"Apaan ini Tante? Kok koinnya aneh ya." Sahut Viona sambil meraba setiap uang koin yang tercecer keluar berhamburan dari sebuah guci yang pecah di lantai.
"Stop jangan sentuh lagi! Viona cepet pergi ya Tante harus cepet beresin semuanya." Larang Tante (Arin) yang masih sibuk membereskan guci lainnya. "Kok bisa sampai berantakan gini sih?" Gumam Arin bicara pada dirinya sendiri.
Viona tidak mengindahkan perkataan Arin yang saat itu masih sibuk membereskan pecahan guci di lantai. Terlihat ada 3 guci yang dipajang di sebuah kotak kaca kokoh, ke tiganya juga terjatuh pecah berantakan entah kenapa.
"Padahal guci ini peninggalan keluarga, Ibu bisa marah kalau sampai tahu." Gumam Arin dalam hati dengan perasaan cemas.
"Viona ngapain sih dari tadi kok semua guci pecah gini? Kan nanti Tante kena marah sama eyang." Harap-harap cemas, tapi apa yang bisa dilakukannya lagi? Semua pecah.
Arin berdiri kesal memandangi Viona yang berusia 4 tahun dan masih tidak mendengarkannya.
"Kan udah Tante bilang jangan dimainkan seperti itu, Viona gak denger ya." Arin segera menghampiri sambil terus mengomel. Ditariknya tangan Viona sampai dia berdiri dan mendongak memandangi Arin dengan tatapan menggemaskan.
Tak tahan melihat Viona yang sangat lucu membuat seketika hatinya luluh lagi. "Viona jangan nakal dong, jangan sembarangan masuk ke ruangan gini. Viona ngerti kan?" Ucap Arin sambil menatap Viona meyakinkan dengan kata-katanya.
Viona mengangguk dan langsung berlari ke arah pintu.
"Akhirnya dia langsung pergi." Gumam Arin. Tapi setelah matanya melihat lagi semua guci yang pecah dan berantakan Arin kembali merengek bingung, apa yang akan dikatakannya pada Ibu dan Oma.
*****
"Papa!"
"Papa!"
Teriak Viona sambil mengedarkan pandangannya mencari sosok Ayah yang masih tidak terlihat juga.
"Papa kok hilang!" Gumam Viona dalam hatinya.
Penasaran karena setelah dua kali memanggil Papa nya yang tidak kunjung datang, Viona berjalan tertatih menuju pintu depan di villa itu.
"Viona ikut Tante masak yu sekarang!" Ajak Arin sambil membuka pintu dari ruangan tadi. Mata Arin melihat ke seisi rumah mencari Viona yang tidak juga terlihat.
"Viona!"
"Viona dimana sayang?"
"Viona!" Arin langsung berlari setelah melihat pintu keluar yang dia lupa tidak menguncinya tadi, Viona pasti sudah keluar rumah.
Dengan perasaan cemas Arin berlari mencari Viona di luar, dimulai dari taman bunga yang ada di samping rumah, pemancingan di kolam ikan, dan terakhir Arin melihat hutan lebat yang jaraknya tidak jauh di depan rumah.
Kebetulan Arin memiliki sebuah villa yang letaknya ada di tengah hutan, tapi jangan diragukan karena akses jalan ke villa sudah bagus ada jalanan yang dibuat khusus ke villa dari tengah-tengah jalanan raya menuju ke kotanya.
"Viona!"
"Viona!" Sebut Arin tanpa bosan sampai dia benar-benar melihat Viona dengan matanya.
Hampir putus asa, Arin tidak tahu harus kemana lagi mencari Viona karena seluruh halaman sudah dia datangi dengan teliti tanpa terlewatkan, kecuali hutan itu. Tapi rasanya tak mungkin Viona sampai pergi ke hutan karena jelas-jelas gerbangnya tertutup.
"Kemana sih Viona? Gini ya kalau bawa Viona suka hilang aja gak jelas. Kak Deliya sih ngapain malah maen pergi aja, udah tahu anaknya itu hiperaktif banget, mana bisa kan aku sendirian jagain viona." Gerutu Arin sambil memangku tangannya di dada. Dia sangat kesal dengan Kakaknya yang selalu menitipkan Viona, padahal sekarang lagi tidak di rumah tapi Kakak Arin kok bisa-bisanya ya masih beralasan pergi dan titip Viona.
"Kemana lagi harus cari Viona?" Tiba-tiba matanya menangkap Viona yang sedang duduk bermain sendirian di tanah di hadapannya. Matanya Arin sampai terbelalak karena ternyata Viona ada tak jauh dari tempatnya berdiri saat itu.
"Viona di sini. Tante udah cari Vio sampe pusing." Keluh Arin yang kemudian duduk jongkok mengimbangi Viona kecil yang juga sedang duduk di sana.
Viona berbicara sendiri memainkan tanah dengan sesuatu yang dia pegang, bahkan saat Arin berbicara padanya Viona masih tidak bereaksi.
"Main apa?" Tanya Arin langsung merebut sesuatu yang dia pegang dengan tangannya. Arin melihat Viona masih memainkan koin tadi dari guci.
"Kok Viona bawa koinnya? Kan Tante udah bilang jangan dibuat mainan kaya gini!"
Viona hanya menatap Arin tanpa mengatakan apapun. "Percuma saja kayaknya bicara sama kamu!" Gerutu Arin sangat kesal. "Udah ya Viona ikut Tante ke dalam lagi!" Ajak Arin berusaha menarik lagi lengan Viona. Tapi kali ini Viona seperti menolak ajakannya, dia bersikeras untuk tetap duduk dan menggelengkan kepala.
Lagi-lagi Arin menatap binar mata Viona yang sangat lembut, mungkin bisa membuat siapa saja yang melihatnya langsung luluh.
"Papa. Viona sama Papa!" Rengek Viona.
Arin langsung memicingkan mata melihat tajam ke arah Viona dengan heran. Ayah mana yang Viona panggil? Ayahnya sudah meninggal dunia sejak Viona lahir.
Arin menarik napas mengatur irama napasnya saat itu. "Udah Ya, kata Papa Viona ikut Tante pulang. Tuh lihat Papa nya gak ada kan!" Bujuk Arin berusaha meyakinkan anak yang baru berusia 4 tahun itu.
"Viona gak mau! Viona mau sama Papa!" Rengek Viona dan akhirnya dia menangis juga sampai terus menendang tanah dengan kedua kakinya yang saat itu sedang duduk.
Arin hanya harus sabar, lihat sekarang di hadapannya hanya anak kecil.
"Viona mau sama Mama aja ya? Kita pergi ke Mama ya?" Bujuk lagi Arin dengan sangat sabar dan belum menyerah menyikapi anak kecil, tapi bagi Arin melakukan semua hal itu adalah sesuatu yang biasa saja. Tentu saja setelah Kakak Arin melahirkan dia juga ikut membesarkan Viona dengan kedua tangannya, jika dihitung-hitung waktu yang Viona habiskan dengannya lebih lama dibandingkan waktu bersama Ibunya sendiri.
Viona langsung mengangguk mendengar perkataan Arin. Akhirnya Arin bisa menghela napas lega menggendong Viona yang sangat menggemaskan, apalagi Viona adalah cucu pertama di keluarga tentu saja semua pasti sangat sayang Viona.
"Viona jangan asal pergi lagi ya? Tahu gak Tante pusing cari kesana kemari, Tante capek udah jalan berapa kali cari viona." Komentar Tantenya sekaligus memberikan Viona pengertian agar tidak melakukannya lagi.
"Padahal tadi perasaan udah ya lewatin jalan itu, Viona gak keliatan ada di sana. Tapi kok bisa ya?" Ucap Arin dalam hatinya.
Benar saja Arin sudah berapa kali mengitari besar villa itu sampai harus bolak balik ke taman dan kolam pemancingan, di semua tempat itu harusnya tidak ada. Dia merasa heran karena Viona yang tiba-tiba ada di depan mata sambil bermain sendirian.
"Kalau gak salah Viona tadi bilang main sama Papa. Yang benar saja?" Arin menatap Viona dan bergidik ngeri. Kalau bukan hantu apalagi yang dilihat Viona?
"Duh hari sudah semakin gelap." Keluh Arin masih menggendong Viona di tangannya.
"Tante, Mama gak ada di sini ya?" Tanya Viona tiba-tiba.
Arin menatap mata Viona yang sendu, dia tahu Viona sudah menyadarinya jika Kakaknya itu sedang tidak ada di villa.
"Viona gak apa-apa ya di villa nya sama Tante? Kan biasanya juga gitu."
Viona masih manyun dan tidak menjawab.
"Duduk dulu ya Tante siapkan dulu susu, Viona pasti lapar." Ucap Arin menenangkan Viona yang duduk di atas sofa. Arin melihat Viona yang terus memandangi ke arah kaca dengan tatapan sedih. Viona pasti sangat ingin jika Ibunya cepat pulang.
"Viona jangan turun dari kursi ya nanti jatuh, Tante mau ambil susu dulu di mobil." Seru Arin memperingatkan. "Keterlaluan sih Kakak gak bawa barang-barang masuk dan udah maen pergi aja!" Gerutunya sendiri sambil berjalan keluar dan mengunci pintu.
"Pasti udah lumayan lama gini, tapi kok belum juga pulang bahkan nelpon?" Pikir Arin.
Dia duduk dulu di kursi penumpang dengan botol dan kaleng susu yang sudah di ambil dari dalam koper dan diletakkannya di kursi. Arin merogoh Hp di saku celananya berniat untuk segera menelpon Kakaknya itu.
Di tekannya nama dan langsung muncul kontak Kakak Arin "Adel." Dia sentuh tombol panggil di layar touchscreen.
[Panggilan yang anda tuju sedang di luar jangkauan] Suara yang terdengar.
"Ah sial. Kakak selalu saja susah dihubungi kaya gini, apa dia gak mikir ya udah menelantarkan anak dan adiknya berdua di villa yang jauh dari tetangga kaya gini." Ucap Arin kesal. Rasanya dia ingin membanting hp itu kemana saja.
"Sekarang ngapain ya? Telpon Ibu aja?" Ucap Arin pada dirinya sendiri. "Ibu pasti ngomel dan marah setelah itu gak akan pernah lagi diizinin keluar rumah." Gerutu Arin. "Sial!" Ditendangnya kursi yang ada di depannya dengan emosi.
"Viona." Ucap Arin setelah melihat susu tergeletak di sampingnya.
"Gara-gara Kakak aku sampe lupain Viona, aduh!" Arin berlari sambil tak hentinya terus mengomel.
"Viona! Tante udah bawa susunya ya." Teriak Arin dari luar, padahal dia juga belum selesai membuka kunci.
Ternyata Viona masih duduk seperti tadi di kursi. Beruntung sekali tidak lagi membuat Arin harus kesal karena tingkah Viona.
"Tante! Mama Viona mana?" Tanya Viona.
"Em. itu Mamanya..." Pikir Arin berusaha mencari alasan dia juga terlihat gugup. "Mama Viona lagi di jalan mau pulang, Viona tunggu ya!" Jelas Arin sambil berlalu ke arah ruang dapur.
"Papa, Mama gak pulang deh kayaknya hari ini. Viona takut Mama gak mau ketemu Viona lagi, gimana kalau Mama emang gak bakalan kesini lagi?" Viona mengobrol dengan sosok yang tidak pernah bisa dilihat oleh siapapun, bahkan oleh tantenya sendiri.
Orang yang disebut Papa oleh Viona memang adalah Ayah kandung Viona yang sudah meninggal sejak di hari kelahiran Viona. Sebuah kecelakaan langsung membuat Ayahnya pergi. Cukup aneh memang jika Viona bisa mengenali Ayahnya itu Tapi siapa sangka dan siapa yang tahu juga jika Ayahnya sudah mengikuti Viona sejak dia masih kecil hingga sekarang, karena itu Viona terbiasa dan kenal baik dengan sosok Ayahnya.
"Vio sama Tante aja kan biasanya juga suka main lama banget berdua sama Tante." Suara samar terdengar membisik di dimensi lain hingga menembus indera pendengaran Viona.
"Mama selalu ninggalin Vio." Komentar Viona seolah dia protes dengan sikap Ibunya. Usianya saja yang boleh masih 4 tahun, tapi bagi Viona kecil dia bisa dikatakan sangat sensitif dengan perasaan orang lain disekelilingnya. Ketika Ibunya tidak pernah ingin bermain atau mengurus Viona untuk makan minum. Viona bisa tahu dengan nalurinya apa yang dikatakan hati ibunya.
"Mama tetep sayang Vio, mana ada Ibu yang gak sayang anaknya kan?" Ayahnya selalu berusaha menghapus ingatan buruk tentang isterinya itu Dimata Viona, dia tidak ingin jika Viona sampai berpikir seperti itu. Viona hanya punya Adeliya sebagai satu-satunya orang tua yang dia miliki.
Viona memandangi mata Ayahnya. "Papa, Vio mau banget kalau Papa terus temenin dan main sama Vio." Ucapnya penuh harapan. Tapi sebenarnya dalam hati Viona sangat merindukan Ayahnya itu.
"Papa akan selalu ada buat Vio. Tinggal panggil aja Papa pasti udah ada." Ucapnya dengan ceria, berharap jika kepergiannya bukanlah kesedihan bagi Viona.
"Viona masih gak bisa sentuh papa!" Komentarnya saat Ayahnya bicara Viona langsung diam-diam kembali meraba tangan Ayahnya itu.
"Udah ah biasanya juga gak masalah kan!" Rendra berusaha mengalihkan situasi saat itu.
"Pa, kenapa gak temuin Mama juga?" Tiba-tiba tanya Viona dengan polosnya.
Rendra memandangi sepasang mata yang sangat mirip dengan isterinya. Dia tersenyum kecil, bingung sebenarnya karena orang yang hanya bisa lihat dirinya hanyalah Viona, anak semata wayang yang sudah dia tinggalkan setelah dilahirkan.
"Papa sering kok lihat Mama, Papa selalu jagain kalian semua." Jelas Rendra pada putri semata wayangnya. "Kasihan sekali Viona, kalau dia tahu bahwa Ibunya itu telah melahirkan dirinya dari lelaki lain, pasti hatinya hancur." Ucap Rendra dalam hatinya. Dia tidak pernah ingin mempermasalahkan perselingkuhan yang dilakukan Deliya bahkan setelah tahu bahwa Viona bukanlah anaknya, Rendra tetap menyayangi Viona seperti anak semata wayangnya.
"Papa bilangin Mama cepet pulang, Viona mau Mama!" Rengek Viona. Perkataan yang keluar dari seorang anak yang diusianya sangat merindukan sosok Ibu.
"Viona susu sudah datang." Seru Tantenya Viona adik dari Adel itu dengan ceria. Ditangannya dia memegang botol susu dan juga camilan ya g dia ambil di mobil.
"Beruntung sekali Viona memiliki orang-orang di sekelilingnya yang sangat baik." Puji Rendra pada adik iparnya. Jika diingat-ingat lagi Viona lebih dekat dengan adik iparnya ini, karena Adel selalu pergi menemui kekasihnya di luar. Sekarang pun Adel pasti menemui kekasihnya, dia sampai lupa waktu. Rendra menghela napas menahan sabar yang sebenarnya di dalam dadanya emosi itu kian ingin cepat meledak keluar.
"Viona lihat apa sih? Tante penasaran banget." Tanya Arin tersenyum berharap jika ponakannya itu mengatakannya.
"Papa Viona. Papa tuh ngajakin Viona main dari tadi, katanya Papa akan selalu jagain semua orang." Ucap Viona polos dengan perasaan takjubnya karena memiliki Ayah yang selalu ada di samping Viona.
Arin hanya bisa tertegun takut, ternyata penglihatan anak kecil tentang roh orang meninggal atau hantu seperti yang dikatakan orang terjadi pada ponakannya itu. Arin tak menjawab dan tidak bicara lagi. Dia tak tahan sedikit jawaban yang selalu dikatakan oleh ponakannya itu.
****
"Sayang kamu kok bisa sih Dateng ke sini?" Seorang lelaki muda bertanya pada perempuan yang ada dalam pangkuannya itu.
"Ah gak penting kamu nanya, yang penting sekarang kita bisa menghabiskan waktu semalaman kan?" Goda perempuan yang masih enggan untuk jauh. Tubuhnya bahkan sangat menempel pada lelaki yang terlihat lebih muda darinya.
"Kamu yakin? Anakmu gimana?" Tanya lelaki itu.
"Gampang kok, ada Arin adikku juga. Udah ah kamu ini kaya yang gak mau deh bareng sama aku." Rengek Adel yang mulai manyun dan menjauhkan tangan kekasihnya.
Lelaki itu tidak menjawab, dia menarik Adel dan membuatnya tidur di bawah tubuhnya.
Adel hanya tersenyum tak tahan dengan setiap jengkal yang dilakukan oleh tangan Andre, dia hanya menggelinjang manja. Ciuman Andre turun ke lehernya sangat dalam dan lama seperti enggan cepat menyudahi aktivitas yang membuat pikirannya liar.
Tak mau kalah Adel sengaja memegangi kepala Andre dan membuatnya lebih lama dan dalam menyentuh pori-pori kulitnya. Bahkan dengan sendirinya Adel terus menggoyangkan pantat dan menyentuh paha Andre, memainkannya di sana dengan sangat menikmati kebersamaan yang tidak bisa ia dapatkan setiap hari. Kalau dihitung-hitung dia sudah menjanda selama 4 tahun dan belum bisa menikah, karena dia tidak ingin jika harta warisan suaminya utuh jatuh ke tangan putrinya Viona.
Adel hampir ingin mengeluarkan ******* yang spontan dari mulutnya, tapi dengan sekuatnya dia menahan suara itu, dia tidak ingin Andre percaya diri dengan permainan yang dilakukannya.
****
"Kakak masih belum pulang ya." Kesal rasanya, Arin terus memandangi ke arah luar, dari langit yang cerah sudah berganti menjadi warna jingga.
"Tante! Viona mau makan." Rengek Viona. Pikiran Arin langsung terhenyak dia baru ingat jika Viona belum makan nasi dari sejak kedatangannya ke villa.
"Viona bener mau makan?" Tanya Arin menghampiri.
Viona diam tidak menjawab, dia juga menurunkan tangannya dari perut. Bola matanya bergerak ke bawah dan perlahan menggelengkan kepala.
"Apa ya, Viona gak apa-apa kan kalau kita makan malamnya nungguin Mama pulang?" Ucap Arin cemas.
Viona mengangguk dan kembali berjalan ke ruang kamar.
"Bener-bener ya Kak Adel sampe lupa anak lupa adik. Kemana sih dia? Viona udah lapar kan kasihan." Gerutu Arin terus mengepalkan tangannya. "Ah terserah dia aja, suruh siapa bikin kita kelaparan gini. Aku telpon Ibu ya. Rasain Kak Adel biar dia gak sekali-kali lagi seenaknya kaya gini." Hardik Arin memarahi Kakaknya yang masih belum datang.
Arin melihat ke sebuah jam dinding yang hampir jam 06.00 sore. Dia berlari melepaskan tali tirai untuk menutup jendela, sambil tangan yang satunya sibuk mencari kontak Ibunya itu.
"Halo Arin kenapa nelpon?" Ibunya langsung bertanya saat panggilan langsung masuk.
"Eh Ibu, ya Arin mau nelpon kenapa gak boleh?" Tanya Arin. "Gimana ya ngomong sama Ibu?" Ucap dalam hatinya.
"Em... Baru aja setengah hari udah nelpon, kata Ibu juga ngapain pergi ke vila kan Arin juga gak pernah pergi ke vila keluarga kita di sana." Ibunya mulai menyalahkan, tapi itu tidak terdengar sebagai menyalahkan karena Arin sendiri mengakui dia cukup menyesal pergi ke vila.
"Eh ia, Viona gimana? Dia udah makan?" Lanjut Ibunya menanyakan Viona.
Arin tertegun dia harus berbohong saja?
"Arin?" Panggil Ibunya lagi seperti tak memberi kesempatan Arin untuk berpikir.
"Ia Bu, tadi sih udah cuman makan camilan." Jawab Arin terdengar ragu-ragu.
"Kak Adel ada kan?" Tanya lagi Ibunya.
"Gak ada Bu." Jawab Arin pelan dia sangat berusaha untuk mengumpulkan keberanian dan menyampaikan maksud awal untuk menelpon Ibunya itu.
"Sudah Ibu duga. Adel selalu gitu ninggalin anak sama adiknya. Kamu pulang deh Ibu antar supir ke sana sekarang. Gak apa-apa kan nunggu sekitar 4 jam di villa?" Tanya Ibunya lagi di telpon.
"Ia Bu Arin tunggu aja."
"Astaga kalian pasti kelaparan di sana!" Ibunya terdengar sangat khawatir.
"Viona jagain ya! Kasih susu aja dulu sama suruh makan camilan yang ada."
"Aduh Adel bener-bener ya!"
Tiba-tiba telpon langsung terputus.
"Bu?" Seru Arin dan setelah mendengar suara telpon yang dimatikan, bahkan Ibunya tidak mengatakan apa-apa lagi dan langsung menutup telpon.
"Ini gak apa-apa kan? Lagian sih kakak yang salah." Ucap Arin pada dirinya sendiri. Dia terlihat tidak tenang dan terus mondar-mandir dengan hp yang masih di pegang oleh tangannya.
"Telpon kakak aja siapa tahu sekarang aktif." Seperti menemukan sebuah ide, Arin mencoba menelpon kakaknya lagi. Lagipula dia tidak ingin Ibunya marah dan masalah datang lagi di keluarganya.
Arin buru-buru menekan tombol panggil di layar hp nya. Dia terus menunggu dengan sabar sampai akhirnya dia kecewa karena Kak Adel masih tidak aktif.
"Tau ah salah Kakak." Gerutu Arin sambil berlalu dan menyusul Viona ke dalam kamar.
****
"Yang itu kayaknya Hp kamu yang bunyi." Andre memperingatkan.
Delia yang sering dipanggil Adel oleh keluarganya. Adel mengerutkan dahi seperti tak percaya, saat berhenti diam dia mendengar jelas bunyi dering hp nya.
"Ndre udah ya aku pulang dulu!" Ucapnya terburu-buru bahkan Adel tak melihat lagi ke arah kekasihnya yang masih tertidur.
"Bajunya rapihkan dulu!" Teriak Andre memperingatkan lagi.
Adel segera melihat ke arah bajunya yang berantakan, dia buru-buru merapihkan. Adel juga kembali memeriksa Hp dan melihat siapa yang sudah menelponnya itu.
"Ibu" Nama yang muncul di layar utama. Hatinya terasa tersentak segera melihat panggilan dari Ibunya yang tidak terjawab itu. Adel seperti sudah tahu pasti maksud dari panggilan itu, Ibunya sudah berpikir pasti ada masalah.
"Arin kamu nelpon Ibu?" Langsung tanya Adel saat panggilan berhasil masuk ke hp adiknya Arin.
"Siapa suruh lama." Komentar Arin terdengar menyalahkan.
"Ah Lu gimana sih malah telpon Ibu." Serang Adel balik memarahi Arin di telpon.
Tapi tiba-tiba telponnya terputus.
Tangan Adel meremas Hp nya dengan kesal. Dia yakin pasti Arin sudah mengadu.
"Tunggu aja ya!" Gerutu Adel sambil berjalan cepat menuruni anak tangga keluar dari rumah mewah yang di dalamnya dia sudah meninggalkan Andre kekasihnya.
"Mas! Anter aku ke alamat ini!" Ucap Adel saat melihat sebuah taxi sedang berhenti di pinggir jalan.
"Jangan pake lama ya!" Pintanya lagi. Supir hanya mengangguk. "Non paling cepet kurang lebih 1 jam dari sini. Itu juga saya gak bisa Anter sampai ke sana hanya sampai pangkalan taxi saja." Jelas supir di dalam mobil sambil mengintip Adel dari cermin yang duduk di kursi penumpang.
"Pokoknya jalan deh gak apa-apa sampai sana. Ingat ya harus cepet, ngebut aja!" Adel tak sabar harus segera pulang, membayangkan masalah yang disebabkan adiknya membuat dia geram. "Ibu pasti bakalan langsung ke vila, gimana ya ini?" Gumam Adel dalam hatinya.
*****
Ceritanya belum merujuk ke judul ya .hehe sabar ya biar penasaran.
jangan lupa + like + favorit. terimakasih
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!