NovelToon NovelToon

Duda Beranak Satu

Anak Tunggal itu?

Livia memeriksa jam tangan, satu menit lagi sebelum waktu perjanjian dimulai. Dia menekan bel, menanti dengan gugup. Ini jam terbang pertama baginya setelah beristirahat beberapa waktu sebagai guru privat. Dia tidak ingin mengecewakan seperti terakhir kali.

Pintu terbuka, memperlihatkan sosok perempuan yang tersenyum polos bagaikan malaikat. Sebenarnya Livia sudah diperlihatkan foto anak yang akan diajarkan, tetapi tidak mengira jika akan terlihat lebih cantik aslinya.

"Ibu Livia, bukan? Mari, masuk ke dalam. Saya baru saja selesai mandi dan perlu mengganti pakaian. Ibu dapat menunggu saya sebentar," ucap Nea yang pada saat itu membukakan pintu dengan jubah mandinya.

Livia duduk di ruang tamu, berusaha untuk menjaga posisi sampai tuan rumah kembali. Entah berapa lama dia menghitung angka di kepala, anak yang membuatnya menunggu tidak kunjung keluar dari kamar. Tentu dia harus sabar di pertemuan pertama mereka.

Biasanya anak tunggal akan dimanja oleh orangtua, kasih sayang berlebihan akan membuat mereka mengabaikan orang sekeliling dan berbuat seenaknya. Livia tidak ingin menyamaratakan pendapat umum yang sering kali terbukti itu.

Livia harus memikirkan soal informasi yang didapatnya sebelum menginjakkan kaki di rumah mewah ini, bahwa Nea adalah anak yang baik dan ceria. Lagi pula, tujuan utamanya menerima tawaran pekerjaan adalah untuk mengubah nilai Nea di sekolah menjadi lebih baik. Dia hanya harus memikirkan soal itu dengan bijaksana.

Satu jam berlalu, Nea keluar dari kamar menuju ruang tamu. Tidak tampak raut wajah menyesal setelah membuat lama menunggu, saat berjalan pun tatapan mata Nea juga begitu tajam. Livia bergidik, berharap pendapatnya mengenai anak itu salah.

Tiba-tiba, Nea tersenyum seperti malaikat kembali. "Maaf, membuat Anda menunggu lama. Saya mendadak sakit perut."

Livia dan kekesalannya dibuat luntur seketika. "Tidak masalah. Sekarang bagaimana? Apa sudah baik-baik saja?"

Nea menganggukkan kepala. "Anda tidak perlu khawatir. Sebelum kita mulai pelajarannya, apa Anda ingin minum sesuatu?"

"Ah, air putih saja."

"Baiklah, saya akan mengambilkannya."

Livia menunggu lagi, sekitar setengah jam hanya untuk membawakan minuman. Dia mulai berpikiran negatif mengenai Nea yang seperti mencoba mengulur waktu.

"Maaf, membuat Anda menunggu lama lagi. Saya tidak tahu di mana letak gelasnya, karena jarang berada di rumah. Bibi yang membantu kami juga tidak datang hari ini,"—Nea akhirnya duduk, tersenyum lagi—"Anda bisa memanggil saya Nea. Silakan diminum air putihnya."

Livia melihat dua gelas yang ada di meja, air putih dan jus jeruk. Jika itu adalah kaleng soda, mungkin dia akan membuatnya remuk.

Livia yang hendak mengambil minuman pun mengurungkan niat, lalu menatap Nea dengan tersenyum pula. "Bagaimana kalau kita mulai saja pelajarannya?"

Baru Nea akan membuka mulut untuk berkata, mereka mendengar suara pintu. Sekilas tampak Nea tersenyum, langsung pudar ketika menatap Livia yang terpaku.

"Bagaimana ini? Ayah sudah pulang. Kita kehabisan waktu." Raut wajah Nea tampak menyayangkan keadaan.

Meskipun getir, Livia tidak kehilangan kendali. Dia berusaha untuk tetap tersenyum, memikirkan pertemuan pertama mereka yang harus berjalan baik agar dirinya tidak gagal pada pekerjaan pertamanya. Masalah yang dialaminya sekarang hanya hal kecil, bukan? Cepat atau lambat, Nea juga akan dia disiplinkan.

"Ayah!"

Livia menolehkan kepala, terpukau melihat sosok yang dipanggil. Bagaimana bisa ada pria berpenampilan sempurna seperti novel di dunia nyata?

"Kelvan, ayahnya Nea."

"Li—livia."

...***...

...Hai, selamat datang di DBS~ Semoga novel ini satu selera denganmu. Renko ingin mengenalkan visual Livia dan Kelvan. Tentu saja menurut imajinasi penulis cerita ini hehe kalian bisa membayangkan sendiri visual tokoh mereka seperti apa, karena kalau membayangkan Renko sudah pasti imut, lucu, dan keren, serta menawan....

...Geli sendiri....

...Kok, visualnya kartun? Udah zaman begindang juga....

...Visualnya nggak sesuai....

...Kalau ada yang komen begini, sekali lagi disimak penjelasan Renko di atas. Ini imajinasi penulis dan sebagai bentuk promosi....

...Gambar anaknya, neneknya, cicitnya, buyutnya mana, Kak?...

...Pusing dah, tuh. Perlu semedi ke gunung eperes kalau begini....

...*Gambar diambil dari website naver.com...

Dua Makhluk Sempurna

Usai saling berjabat tangan, mereka duduk bertiga di ruang tamu. Livia yang dihadapkan dengan dua makhluk sempurna di depannya merasa seperti butiran debu dan berharap agar dirinya segera ditiup.

"Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membuat anak saya menjadi pintar?"

Livia tercengang di dalam hati. Pertanyaan yang dilemparkan bersama raut wajah terkesan dingin membuat dia tidak bisa berkata-kata, seorang ayah ingin mengetahui kapan anaknya akan menjadi pintar.

"Ayah membuatku terdengar seperti anak yang bodoh. Itu menyakiti hatiku. Sebaiknya aku tidak mendengarkan percakapan kalian dan menunggu saja di luar rumah."

Hal lainnya yang membuat Livia tidak bisa berkata-kata adalah, rasa bersalahnya terhadap Nea yang merasa buruk. Bahkan, dia tidak berani menahan Nea agar tidak meninggalkan rumah.

"Tidak perlu memikirkan anak itu," ucap Kelvan.

"Nea tidaklah bodoh, hanya sedikit malas. Saya harap Anda bisa mengerti akan dua hal yang berbeda itu."

Kelvan tersenyum. "Padahal, ini adalah pertemuan pertama, tapi Anda sudah mengerti tentang putri saya dengan baik. Saya tidak salah memilih Anda sebagai guru les privat Nea."

Tiba-tiba dipuji membuat Livia tersipu malu. "Kita tidak bisa terus-menerus memaksa seorang anak belajar, mereka perlu diberikan waktu bernapas dan beristirahat. Tidak bisa melakukan sesuatu sesuai standar, bukan berarti bodoh. Mereka sempurna di bidang masing-masing. Saya harap maksud saya tersampaikan dan saya akan berusaha keras untuk Nea."

Mengingat kembali kata-kata yang diucapkannya dengan lancang, Livia menyesal sendiri. Dia terus memikirkannya sampai dua hari berlalu, padahal dia sudah berusaha untuk tidak berbuat hal yang aneh di pertemuan pertama. Sekarang tidak ada kabar apa pun, baik dari Nea atau Kelvan.

Apa aku masih diinginkan? teriak Livia dalam hati.

"Livia, bagaimana dengan pekerjaanmu?" tanya salah seorang teman yang berprofesi sama dengannya, Talisa. "Aku mendengar kalau ayah dari anak yang kau ajari adalah duda tampan beranak satu."

"Aku rasa pekerjaanku tidak ada hubungannya dengan itu."

Talisa mencebik. "Setidaknya kau bisa bekerja sambil cuci mata."

Livia mengerlingkan mata. "Daripada cuci mata, lebih baik aku cuci pakaian yang menumpuk. Apa kau ingin ikut?"

Livia mengembuskan napas panjang. Dia begitu sibuk sampai-sampai tidak memiliki waktu untuk membereskan tempat tinggalnya. Itu pun setelah kembali ke kota, dia langsung menerima tawaran kerja, tidak mungkin menolak di saat dirinya membutuhkan uang.

"Tidak, terima kasih. Aku juga bisa cuci pakaian di rumah. Jika kau mengajakku cuci mata, maka aku akan ikut. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan keadaan nenekmu?"

"Keadaannya sudah lebih membaik. Setiap akhir pekan aku akan pergi mengunjunginya."

"Apa kau tidak ingin membawa nenekmu tinggal di kota saja? Kau memiliki jadwal yang sibuk untuk mengajar sekarang. Pikirkan dirimu yang juga membutuhkan waktu beristirahat."

Livia menganggukkan kepala, berpendapat sama. "Aku akan membujuk nenek kembali. Sekarang aku harus pergi mengajar. Sampai bertemu lagi."

"Baiklah. Hati-hati di jalan!"

Menuju rumah tempat Livia akan mengajar, dia tidak sengaja melihat Nea di satu minimarket. Anak itu sedang berkumpul bersama dua orang lainnya, paling parah dia melihat Nea sedang memegang rokok.

Livia langsung menuju ke arah Nea berada. Dia merebut rokok itu, memadamkan apinya, dan membuangnya ke tong sampah.

"Apa yang Anda lakukan?!" Nea tampak sangat marah ketika berkata.

"Nea, siapa perempuan ini?" tanya salah satu teman Nea.

Cukup Cantik

Nea tidak ingin menjawab, hanya melemparkan muka ke arah lain. Pada saat itu pula seseorang datang, mempertanyakan ke mana perginya rokok yang diminta bantuan untuk memegangnya selagi masuk ke minimarket. Livia sangat malu, sekaligus merasa bersalah atas sikapnya.

"Maaf, telah membuat kekacauan," ucap Livia, menunjukkan penyesalan dengan sangat.

Ketiga orang teman Nea terbengong saja, tidak mengikuti Nea yang pergi meninggalkan mereka. Livia sendiri bergegas menyusul dan meminta maaf yang banyak namun tidak digubris sama sekali.

Tiba di depan pintu rumah, Nea meminta agar pelajaran dilakukan hari lain saja, dikarenakan suasana hati yang buruk. Livia yang membuat kesalahan tidak memaksa, memberikan Nea waktu untuk menenangkan diri.

Tidak jauh dari rumah mewah, Livia tidak sengaja bertemu dengan Kelvan. Pria itu mengendarai mobil dan sengaja berhenti untuk bicara.

Kelvan melirik jam tangan, lalu berkata, "Bukankah Anda seharusnya mengajar?"

"Anda benar, tapi Nea berada dalam suasana hati yang buruk. Jadi, dia meminta libur untuk hari ini."

"Suasana hati yang buruk?"

Supaya bisa berbicara dengan lebih nyaman, Kelvan menawarkan diri untuk mengantarkan. Di dalam perjalanan, Livia menceritakan hal apa yang dilaluinya tadi sampai-sampai membuat Nea marah. Bukan bersimpatik, justru Kelvan tertawa.

"Kenapa Anda tertawa?"

"Saya hanya berpikir kalau itu sesuatu yang lucu."

"Tapi, saya tidak sepenuhnya salah, bukan? Saya hanya khawatir dan bertindak secara impulsif."

Kelvan tersenyum. "Terima kasih, karena sudah mengkhawatirkan Nea."

Livia menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya, dan berkata, "Minggu ini hanya bisa dua kali pertemuan. Saya akan menggantikan yang terlewat hari ini di Minggu selanjutnya."

"Kita masih memiliki hari Minggu, bukan?"

"Saya berhalangan hadir, karena harus pergi menemui nenek di desa. Itu adalah pertemuan setiap akhir pekan yang penting dan tidak bisa saya lewatkan."

"Saya mengerti. Ngomong-ngomong, apa Anda sudah menikah atau memiliki kekasih?"

Livia menolehkan kepala, menatap pria yang masih fokus menyetir. Kelvan yang tidak kunjung dijawab pertanyaannya menolehkan kepala pula sehingga mereka saling menatap untuk beberapa saat.

"A-apa Anda merasa tidak nyaman dengan pertanyaan itu? Saya hanya tidak ingin menimbulkan pertengkaran di dalam hubungan Anda jika nanti mengantarkan seperti sekarang. Setidaknya, saya dapat menjaga sikap untuk ke depan," sambung Kelvan.

"Maaf, saya berekspresi terlalu berlebihan. Sudah cukup lama saya tidak mendengarkan seorang pria menanyakannya dan pertanyaan Anda juga terkesan mendadak. Saya belum menikah mau pun memiliki kekasih."

"Apa sungguh begitu? Saya berpikir bahwa Anda cukup cantik untuk didekati."

Livia merona merah mukanya. "Ba-bagaimana dengan Anda?"

"Ibunya Nea sudah lama meninggal. Untuk mencari penggantinya, saya rasa cukup sibuk untuk itu. Ah, kita sudah sampai."

Begitu mobil berhenti, Livia pun berkata, "Terima kasih sudah mengantarkan. Saya seharusnya tidak merepotkan Anda."

"Saya yang berinisiatif untuk mengantarkan. Anda tidak perlu merasa sungkan. Mengenai Nea, dia akan segera baik-baik saja setelah hari ini berlalu. Anda tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya."

"Dan saya juga ingin meminta maaf atas kejadian dua hari yang lewat. Seharusnya saya tidak lancang dalam berkata-kata."

Kelvan mengingat kembali kejadian yang di maksud dan berkata dengan raut wajah kebingungan, "Saya tidak paham. Apa Anda tipe orang yang selalu merasa bersalah atas segala keadaan? Itu adalah bentuk kekhawatiran seseorang dan kita tidak bisa menganggapnya sebagai kelancangan."

Livia tersenyum, akhirnya dapat menuntaskan segala perasaan yang mengganjalnya beberapa hari ini. "Kalau begitu, saya pamit terlebih dahulu," ucapnya, kemudian turun dari mobil.

Kelvan melihat bagaimana guru privat putrinya perlahan menjauh. Dia tersenyum, lalu melajukan mobilnya kembali.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!