Hati wanita kalau diibaratkan sebuah buku atau novel merupakan cerita yang sangat sulit dipahami apalagi jika yang membaca tidak mampu memahami kalimat atau maksud atau menarik kesimpulan dari buku yang dibacanya.
Edelweis mengantarkan kepergian Rajasa dan Ryan sedangkan Roy sedang sibuk mengurusi usaha kaos sablonnya dan tidak bisa mendelegasikannya kepada siapapun karena dia belum menemukan pegawai yang bisa menggantikan pekerjaannya saat ini.
"Aku akan mencari kopi untuk kita." Ryan berjalan mendahului mereka.
"Sebaiknya kita bareng saja mencarinya." saran Edelweis.
"Tidak perlu. Ada sesuatu juga yang harus kucari. Untuk tanda mata lurah di sana dan aku lupa membelinya karena begitu banyak persiapan yang harus dilakukan."
"Terserah kau saja."
"Mengapa kau tidak ikut aku dan Ryan? Dulu kau sampai membuatkan aku dan Roy steak untuk membujuk kami agar memberikanmu cuti tambahan. Apa kau memang senang melawan peraturan? Atau berbohong tentang pekerjaan impianmu atau takut dipacarin harimau?" Rajasa bertanya setelah Ryan berlalu dari hadapan mereka.
Edelweis tergelak.
Rajasa melotot marah, "Aku tidak berniat melucu. Meminta pertanggungjawabanmu."
"Tanggung jawab? Memang aku menghamilimu dan memang kamu bisa hamil?" Edelweis semakin tergelak.
Rajasa terdiam membisu.
"Sudah puas tertawanya?"
"Lucu kan?"
Rajasa hanya terdiam.
"Kau kenapa sih?"
"Kau yang kenapa?"
"Baiklah kau mau tau alasannya?"
Rajasa menganggukkan kepalanya dan memusatkan perhatiannya.
"Kau kan suka sekali mengejar wanita-wanita cantik. Supaya tidak terganggu aku tidak ikut. Bagaimana?"
"Alasan macam apa itu? Kau tau persis kalau aku mengejar mereka aku pasti sangat membutuhkan bantuanmu." sahutnya tersenyum sinis dan kecewa, "Aku tidak bisa menerima alasanmu yang sangat tidak masuk akal dan mengada-ada. Faktanya aku kehilangan orang yang bisa kuperbudak dan eksploitasi!"
Giliran Rajasa tertawa melihat Edelweis mendadak jutek.
"Ya itu alasannya! Aku tidak mau diperbudak dan dieksploitasi!" wajahnya ditekuk menjadi seribu lipatan.
"Copy cat dan licik sekali, membajak alasan yang ku buat asal-asalan."
"Bukan asal-asalannya tapi nilai kebenarannya sangat akurat!"
"Terserahlah!"
"Aku tidak tega meninggalkan ibu dan adik-adikku. Tidak ada sinyal di hutan dalam waktu lama. Mereka akan kesulitan menghubungiku. Aku tidak mau menyusahkan pikiran ibuku."
"Kalau adik-adikmu kan malah bahagia kalau kau tak ada!" Rajasa tergelak.
"Sok tahu!"
"Mengapa kau tolak beasiswa dan pekerjaan sebagai jurnalis? Kau dulu yang melamar dan menginginkannya. Begitu kau dapatkan, kau lepaskan begitu saja? Begitukah caramu menginginkan sesuatu hanya berdasarkan ego dan obsesi? Hanya sekedar pembuktian bahwa kau bisa memperolehnya? Jangan katakan tidak ada sinyal di negara semaju itu?"
"Aku masih trauma dan aku tidak tau apakah aku siap dengan semuanya karena semua terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan? Bagaimana kalau terulang lagi? Aku bisa gila dan hancur berkeping-keping. Belum lagi...."suara Edelweis menggantung terpotong ucapan Rajasa.
"Aku ,kau dan Roy. Hanya kau sendiri yang menyerah dan melepaskan semuanya?"
"Aku....."mata Edelweis memanas.
"Hey! Kita harus check in!" panggil Ryan.
"Maafkan aku, nanti kita sambung lagi oke? Kalau kau berubah pikiran kau sudah tau kan harus menghubungi siapa? Aku dan Ryan menunggumu bergabung. Anytime!"
Edelweis menganggukkan kepalanya.
"Jaga dirimu baik-baik! Jangan genit!"
Kontan Edelweis tertawa.
"Hmm, kumat! Dibilangin jangan pasti kebalikannya yang kau lakukan!"
"Kau selalu curiga! Padahal yang genit itu kau bukan aku!"
"Entahlah! Aku tidak ingin kau dilirik lelaki lain apalagi kalau kau sampai jadian dengan Roy, awas saja!"
"Memangnya kenapa?"
"Aku tidak akan memaafkan kalian berdua!"
"Yang mau minta maaf padamu siapa? Yang merasa bersalah siapa? Kapan cinta pernah salah?"
Rajasa menghentikan langkahnya.
Menatap lurus kepada Edelweis.
"Kau mencintai Roy?"
"Emang aku ngomong apa sih?"
"Kau tidak mencintaiku?"
"Kau kenapa sih?"
"Siapa sih yang kau cintai?"
"Benar kau mau tahu?"
Rajasa menganggukkan kepalanya.
Edelweis tersenyum lebar.
"RAHASIA!!!"
"Awas kau!!!"
Edelweis tergelak.
"Kau sendiri yang bilang kau dan Roy akan menungguku dewasa dan membiarkanku memilih tanpa ada paksaan."
"Menyesal aku mengatakannya. Bisa kukoreksi?"
"Tentu bisa."
"Baiklah, aku tidak jadi menunggumu dewasa dan aku tidak peduli kalau kau memilihku dengan terpaksa."
"Baiklah, nanti ya satu abad lagi."
"Satu abad lagi?"
"Kau bisa mengkoreksinya satu abad lagi. Kau kan tetap harus memberikanku waktu."
"Ah! Sudahlah! Bisa berantakan otakku meladenimu. Aku dan Ryan pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik."
"Kau juga ya?"
"Kau tidak berpesan supaya aku tidak jelalatan di sana? Kalimantan banyak wanita cantiknya."
"Memangnya bisa kularang?"
"Tidak sih...."
Edelweis tertawa, " dasar mata keranjang! Hati-hati kau dan Ryan."
"Ok, kau juga!"
"Edelweis, kami pergi dulu ya?" pamit Ryan.
"Ya, kau hati-hati ya."
"Kau juga. Kalau kau berubah pikiran, kau tau kan harus menghubungi siapa?" Ryan mengingatkan.
"Ya, terima kasih. Jaga dirimu baik-baik...."
"Kau juga...."
Mereka saling melambaikan tangan dan Edelweis kembali pulang seorang diri berniat memanggil taksi ketika ada suara yang dikenalinya.
"Apakah aku terlambat?" Roy datang tergesa-gesa.
"Mereka baru saja masuk."
"Aku baru selesai dan langsung ke sini secepat kilat."
" Aku telpon Rajasa ya?"
"Biar aku saja."
Roy menelpon Rajasa.
"Halo bro! Lo udah dimana? Gue baru aja sampai. Begitu selesai langsung cuzz ke sini."
Terdengar suara Rajasa menjawab dari seberang telpon.
"Lo mah modus."
Keduanya tergelak.
"Jaga diri lo dan Ryan baik-baik ya ...."
"Gue juga titip Edelweis ya...."
"Gak usah khawatir, bro. She is in the right hand."
"Gak sih sebenernya cuma gue gak ada pilihan aja."
Mereka kembali tergelak.
"Gue bisa ketemu lo sama Ryan last minute?"
"Gak usah ya, kita udah check in dan sekarang lagi antri nunggu masuk ke dalam pesawat."
"Ok deh kalau begitu...."
"Ok, see you."
"See you...."
Roy mematikan gadgetnya. Menoleh pada Edelweis.
"Temenin makan yuk...."
"Heran, seneng banget minta temenin makan."
"Kamu udah makan?"
"Tadi Ryan beliin kopi sama donat."
"Itu ngemil namanya. Ayolah temenin aku makan."
Roy memilih food court masakan tradisional.
Memesan nasi campur kesukaannya, dua gelas es dawet untuknya dan Edelweis. Edelweis sendiri memesan nasi pecel dan lontong.
"Ini kamu mau gak?" Edelweis menyodorkan donat yang dibeli Ryan.
"Gak deh kenyang. Bawa pulang aja nanti makan kalau pas kamu laper atau kamu kasih siapa kek....Aku udah kenyang."
Edelweis meneruskan makannya.
"Kamu kenapa sih? Akhir-akhir ini sering keliatan kayak mau nangis?"
"Masak sih?"
"Kalau gak mau cerita gak apa-apa."
"Kamu bisa dipercaya gak?"
"Emang aku pernah ember bocor?"
"Gak sih. Tapi janji ya jangan kasih tau siapa-siapa."
Roy tersedak dan nyaris meledak tawanya.
"Kamu kenapa sih?"
"Kayak anak sd aja. Jangan bilang siapa-siapa."
Mereka berdua tertawa.
"Sahabatku menghilang."
"Kamu sedih?"
"Iyalah, aku sama dia kan udah bersahabat sejak lama sejak smp dan sampai dia menghilang."
"Kamu gak jatuh cinta kan sama dia?"
"Aku gak tau. Yang jelas aku sedih dia menghilang. Aku juga gak mau persahabatan kami berubah jadi cinta. Aku juga gak mau dia meninggalkan pacarnya."
"Ribet amat!"
Mereka kembali tergelak.
"Masak?"
"Iya. Kalau pake lampu aladin, pusing deh jinnya menuhin permintaanmu dan dengan frustasi dia bakal bilang, hey! gak bisa ya minta yang biasa-biasa aja kayak rumah gedong, permadani tebal, makanan enak?"
Mereka kembali tergelak.
"Dia gak suka kalau aku berubah menjadi bukan diriku yang dia kenal dan suka."
"Memang kau bunglon, bisa berubah-ubah?"
"Bukan, aku power ranger."
Mereka kembali tergelak.
"Ketika aku jadi sekretaris. Dia tidak suka melihatku dandan, sibuk sampai ganti nomor supaya lebih fokus dengan pekerjaanku. Gaya berpakaianku. Semuanya."
"He is not for you then."
"Tapi aku bisa mengerti sikapnya."
"Tetap aja kau sedih karena dia tidak bisa mencintai keseluruhan dirimu. Ada yang dia sukai dan tidak darimu. Sedangkan kau sendiri kan tidak bisa mengelak dari itu semua. Tuntutan pekerjaanmu."
"Ya itu sebabnya aku tidak ingin semuanya berubah. Berteman tanpa saling mencampuri kehidupan masing-masing."
"Itu kalo judul lagu love is hurt, love is ain't enough sama bojo galak!"
kontan mereka berdua tertawa.
Tiba-tiba Edelweis tidak bisa menahan emosinya. Bahunya berguncang dan air matanya turun dengan deras.
"Menangislah kalau kau ingin menangis."
Edelweis tidak bisa menahan air matanya. Semua emosinya keluar begitu saja. Dia menyedot ingusnya dan mengambil tissue untuk menghapus airmatanya yang terus keluar dan tidak mau berhenti.
Setelah puas menangis. Dia menghapus sisa tangisnya.
"Maafkan aku!"
"Buat apa kau minta maaf? Kau tidak salah apa-apa."
"Aku menganggu makanmu. Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa menahan air mataku."
"Wajar saja kau sedih. Semua orang yang berada di posisimu sama. Love is ain't enough."
"Aku senang kau bisa mengerti. Kadang akal sehat kita sudah paham tapi perasaan kita seperti gak mau diajak kompromi."
Edelweis datang agak terlambat karena membantu ibu dan adiknya, Amarilis membantu ibu mereka menerima pesanan makanan.
Semenjak Edelweis berhenti bekerja maka pencari nafkah tunggal kembali ibu mereka.
Ibunya mengerti keadaan Edelweis yang sedang tidak semangat dan patah hati juga arang.
"Kau mau bertemu Roy?"
"Iya."
"Ya sudah tapi jangan pulang terlalu malam."
"Tapi kalau masih mau mengobrol bagaimana?"
"Mengobrol saja di rumah kan bisa?"
"Baiklah, bu...."
Edelweis sangat bersyukur ibunya tidak mempermasalahkan keputusannya menolak pekerjaan sebagai jurnalis dan bea siswanya.
Walaupun ibunya sering mengomeli dan memarahinya tetapi di saat dia membutuhkan dukungan dan pengertian, ibunya adalah yang terbaik di dunia.
"Bu, aku pergi dulu ya...." Edelweis mencium ibunya mesra.
"Kak, bawa martabak dong!" pesan Amarilis.
"Martabak aja?"
"Iya. Keju apa coklat?"
"Keju!"
"Baiklah."
Roy menjemput tepat pukul 7.
"Kita ke Bandar Jakarta, yuk...."
"Gak kejauhan?"
"Gaklah, aku pengen ngobrol santai dan gak mau buru-buru pulang!"
"Ijin dulu sama ibu! Karena tadi ibu pesen gak boleh pulang malam."
"Baiklah!" Roy turun dari mobil dan mencari ibu Edelweis.
"Tante, selamat malam."
"Malam, Roy! Jangan pulang malam ya, Roy?"
"Justru itu tante... Mau minta ijin ajak keluar Edelweis sampai malam karena kita mau ke Bandar Jakarta."
"Jauh banget, Roy! Deket sini kan banyak sea food. Yang di tenda enak loh, murah meriah, gak mahal. Disitu kan mahal, Roy? Jauh lagi...."
"Gak apa-apa, tante...Refreshing. Tempatnya enak buat ngobrol apalagi kalau ambil spot di pinggir deket pantai."
"Ya sudah terserah aja. Tapi tante minta kamu jaga Edelweis baik-baik ya? Jaga batas pergaulan."
"Iya tante, insya Allah."
"Ya sudah, yang penting tau batas pergaulan sesuai aturan agama. Jangan dilanggar kepercayaan tante. Kalau memang kamu suka sama Edelweis, ya menikah tapi kalau tidak ya, jaga pergaulan."
"Iya tante, saya juga tau cuma Edelweisnya kan gak mau tante dan memilih berteman aja."
"Dia kayaknya patah hati sama Aksa."
"Sepertinya begitu."
"Dia juga gak mau pacaran dulu apalagi menikah. Mau mengejar cita-citanya dulu. Menyenangkan tante dan adik-adiknya."
"Iya tante, saya juga paham. Makanya saya juga gak bisa memaksakan kan kalau Edelweisnya belum mau menikah."
"Di pikirannya cuma pendidikan dan karir. Dia ambisius seperti almarhum ayahnya."
"Iya tante."
"Mau berangkat jam berapa?"
"Sekarang tante."
"Baiklah. Hati-hati, ya?"
"Iya tante, pamit dulu...."
Mobil meluncur di jalan raya. Lagu 'At my worst' kesukaan Edelweis mengalun.
"Kamu tau aja aku suka lagunya."
"Aku juga suka. Gak usah ge er deh. Lagunya memang banyak yang suka karena memang enak." Roy tergelak.
Edelweis melihat cover cdnya dan melihat kumpulan lagu-lagu favoritenya.
"Ini enak semua lagunya...."
"Makanya aku beli. Aku beli satu juga buat kamu."
"Mana?"
"Buka laci dashboard."
Edelweis membuka laci dashboard dan mengeluarkan sebuah bingkisan segi empat bujur sangkar yang dibungkus indah dengan kertas kado warna old pink dan pita broken white.
"Ini cd bukan?"
"Iya, cd yang sama dengan yang aku beli."
"Repot amat dibingkis seperti ini."
"Yang membungkus bukan aku." Roy tergelak.
"Maksudku buat apa dibungkus begini?"
"Ya gak apa-apa. Tapi kamu suka kan?"
"Iya sih, cuma kan kamu jadi repot."
"Gak, aku gak repot."
"Terserah lah!"
"Bagaimana Angela?"
"Aku tidak berminat mencari tahu tentangnya."
"Kau patah hati?"
"Dia obsesiku mau bagaimana lagi tapi aku sudah berusaha yang terbaik sesuai batas kemampuanku."
Sesampainya mereka di Bandar Jakarta. Mereka memilih tempat yang dekat dengan view pantai.
"Mengapa kau pilih tempat ini? Jauh dan mahal." tanya Edelweis.
"Aku ingin santai mengobrol dan menikmati suasana."
Roy memesan nasi, ikan bakar, udang goreng tepung krispi, kepiting saos padang dan tumis kangkung saos tiram. Dua buah kelapa muda.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Roy.
"Baik."
"Aku tidak melihatnya begitu. Kau kehilangan semangat."
"Setelah apa yang kulalui, aku bisa apa? Pemulihan itu tidak serta merta membuat nama kita bertiga bersih kembali. Aku tidak siap dengan predijuce orang lain dan takut kejadian itu terulang lagi. Aku bisa gila!" air mata Edelweis turun dengan deras.
Di depan Roy dia bisa mengeluarkan semua emosi dan perasaannya.
"Kau sesensitif itu! Bagaimana kau mau memperjuangkan semua mimpimu? Tidak ada yang mengasihanimu. Life must go on!"
"Aku tidak minta belas kasihan!"
"Kau memang tidak memintanya tapi sikapmu itu merugikanmu dan menguntungkan orang yang membencimu. Mereka akan memanfaatkanmu untuk kepentingan mereka dan tidak peduli apa akibatnya bagimu!"
"Aku tidak mau mendengar lagi!" Edelweis menangis setengah berteriak.
"Kita ke pantai! Sambil menunggu makanan tiba."
"Untuk apa?"
"Ikut aku! Ini perintah!"
"Aku sudah tidak bekerja untukmu lagi."
"Kau melawanku?"
Edelweis mematuhi keinginan Roy.
Mereka beranjak dari tempat duduk mereka menuju pantai.
Angin semilir sepoi-sepoi dan bulan mengintip di balik awan.
"Kau mau apa?"
"Bukan aku tapi kau? Berteriaklah! Keluarkan semua emosimu! Menangis sekeras yang kau bisa!"
"Aaaghhhhhhhh...Aaaghhhhhhhh......Aaaagghhhhh...." Edelweis berteriak sekuat tenaga. Melampiaskan semua kemarahan, kecewa, sedih dan frustasinya.
Edelweis menangis dan menangis. Suara tangisannya ditelan kegelapan malam.
Sedih, kecewa dan marah semua bercampur menjadi satu.
Dia menyepak pasir-pasir hingga berhamburan.
Air matanya mengucur dengan sangat deras.
Dia berteriak dan berteriak. Menangis dan menangis. Tangis tak berdaya dan menyimpan kesedihan, kemarahan dan kekecewaan.
Setelah habis emosi dan perasaannya terkuras. Dadanya terasa lega.
Perlahan tangisnya menghilang.
Air matanya mengering.
Roy menyodorkan seplastik tissue .
Edelweis menggunakannya untuk menyedot ingus dan menyeka air matanya.
"Sudah lega?"
Edelweis menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih ya...Kau mengajakku jauh ke sini agar aku bisa meluapkan emosi dan perasaanku. Jangan terlalu baik kepadaku. Bagaimana kalau aku tidak bisa membalas perasaanmu?" air mata Edelweis kembali mengalir.
"Aku laki-laki. Jangan kau pikirkan hal remeh seperti itu. Penolakan tidak akan membuatku menjadi putus asa. Jodoh tidak bisa dipaksakan tetapi ijinkan aku memperjuangkan perasaanku sampai aku tahu, bisa atau tidak."
"Aku tidak ingin memikirkan cinta."
"Aku tau. Pikiranmu terlalu rumit belum lagi memang keadaannya sendiri tidak mendukung dan semakin menambah semua keruwetan pikiranmu. Belum masalah yang menimpa kita bertiga."
"Apakah kau tau kenapa aku mendapatkan pekerjaan dan beasiswa itu?"
"Bukannya kau lulus semua kriteria?"
"Awalnya kupikir begitu. Ada surat kaleng menerorku. Walaupun kita mendapatkan pemulihan tetapi tetap saja secara kenyataan mereka menganggapku melakukan perbuatan tersebut."
"Maksudmu?"
Edelweis kembali menangis.
"Andai aku bisa memeluk dan menghiburmu pasti kulakukan tapi kau pasti marah dan menganggapku melecehkanmu."
"Kita bukan muhrim dan kau kan tau aturannya. Kau juga sudah berjanji kan kepada ibuku untuk mematuhi adab pergaulan."
"Aku tidak tega melihat keadaanmu tapi aku bisa apa?"
"Kau bisa mengerti perasaan dan keadaanku saja sudah bagus."
"Apakah Angela ada hubungannya dengan ini?"wajah Roy mendadak mendung.
"Mengapa kau mencurigai Angela?" Edelweis kembali menyedot ingusnya.
"Setelah apa yang dia lakukan dan memberi jalan masuk pada Clara dan perusahaan fiktif itu ke perusahaan. Memfitnah kita bertiga. Kau masih percaya dia memiliki hati dan akal yang sehat? Dia mengkhianatiku sejak awal dan berlaku seperti sosok isteri yang setia. Kau mau aku bersikap apa?"
"Bukti Angela melakukan hal ini. Kau berasumsi."
"Angela itu ular. Kau tidak bisa mempercayai ular. Dia juga memiliki dendam seperti tikus. Aku memang tidak memiliki bukti saat ini tapi perasaanku mengatakan dia ingin menghancurkanmu."
Edelweis kembali menangis.
"Aku pikir hidupku sudah berakhir sejak kasus itu menimpa kita dan tidak akan pernah bisa dipulihkan lagi. Rajasa pergi meninggalkan perusahaan dengan sebab yang sama."
"Aku dan Rajasa lelaki. Hal semacam itu tidak akan mempengaruhi kami berdua. Dia tidak tahan dengan semua kenangan yang ada. Aku tau dia. Dia menunggumu bergabung bersama Ryan untuk berjuang meraih impianmu kembali."
"Apa yang bisa kusembunyikan darimu?" Edelweis mempermainkan kakinya di antara pasir yang bercampur dengan kulit kerang yang bertebaran di sana sini."
"Kau menyayangi banyak orang?"
Edelweis memandang ke arah Roy dengan pandangan tanya.
"Pikiranmu rumit."
Edelweis berangsur membaik. Dia berusaha melepaskan beban pikiran yang kerap menghimpitnya.
Dia membantu ibunya menerima pesanan makanan sementara Amarilis dan Basil bersekolah juga beraktifitas di tengah eskul dan organisasi sekolah mereka.
"Kakak menganggur aku lebih fokus dengan kegiatan sekolahku." Amarilis mencomot sepotong bakwan sebelum berangkat ke sekolah.
"Kau keberatan membantu ibu?" ibu menyalakan kompor untuk mengukus nasi kuning untuk membuat tumpeng anniversary salah satu pelanggannya.
"Bukan begitu, bu...." Amarilis mencium pipi ibunya yang mulai mengendur.
"Aku mesti sekolah, kegiatan sekolah belum teman-temanku."
"Maafkan ibu membebanimu."
"Tidak bu, aku tidak terbebani hanya saja sulit mengatur waktunya. Mitha mengajakku ke toko buku. Dia minta ditemani membeli buku dan aku boleh membeli satu yang kusukai."
"Pergilah bersama Mitha." Edelweis membuka suaranya.
"Tapi ibu sama kakak bagaimana? Kakak memang sudah bisa menghias tumpeng?"
"Kau tau kakak tidak bisa menghias tapi kakak bisa bantu yang lain. Kau tidak usah khawatir. Pergilah dengan Mitha, kakak dan ibu bisa melakukan semua tanpa bantuanmu." Edelweis memeluk Amarilis. Mencium kening adiknya.
"Jangan selalu mengorbankan dirimu terus. Masa sekolah tidak lama. Kau akan merindukannya nanti. Kau juga jangan selalu memikirkan semua orang mengabaikan dirimu sendiri. Pergilah bersama Mitha." Edelweis memeluk adiknya dengan mesra.
Amarilis adalah seorang gadis yang cantik, sangat perhatian, hangat dan supel. Tidak seperti dirinya yang berwajah biasa dan tidak cantik seringkali canggung dan kikuk bergaul dengan orang lain kecuali yang benar-benar mengenalnya dengan sangat baik.
Seluruh keluarga menyayangi Amarilis begitupun dengan semua teman-temannya.
Di tengah kesibukannya bersekolah, eskul, organisasi dan bergaul dengan teman-temannya dia masih menyempatkan diri membantu ibu mereka bahkan seringkali mengorbankan waktu yang seharusnya dihabiskan dengan teman atau eskul atau organisasinya karena ibu mereka benar-benar membutuhkan bantuan dan tidak ada yang bisa membantu karena Edelweis bekerja sedangkan Basil tidak bisa membantu ibunya di tengah kesibukannya bersekolah, eskul dan bergaul. Basil, anak lelaki yang tidak bisa mengerjakan pekerjaan memasak dengan segala ***** bengeknya semacam itu kecuali membantu ibu mencuci piring yang kerap dia lakukan sepulang beraktifitas dan di sela-sela waktu luangnya. Menyapu dan mengepel rumah sebelum berangkat sekolah tetapi sisanya dia hampir tidak memiliki waktu bahkan untuk dirinya sendiri.
"Bagaimana perasaanmu?" ibu memindahkan adonan bakwan dalam bulatan-bulatan kecil ke dalam penggorengan.
"Aku sudah tidak apa-apa, bu."
"Apa rencanamu?"
"Membantu ibu. Tidak apa-apa, kan? Apalagi Amarilis dan Basil sekolah sebaiknya aku membantumu dan itu kan juga bekerja."
"Terserah. Yang penting hatimu tenang dan nyaman."
"Aku tidak ingin memikirkan hal yang hanya menambah beban pikiranku."
"Memang seharusnya begitu. Kalau kau ingin membantu ibu dan itu membuat keadaanmu semakin baik maka ibu sangat senang."
Edelweis memeluk ibunya dengan pandangan berterima kasih.
"Ibu adalah ibu yang terbaik di dunia."
Ibunya tertawa, "Bagaimana kalau aku mengomeli dan memarahimu?"
"Tentu saja berubah menjadi ibu terburuk di dunia."
"Kau mau enaknya saja."
"Aku hanya tidak tahan mendengar omelan dan marahmu tapi aku tahu semua untuk kebaikanku sendiri."
"Salah ibu!"
"Apa maksudmu, bu?"
"Terlalu mencintaimu sehingga mengkhawatirkanmu lebih dari yang lain. Ibu hanya ingin memastikan kau baik dan selalu baik-baik saja."
"Aku tahu, bu. Maafkan aku kalau sering melawan dan membantahmu."
"Kau menuruni sifat ayahmu. Keras kepala!"
"Bu, nanti sore selesai membantumu membuat pesanan makanan. Aku ingin jalan dengan Roy, bolehkah?"
"Jangan jauh-jauh atau mengobrollah di rumah."
"Dia jenuh dengan pekerjaannya dan ingin refreshing. Tidak jauh, bu. Cuma ke sate padang Ajo aja...Setelah itu, mengobrol di taman."
"Jangan pulang malam-malam."
"Sebelum jam sembilan."
"Ya sudah...."
Edelweis kembali mencium ibunya dengan mesra.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!