

Seorang lelaki yang mengenakan jas krem dan mengenakan sarung hitam menepuk pundak Burhan. Lelaki yang mengantar Bram ke pondok pesantren ini.

Suara lelaki yang datang bersama Bram terdengar seperti logat Madura. Lalu lelaki itu mengajak Bram menemui pimpinan ponpes yang tidak lain lelaki yang dimaksud Amir. Amir adalah lelaki yang ditolong oleh Bram tadi. Ternyata Amir adalah santri yang baru saja pulang dari Kairo dan akan menikah dengan salah satu santri terbaik di pondok ini.

Amir datang bersama Paman dan bibinya karena ia tidak memiliki lagi orang tua kandung. Naas ketika mobil akan melewati tikungan maut yang biasa para sopir menyebut tikungan itu, sang sopir terlalu kepinggir hingga mobil terperosok ke jurang. Karena pintu Amir yang tak terkunci membuat Amir terlempar keluar hingga bergelayut di ujung akar pohon.

Setelah Bram dan kedua orang tuanya tiba disebuah ruangan yang terlihat ada seperti kursi namun berbentuk lesehan seperti kursi-kursi di Arab. Bram dan Kedua orang tuanya duduk di sana menunggu seseorang yang dimaksud Amir.

Tina-tiba masuk seorang lelaki berkopiah hitam dan berbaju Koko putih serta sarung coklat mengucapkan salam ke pada Bram dan kedua orang tuanya.

“Assalammualaikum.”

“Waalaikumsalam warahmatullahi wa barokatuh Yai”

Burhan menjawab salam dengan lengkap berbeda dengan ketiga orang yang tampak melongo mendengar jawaban dari Burhan yang begitu panjang bagi mereka. Belum lagi ketika Burhan mencium tangan lelaki tua itu dengan hormat lalu kembali ke tempat duduknya dengan posisi berjongkok dan menjinjit kebelakang tanpa membelakangi sang lelaki tua itu. Hal yang aneh bagi keluarga Pak Erlangga.

Bahkan ketika lelaki tua itu menyalami pak Erlangga, Nyonya Erlangga dibuat malu dengan rona wajahnya merah ketika uluran tangan nya tak diterima oleh lelaki tua itu. Lelaki tua itu lebih memilih menangkupkan kedua tangannya di depan dada.

“Silahkan duduk.”

Burhan menjelaskan maksud dan tujuan pak Erlangga dan Bram menemui pimpinan pondok pesantren itu.

“Ini pak, cincin yang diberikan oleh almarhum tadi.”

“Coba kemari berikan padaku.”

Suara khas lelaki tua yang cukup serak terdengar dari pria berkopiah hitam itu.

Baru saja Burhan akan mengambil cincin yang diserahkan oleh Bram namun di dicegah oleh Kyai Rohim dengan sebuah lirikan yang tak dipahami oleh pak Erlangga sekeluarga.

“Pak kyai ingin anda menyerahkan sendiri ke beliau.”

Burhan menjelaskan kepada Bram yang masih duduk tak bergerak setelah meletakkan cincin itu di meja. Bram pun mengambil kotak cincin lalu berjalan ke arah sang ustad. Burhan melirik ke arah Bram, santri laki-laki itu masih menunduk namun menggerutu.

“Dasar orang tidak punya sopan santun, seenaknya dia berjalan begitu tanpa rasa hormat pada kyai.”

Gerutu Burhan dalam hati.

Bram menyerahkan langsung kotak yang terdapat cincin emas didalam nya langsung ke tangan kyai Rohim. Dia juga menceritakan perihal amanat dari Almarhum Amir agar bisa mencarikan pengganti untuk calon pengantin pengganti untuk mempelai perempuan yang ditinggal oleh Amir.

Saat menyerahkan kotak cincin tersebut. Tangan Bram ditahan oleh pak Kyai beberapa waktu hingga Bram hanya dapat mengerutkan keningnya.

“Masyaallah.... "

"Sungguh Indah cara Engkau memberikan hamba makna dari Jodoh Ya Rabb.Inikah jawaban dari musibah meninggalnya Amir?"

Mata kyai Rohim terpejam ketika ia menerima cincin itu dari Bram. Tangan Bram sedikit ditahan oleh genggaman kyai Rohim. Dan Kyai Rohim menatap wajah Bram Lekat. Beberapa detik kyai Rohim melepaskan tangan Bram. Dan menatap ke arah pak Erlangga dan istrinya.

Bram Kembali duduk ke tempat asalnya.

Burhan pun masih melirik Bram dengan tatapan tidak senang. Karena Bram seenaknya berjalan dengan memunggungi sang Guru.

Kyai Rohim melihat ke arah pak Erlangga dan Bram secara bergantian. Kyai Rohim pun menarik napas dalam dan menghembuskan nya dengan perlahan lalu tersenyum ke arah Bram.

"Burhan, panggilkan Umi untuk kemari."

Burhan pun berjalan dengan posisi berjongkok dan berjinjit keluar dari ruangan itu dengan posisi mundur tanpa membelakangi kyai Rohim dan ketiga tamunya. Membuat 3 pasang mata menatap aneh pemandangan di depannya. Bagi mereka ini adalah hal yang aneh dan baru.

Namun ketiga pasang mata itu kembali dibuat kaget karena ucapan kyai Rohim yang secara tiba-tiba mengalihkan pandangan pak Erlangga sekeluarga dari Burhan ke arah kyai Rohim.

“Bismillahirrahmanirrahim. Nak Bramantyo Pradipta. Hari ini saya Ahmad Rohim pengasuh pondok pesantren Kali Bening melamar mu untuk santriwati ku yang bernama Ayra Khairunnisa binti Bapak Munir. Apakah kamu menerimanya?"

2. PENOLAKAN BRAMANTYO PRADIPTA

Suara Kyai Rohim terdengar cukup keras. Keluarga pak Erlangga terlihat kaget mendengar penuturan sang kyai. Bram pun membesarkan bola matanya.

Pak Erlangga merasa penasaran membuka suara pertama nya dihadapan kyai Rohim.

"Maaf pak, tetapi bagaimana anda tahu tentang nama putra kami. Perasaan kami belum mengenalkan diri kepada siapapun disini."

Pak Erlangga menatap Kyai Rohim penuh tanya. Sedangkan Bram lebih terlihat santai, karena jiwa seorang pengusaha. Maka mudah baginya untuk menyimpan ekspresi keterkejutan. Bukan hal yang sulit bagi CEO MIKEL Group yang bergerak di bidang ekspor minyak sawit itu.

"Dan saya pun tidak tahu bahwa hari ini akan terjadi kejadian seperti ini. Kita hanya mahluk yang kecil dimuka bumi ini pak Erlangga. Semua nya sudah ada yang mengatur, kita hanya bisa berusaha dan berdoa. Saya pun telah berdoa untuk jodoh santri saya, ternyata takdir berkata lain. Dan sekarang saya sedang berusaha untuk mendapat kan jodoh salah satu santri terbaik saya, dengan melamar putra anda."

Kyai Rohim membuka satu persatu toples kaca yang ada dimeja, dan mempersilahkan tamunya untuk mencicipi kue dan permen yang ada di dalam toples-toples tersebut.

Pak Erlangga dan istri mengangguk merespon sikap sopan kyai Rohim. Pak Erlangga pun melirik putra sulungnya yang sedari tadi sangat tenang dan wajahnya masih sangat dingin seperti orang acuh tak acuh dengan permintaan kyai Rohim.

"Saya sebagai orang tua menyerahkan kepada putra kami untuk permintaan bapak barusan. Kedatangan kami kemari sebenarnya hanya ingin menyampaikan amanah dari mempelai lelaki yang menjadi korban kecelakaan tadi. Saya tidak menyangka kalau bapak malah melamar putra kami."

Pak Erlangga menatap Bram yang tak bergeming dari tempat duduknya bahkan putra nya itu masih menatap kyai Rohim seperti orang sedang bermain catur yang akan memilih bidak untuk di gerakkan.

"Ehm. Ehm."

Bram terlihat mencondongkan tubuhnya kedepan dan menopang dagunya dengan ujung-ujung jari tangan yang ia rapatkan di bawah dagunya.

"Apakah sebegitu tidak laku nya murid anda itu pak Kyai? hingga anda meminta orang yang baru saja anda temui ini untuk menikahi dia? apakah lelaki yang memberikan cincin itu tadi calon suaminya?"

Bram menatap Kyai Rohim dengan tatapan tajam. Beruntung Burhan tidak ada di ruangan itu, santri kepercayaan kyai Rohim itu biasanya akan bertindak kasar kepada siapa saja yang dia anggap tidak sopan pada gurunya. Tentu saja tindakan nya itu tanpa sepengetahuan kyai Rohim.

Kyai Rohim terkenal dengan kesederhanaan nya, akhlaknya yang selalu rendah hati, mengormati perbedaan, menjunjung tinggi kejujuran serta selalu menjaga toleransi dalam beragama. Bahkan Kyai Rohim memiliki jiwa nasionalisme begitu tinggi. Karena di pesantren nya setiap hari Senin selalu disempatkan untuk mengibarkan bendera merah putih walau para santrinya mengenakan sarung dan gamis.

Kyai Rohim tersenyum dan sedikit tertawa sebelum menanggapi jawaban dari Bram.

"Justru karena dia begitu banyak yang ingin meminangnya, maka aku melihat kamu orang yang pantas untuk menjadi suaminya. Kita memang baru bertemu, tetapi dalam doa ku beberapa waktu lalu Gusti Allah memberikan isyarat. Bahwa Amir adalah salah satu jodoh untuk santri ku itu. Dan amanat Amir adalah salah satu jawaban atas setiap doa ku dan doa santri ku itu.

Bahwa yang pantas menjadi suaminya itu ternyata memang kamu. Sungguh indah cara Allah menunjukkan jodoh kita walau kadang kita lebih memilih dari sudut pandang kita. Bukan sudut pandang Allah. Bukankah lelaki yang menitipkan cincin ini mengatakan bahwa saya berhak mencarikan jodoh yang pantas menggantikan dirinya menjadi pengantin hari ini?"

Kyai Rohim mengambil kacang tanah yang ada di dalam toples, ia membuka dan memakan nya satu persatu.

"Maafkan saya pak Kyai, saya tidak tertarik dengan santri anda. Saya kemari hanya mengantarkan cincin itu bukan untuk menikah dengan santri anda. Silahkan cari orang lain saja. Ini bukan zaman Siti Nurbaya dimana orang-orang harus menikah karena dijodohkan dan tanpa rasa cinta. Saya sudah punya calon sendiri!"

Nada kesombongan dan amarah begitu terdengar dari ucapan Bram.

3. Gadis itu, Ayra Khairunnisa

Kyai Rohim tertawa mendengar jawaban yang diberikan oleh Bram. Terlihat kyai Rohim mencondongkan tubuhnya ke arah meja dan mengambil 2 buah permen. Kyai Rohim membuka satu permen lalu memasukan nya kedalam mulut, setelah beberapa detik permen tadi dikeluarkan lagi oleh kyai Rohim dan diletakkan di ujung jari jempol dan telunjuk nya.

"Pak Rangga, jika saya menawarkan pada keluarga anda permen yang sangat manis dan enak untuk putra sulung anda. Maka permen manakah yang anda pilih? yang ada di tangan saya ini? atau yang masih terbungkus itu?"

Kyai Rohim menggerakkan permen yang diapit oleh jari telunjuk dan jempolnya.

Tampak Pak Erlangga melihat ke arah Bram dan permen yang ditanyakan oleh kyai Rohim. Pak Erlangga pun memberikan jawaban.

"Tentu saya akan memilih yang masih terbungkus pak Rohim, bagaimana mungkin putra kami memakan makanan bekas orang lain."

Kyai Rohim tersenyum mendengar perkataan pak Erlangga dan melirik ke arah Bram yang masih menatap lurus kearah kyai Rohim.

"Saya rasa pak Erlangga pun akan melakukan hal yang sama dalam memilih menantu. Apakah bapak akan memilih santri yang saya jodoh kepada anak bapak untuk menjadi menantu atau yang mungkin tidak tahu apakah masih terjaga atau tidak?"

Deg!

Seketika wajah pak Erlangga dan Istri pun terlihat malu, bahkan seketika ingatan pak Erlangga dan istri kembali mengingat kejadian beberapa jam lalu.

Sebenarnya pak Erlangga dan istri nya diajak oleh Bram untuk menemui pacarnya yang baru pulang dari Paris. Hal itu Bram lakukan karena mama nya terus menerus menjodohkan nya dengan wanita-wanita yang membuat Bram merasa kesal karena hampir semua gadis yang dikenalkan pada nya hanya membuat moodnya menjadi buruk.

Maksud hati Bram ingin memberikan kejutan pada sang kekasih namun malah dirinya dikejutkan. Ketika Sampai di apartemen nya Bram yang terlanjur mengajak papa dan mama nya masuk harus dikagetkan dengan adegan dimana sang pacar sedang bermesraan dengan lelaki yang tak dikenalnya.

Rasa marah pada Shela dan malu kepada kedua orang tua nya pun masih Bram rasakan hingga detik ini. Saat dimana ia masih ditatap oleh kyai Rohim.

Bram mengangkat kepala nya perlahan ke atas dan menatap kyai Rohim angkuh. Hatinya bertanya kenapa kyai ini bisa tahu siapa dia bahkan kejadian beberapa jam yang lalu pun kyai Rohim tahu. Bukankah hanya mereka bertiga yang melihat kelakuan tak senonoh Shela.

Bram menarik napas dalam.

"Apa tujuan anda sebenarnya pak kyai? Anda sudah seperti seorang dukun saja."

Bram tersenyum mengejek.

"Tujuan ku sedang mencarikan jodoh untuk santri ku yang sudah baligh, asal Anda tahu pak Bramantyo Pradipta. Hampir 20 kali saya menolak lamaran dari beberapa lelaki karena saya merasa mereka tidak pantas untuk dia. Dan saya rasa anda pantas untuk nya selain almarhum Amir. Karena kedatangan anda kemari menandakan bahwa Allah menghendaki kalian berdua berjodoh."

Bram mendengus kesal karena ia disamakan dengan lelaki yang tadi coba diselamatkan oleh nya.

"Jangan samakan aku dengan lelaki itu pak kyai. Dia hanya lelaki cengeng yang lemah. Bahkan ia menangis hanya karena putus asa."

Kembali Bram tersenyum mengejek pada kyai Rohim.

"Tetapi apakah kamu mampu seperti dia menyerahkan calon istri mu pada orang lain saat ajal datang menjemput?"

Kini giliran kyai Rohim yang tersenyum. Jika dari tadi Kyai Rohim masih mencoba cukup sabar menghadapi kesombongan Bram namun tidak kali ini. Bram dibuat malu karena ia sempat berpikir tentang wajah bahagia Amir ketika terjun bebas dari tebing jurang itu ketika terlepas dari tangan nya.

Bram memijat pangkal hidungnya seolah kepalanya terasa pusing. Bram bingung bagaimana kyai Rohim tahu apa yang ia alami bahkan jika Bram masih heran dan terus terbayang akan senyum bahagia Amir, ketika Amir lepas dari genggaman tangan nya. Bram lalu mengangkat kepalanya dan membenarkan posisi duduknya.

"Saya ingin melihat seperti apa wanita yang anda tawarkan kepada saya itu pak kyai."

Kata-kata Bram membuat kedua orang tuanya melongo tak percaya, begitu pun dengan Bu Lukis. Hal ini membuatnya merasa sangat senang. Ia berharap gadis yang ditawarkan pak kyai ini mampu meluluhkan hati anak sulungnya yang hampir menginjak usia 35 tahun.

Sebuah pintu dibuka dan terlihat seorang wanita yang berumur hampir sama dengan kyai Rohim. Wanita itu menundukkan kepalanya ke arah keluarga pak Erlangga.

Sedangkan Burhan masih duduk bersimpuh di depan pintu dengan kepala yang tertunduk.

"Umi, panggilkan Ayra kemari dan suruh dia buatkan teh untuk tamu kita ini."

Kyai Rohim menatap istrinya yang baru saja duduk di sebelah kyai Rohim.

"Nggeh Abi."

"Ayra jadi nama gadis itu Ayra."

Bram bergumam dalam hatinya.

Wanita itu berjalan meninggalkan ruangan itu namun tidak seperti Burhan tadi. Wanita itu berjalan seperti biasa tidak seperti Burhan tadi. Membuat Bram menyimpulkan jika wanita itu pasti istri dari kyai Rohim.

Setelah kepergian Istri kyai Rohim, Bram seolah ingin memanfaatkan kondisi agar menguntungkan dirinya.

"Bagaimana jika gadis itu tidak setuju dengan lamaran ini pak kyai?"

Kyai Rohim kembali tersenyum hal yang dari tadi membuat Bram merasa jengkel karena selama ini tidak ada orang yang berani berbicara padanya dengan tingkah seperti pak kyai Rohim. Bram merasa senyum kyai Rohim adalah senyum ejekan.

Padahal kyai Rohim adalah seorang ulama yang murah senyum. Beliau bahkan hampir tidak pernah marah. Marahnya beliau adalah diam nya beliau.

"Kita akan dengar sendiri apa jawabannya bahkan istri saya tadi belum tahu apa yang barusan kita bicarakan. Keputusan tetap sama semua tergantung anda nak Bram. Jika anda menerima lamaran saya tadi berarti anda akan menikahi nya hari ini juga di pesantren ini."

Bram semakin merasa geram karena seolah terus di desak oleh kyai Rohim. Entah mengapa jika ia biasanya bisa bersikap arogan dan kasar kepada orang yang membuatnya tersudut namun tidak kali ini.

Kali ini seolah ada rasa segan pada kyai Rohim, perasaan pertama yang ia miliki selain rasa hormat kepada kedua orang tuanya dan neneknya.

"Terima saja Bram, daripada sama wanita tadi! mama tidak Sudi punya menantu wanita tadi. Atau kamu menerima perjodohan kamu dengan Helena?"

Bu Lukis akhirnya merasa jengkel karena putra nya dari tadi seolah selalu menghindar. Belum lagi mengingat kejadian ketika melihat wanita yang Bram bilang pacarnya. Mereka menjalani LDR selama 3 tahun. Anak nya ini sudah berkali-kali ia jodohkan dengan gadis-gadis yang ia kenal namun tidak satu pun dilirik oleh putranya itu.

Bram yang mendengar ibunya untuk menerima santri itu atau Helena membulatkan kedua netra yang berada di bawah kedua alis tebal dan hitam. Helena gadis yang sangat manja dan sangat perfeksionis itu akan sangat membuat Bram tidak nyaman.

Bagi Bram bukan hanya cantik untuk menaklukkan hatinya tetapi yang paling penting adalah hatinya bisa merasakan kenyamanan dan ketenangan ketika bersama wanita itu. Namun Helena jauh panggang dari api. Mendengar nama Helena saja Bram sudah merasa malas.

"Sekarang pokok nya kamu pilih Helena atau gadis ini nanti. Kalau tidak mama mau pindah ke Amrik lagi saja."

Bu Lukis mengancam sang putra yang terlihat masih diam tanpa respon.

"Ma, ini pernikahan bukan beli baju. Aku tidak mau menikah dengan sembarang wanita."

Bram mencoba membela diri namun kembali harus terdiam ketika pak Erlangga yang biasa dipanggil Rangga oleh relasi bisnis nya itu bersuara cukup tegas pada Bram.

"Jadi Shela itu bukan wanita sembarangan? Shela itu pilihan kamu kan? Ayolah Bram kita lihat dulu santri pak kyai ini."

Tiba-tiba pintu terbuka dan muncul istri kyai Rohim diikuti satu wanita yang mengenakan jilbab putih cukup panjang menutupi bagian dada dan gamis putih yang cukup besar hingga tak tampak lekuk tubuh gadis itu. Tampak hiasan tipis di wajahnya.

Wanita berbaju putih itu membawa nampan yang berisi 3 cangkir teh dan satu cangkir kopi.

Namun wajah itu tak dapat terlihat jelas oleh keluarga pak Erlangga karena gadis itu terus menunduk bahkan ketika meletakkan teh itu diatas meja, gadis yang mengenakan pakaian gamis itu berjalan dengan ketua lutut nya dan masih menunduk. Selesai meletakkan 3 gelas teh dan 1 gelas kopi ke arah kyai Rohim, gadis itu berjalan mundur masih dengan lututnya dan tanpa memunggungi kyai Rohim.

"Nduk.... Kemari."

Suara Kyai Rohim terdengar cukup tenang. Menghentikan pergerakan gadis itu.

Gadis itu berjalan ke arah kyai Rohim masih dengan wajah yang tertunduk dan masih dengan kedua lututnya ia maju ke arah kyai Rohim.

Buk Lukis melihat gerak gerik gadis itu langsung jatuh hati karena menurut nya gadis yang langka di zaman sekarang. Seorang gadis mampu begitu patuh kepada orang tua. Bahkan begitu pemalu, jangankan menatap melirik Bram dan kedua orang tuanya pun gadis itu tidak lakukan.

Selama ini jika bu Lukis mengenalkan Bram pada gadis-gadis pasti para gadis itu sudah tergila-gila karena ketampanan anak sulungnya itu.

Begitu pun pak Erlangga, pak Erlangga pun langsung merasakan cocok dengan gadis yang ditawarkan untuk menjadi istri Bram hingga ayah dari Bram ini berpikir keras untuk kali ini tidak boleh ada penolakan dari Bram.

Berbeda dengan suami istri itu Bram merasa jengkel karena bagaimana bisa kyai Rohim ingin ia menikah dengan gadis itu. Gadis yang terlihat sangat tidak modis, sangat sederhana serta wajahnya pun masih belum terlihat sudah dianggap memiliki kecantikan yang jelek menurut Bram. Bagi Bram hanya wanita yang berwajah tidak menarik yang tidak berani mengangkat wajahnya dihadapan orang lain.

Ketika gadis itu sudah duduk di sebelah istri kyai Rohim yang biasa di panggil Umi Laila oleh para santri disana.

"Nduk, kamu sudah mendengar berita tentang calon suami mu?"

Suara Kyai Rohim hati-hati.

"Sudah Abi."

"Kamu tidak bersedih?" Tanya Kyai Rohim.

"Setiap yang bernyawa di dunia ini pasti akan menghadapi dan merasakan yang namanya kematian. Tidak ada yang kekal abadi di dunia ini dan semua yang kita nikmati, miliki, saat ini hanyalah titipan. Termasuk orang yang sangat-sangat kita cintai dan sayang pun, akan pergi meninggalkan kita. Sedih yang berlarut hanya akan membawa kita pada keputusasaan. Bukan kah hal itu yang Abi ajarkan kepada kami ketika menghadapi musibah?."  Suara gadis itu begitu lembut jawaban nya lugas dan tegas namun yang membuat Bram heran wanita itu tidak mengangkat kepalanya hingga wajah gadis itu masih tertunduk.

Pak Erlangga dan istri yang biasanya kurang suka jika ada yang menceramahi kali ini manggut-manggut mendengar jawaban sang gadis tanda setuju dan kagum mendengar jawaban dari gadis itu.

"Jika ada yang Abi anggap pantas menggantikan Amir untuk menikahi mu hari ini, apakah kamu akan menerimanya Nduk?"

Kyai Rohim menyeruput kopinya sebelum bertanya kepada gadis itu.

"Apapun yang menjadi keputusan Abi, saya manut. Saami’na Wa Atho’na ya Abi."

"Angkat wajah mu nduk, calon suami mu dan kedua orang tuanya ingin melihat wajahmu. Namanya Ayra Khairunnisa putri dari almarhum adik lelaki ku."

Kyai Rohim memperkenalkan Ayra pada keluarga pak Erlangga.

Ayra mengangkat pelan wajahnya hingga dapat dilihat jelas oleh pak Erlangga dan buk Lukis. Sulung Pak Erlangga bahkan mengakui kecantikan Ayra walau bibirnya tertutup rapat.

"Cantik."

Satu kata yang bersamaan diucapkan oleh Bu Lukis dan Bram. Namun Bram menyebutkan satu kata itu dihatinya bukan di bibir seperti Bu Lukis hingga terdengar oleh semua yang ada diruangan itu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!